Thursday, December 29, 2011

The Greatest Design - Zaynur Ridwan

Ada beberapa misteri di dunia ini, yang beberapa diantaranya tertulis di kitab beberapa agama seperti Yakjuj Makjuj (Gog Magog), Tabut Perjanjian (Ark of The Covenant), Injil versi asli, gunung emas di sungai Eufrat, dll. Buku ini menceritakan bagaimana misteri2 tersebut menginspirasi sekumpulan orang yang ingin membangun kembali Haykal Solomon untuk mempersiapkan kedatangan Raja Yahudi (dikenal dengan istilah Dajjal dalam Islam). Referensi yang digunakan mulai dari Taurat, Injil dan juga Al Qur’an. Zaynur sendiri membutuhkan waktu dua tahun hanya untuk riset lantas dituangkan dalam buku selama tiga bulan.



Dalam buku pemenang Islamic Book Fair Award 2010 ini digambarkan bagaimana sekelompok suku Kohen yang saat ini sudah tersebar di seluruh dunia dan berusaha menjaga benda2 tersebut dengan susah payah meski harus mengorbankan jiwa mereka sendiri. Suku ini dikenal sebagai salah satu suku Yahudi yang masih berpegang teguh pada ajaran Musa atau Taurat  dan bukan Talmud yang nota bene sudah di modifikasi. Petualangan ini melingkupi lokasi yang berjauhan, mulai dari Kairo, Ethiopia, London, China, dan bahkan Tibet.

Diungkapkan juga bagaimana bangsa Israel yang ternyata percaya pada hadist Muhammad SAW, meski tidak mau memercayai ajarannya, mempersiapkan kedatangan Dajjal dengan sebaik baiknya, mulai dari melakukan proses cloning untuk menghasilkan “Sapi Merah”, rencana penghancuran Masjidil Aqsa dan menggantinya dengan Haykal Solomon, penculikan (dan pembunuhan) bayi2 di tahun 80-an yang memiliki ciri2 fisik dan sejarah (bernama Ahmad atau Muhammad dengan Ayah bernama Abdullah) sebagaimana Imam Mahdi, imigrasi besar2an ribuan kaum Yahudi ke Israel termasuk Yahudi hitam baru baru ini (atau dikenal dengan sebutan Falashi) ke Israel sampai dengan membantu Turki dalam menyiapkan proyek bendungan Eufrat untuk menyingkapkan rahasia Gunung Emas. 

Tokoh Bumi dan Marie dalam buku ini melakukan petualangan dengan dibantu seorang Detektif kasus pembunuhan Mesir serta ilmuwan Syaikh Naggar, juga sosok yang membantu proses pencarian gunung emas Solomon Varben (yang akhirnya memilih berkhianat pada sponsor-nya sendiri) serta turut juga seorang Kardinal bernama Riario. Tentu saja jika sebuah novel tidak ada musuh tidak akan seru, jadi di dalam novel ini musuh diwakili oleh petinggi Mason yaitu Benjamin Nate.  Sebagaimana Indonesia Incorporated (novel Zaynur pertama yang saya baca, meski bukan novel Zaynur yang pertama dibuat), buku ini menggambarkan sekumpulan puzzle rumit yang harus kita rangkai sepotong demi sepotong sampai membentuk satu cerita yang utuh. Benar2 buku yang sedap dibaca, meski ada beberapa kesalahan yang cukup mengganggu misalnya penulisan nama presiden Amerika yang seharusnya tertulis “Reagan” berkali kali ditulis dengan “Reagen”.

Mengenai tokoh Naggar sendiri yang merupakan tokoh vital dalam buku ini (meski muncul di bagian akhir), sepertinya merupakan inspirasi dari tokoh yang sebenarnya, yaitu Zaghloul El Naggar, yang merupakan ahli Earth Science dan Geology dari Kairo, Mesir.  Naggar asli sendiri merupakan alumni University of Wales dimana beliau meraih gelar Doktor-nya. Beliau menerbitkan 150 publikasi ilmiah dan 45 buku dalam tiga bahasa (Inggris, Prancis dan Arab). Dimana publikasi dan buku tersebut banyak menyinggung interseksi antara ilmu dan Qur’an. Informasi lengkap tentang publikasi beliau dapat dilihat di “http://www.elnaggarzr.com/en/”.

Buku ini juga berkisah sedikit tentang pembelahan Bulan di masa Nabi Muhammad, yang ternyata disaksikan beberapa bangsa lain seperti India. Hal itu diyakini terjadi ketika banyak orang meragukan kenabian Muhammad, tetapi tentu saja pembuktian-nya tidaklah mudah sebagaimana terbelahnya laut merah oleh Nabi Musa. Meski yakin pada hadist bahwa bulan terbelah, sebaliknya buku ini meragukan “moon rille” adalah bukti bahwa bulan pernah terbelah, karena garisnya patah2 dan belum ada bukti bahwa garis ini mencakup keliling Bulan meski sangat panjang (300 km). Akhir kata, bagi setiap manusia yang percaya akan hari akhir, buku ini mengingatkan kita kembali, bahwa sebaik-baiknya bekal adalah amal baik.

Tuesday, December 27, 2011

A Contract with God - Will Eisner

Membaca halaman belakang komik Will Eisner, komikus kelahiran Brooklyn New York 1917, saya sudah langsung tertarik karena komik ini meraih penghargaan, dan berturut turut dibuat kelanjutannya hingga menjadi trilogi. Font yang dipilih Eisner dalam menuliskan namanya juga “catchy” karena menggunakan font yang sama dengan Walt Disney. Begitu membaca-nya langsung sedikit kaget ketika mengetahui cerita pertama-nya justru mengenai pengalaman seorang imigran Yahudi, yang meninggalkan kampung halaman-nya dengan dana yang diperoleh dari iuran bersama komunitas Yahudi yang dalam situasi terancam tetapi berharap agar tokoh ini dapat melanjutkan kehidupannya sebagai Yahudi sejati di New York. Sepertinya ini menjelaskan kenapa hari ini begitu banyak Yahudi di Amerika dan bahkan sampai2 mendominasi arah kebijakan Amerika.



Sebenarnya Contract with God (1978) hanyalah satu cerita saja, sedangkan cerita2 lain-nya benang merahnya lebih ke semua kejadian yang berhubungan dengan suatu lokasi di jalan Dropsie. Lalu dilanjutkan dengan buku kedua A Life Force  (1988) dan buku ketiga Dropsie Avenue (1995). Komik ini dipenuhi dengan adat istiadat dan cara berkomunikasi dalam komunitas Yahudi di New York.

Eisner sendiri sebenarnya lebih suka menyebut buku ini sebagai novel grafis ketimbang komik. Nuansa-nya relatif gelap dan muram sehingga sama sekali tidak cocok bagi kanak2. Adegan2 yang digambarkan beberapa diantaranya menggambarkan hal2 yang bersifat “dewasa”. Cara berceritanya yang “berat” mengingatkan saya ketika membaca novel Great Expectation-nya Charles Dickens, penuh dengan ironi dan tanpa happy ending. Dari komik ke satu sd komik ketiga juga tidak terlihat kemajuan dari sisi artistik meski berjarak 20 tahun, yang menunjukkan Eisner sudah mencapai batas maksimal dari sisi artistik.

Khusus A Life Force, unik karena Eisner mengangkat kecoa sebagai inspirasi daya hidup, bagaimana serangga yang sudah berusia jutaan tahun ini tetap eksis dalam kondisi bagaimanapun juga, meski banyak orang tidak akan segan2 mengangkat sandal ketika melihat serangga satu ini. Tidak tanggung2 gambar kecoa ini juga menjadi cover di buku terbitan Nalar ini.

Hal yang perlu dikagumi dari Eisner, beliau bahkan masih mempublikasikan karya-nya
yaitu Sundiata di usia 85 dan bahkan di usia 88, yaitu The Protocols of The Learned Elders of Zion. Beliau akhirnya meninggal di Florida tahun 2005. Namanya sendiri diabadikan sebagai salah satu penghargaan bagi komikus, yaitu Eisner Award. Hal ini tidak terlepas dari upayanya memberikan “kecerdasan” bagi karya grafis, meski pada awalnya sangat sulit mencari penerbit yang mau menerbitkan karya-nya.

Bagi saya komik ini pada akhirnya bukanlah pilihan yang tepat buat koleksi, karena hal2 yang membuat saya tertarik untuk mengoleksi, antara lain adalah dapat memberikan aura positif, kualitas artistik atau fakta yang memang penting untuk diketahui serta layak dijadikan referensi.  Dari artistik, jelas Eisner bukanlah komikus yang “hebat”, aura positif juga tidak saya dapatkan dari komik ini, satu2nya yang menarik adalah penggambaran problematika imigran Yahudi saat harus berbaur dengan masyarakat New York.

Friday, December 23, 2011

Indonesia Incorporated - Zaynur Ridwan

Membaca buku Rizky Ridyasmara, saya tertarik dengan nama Zaynur Ridwan di halaman belakang yang disebut Rizky sebagai salah satu bacaan yang menginspirasi. Maka saya mulailah perburuan karya Zaynur, dan di Gunung Agung Kwitang, dan akhirnya salah satu dari empat buku beliau saya temukan, dan begitu ada waktu luang beberapa hari kemudian segera saya santap panas2.

Buku ini lagi2 menunjukkan betapa banyak penulis muda potensial Indonesia saat ini, yang meski datang jauh dari Sulawesi Selatan tetapi langsung dengan karya kelas dunia. Skenario-nya meski kompleks tetapi kuat, rapi dan tersusun bagaikan puzzle2 yang baru pada 3/5 buku mulai terlihat interseksi-nya. Berbeda dengan trilogy novel Rizky Ridyasmara, yang masih tergagap gagap menggabungkan fiksi dan realita sehingga masih belum terasa kuat sebagai novel, sebaliknya Zaynur sangat kuat sebagai novel.

Puzzle2 di buku ini entah kenapa mengingatkan saya akan perkamen miniatur Kapal Unicorn Sir Francis Haddock di komik Tintin karya Herge, yang harus dikumpulkan semua agar  gambaran utuh dari misteri, menunjukkan koordinat sebenarnya dari bangkai Kapal Unicorn.

Buku ini menggambarkan keraguan Zaynur akan  dampak dari polusi terhadap panas bumi, karena saat ini, siklus matahari lah menurut Zaynur yang menjadi penyebab utama panas bumi. Akan tetapi ada pihak2 tertentu di dunia yang sengaja menghembuskan isu ini, sebagai alasan untuk intervensi terhadap negara2 berkembang, sehingga negara2 maju dapat memantau, menekan dan bahkan memaksa negara2 lain untuk mengikuti aturan main yang mereka buat, dan lantas pelan2 akan menjadikan dunia sebagai “New World Order”. Zaynur juga meragukan teori evolusi yang sampai saat ini masih belum menemukan rantai yang hilang, meski sudah sangat banyak fosil yang ditemukan di dunia. Bagi Zaynur kedua hal ini tak lebih dari kemunafikan saintis yang ditunggangi kepentingan tertentu. 



Apa2 yang dituliskan Zaynur dibuku ini, mengingatkan kita kembali, betapa kaya-nya Indonesia, dan bagaimana ironisnya kekayaan Negara ini justru "dijual" pada tahun 1967 oleh Soeharto pada kelompok konspirasi tokoh Eropa, yang menggunakan strategi hutang untuk menundukkan Indonesia sebagai bentuk penjajahan baru. Sebagaimana Freeport, yang dihisap habis2an, dengan hanya menyisakan kurang dari 7% bagi Indonesia, dan bahkan dibawah 2% bagi masyarakat Papua, begitu juga yang mengancam banyak daerah lain di Indonesia yang mengandung bahan2 tambang terbaik di dunia.

Artwork buku ini harus diancungi jempol, pemilihan warna-nya berkelas, meski gambar2 pendukung di dalam buku-nya justru sebaliknya, sangat kecil dan kabur. Sayangnya rasa penasaran terhadap sosok penulis juga tidak terpuaskan karena tidak dituliskan secara jelas termasuk referensi yang digunakan dalam buku ini.



 

Tuesday, December 20, 2011

Hidup Itu Lucu - Michael J. Fox

Anda tahu Michael J. Fox ?, kebanyakan generasi yang mengalami masa remaja di tahun 80-an atau penggemar Steven Spielberg pasti tahu siapa yang saya maksud. Tepat-nya tokoh yang memerankan Marty McFly dalam film di Back To The Future bersama Doc yang diperankan oleh Christopher Loyd. Film ini sangat sukses dan meski dibuat di tahun 80-an (1985), saat ini beberapa puluh tahun kemudian bahkan kedua anak saya masih sangat menikmati film ini, khususnya adegan Doc membantu Marty untuk dapat kembali ke masanya menyeberangi portal “waktu” dengan DeLorean Time Machine, di saat malam gelap, hujan deras dan petir menyambar nyambar di kota dimana Marty McFly tinggal. Selain seri ini dia juga bermain di “Secret of My Succes” yang bercerita tentang pengirim surat di sebuah menara di daerah bisnis paling sibuk, yang akhirnya meraih kesempatan untuk sukses karena kecerdikannya. Masih belum ingat juga ? Michael juga bermain di “Family Ties” juga film bioskop berlatar belakang Vietnam yaitu Casualties of War.



Meski hanya lulus SMA, tetapi Michael J. Fox membuktikan dirinya sanggup belajar apa2 yang biasa dipelajari di sekolah dalam kehidupan nyata, bahkan prestasi Michael juga mendapat pengakuan serta mendapat gelar Doktor kehormatan dari salah satu perguruan tinggi bergengsi.  Berikut apa yang ditulis Michael J. Fox “Aku merasa cukup beruntung dan tidak beruntung, secara bergantian, karena telah menerima pendidikan yang luar biasa lengkap, meskipun tidak terstruktur, dan sering tanpa kucari. Aku hanya berusaha menjadi murid yang patuh dan rajin dari ‘Universitas Alam’. Aku tidak memilih pelajaran-pelajaran itu, melainkan merekalah yang memilihku. dan, karena tidak ada kurikulum resmi, maka tentu tidak ada wisuda, meski tetap ada  banyak ujian” (saya edit sedikit dari versi buku, karena terjemahan-nya agak kaku tanpa mengurangi maksud sebenarnya).

Dalam buku ini ada suatu ungkapan yang sangat menarik yang didapat Michael dari mentor-nya. Mentor bagi Michael adalah tokoh penting yang muncul di setiap episode kehidupan kita, mereka umumnya senang berbagi, memberikan masukan bagi kita, menghibur kita di kala sedih, ikut gembira dengan kesuksesan kita dan menjaga kita agar tetap berdiri tegak. Mentor menurut Michael bagaikan tokoh Doc bagi Marty McFly. Inspirasi dari salah satu mentor Michael yaitu  Gary David Goldberg, saat itu sangat menakjubkan sbb

Tak seorangpun di antara kita yang berhak akan sesuatu.
Kita mendapatkan apa yang kita dapatkan bukan karena kita menginginkan-nya
atau kita pantas mendapatkannya
atau karena tidak adil jika kita tidak mendapatkannya,
melainkan karena kita bekerja keras untuk meraihnya,
menghormatinya,
dan hanya jika kita membaginya dengan orang lain,
maka kita bisa mempertahankannya.


Buku tipis ini sangat menarik meski terjemahan di bab2 awal agak kurang nyaman di baca, dalam buku ini  tergambar  karakternya yang selalu optimis, rendah hati, pekerja keras dan mau belajar. Meski saat ini terkena parkinson, Michael J. Fox tetap berusaha menghasilkan karya terbaik dalam bentuk buku, dimana buku ini adalah salah satunya. Pembagian bab-nya juga unik, dan memberi kesan bahwa ilmu yang kita pelajari di bangku sekolah juga kita pelajari di dalam kehidupan. Michael membagi bab-nya dengan nama2 sebagai berikut Ekonomi, Sastra,  Fisika, Politik dan Geografi, lantas memberikan contoh nyata dalam “Universita Alam” bagaimana dia bersinggungan dengan hal itu.

Tuesday, December 13, 2011

The Escaped - Rizki Ridyasmara


Ini buku ketiga Rizki yang saya baca dalam dua minggu terakhir, benar2 makanan lezat untuk seorang yang merasa dirinya conspiratus. Meski terdengar “konyol” bahwa Hitler melarikan diri ke Indonesia dan wafat di Surabaya 15/1/1970 (pemakaman Ngagel) setelah sebelumnya mengepalai RS Sumbawa, tetapi bangunan cerita semakin kesini semakin memperkuat fakta bahwa hal ini adalah sesuatu yang mungkin saja terjadi. Kita tahu bahwa secara sejarah sangat banyak tokoh Nazi yang melarikan diri ke Amerika Selatan, dan Negara2 seperti Brazil ataupun Argentina sampai saat ini banyak dihuni tokoh Nazi dan keluarga-nya. So kenapa tidak dengan Negara Indonesia, karena semakin tidak mungkin tujuan pelarian, maka akan semakin sukses pelarian tersebut. Konyol ? yaaa bisa saja dikatakan demikian, kalau 10 tahun yang lalu, ada yang mengatakan presiden AS berikutnya merupakan anak tiri seorang WNI dan menghabiskan masa kecil-nya di Indonesia serta menggemari Nasi Goreng dan Sate mungkin tidak akan ada yang percaya tetapi ternyata jadi nyata.



Kenapa akhirnya muncul kesan kalau buku ini tidak sembarangan dalam menyimpulkan pelarian Hitler ke Indonesia, salah satunya adalah pada tahun 1944 sd 1945, sepertinya berkat hubungan baik dengan Jepang, Jerman mempunyai pangkalan rahasia di beberapa lokasi di Indonesia, termasuk pangkalan Kapal Selam legendaris seri “U”selama WW2.  Perairan Sumbawa juga merupakan perairan dalam sehingga memungkinkan pendaratan Kapal Selam.

Fakta lain adalah pengakuan Dokter Sosrohusodo seorang Dokter lulusan UI yang pernah bertugas di Sumbawa Besar tahun 1960 an pada sebuah Rumah Sakit merangkap Kapal “Hope”  dan berkenalan dengan Dokter Poch yang mengepalai RS Sumbawa. Pada saat itu karena tangan kiri yang selalu bergetar, Dokter Poch (yang ternyata tidak mengerti soal medis) minta diperiksa oleh Doktor Sosrohusodo. Ketika proses pemeriksaan berlangsung, istri Dokter Poch mengingatkan bahwa tangan kiri tsb mulai bermasalah saat Dokter Poch memukul meja berkali kali ketika mendapat laporan dari Goebbels (sebagaimana kita ketahui Joseph Goebbels merupakan salah satu tangan kanan Hitler) bahwa pasukan Jerman kalah di Moskow. Beberapa tahun kemudian Dokter Sosrohusodo menemukan fakta2 lain yang memperkuat dugaan bahwa Dokter Poch adalah Hitler. Dokter Poch sendiri akhirnya dimakamkan di Surabaya. Rizki sendiri mengutip kisah Dokter Sosrohusodo ini berdasarkan investigasi wartawan Pikiran Rakyat. Fakta dari luar sendiri bersumber dari Daily Telegraph, Senin 28 September 2009, Program History Channel Documentary Amerika Serikat menyatakan tengkorak milik Hitler yang disimpan Rusia bukan milik pemimpin NAZI tersebut, melainkan milik seorang wanita.

Hal2 yang memperkuat kecurigaan Dokter Sosrohusodo, selain celetukan istri Dokter Poch dan ketidak tahuan-nya soal2 medis, adalah usia Dokter Poch yang sesuai dengan usia Hitler, penampilan fisik termasuk kumis khas, tangan kiri yang bergetar (dan sesuai dengan kesaksian beberapa orang di tahun 1945), kaki kiri yang agak diseret, postur Eva Braun yang mirip dengan  istri Dokter Poch dan kerap memanggil suaminya dengan “dolf”, dan kesaksian istri Dokter Poch yang berikutnya (seorang wanita pribumi) serta dokumen dokumen lainnya yang dititipkan istri Dokter Poch terakhir, ke Dokter Sosrohusodo termasuk SIM dengan sidik jari Dokter Poch. Selain itu sebagaimana cerita penduduk di Sumbawa, suatu masa mereka penah melihat sebuah kapal selam bulat yang muncul dari dalam laut lantas menurunkan sejumlah penumpang.

Ada kesan buku ini ditulis dengan terburu buru, atau mungkin karena masih cetakan pertama, karena berbeda dengan kedua buku sebelumnya, pada buku ini cukup banyak terjadi kesalahan seperti Hal 251 (disebutkan mobil David dalah Nissan Captiva, padahal seharusnya Chevrolet Captiva), Hal ? (Terulis O.G. Farben seharusnya I.G. Farben), Hal 311 (tertulis Atlanis seharusnya Atlantis), dan saya masih menemukan beberapa kesalahan seperti ini di beberapa bagian buku lain-nya.  

Secara scenario, sebagaimana CODEX dan The Jacatra Secret masih mirip dengan kedua buku sebelumnya yaitu kejar2an dokumen rahasia dengan tokoh utama merupakan pasangan wanita dan pria. Selain itu harus diakui semua buku Rizki terasa seperti memaksakan begitu banyak informasi, sehingga nyaris sebagian besar tokohnya seakan akan adalah kamus berjalan yang dengan semangat dan secara detil menjelaskan banyak hal, khususnya dalam “The Escaped” hal ini sangat terasa. Begitu juga penokohan yang terasa agak aneh dan karakternya kurang terbangun, misal penggunaan nama Steven Aleyda (nama yang jauh dari kesan Indonesia) yang dipadukan dengan Sabina Shalimar (yang terkesan Arab) sebagai suami istri yang menjadi aktor utama dalam cerita kali ini, mungkin lebih tepat kalau menggunakan nama Fuad Aleyda misalnya.  Rizki juga seakan akan sulit untuk menghindari penggunakan senjata api “Glock” yang muncul berkali kali dalam ketiga buku-nya. Penggunaan VW Touareg juga terkesan berlebihan (karena mahal), mungkin akan lebih cocok jika VW Beetle saja, jika ingin memberikan alasan kenapa Steven menguasai hal2 yang berbau Jerman. Bayangkan tokoh Fuad Aleyda beristrikan Sabina Shalimar serta menggunakan VW Kodok kan lebih pas.

Informasi menarik yang bisa kita dapat di buku ini antara lain, bahwa pencipta gerakan KB Margareth Sanger ternyata seorang rasialis, dan dia mendukung bumi yang bersih dari orang2 cacat dan kulit berwarna. Bahwa ada konspirasi dalam WW2 yang disutradarai oleh Rostchild dan antek2nya, yang ternyata menurut sebagian orang merupakan kakek tak resmi dari Hitler. Dan bahwa Hitler ternyata senang menggambar, dan bahkan desain VW digambar sendiri oleh-nya serta indikasi Hitler berdarah Yahudi.

Saya sendiri berpendapat meski Nazi sering sekali digambarkan dengan kejam, dan banyak digambarkan secara negatif misalnya dalam film2 Indiana Jones, tetapi kemerdekaan Indonesia sepertinya tak bisa lepas dari gempuran Blietzkrieg Jerman ke Belanda, yang akhirnya memecah konsentrasi Belanda dan lantas dengan mudahnya diusir Jepang dari Indonesia. Bagaimana cara memecahkan misteri ini, tentu saja dengan sidik DNA terhadap makam Dokter Poch dan dibandingkan dengan keluarga besar-nya serta membandingkan sidik jari yang ada di SIM Dokter Poch dengan sidik jari Hitler jika ada, rasa-nya akan sangat menarik jika ada yang melakukan hal ini, apalagi kalau didukung pemerintah Indonesia, sehingga salah satu misteri WW2 ini bisa terpecahkan. Kalau saja Departemen Pariwisata tertarik ini akan membuka jalan bagi promosi Indonesia dari pada terlibat urusan tidak jelas di New7Wonders.

Monday, December 12, 2011

The Jacatra Secret - Rizki Ridyasmara

Setelah menyelesaikan CODEX, saya mulai menjelajahi The Jacatra Secret, dan begitu memulai Bab2 awal kita lantas begitu saja tersedot ke pusaran misteri yang dibuat Rizki, kala petinggi Freemason di Jakarta saat itu menerima surat pembubaran organisasi rahasia ini dari Presiden Soekarno yang digambarkan secara detail dengan pilihan kata2 yang mengagumkan dan menunjukkan bakat Rizki sebagai pencerita handal. Menakjubkan memang, bahwa Soekarno sejak awal sudah dengan tegas menyadari ada  yang tidak beres dengan organisasi ini. Sayang-nya Soeharto kemudian memberi kesempatan yang seluas-luasnya bagi kelompok “mafia ekonomi” lulusan AS, yang lantas mengarahkan Republik Indonesia menjadi salah satu korban strategi hutang luar negeri, dan lantas menyerahkan kekayaan alam-nya untuk disedot oleh kekuatan asing secara besar2an.



Meski dalam buku ini Rizki sudah menjelaskan bahwa organisasi ini bersifat sangat rahasia, sayang-nya salah satu agen Freemason yang bertugas untuk mengamankan rahasia sekaligus memusnahkan siapa saja yang menghalangi justru digambarkan wara wiri menggunakan motor merah dan lantas berganti dengan Rover mewah (baca : mencolok), sehingga terkesan bukan seseorang yang berusaha melakukan aktivitas rahasia. Berbeda dengan CODEX yang masih agak samar kemiripan-nya dengan Dan Brown, The Jacatra Secret justru bagaikan petualangan Robert Langdon di Indonesia, dimana tokoh utama-nya justru juga seorang Simbolog AS sebagaimana Langdon.

Penggambaran tokoh Polisi Indonesia juga, sepertinya menggambarkan opini Rizki pribadi mengenai kualitas polisi Indonesia, yang cenderung sinis, dan kadang menggunakan ekpsresi “cuih” (baca : meludah) tetapi anehnya bukan dari sudut pandang tokoh lain, dalam cerita tersebut, melainkan seakan mewakili Rizki sendiri sebagai pengarang. Rasanya lebih baik kalau tokoh Polisi Indonesia yang menjadi tokoh dalam buku ini justru digambarkan sebagai tokoh yang berusaha bersikap profesional (berbeda dengan polisi kebanyakan), meski ekspresi kekecewaan Rizki terhadap keseluruhan kinerja kepolisian cukup beralasan.

Teknologi yang digambarkan di buku ini juga mengesankan pengetahuan Rizki yang mendalam lagi2 soal senjata selain konspirasi tingkat tinggi, meski dalam menggambarkan format obyek dokumen rahasia yang diperebutkan sejak awal konyolnya malah menggunakan PDF.

Hal menarik lainnya, adalah penggambaran budaya pop yang ternyata sudah juga teracuni oleh ajaran misterius (baca : Kabbalah), dimana dalam acara MTV baru2 ini Madonna melakukan inisiasi ke Britney Spears dan Christina Aguilera, dengan cara berciuman, setelah mendaki 13 anak tangga lantas, menunjuk latar belakang piramida di atas panggung sesuai ajaran Kabbalah. Sangat mengagetkan bahwa dari kaca mata simbologi aktivitas organisasi ini ternyata sudah sangat terang2an.

Mata kita juga menjadi terbuka, bahwa organisasi ini sudah eksis sejak lama di Indoenesia, bahkan menumpang pada aktivitas VOC, yang ditunjukkan kemiripan-nya oleh Rizki dengan lambang Freemason dan Bintang Daud. Hal ini juga terlihat pada desain bangunan seperti Staad Huis Jakarta yang menggunakan 13 batu pada gerbang-nya, dengan batu paling atas sebagai “Keystone” lengkap dengan ukiran mawar-nya. Begitu juga dengan makam2 tua petinggi Belanda di Jakarta yang sangat jelas lambang yang terukir di nisan-nya. Sebagaimana lorong2 rahasia di bawah Jakarta, begitu juga Monas yang merupakan bentuk lain obelisk serta Bundaran HI, yang terlihat sebagai “Eye of Horus” dari langit Jakarta. Khusus Monas dan dan Bundaran HI, meski bukan dibangun oleh Belanda, Rizki mensinyalir kelompok desain membuat ini berdasarkan instruksi khusus.



Akhir dari buku ini terkesan aneh, tiba2 kita dibawa Rizki untuk menyadari potensi The Jacatra Secret sebagai bagian dari wisata Jakarta, sebagaimana Da Vinci Code di Prancis yang kini lokasi2 dalam bukunya menjadi salah satu aktivitas dari bisnis wisata, yang juga melibatkan beberapa daerah lainnya di Eropa. Saya merasa hal ini agak sedikit salah tempat, karena suasana serius yang terbangun sejak awal mendadak jadi agak konyol.

Kesimpulan, buku ini membuat kita lebih berhati hati lagi kedepan-nya, karena apa yang ditulis oleh Rizki sebagian besar adalah fakta yang mau tak mau kita saksikan selama ini namun kita seakan terbutakan. Bahwa Negara Indonesia sebenarnya masih berada dalam penjajahan gaya baru, lewat konspirasi media, konspirasi finansial dunia, konspirasi perusahaan medis dan makanan, dll. Semoga buku2 seperti ini dapat menjadi bahan bakar bagi nasionalisme Indonesia dalam menghadapi globalisasi. So bagaimanapun, buku ini sangat layak jadi koleksi anda.

Thursday, December 08, 2011

Adrenaline Mob

Ini album menarik, meski digawangi Mike Portnoy (ex “Dream Theater”) dan Russel Allen (side project ybs karena masih aktif di “Symphony-X” dan bahkan baru merilis “Iconoclast” yang cukup “keriting” komposisi-nya) notabene dikenal sebagai tokoh progressive metal, tetapi malah membuat album yang lebih kental ke Heavy Metal. Bagi saya pribadi keluarnya Portnoy dari Dream Theater sepertinya tidak mempengaruhi kualitas album terakhir mereka, dilain pihak terlibatnya Portnoy dalam “Adrenaline Mob” seakan akan menegaskan dia masih layak dijuluki salah satu drummer metal terbaik. Permainan Portnoy disini seperti biasa tetap kreatif, akan tetapi dari sisi sound sepertinya di desain agar lebih tebal dan cocok dengan karakter “Heavy Metal”, dan khusus untuk “double bass”, permainannya lebih rapat dan ganas di banding saat di “Dream Theater”.

Sementara bagi Russell Allen, yang cukup aktif sebelumnya dalam side project bersama Jorn Lande dalam “Allen-Lande” kolaborasi dengan Mike Portnoy sepertinya merupakan kombinasi yang ditunggu-tunggu bahkan tidak tangung tanggung, Allen juga merangkap sebagai produser dalam album ini. Kenapa menjadi hal yang ditunggu-tunggu ?, karena Mike sendiri pernah mengakui bahwa dia fans Symphony-X saat rilis album “Paradise Lost”, sayangnya kolaborasi ini bukan dalam konteks Allen menggantikan La Brie di Dream Theater, tetapi justru membuat wadah baru, padahal jika saja Allen menggantikan La Brie dan Portnoy masih tetap di Dream Theater ini kan menjadi sinergi yang cukup menghebohkan.
Kenapa saya berpendapat seperti itu, karena “keunggulan” Allen dan Portnoy sepertinya sulit diimbangi Mike Orlando meski sudah didampingi Rick Ward di seksi ritem. Dalam hal ini kualitas Orlando masih dibawah melodius-nya Petrucci di Dream Theater ataupun ganas-nya riff ala Romeo di Symphony-X begitu juga permainan Paul Di Leo sepertinya standar2 saja.

Hanya merilis 5 track, dengan cover sangat jelek meski meniru desain cover novel Mario Puzo "The Godfather" (untuk standar progressive yang biasanya menggarap artwork secara serius), Album ini tetap layak menjadi koleksi, meski buat fans dengan background progressive metal akan terasa biasa saja, akan tetapi buat fans dengan background Heavy Metal layak untuk jadi referensi khususnya bagaimana permainan progressive mempengaruhi track Heavy Metal.

Khusus track 5 “The Mob Rules”, surprise banget mendengar bagaimana Allen menyanyikan lagu Dio saat masih di “Black Sabbath”, benar2 pas dan klop, layaknya Once menyanyikan lagu Sting.  Tak jelas benar apakah nama “Adrenaline Mob” ada hubungan-nya dengan lagu ini, tetapi khusus di track ini permainan Orlando boleh-lah dengan “picking harmonic” disana sini, sehingga bisa dikatakan terbaik diantara track2 lain.

Wednesday, December 07, 2011

Down To Earth

Ini bukan cerita tentang salah satu Album Rainbow terbaik yang kebetulan berjudul “Down To Earth” yang merupakan tonggak prestasi bagi si suara serak Graham Bonnet, tetapi cerita tentang penting-nya membumi, sebagaimana puasa yang mengajarkan kita untuk memahami penderitaan orang lain atau kisah penguasa zaman dahulu yang kerap menyamar untuk mengetahui bagaimana kondisi rakyat di bawah pemerintahan-nya. Saat ini kita sering sekali melihat pejabat naik kendaraan mewah di kawal polisi bersepeda motor besar dengan sirine meraung raung dan dengan arogan-nya menyingkirkan semua orang dari jalan yang mereka tempuh, lantas bagaimana dia tahu penderitaaan rakyat dengan menempuh jalan macet atau berdesak desakan saat menggunakan sarana transportasi massal ? Itu sebabnya kita berharap banyak pada pemimpin seperti Dahlan Iskan yang baru2 ini "Down To Earth" ikut naik Kereta Listrik untuk memahami bagaimana seharusnya bisnis ini dijalankan.

Dalam karir saya selama lebih dari 20  tahun di dunia IT, belum pernah saya memiliki atasan yang usianya lebih muda, namun satu tahun terakhir terkait mundurnya ex Direktur saya, karena memutuskan untuk berkarya di luar perusahaan, maka Presiden Direktur menunjuk salah satu manajer senior untuk menduduki posisi tersebut.


Awalnya karena tadinya selevel dan berada dalam Direktorat yang sama tentu bukan hal yang mudah bagi saya ataupun beliau untuk mencari cara2 yang pas dalam berkomunikasi dan membentuk sinergi. Dan karena selama ini kami cuma bertemu dalam meeting, saya juga cuma punya kesan sepintas dan cenderung dari sisi luar saja. Bagi beliau IMHO mungkin tidak nyaman juga mempunyai team yang tadinya selevel lalu berubah menjadi level yang lebih rendah dan bahkan (seperti saya) yang usianya lebih tua sebaliknya buat saya juga rasanya aneh juga untuk pertama kali memiliki atasan yang lebih muda.

Meski satu dua bulan pertama terasa tidak nyaman, tetapi saya selalu berpikir pasti ada hal2 positif yang bisa saya pelajari dari beliau, demikian juga harapan saya sebaliknya. Dengan berjalan-nya waktu meski mulanya sulit, saya mulai melihat ada hal2 positif seperti kemampuan khusus beliau pada hal2 yang berbau angka sehingga mendorong saya untuk mulai meminati hal yang sama, meski minat saya lebih ke aspek teknis, analisa, dokumentasi, implementasi dan prosedur kerja. Lambat laun saya merasa ada peningkatan dalam diri saya sendiri untuk mampu memahami hal2 baru khususnya “financial things”. Bukan cuma itu, beliau juga  memiliki kemampuan khusus dalam memrediksi kebijakan Presdir, sehingga apa yang harus kami siapkan sebelum meeting biasanya membuat meeting menjadi lebih lancar. Hal tambahan yang menarik, beliau sangat sabar dan senang berbagi ilmu yangdia miliki, sehingga hubungan kami menjadi lebih positif. 

Suatu saat, kami mengalami masalah yang cukup berat, yaitu lemahnya monitoring pergerakan perangkat dalam salah satu proyek besar. Sehingga yang seharusnya sudah terdeploy ternyata masih tertahan di Gudang ekspedisi. Sedangkan petugas yang seharusnya melakukan proses final sebelum deployment sudah keburu diberangkatkan ke puluhan lokasi di Indonesia. Setelah mengetahui situasi yang cukup “berat” di lapangan, maka Direktur saya memutuskan untuk melakukan gerak cepat mengumpulkan semua SDM yang tersisa di suatu sore,  termasuk manajer dan manajer senior untuk turun langsung ke lapangan.

Maka pada hari yang disepakati setelah menyantap sarapan berupa sekian puluh porsi nasi pecel berserta peyek kacang, yang dibawa oleh Direktur saya dan datang paling pagi, maka kami memulai pekerjaan dari pemindahan asset, unpacking, cloning, packing, ratusan unit di Gudang perusahaan ekspedisi salah satu rekanan kami.

Setelah kerja keras dari jam 08:00 pagi sampai 20:00 malam akhirnya ratusan unit tersebut berhasil kami selesaikan, dengan melibatkan puluhan Staff, dua Manajer, satu Manajer senior dan satu Direktur yang langsung turun. Tangan beliau bahkan sempat berlumuran darah karena terkena bagian perangkat yang kebetulan cukup tajam, tapi tak menghentikannya untuk terus bekerja bahu membahu. Surprise buat saya karena pimpinan yang langsung turun ternyata memberikan dampak dan semangat yang luar biasa bagi keseluruhan team, dan hal ini menginspirasi saya untuk dapat menjadi pimpinan yang lebih baik lagi. Singkat kata selalu lah fokus pada "isi" dan jangan melulu terjebak pada "kemasan" atau kesan sepintas dalam menilai seseorang, maka dengan demikian kita akan selalu mendapatkan manfaat positif dari lingkungan dimanapun kita berada.

Solusi vs Kambing Hitam

Ada banyak cara orang untuk memimpin, akan tetapi ciri khas seorang pemimpin yang hebat adalah berani mengambil putusan (meski tidak populer), kreatif (menyempurnakan mekanisme kerja) dan inovatif (mampu berpikir secara “out of the box”), tegas, dan mampu memotivasi serta menjadi contoh bagi team-nya.
Sepanjang karir, kerap saya menemukan pimpinan dengan karakter yang berbeda, memang tidak ada yang sempurna sebagai pemimpin, meski demikian selalu ada hal2 menarik yang dapat kita pelajari dari setiap pimpinan, lalu belajar darinya serta dikombinasikan dengan hal2 terbaik dari pimpinan yang lain dan menjadikannya sebagai style kepemimpinan kita sendiri.
Salah satu atasan saya ketika masih bekerja di salah satu pusat komputer di perguruan tinggi di Bandung, pernah menghadiri rapat yang diadakan karena telah terjadi sesuatu yang fatal dalam operasional organisasi kami. Saya ingat saat itu bagaimana kami saling menyalahkan antar departemen dalam satu ruangan sehingga suasana semakin panas. Ketika suasana semakin tidak terkendali lalu beliau berkata “Maaf jika forum ini digunakan mencari siapa kambing hitam-nya, maka saya tegaskan bahwa forum ini sudah selesai karena sayalah kambing hitam-nya, tetapi jika forum ini gunanya untuk mencari solusi dari apa yang sudah terjadi, maka ayo kita sama2 hadapi masalah ini, cari solusinya dan pastikan hal ini tidak terjadi lagi kedepan”.

CODEX - Rizki Ridyasmara

Kelamaan menunggu novel terbaru Dan Brown ?, untuk pencinta buku di Indonesia rasanya tidak perlu khawatir lagi, karena karya2 novel Rizki Ridyasmara sang “Dan Brown Indonesia”siap menemani anda.

Begitu melihat papan iklan di "Toga Mas" Buah Batu - Bandung saya teringat nama Rizki ini cukup akrab beberapa tahun yang lalu dan buku yang saya lihat saat itu di “Gunung Agung” Jakarta Pusat adalah “Knights of Templar, Knights of Christ”, hanya saja karena waktu itu tidak begitu kenal penulis-nya saya urung untuk menambahkannya dalam koleksi buku di rumah. Ketika saya melihat lagi buku2 karya Rizki Widyasmara yang terbaru, seperti “CODEX”, “The Jacatra Secret” dan “The Escaped” saya jadi penasaran. Karena kebetulan di “Toga Mas” Buah Batu hanya ada dua saja, maka saya putuskan untuk memboyong kedua buku ini dulu saja. Ternyata begitu memulai halaman2 pertama “CODEX” saya kok menangkap aura “Dan Brown” meski dengan setting cerita yang berbeda dan sebagaimana buku “Dan Brown” memang sangat sulit untuk berhenti membacanya. Akhirnya meski “CODEX” belum selesai, saya putuskan untuk langsung memburu “The Escaped”, dan di “Toga Mas” Supratman buku ini saya dapatkan juga meski  “Knights of Templar, Knights of Christ” masih belum berhasil saya dapatkan dan masuk menjadi target perburuan berikutnya.



Kembali ke CODEX, buku ini mengingatkan saya akan ceramah ustadz Jerry D. Gray di musholla Wisma Metropolitan, yang buku-nya “Deadly Mist” ternyata memang menjadi sumber inspirasi dari Rizki, dan lantas memutuskan untuk mengubah-nya menjadi novel dengan setting Milan, Venesia, Parma, dan Jakarta. Sebagaimana kisah di dunia nyata mengenai kematian ratusan ilmuwan secara misterius yang terkait program rahasia pemerintah Amerika dengan “lobby Yahudi” di belakang-nya begitu jugalah buku ini dimulai.

Dengan tokoh utama seorang ilmuwan wanita yang menjadi target perburuan CIA terkait bocornya informasi dalam sebuah microchip mengenai program pemerintah AS dalam mengurangi populasi manusia, serta mantan suaminya yang  berlatar belakang mantan pasukan SAS Australia yang memutuskan menjadi novelis di Jakarta, cerita inipun dimulai. Dua organisasi mafia Italia pun dlibatkan untuk menambah seru cerita, yang konon memang punya latar belakang kerja sama dengan CIA.


Cara bercerita Rizki juga sepertinya dipengaruhi gaya sinematografi , seperti perpindahan adegan satu ke yang lain. Bab2 singkat yang kadang hanya terdiri dari dua halaman, untuk menggambarkan adegan paralel. Dan akhirnya membentuk satu cerita utuh. Meski demikian, tidak ada yang sempurna, bagi saya cara Rizki mengutip kumpulan artikel internet mengenai keterlibatan AS dalam kolusi pemerintah (baca industri senjata) dan industri farmasi terlalu apa adanya sehingga pada bagian2 tertentu terkesan tidak seperti membaca suatu Novel. Ada baiknya bagian2 yang terlalu teknis seperti ini cukup dijadikan lampiran saja. Selain itu dalam percakapan tokoh2nya kadang topik mengenai Indonesia terlalu dipaksakan yang terkesan lebih menyuarakan pendapat Rizki secara pribadi.


Hal menarik lainnya adalah pengetahuan Rizki mengenai persenjataan yang boleh dikatakan mendetail, mengingatkan saya seperti yang ditunjukkan “Frederick Forsyth” dalam novel “The Day of The Jackal” yang termasyhur itu. Untuk hal ini boleh dikatakan Rizki melebihi  “Dan Brown”. Selain persenjataan, seluk beluk Venesia, Milan dan Parma yang mengesankan Rizki seakan akan pernah disana, serta sindikat mafia Italia, juga sangat menarik dan diceritakan secara detail termasuk arti kata Cosa Nostra, yang disinyalir oleh Rizki ada hubungannya dengan kolonisasi pasukan muslim pada daerah tsb beberapa abad yang lalu mengutip hadist Nabi mengenai “Sesungguh komunitas muslim  bagaikan satu tubuh…”. Tetapi yang paling menarik bagi saya adalah terbukanya misteri pohon “Gharqad” yang sering disebut sebagai pohon Yahudi, dan ada dalam salah satu hadist Nabi, yaitu tak lain dan tak bukan adalah pohon yang sangat akrab dengan dunia kita, yaitu pohon pinus, dan yang juga menjadi lambang Mossad, serta saat ini menjadi obyek yang digunakan dalam target penghijauan kawasan Israel.

Akhir kata, putusan Rizki Ridyasmara untuk menyampaikan fakta via novel,sepertinya patut diancungi jempol, meski publikasi dan penerbit yang dipilih mungkin tidak cukup "berusaha" menyampaikan karya bagus ini ke lebih banyak pembaca.



Friday, December 02, 2011

9 Summers 10 Autumns - Iwan Setyawan

Rasanya tidak aneh kalau Iwan mengakui bahwa dirinya adalah pencinta sastra semacam Dostoyevsky sang novelis Rusia, karena buku yang dia tulis menggunakan style yang tidak umum seakan akan merupakan wawancara imajiner dengan sosok-nya ketika kecil dan masih berseragam putih merah. Dan duet kedua tokoh beda masa ini, menggiring pembaca dengan cara flashback sambil secara paralel masih bercerita tentang kekinian, sehingga akhirnya kita jadi jelas kenapa Iwan berada di New York. Bagi yang terbiasa membaca biografi dengan model linier, bisa jadi agak sedikit kaget dengan cara Iwan bercerita. Cara bercerita ini mengingatkan saya akan salah satu film besutan M.Night Shyamalan dan dibintangi Bruce Willis serta Haley Joel Osment yang pernah saya tonton beberapa tahun yang lalu, tepatnya “The Sixth Sense”, dimana salah satu tokoh yang kita kira manusia, di akhir film ternyata sosok “halus”.

Meski tidak setebal ataupun bahkan bersambung seperti Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi, tetapi buku yang terbilang tipis ini mampu menjelaskan secara komprehensif tentang sosok Iwan. Salah satu hal paling unik di buku ini adalah obsesi Iwan melanglang buana justru dipicu oleh hal yang sangat sederhana, yaitu ingin memiliki kamar tidur sendiri, maklum kondisi ekonomi Ayah Iwan yang hanya seorang supir angkutan jebolan kelas 2 SMP dan sosok Ibu yang tidak tamat SD, tinggal di rumah yang sangat sempit 6x7 meter dengan total tujuh anggota keluarga.



Pesan Iwan dalam buku ini juga sederhana tetapi mengena, yaitu bersungguh sungguhlah dalam bekerja dan selalu menjalin hubungan baik dengan sesama, hal ini tentu didasarkan pada kesempatan pertama untuk bekerja di Jakarta tepatnya Nielsen didapat Iwan dari seorang kenalan di Warung Nasi, serta kesempatan kedua bagi Iwan untuk berkarir di New York sampai akhirnya sepuluh tahun kemudian menjabat salah satu posisi Direktur di Nielsen New York, justru dari informasi sosok yang “tidak disukai” di Kantor, dan ternyata memperhatikan kualitas Iwan secara diam2.

Siapa tokoh paling penting bagi Iwan ? dalam buku ini Iwan menggambarkan Ibu hampir disetiap Bab, baik petuah2nya, cara hidupnya, ketabahannya, dan bagi Iwan tanpa Ibu sudah pasti dia tersesat. Dengan cinta, motivasi dan doa, sosok Ibu selalu memberikan dorongan yang tidak habis habis. Ibu juga selalu berusaha agar setiap kali makanan yang dimasak pas dan tidak bersisa, serta Ibu juga dilukiskan Iwan sebagai sosok yang ahli membuat dadar supir tipis bagi tujuh anggota keluarga dengan potongan ala pizza.

Membaca buku ini rasanya sangat dekat bagi saya secara pribadi, karena ketika Iwan melukiskan orang2 berdasi di Sudirman, yang merupakan obsesi Iwan, saya mendadak menyadari kalau saya sendiri juga bekerja di kawasan yang sama (meski jarang berdasi), begitu juga ketika Iwan melukiskan kehidupan di Batu, yang juga cukup akrab dengan saya, karena beberapa kali berlibur kesana mengunjungi kakak perempuan saya yang memang berdomisili di Batu. Salut juga buat keputusan Iwan yang di puncak karir justru kembali ke Batu, demi ikut terlibat dalam mengangkat harkat dan martabat anak2 yang punya potensi namun memiliki keterbatasan.

Pastikan ada peluang, baru investasi kemudian.

Saat kuliah aku dan sahabat karibku (yang sekarang merantau ke New Zealand setelah sempat ikut proyek pembuatan salah satu film komedi bersama Padhayangan), membuat ikatan mahasiswa penggemar fotografi. Ternyata dapat sambutan yang cukup hangat, dan bukan cuma yang berminat pada fotografi ikut bergabung melainkan juga yang berminat menjadi model. Pada masa itu hobi fotografi masih sangat mahal, bukan cuma karena kamera tetapi lebih ke film dan proses cuci cetaknya. Uniknya perasaan deg2an menunggu hasil pencucian lalu proses cetak menjadi sensasi tersendiri yang saat ini mungkin tidak lagi diperlukan karena kita bisa langsung melihat hasilnya via memory card yang sudah built ini dalam perangkatnya.

Singkat kata setelah beberapa kali kegiatan klub fotografi, di mana  kami dapat dengan bebasnya memotret para model kampus yang tercantik atau paling tidak merasa dirinya “cantik”, kami mulai tertarik untuk aktivitas yang berbau bisnis, lantas dengan perangkat ala kadarnya milik sahabatku, dan juga dengan modal pengalaman-nya sebagai salah satu fotografer majalah wanita ibukota, serta bantuan kakak perempuanku yang kebetulan bekerja di Savoy Homann, salah satu Hotel yang menjadi “landmark” Bandung dan terletak depan Gedung Asia Afrika, kami membuat brosur, yang berisi profil hotel tsb, lengkap dengan desain grafisnya serta efek fotografi yang kami buat dengan satu set filter “cokin”. Lantas draft brosur tersebut oleh Kakakku diserahkan ke General Affairs Dept Hotel, yang dengan serta merta ternyata menyatakan ketertarikannya pada karya kami. Lantas kami ditawarkan untuk membuat brosur,dan diberi kesempatan untuk tinggal beberapa malam di Hotel (termasuk Hotel Panghegar yang pada saat itu memang satu group dengan Savoy Homann), mengamati kegiatannya, mendokumentasikan obyek2 paling menarik seperti Restoran Berputar di atap Hotek Panghegar.

Sejak saat itu kami mulai mendapatkan proyek2 lainnya selain sesekali memotret pernikahan, disamping itu kamipun mulai dapat order dari Hotel lainnya seperti Hotel Pasundan. Namun kami sering sekali kesulitan dengan lampu ala kadar-nya yang kami miliki begitu juga dengan kamera yang kami gunakan. Meski sahabatku sudah menggunakan Nikon dan aku sendiri Pentax, tetapi kami tidak memiliki lampu yang lebih baik serta Polaroid yang memungkinkan pengambilan awal untuk memastikan semua pencahayaan sudah sesuai. Kami juga tidak memiliki “spot meter” ataupun “light meter” untuk mengukur intensitas cahaya sehingga dapat menentukan “diafragma”, “asa” dan “shutter speed” yang sesuai.

Karena berambisi dapat menghasilkan karya yang lebih baik, maka kami mulai berpikir untuk mencari modal. Saat itu aku teringat adik ibu yang paling kecil dan yang tersukses di antara Ibu bersaudara akan datang ke Bandung. Lalu aku dan sahabatku segera menyiapkan presentasi sederhana mengenai usaha yang kami bangun ini. Beliau manggut2 mendengar betapa begitu menggebu gebu dan bersemangatnya kami. Setelah panjang lebar bercerita dengan berbusa busa serta menyebutkan suatu nilai yang kami perlukan, Paman lalu bertanya mana “pipeline” kami, dan berapa potensi per item prospek dan kapan terealisir pengembalian dana-nya. Sangat kaget mendengar pertanyaan itu, kami cuma bisa terdiam. Lalu Paman berkata, ini bukan soal duit tetapi bagaimana pertanggung jawaban kalian terhadap pemodal, dan belajarlah meyakinkan orang secara komprehensif.

Saat itu aku sangat malu pada sahabatku, mengingat kami sejak awal berpendapat bahwa Paman adalah jalan keluar dari kesulitan finansil kami, tetapi dengan berjalannya waktu, kini aku menyadari apa yang dimaksud Paman, sebagai investor sejati sangat wajar Paman meragukan nilai yang ditanam dapat berkembang, kalau kami sendiri tak tahu persis situasi pasar. Hal ini menjadi sesuatu yang selalu aku ingat hingga sekarang.

Wednesday, November 30, 2011

Denpasar, kampung halaman kedua.

Saat usia ku 8 tahun, aku meninggalkan Sibolga menuju Denpasar, sekeluarga kami menaiki pesawat Garuda dari Medan. Keluarga Ayah yang memang kebetulan banyak berdomisili di Medan mengantar kami ke Polonia.  Itu pengalaman pertama ku menaiki pesawat, rasanya sangat senang bisa terbang dan dapat permen. Seingatku kami menggunakan DC10 yang saat itu memang merupakan armada yang banyak dimiliki Garuda.

Sesampainya di Denpasar, oleh perusahaan Ayah kami ditempatkan di sebuah rumah di jalan Gadung Nomor 2A - Kreneng. Kenapa menggunakan Nomor 2A ?, karena untuk menuju kerumah kami harus melewati Gang, sedangkan Nomor 2 sudah lebih dahulu digunakan rumah di sebelahnya yang persis menghadap ke jalan besar.  Di belakang rumah, berdiri tangsi militer yang dihuni asrama keluarga Brimob, sedangkan berjalan sedikit ke belakang rumah berdiri stadion sepakbola Ngurah Rai yang saat itu sangat ramai apabila Perseden (Persatuan Sepakbola Se Denpasar) bermain. Ke kanan sedikit berdiri Lila Buana, salah satu bioskop dan pusat keramaian diwaktu malam.

Aku sekolah di SD Negeri 16 di Jalan Mawar, untuk ke sekolah cukup berjalan kaki dari Rumah, melewati jalan di sebelah Stadion Ngurah Rai.  Berbeda dengan propinsi lain, di Bali saat itu jika bulan Ramadhan kami tidak libur, sebaliknya saat Galungan, Kuningan maupun Nyepi kami justru libur. Jadi bulan puasa di Bali terasa sangat berat, apalagi cuacanya relatif cukup terik. Saat aku sekolah disini, Pemerintah dibawah Menteri Pendidikan Daoed Joesoef menyesuaikan waktu lulus, sehingga aku harus menyelesaikan SD 6,5 tahun. Guru2 di setiap kelas hanya satu, dan dia mengajar semua jenis pelajaran, mulai dari menggambar, bahasa, sampai metematika. Aku sangat menonjol di kesenian, khususnya menggambar dan seni suara. Saat itu aku acapkali bahkan menerima pesanan gambar dari teman2 satu kelas selain mewakili sekolah dalam lomba gambar.


Permainan di Sekolah ku saat itu adalah main Gambaran, yaitu menggunakan sekumpulan kartu bernomor yang tadinya digunting dari komik dari selembar kertas karton, umumnya diadaptasi dari cerita silat cina. Permainannya mirip judi dengan menebak angka, yang kalah harus merelakan tumpukan kartunya pindah ke anak lain.  Permainan lain adalah tukar menukar bungkus rokok dengan menggunakan batu, semakin langka bungkus rokoknya semakin mahal nilainya, dan dapat dibarter dengan bungkus rokok yang lain. Main bola juga kami lakukan, akan tetapi menggunakan bola tenis, jika tidak ada bola tenis maka kami menggunakan gumpalan kertas yang dibungkus plastik dan diikat karet. Tetapi khusus untuk anak lelaki tidak ada permainan yang lebih menarik selain berkelahi secara bergerombol, biasanya anak yang paling kuat akan menantang beberapa anak lain, lalu terjadilah perkelahian yang seru. Hasil perkelahian akan menentukan rangking “kehebatan” khusus anak lelaki. Anak lelaki paling kuat bernama Lojor, keturunan Timor, badan hitam dan rambut keriting, tubuh-nya tinggi bahkan lebih tinggi dari beberapa guru kami, serta penuh bekas luka perkelahian dan sudah tinggal kelas beberapa kali (begitu besarnya Lojor, sehingga meski anak SMA/STM pun harus berpikir dua kali kalau harus berhadapan dengan-nya).

Menjelang penerimaan Raport, guru2 kami membagi anak2 menjadi beberapa group, ada yang tugasnya membawa piring, taplak, bunga, ada yang membawa beras, ikan, bawang putih, bawang merah, saledri, telor, daging, cabe, garam dan ada yang membawa kompor, minyak goreng dan minyak tanah. Lalu ruang kelas disulap menjadi ruang makan dan dapur, khusus buat guru disediakan meja terpisah, maka anak lelaki kebagian menyiapkan ruangan, dan anak perempuan menyiapkan masakan. Saat seperti ini kami bebas dari tugas belajar. Setelah semua beres dan kami mulai kelaparan, kami masih harus menunggu semua guru makan, barulah kami bisa makan. Saat itu meski sebagai anak kecil aku merasa situasi ini sangatlah tidak adil dan ingin rasanya protes kenapa kami tidak makan bersama sama saja, bukan hal yang mudah bagi kami menunggu guru makan sambil bersenda gurau sementara perut kami sudah berbunyi nyaring akan tetapi momen itu tetap menjadi momen yang berkesan bagi ku.

Saat kami di Denpasar, keluarga besar Ayah dan Ibu saat musim liburan sangat banyak yang berkunjung ke rumah kami, tidak seperti di kota sebelumnya, setelah dewasa aku baru menyadari bahwa Denpasar masih merupakan tujuan wisata yang berkesan “wah” bagi turis domestik. Dengan tinggal di rumah kami, keluarga besar tentu dapat berjalan jalan dengan menghemat biaya, apalagi setelah kami pindah ke Jalan Komodo 21 di Sanglah (atau Jalan Fajar 1 No 1, yang mempunyai 2 alamat karena terletak di pojok jalan) yang rumahnya jauh lebih besar dari Rumah di jalan Gadung, serta banyak pohon mangga dan pisang. Selain itu aku rasa kenapa rumah kami jadi lebih ramai adalah karena Ayah dan Ibu adalah sosok2 yang ramah dan kekeluargaan, sehingga keluarga besar tidak perlu sungkan2. Bahkan Ayah kerap mengusahakan pinjaman Supir dan Mobil Land Rover dari Kantor sehingga memudahkan kami berjalan jalan.





Lokasi favorit saat itu adalah Tampak Siring (istana presiden), Art Center, Tanah Lot (Pura di atas karang laut),  Uluwatu (pura di ujung tebing batu dengan pemandangan laut menerjang karang) , Danau di Gunung Batur, Gunung Agung, Pura Besakih, Sangeh (dan hutan monyetnya), Kuta (pantai dengan pasir putih dan ombak dahsyat) dan Sanur (pantai dengan pasir coklat). Sanur lebih banyak dikunjungi wisatawan domestik, sebaliknya Kuta dikunjungi wisatawan luar. Nusa Dua saat itu masih menjadi lokasi yang sangat sepi, dan baru mulai dikembangkan. Khusus Kuta saat itu sangat banyak turis luar yang telanjang, tetapi karena masih kecil, aku menganggap itu hal yang biasa saja, hanya sepupu2ku yang beranjak dewasa dari Jakarta sering sekali datang dan minta ditemanin ke Kuta menyusuri pantai sambil menelan air ludah melihat tubuh2 telanjang turis, sementara aku dengan polosnya malah mengasah kemampuan statistika dengan menghitung berapa banyak lelaki, wanita tanpa penutup dada, dan serta wanita polos seutuhnya, tanpa aku sendiri memperdulikan sosok telanjang mereka. Pernah juga aku melihat satu keluarga dengan anak2 yang sudah remaja telanjang semua.

Saat musim liburan berlalu, setiap 2 minggu sekali Ayah mengajak kami ke Sanur Seaside Cottage. Lokasi ini terletak di kawasan Sanur dan di dalamnya terdapat puluhan cottage mewah dengan atap daun kelapa, dan di bagian tengah terdapat kolam renang berbentuk kacang yang menghadap ke pantai. Di sini biasanya kami menghabiskan hari Minggu dengan berenang sepuas-nya. Abang ku juga memperlancar bahasa inggrisnya dengan mengajak bule2 tersebut berbicara. Setelah berminggu minggu aku dan abang ku akhirnya bisa berenang, meski pernah hampir tenggelam. Saat lelah kami bersenda gura sambil menyantap Bakwan Udang. Dalam perjalanan ke sini, Ayah memang biasanya berhenti di jalan untuk membeli jajanan seperti Bakwan Udang di Toko “Rini”.  Karena Ayah tidak bisa menyetir meski ada tawaran kendaraan dinas dari Kantor, aku dan abangku ikut Ayah mengendarai motor, sambil mengikuti kakak perempuan dan adik perempuanku yang menumpang angkutan kota menuju Sanur. Ibu selalu dan seperti biasa lebih senang di rumah mengurus pekerjaan menjahitnya. Di Sanur Ayah juga memiliki “musuh”, tepatnya pemain catur bayaran, kadang Ayah berhenti untuk menantang-nya dalam satu atau dua permainan, dimana jika kalah Ayah harus membayar tetapi jika menang boleh main lagi. Sepulang dari Sanur, jika kebetulan kedua saudara  perempuanku tidak ikut, Ayah mengajak kami makan sate , soto panas dengan nasi mengepul hangat, saat lelah setelah berenang, makan sate disini seperti menyantap makanan dari Surga.

Setelah pindah rumah, aku terpaksa menaiki bemo roda tiga, dari Sanglah ke Kreneng. Saat itu aku kadang menaiki bemo bersama sorang gadis kecil berambut panjang dengan koper “Echolac” yang juga pergi sekolah. Rasanya saat itu aku mulai menyadari kalau mulai ada perhatian pada lawan jenis, namun kami tidak pernah benar2 berbicara, hanya saling lirik saja. Suatu saat aku pernah duduk persis disamping-nya, jantung ku berdebar kencang, namun tak jua ada kata yang dapat diucapkan. Momen itu menjadi semakin dahsyat saat dia menoleh ke arahku saat aku juga menoleh ke arahnya, wajah kami menjadi sangat berdekatan dan rasanya aku dapat merasakan hembusan hangat nafasnya, lalu dengan cepat kami menoleh kearah berlawanan dengan malu yang sangat, pipi2 yang memerah serta jantung yang rasanya mau keluar dari dada.

Dengan salah satu sahabat ku bernama Budi yang berasal dari Jawa Barat yang juga hobi membaca serta tinggal di jalan Arus, juga abang-nya, adiknya, abangku serta seorang anak lain, kami sepakat membuka usaha perpustakaan Mini Arus. Disini aku belajar berbisnis, bagaimana menyisihkan dana, melakukan pembukuan, menagih buku2 yang belum dikembalikan serta belanja buku2 baru. Cerita menarik disini adalah abang-nya Budi sempat jatuh cinta pada seorang pelanggan kami namun hanya dapat melampiaskan rasa gemesnya pada adik balita-nya sang gadis, selain itu hal menarik lainnya pengalaman menagih buku perpustakaan yang dipinjam anak tukang sampah (dan akhirnya baru kami tahu kenapa buku yang dia pinjam selalu kembali dalam keadaan lembab dan bau).

Kami pernah mengalami pengalaman cukup menegangkan saat di Jalan Komodo 21, ketika hari raya Nyepi, Ayah yang memang sangat suka menonton TV tak dapat menghentikan hobi-nya yang satu itu.  Jadi meski semua lampu di rumah sudah dimatikan, serta setiap lubang yang berpotensi membocorkan cahaya dari rumah ke luar ditutup dengan selimut serta sarung, tetapi ternyata masih ada cahaya yang lolos. Kami baru menyadari ada yang tidak beres setelah mendengar suara gaduh di atap rumah saat beberapa pemuda dan tetua Banjar melempari rumah kami dengan batu, dengan wajah marah. Segera Ayah mematikan lampu dan kami semua berkumpul di kamar sampai orang2 Banjar beranjak pergi.

Setelah menamatkan pendidikan di SD Negeri 16, aku melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 1 Denpasar di Jalan Surapati, didekat patung Dasamuka, sayang belum sempat masuk sekolah kami sekeluarga sudah keburu pindah ke Bandung. Dengan menaiki Bis ke Surabaya lalu Kereta Api ke Bandung, aku meninggalkan Denpasar. Saat ini meski tahun demi tahun telah berlalu, aku masih menganggap Denpasar sebagai Kampung Halaman ku. Selalu ada kerinduan untuk kembali ke Denpasar, meski pada kunjungan terakhir, semua yang ada dalam kenangan tak lagi sama dengan realita, dan aku akhirnya menyadari bahwa meski indahnya kenangan akan selalu tersimpan abadi, realita tetaplah identik dengan perubahan.


Tuesday, November 29, 2011

Dimana ada kemauan disitu ada jalan.

Suatu saat adik ibu paling kecil sedang ada tugas terkait proyek studi kelayakan jalur Kereta Api di Sumatera Utara, Karena kantor pusat PT KAI ada di Bandung, maka beliau yang nota bene tinggal di Medan sebagai salah satu staff pengajar di USU (Universitas Sumater Utara), memutuskan berangkat sendirian ke Bandung mewakili USU untuk memastikan proyek ini dapat dijalankan sebaik-baiknya. Karena proposal-nya ternyata harus berubah beberapa kali, maka beliau memutuskan untuk mengontak aku yang saat ini baru tingkat dua dan sedang bekerja (sambil kuliah) di sebuah proyek pembuatan sistem informasi di salah satu perusahaan perkebunan terbesar di Jawa Barat.

Singkat kata selama beliau  mengerjakan proyek tsb, aku dan salah satu sahabatku diminta menjadi asisten beliau untuk membantu menyiapkan tabel2 yang diperlukan, gambar, penjilidan, peng”copy”an dan lain lain, akhirnya setelah berubah berkali kali, maka dokumen tersebut dapat kami selesaikan tepatnya di hari Minggu, karena besoknya harus sudah diserahkan ke PT KAI. Paman kemudian minta agar dokumen tersebut selesai di copy lalu dijilid lantas diserahkan ke hotel dimana beliau menginap.

Saat itu tempat foto copy yang buka di hari libur nyaris tidak ada, akhirnya setelah tanya sana sini, aku dan sahabatku menemukan tempat dimaksud di jalan Kebon Bibit, dan langsung melakukan penggandaan dokumen. Sayang-nya operator jilid tidak masuk pada hari itu, dan tidak satupun petugas yang ada disana mampu melakukan penjilidan. Meski demikian karena menganggap apa yang kami lakukan sudah luar biasa apalagi sudah mengerahkan energi sampai jauh malam, maka aku dengan kepala tegak kembali ke hotel serta konfirmasi progress tersebut pada Paman, sambil berharap Paman memuji apa yang sudah kami lakukan.

Ternyata reaksi Paman, sangat diluar dugaan, yang jelas Paman kecewa dengan hasil foto copy tanpa penjilidan, dan sama sekali tidak bisa menerima alasan kami soal tidak adanya operator jilid. Dan dengan tegas Paman memutuskan untuk bersama sama kami kembali ke tempat penjilidan meski sudah hampir tengah malam dengan si putih vw variant 1968 ku. Disana sesuai dengan apa yang kami ceritakan pada Paman,  petugas di tempat foto copy menyatakan hal yang sama bahwa tidak ada petugas yang bisa melakukan penjilidan dan operator jilid hari itu tidak masuk. Tetapi Paman malah minta ditunjukkan ruangan penjilidan dan minta izin untuk melakukan-nya sendiri, lalu kami dipersilahkan menaiki tangga yang nyaris vertikal ke loteng.

Disana, ditengah tengah tumpukan buku dan dokumen di ruangan yang sangat sempit dan pengap Paman merenung sebentar lalu melakukan test untuk memastikan cara kerja mesin penjilid, setelah beberapa percobaan berhasil, tanpa ragu Paman langsung mencoba dengan laporan yang sebenarnya. Malam itu juga, kami berhasil menjilid semua dokumen yang diperlukan. Dan keesokan paginya Paman menyerahkan dokumen tsb ke PT KAI, dan dapat kembali ke Medan pada hari itu juga.

Aku merasa sangat malu dengan apa yang sudah kulakukan, dan malam itu aku berjanji untuk mengingat ini selalu, sehingga dapat menjadi motivasi untuk selalu berupaya menghasilkan yang terbaik dengan usaha semaksimal mungkin. Istilah internasional untuk effort seperti inilah yang dinamakan "extra miles", dan orang2 yang memiliki karakter seperti inilah yang umumnya dapat meraih sukses.

Tintin (2011) - Steven Spielberg

Menonton film ini jadi ingat ungkapan khas kritikus bagi film2 yang diadaptasi dari buku, ataupun dalam kasus ini tepatnya komik Tintin buatan Herge. Intinya adalah jangan pernah membandingkan karya buku / komik dengan film-nya, karena selalu ada deviasi antara keduanya. Jika sepakat soal ini barulah kita bisa dengan “netral” melihat film ini sebagaimana adanya dan sebagai karya seni yang berdiri sendiri.


Tentu tidak mudah bagi Spielberg menciptakan karakter tiga dimensi dari tokoh2nya begitu juga suara para tokoh sebagaimana Haddock yang dalam film sangat kuat aksen “r”-nya. Selain itu dari sisi cerita juga dicampur adukkan nya tokoh Sakharine dengan keturunan Rackham Merah dan justru menghilangkan Max bersaudara sebagai pemilik Marlinspike. Mengubah Marlisnpike jadi lebih mirip rumah hantu serta menjadikan bulu Snowy menjadi putih kotor. Sudah begitu ceritanya juga dicampur adukkan antara Rahasia Kapal Unicorn dan Kepiting Bercapit emas dan Harta Karun Rackham Merah.

Meski banyak deviasi, akan tetapi sebagai sebuah karya film, ceritanya sendiri menarik dan seru, kecuali adegan dimana Tintin berusaha dan rebutan dengan seekor burung elang peliharaan Sakharine di kawasan Maroko, yang berusaha mengambil ketiga perkamen / naskah tua yang tadinya tersimpan selama beratus tahun dalam tiang utama miniatur kapal unicorn. Adegan ini menurut saya terkesan sangat kartun dan “lebay”.

Adegan awal saat title bermunculan dibuat secara serius dengan model siluet, begitu serius-nya adegan pembuka ini sehingga layak dapat penilaian sendiri, dan mengingatkan saya akan film2 James Bond yang adegan pembukanya selalu di buat dengan sangat serius. Adegan setelah title juga memunculkan sosok Georges Remi secara cameo yang digambarkan sebagai pelukis di pasar barang antik dan sedang melukis Tintin. Sosoknya juga sempat muncul saat adegan menangkap burung kuning kecil saat salah satu figuran pingsan. 

Adegan akhir, memberi pesan bahwa petualangan ini masih akan berlanjut, tentu saja penggemar Tintin masih akan menunggu sosok Prof. Cuthbert Calculus (atau Lakmus), salah satu tokoh legendaris dalam komik Tintin. Sepertinya tokoh ini akan muncul dalam petualangan berikutnya dimana Tintin dan kawan kawan berpetualang ke lokasi tenggelam-nya Kapal Unicorn. Saya pribadi sangat penasaran dengan bagaiman cara Spielberg membagi cerita selanjutnya, misal apakah Harta Karun Rackham Merah akan digabung dengan cerita lain ? apakah penerbangan 714 akan difilmkan ? atau bisa saja perjalanan ke Bulan diubah menjadi perjalanan ke Mars (karena petualangan ke Bulan saat ini bukan lagi menjadi sesuatu yang baru).

Sisi lain yang cukup menarik adalah justru Spielberg yang keturunan Yahudi yang memfilmkan karya Herge yang dulu sempat dapat julukan “Anti Semit”. Akhir kata film ini sangat layak ditonton dengan satu syarat (hanya buat penggemar komik-nya) sebagaimana yang saya jelaskan diatas, yaitu dengan menganggap karya ini sebagai film yang mandiri.

Monday, November 28, 2011

Mimpi Sejuta Dollar Merry Riana – Alberthiene Endah

Kalau harus memilih untuk membeli buku, secara pribadi, buku Merry Riana tadinya belum cukup menarik bagi saya, akan tetapi boleh jadi seperti kata pepatah lama “tak kenal maka tak sayang”, mendadak tidak ada angin dan tidak ada hujan salah satu sahabat baik di kantor menghadiahkan buku ini pada saya. Karena kebetulan Sabtu lalu, istri minta diantar jemput ke kantornya, maka di parkiran sambil menunggu istri saya dapat langsung menyantap setengah dari buku ini dan melanjutkannya lagi hingga selesai menjelang isa.



Berbeda dengan buku kisah sukses seperti Ahmad Fuadi, Iwan Setyawan, Andrea Hirata , yang biasanya mengarang bukunya sendiri, buku Merry justru dibuat oleh orang lain dalam hal ini Alberthiene Endah, sosok pengarang yang sudah tidak asing dengan karya biografi pesohor di negeri ini. Mungkin hal ini juga yang akhirnya justru membuat alur buku ini mengalir lancar, dan dibuka dengan kisah saat ini ketika Merry bersama suaminya kembali ke kampus yang membesarkan mereka dulu sebagai orang sukses, yang lantas disuguhi dengan flash back, kisah perjalan Merry ke Singapore meninggalkan keluarga dan negaranya menempuh kehidupan sebagai salah satu mahasiswa di NTU.

Ada beberapa kesalahan yang menganggu misalnya dimana ketika diangkat kisah bahwa ketika “terpepet” justru disitulah saat dimana manusia dapat menunjukkan potensi terbaiknya Hal. 77, dengan merefer teori Darwin dengan analogi Jerapah yang terpaksa memanjangkan leher untuk survive, padahal seharusnya teori Lamarck. Meski demikian hal2 tersebut tidaklah mengurangi menariknya buku ini.

Hal menarik lainnya adalah Merry penggemar buku Kiyosaki (seperti juga saya) serta Anthony Robbins. Sosok Tony Robbins ini mengingatkan saya akan film komedi Jack Black yaitu “Shallow Hal” yang juga diperankan oleh Gwyneth Paltrow. Dimana dalam film tsb Jack Black bertemu dengan Tony Robbins (yang disebutkan Merry sebagai sosok raksasa bermuka kotak / persegi) terjebak dalam lift yang terkunci, lantas diajarkan bagaimana supaya kita tidak terjebak pada keindahan luar akan tetapi keindahan dalam (baca personality). Tokoh ini juga lah yang akhirnya menginspirasi Merry untuk lebih fokus lagi belajar bisnis, dan mempertaruhkan uang hasil kerja kerasnya berbulan bulan hanya untuk mengikuti seminar Robbins meski hanya bisa duduk di deretan paling belakang.

Fokus buku berikutnya, adalah bagaimana setiap orang harus memelihara rasa lapar dalam dirinya, sehingga secara terus menerus dapat menjaga motivasi untuk berprestasi, yang ternyata dialami juga oleh Merry yang "bingung harus berbuat apa" setelah sukses dicapai. Sehingga dengan suami, dia memutuskan ke Gold Coast dan kembali mengikuti seminar Anthony Robbins, yang mengingatkan bahwa kesuksesan sebenarnya bukanlah sukses secara pribadi melainkan dapat membantu orang lain untuk sukses.

Buku ini juga membuat kita berpikir kembali pada definisi sukses, apakah semua orang harus terobsesi seperti Merry dimana kebebasan finansial sudah dia peroleh di usia yang masih sangat muda ? Bagaimana jika kebahagiaan seseorang misalnya terletak pada hal2 lain, misal komposer, wartawan, tentara dll. Untuk Merry yang keluarganya sempat mengalami masalah ekonomi mungkin jawaban-nya adalah iya, akan tetapi bagi orang lain bisa saja tidak. Meski demikian semangat untuk meraih sukses, bangun meski sudah berkali kali jatuh, merupakan hal inspiratif dalam buku ini. Jadi ini merupakan buku yang sangat direkomendasikan dibaca atau menjadi salah satu koleksi anda. Semoga Merry dapat terus menjadi inspirasi bagi generasi baru negeri ini.

Saturday, October 29, 2011

Ranah 3 Warna - Ahmad Fuadi





Begitu menamatkan Negeri 5 Menara, rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera menyelesaikan Ranah 3 Warna, ya apalagi kalau bukan mengikuti jejak perjuangan Alif dalam mencapai cita2nya. Buku ini terasa lebih serius di banding buku pertama, terutama ketika 
meninggalnya tokoh Ayah sebelum sempat pergi ke Bandung, beratnya tokoh Ibu dalam membiayai sekolah Alif dan adik2nya, perjuangan Alif dalam mencari nafkah dengan berjualan, sampai akhirnya menyadari tidak setiap keturunan Minang punya “darah dagang” serta putusnya percintaan Alif dengan tokoh Raisa.



Bagi yang sedikit bingung dengan “Ranah 3 Warna”, sebenarnya yang dimaksud pengarang, adalah Bandung – Jawa Barat, Amman - Yordania dan Saint Raymond – Canada. Meski khusus Amman sepertinya terlalu dipaksakan, karena lebih mirip sebagai tempat transit sebelum ke Canada. Sebaliknya Canada sepertinya menjadi hal yang sangat khusus buat Alif, terbukti dengan penanda buku yang berbentuk daun mapple dan menjadi lambang dalam bendera Canada.

Surprise ketika pertama kali membaca buku ini, karena kita masih diberi kesan di akhir buku pertama dimana Alif akhirnya dapat menyelesaikan sekolah di Pondok Madani. Tetapi justru kembali memulai hidupnya sebagai “pecundang” di awal buku kedua. Tidak tahu akan kemana, tidak memiliki ijazah untuk masuk ke sekolah umum dan harus mengubur cita2nya masuk ITB. Saya jadi ingat pertemuan tadi malam dengan guru sekolah si Bungsu, yang berkata “pilih mana, anak pintar tapi tidak soleh atau anak soleh tapi tidak pintar”. Pilihan kedua inilah yang sepertinya harus dilakukan oleh orang tua Alif, akan tetapi bekal kesolehan yang disertai kesungguhan sesungguhnya juga akan menghasilkan “kepintaran” yang justru lebih berbobot dibanding kepintaran semata.

Salah satu bab menarik dimata saya adalah ketika Alif harus berkompetisi dengan saingan-nya dalam memerebutkan Raisa dalam proses seleksi pertukaran pelajar antara Canada dan Indonesia. Alif yang bersuara sumbang dan kaku kalau harus menari harus menyakinkan juri bahwa kesenian bukan melulu jadi faktor penting dalam menyetarakan bangsa kita dengan bangsa lain-nya. Dengan bekalnya sebagai penulis setelah dihajar habis2an dalam biara shaolin jurnalis ala Bang Togar, akhirnya Alif berhasil meyakinkan juri kalau dia sangat layak untuk terpilih dalam seleksi.

Sebuah buku yang menarik dibaca, ditambah artistik buku yang juga sangat berkelas, dan lebih dari layak menjadi bagian dari koleksi buku anda. Dan lagi lagi kita diingatkan dengan motto ala Pondok Madani, yaitu sebagai pelanjut “Man Jadda Wajada” yang artinya siapa yang bersungguh sungguh ia lah yang berhasil, yaitu ketika semua upaya sudah dilakukan maka bersikaplah “Man Shabara Zhafira” yang artinya siapa yang bersabar akan beruntung.

Unlimited Wealth - Bong Chandra

Setelah membaca “Science of Luck” , saya jadi tertarik mencari buku pertama beliau, dan akhirnya setelah berhasil menemukan buku ini, maka tanpa membuang buang waktu langsung saya eksplorasi setiap halaman-nya. Seperti buku kedua-nya membaca buku ini seperti mendengar Bong berbicara langsung, tak aneh kalau proses pembuatan-nya memang menggunakan metode dimana Bong berbicara dan seseorang merekam, mencatat lalu menuliskan kembali dalam bentuk sebuah buku.


Hal2 yang ada dibuku ini merupakan pengalaman hidup yang dijalani Bong sendiri, sekaligus merupakan hal2 yang dikutip sana dan sini yang sepertinya merupakan hasil interaksi Bong dengan banyak bahan bacaan. Sayang-nya tidak ada bagian khusus yang menyebutkan sumber2 yang digunakan Bong dalam membuat buku, meski tidak mengurangi daya tarik buku ini. Dibanding “Science of Luck”, bagi saya kualitas buku pertama ini sedikit dibawah-nya.

Bong membagi buku tidak dalam bab, melainkan “Day”, tepatnya dari “Day 1” sd “Day 17”, dimana setiap “Day”dianjurkan untuk tamat dalam 10 menit. Bab yang menarik adalah “Dilahirkan untuk gagal”. Bagi Bong, pada setiap kegagalan berlaku hukum statistik, yaitu semakin sering gagal semakin dekat ke peluang keberhasilan. Selain itu Bab menarik lainnya adalah “Bersahabat dengan Singa”, dimana Bong mencontohkan bagaimana beliau menyediakan space bagi Matius Yusuf, salah satu tokoh penting Agung Podomoro, untuk membuka stand property disetiap event seminar / training yang dilakukan oleh Bong, secara gratis, dan Matius Yusuf, cukup membantu sebagai pembicara dalam 10 atau 15 menit sesi seminar. Kharisma Matius, akan turut serta mengangkat Bong, sehingga dengan bertemankan Singa, akan otomatis mengangkat sosok kita seakan akan turut menjadi Singa juga.

Pendekatan sukses yang dijalankan Bong juga menarik, mirip dengan rahasia sedekah-nya Ustadz Yusuf Mansyur, Bong juga sangat menganjurkan untuk berbagi, apapun itu, baik materi, ilmu dan lain2, karena hanya dengan turut membantu menyalurkan apa yang kita miliki, maka rizki akan turut mengalir melewati kita, sebagaimana yang dijelaskan di Bab “Bantu Orang Lain Untuk Sukses”. Bong juga menegaskan penting-nya sikap sebagai “Salesman”, karena pada dasarnya semua orang adalah Sales, seperti yang dijelaskan di Bab ”Menjual diri demi impian” dimana dijelaskan bahkan ketika kita tidak memiliki produk apapun untuk dijual, bagaimana agar diterima bekerja atau bagaimana dapat diterima seseorang sebagai sahabat atau kekasih pun adalah merupakan proses “Sales”. Bab lainnya adalah “Menjadi Sapi Ungu”, yang secara umum kalau dalam bahasa akademiknya disebut dengan diferensiasi. Cara2 Bong menggunakan istilah cukup menarik, sehingga tak terasa buku ini justru tamat hanya dalam beberapa jam saja. Sungguh buku yang ringan namun berbobot.

Sibolga kota kecil di pinggir pantai


Tepat ketika usia ku tiga tahun, Ayah dipindahkan dari Bandung ke Sibolga, sebuah kota kecil di provinsi Sumatera Utara, dan terletak dipinggir pantai. Lima tahun di Sibolga menjadi pengalaman yang indah untuk dikenang. Kota ini sangat dekat dengan pantai, sehingga jika kapal berlabuh, terompet-nya terdengar jelas sampai kerumah. Saat itu Sibolga masih termasuk jalur trans sumatera sehingga cukup ramai, di lain pihak pelabuhannya juga menjadi salah satu tempat berlabuh salah satu kapal pesiar Belanda yang sangat terkenal saat itu, yaitu Princendam, yang sangat gampang dikenal dengan cerobong-nya yang berwarna warni.



Karena sangat dekat dengan pelabuhan, dan pusat aktivitas nelayan, aku sering menemani Ibu ke pasar, sambil memilih milih ikan yang masih dijual dalam keadaan segar bahkan sebagian masih hidup. Begitu juga kepiting yang setiap kali berusaha merayap keluar dari nampan si penjual ketika si penjual lengah. Sea food adalah salah satu makanan yang cukup sering menjadi menu keluarga kami, dan Kepiting Goreng sambal, adalah salah satu menu andalan Ibu.
Rumah kami sebuah rumah dinas peninggalan Belanda dan terletak dekat salah satu jembatan angker di kota ini, yang terdiri dari dua bangunan utama, dan dihubungkan oleh sebuah lorong beratap tanpa dinding. Tak jelas siapa yang menanam, salah satu sisi lorong tersebut, ditanami tanaman merambat dari ujung ke ujung, dan menjadi kerajaan semut merah berukuran ekstra besar, yang kami sebut semut Harirongga. Selain besar semut ini sangat galak, gigitannya luar bisa menyakitkan, dengan bagian kepala yang dihiasi dua taring besar. Rumah ini dibangun lebih tinggi dari lahan disekitarnya, dan dikelilingi parit. Untuk memudahkan keluar masuk ke halaman, dibeberapa sisi ada tangga. Rumah ini berdiri di samping Kantor Telekomunikasi, dan dari bagian belakang rumah ada lorong yang hanya dibuka sekali sekali menuju Kantor Pos. Sepertinya Kantor Pos, Kantor Telekomunikasi serta rumah kami, dulunya kemungkinan besar didesain secara terintegrasi.

Sisi kanan rumah, ada sebuah pohon Jambu Bol yang sangat besar, buahnya manis berair, dan sering sekali menyebabkan tetangga datang untuk meminta. Ibu tidak pernah keberatan membagi bagi buah-nya. Karena seingatku, pohon Jambu ini memang selalu berbuah sepanjang tahun. Jika malam kelelawar berduyun duyun menyerbu pohon Jambu ini, tetapi buahnya tidak pernah habis. Dipagi hari, biasanya kami akan menemukan buah buah yang sudah matang dengan tanda gigitan kelelawar disekujur buah. Buah yang dipilih kelelawar biasanya buah yang benar benar manis, jadi kami membersihkan bekas gigitan-nya dulu baru kemudian memakan-nya. Kadang satu atau dua kelelawar nyasar dan masuk kerumah, kesulitan menemukan jalan keluar, sampai akhirnya menemui ajal di tangan Ibu yang bersenjatakan sapu. Saat libur aku bersama teman sekolah main ke Penjara kecil dibelakang Kantor Polisi, dan menyusupkan beberapa Jambu dari balik lubang di dinding penjara, untuk para Narapidana disana.

Sisi kiri rumah, selain Kandang Ayam berbulu tebal (yang biasa kami sebut Ayam Australia) peliharaan Ibu, kami memiliki pohon Nangka. Meski tidak dipetik saat matang, buahnya akan jatuh berdebum saat ulat ulat kecil yang pandai meloncat mulai menggerogotinya, dan keesokan paginya kami sekeluarga akan pesta makan Nangka. Jika semua Nangka habis, maka Ibu mengumpulkan bijinya, untuk direbus dengan garam sekepal dan menjadi salah satu snack kesukaan kami sekeluarga. Getahnya yang banyak sering aku gunakan untuk menjebak semut Harirongga dengan membuat sate getah nangka, semakin mereka melawan semakin mereka terjebak lalu setelah sate getah tak lagi sanggup menampung semut2 yang terjebak, maka aku membakarnya sehingga menimbulkan bau daging sate yang sangat harum. Belakangan aku tahu bahwa ini merupakan dosa besar, sayang-nya saat itu tidak ada yang melarang kami melakukan hal ini, dan aku terlanjur benci dengan semut ganas ini.

Di bagian depan rumah, ada tanaman pohon yang aku tidak tahu persis nama-nya, akan tetapi kami menyebutnya pohon kipas. Sepertinya ini termasuk kelompok rumput2an, batangnya beruas ruas seperti tebu mini. Dan aku suka membuat panah2an dari pohon ini, dengan menggunakan karet sebagai pelontar.
Ayah, seorang kutu buku, kami memiliki perpustakaan pribadi, dengan buku yang bervariasi, selain itu ada juga kliping Indonesia Raya (koran-nya Mochtar Lubis), kliping Siasat dan Majalah Sastra Roman. Ayah juga berlangganan Kompas, Intisari dan Bobo. Di saat senggang perpustakaan ini merupakan tempat favoritku, khususnya komik Mandrake, Tarzan dan Phantom yang merupakan cerita bersambung bergambar di kliping koran Ayah. Juga iklan Palmboom berbentuk komik, yang saat itu merupakan produk margarine favorit. Komik2 lain seperti Gundala, Godam, Laba2 Merah, Maza dan Jin Kartubi, biasanya kami peroleh dengan menyewa-nya dari kios komik sebelah. Untuk buku2 dongeng terbitan Gramedia, seperti Grimm bersaudara, kami acapkali meminjamnya dari teman kakak perempuanku.

Sekolah kami berjarak kurang lebih 500 meter dari rumah, dipisahkan oleh salah satu jalan utama di Kota Sibolga. Pagi hari Ibu akan menyiapkan beberapa piring kaleng untuk sarapan kami dengan nasi panas yang masih mengepul, dan lauk ikan goreng. Saking panasnya nasi, kami biasanya mengisi bak cuci piring yang berukuran besar, lalu meletakkan piring kami di bak tsb bagaikan sekumpulan perahu di lautan, untuk mendinginkan nasi-nya sampai dapat dimakan tanpa kuatir kepanasan. Tak lupa menu tambahan, telur ayam setengah matang dari Kandang Ayam peliharaan Ibu dan dikocok dengan satu sendok madu. Aku tak pernah suka minum ini, baunya yang anyir menyebabkan aku ingin muntah, dan sampai dewasa aku tak pernah bener benar menyukai kuning telur dalam keadaan basah. Pada tahun2 tertentu, aku dan kedua kakak serta abangku bersekolah di sekolah yang sama, saat aku kelas satu, abangku kelas lima dan kakak perempuanku kelas enam.

Saat itu acara favorit ku dan saudara2 ku adalah mandi hujan, mengejar ngejar ayam Ibu dengan panah dari pohon kipas dan naik becak keliling kota. Saat bulan Ramadhan dan menjelang lebaran, sepupu2 ku dari keluarga ayah akan berdatangan untuk merayakan Lebaran bersama sama. Ayah akan membeli minuman soda berkerat kerat sehingga selama beberapa hari kami hanya meminum minuman tsb, khususnya 7up. Ayah juga menyalakan puluhan lilin di halaman, menggelar tikar dan mengajak kami tiduran sambil menatap bintang2 di langit. Atau ayah mengajak kami bernyanyi sambil beliau bermain gitar di bawah pohon yang selalu berbunga putih, yang kami namakan pohon putar2 karena jika bunga-nya jatuh maka akan berputar putar seperti helikopter sebelum menyentuh bumi.

Ayah beberapa kali juga mengajak kami ke lokasi wisata disekitar Sibolga seperti Bonandolok, salah satu bukit yang merupakan bagian dari Bukit Barisan dengan pemandangan indah ke Sibolga dan teluk Tapian Nauli. Atau ke pantai Ujung yang dipenuhi dengan nyiur melandai serta pulau Poncan. Kadang kami sekedar berjalan jalan saja dengan Landrover, melintasi jalan dengan bukit bukit di sisi kiri, dan teluk yang dipenuhi Pohon Bakau di sisi kanan jalan. Kadang Ayah mengajak ke rumah Nenek di Padang Sidempuan, lalu Nenek biasanya akan menyembelih bebek peliharaannya di halaman belakang untuk menyambut kami dengan Gule Bebek.

Sebelum berangkat Haji, Nenek dari pihak Ayah yang biasa kami sebut Ompung Gendut untuk membedakannya dengan Nenek dari pihak Ibu (yang sangat kurus) juga sempat tinggal bersama kami selama beberapa lama, saat menjelang kepergian-nya aku menemani beliau mencari batu putih yang akan dia gunakan untuk melempar Jumrah. Itu saat terakhir aku melihat Nenek, setelah kami meninggalkan Sibolga menuju Denpasar, dan Nenek meninggal tak lama kemudian.

Pada hari2 tertentu, para petani Durian melewati rumah kami dengan puluhan durian bergelantungan di Sepeda ontel-nya. Sebelum sampai ke pasar, Ayah sudah menghentikannya dan mulai lah kami berpesta durian. Durian yang satu belum habis, yang lain sudah dibuka, setiap buah mengandung rasa yang berbeda, ada yang manis bagaikan es krim, ada yang kenyal dan harum, dan berbagai macam rasa yang sungguh2 sedap tak terkira.

Lima tahun di Sibolga, kami pun meninggalkan kota kecil penuh kenangan ini, di antar salah seorang teman ku bernama Pitman, dari atas kendaraan Landrover menuju Medan perlahan lahan aku melihat rumah kami semakin kecil dan semakin jauh, untuk menggunakan Garuda menuju Denpasar. Saat blog ini ditulis, aku masih belum sempat kembali ke Sibolga, tetapi meski demikian kota ini tetap ada di dalam hati ku selama-lamanya.