Thursday, September 29, 2011

Kemudahan setelah kesulitan

Karena Ayah saya seorang pegawai negeri, maka saya cenderung mencari perguruan tinggi yang memudahkan untuk segera bekerja. Maka pilihan saya pun jatuh pada Politeknik salah satu perguruan tinggi teknik negeri di Bandung. Karena saat itu gelar masih dianggap cukup penting, maka pilihan untuk masuk ke politeknik bukanlah pilihan yang populer. Tetapi saya berprinsip bahwa gelar bisa dicari belakangan, dan selama kita masih punya semangat belajar, maka hal2 seperti ini akan dapat dilakukan kelak. Ternyata saya tidak salah pilih, dan setelah masuk semester ketiga, saya sudah tidak lagi mengandalkan biaya sekolah dari orang tua.

Di kelas saya ada sekitar enam orang yang bekerja dan terlibat pada proyek yang sama. Meski pada mulanya yang direkrut cuma satu, tetapi dengan berjalannya waktu, teman saya yang duluan masuk menjadi gerbang bagi kami berenam untuk menjadi software developer di sebuah perusahaan yang berafiliasi dengan perguruan tinggi teknik negeri di Bandung. Pada saat itu kami berenam ditempatkan di salah satu perkebunan terbesar di Indonesia. Disediakan rumah, makanan dan pendapatan yang jumlah-nya menurut ukuran mahasiswa cukup besar, sehingga meski saya makan di restoran 1 x sehari, membeli semua album musik yang saya suka, serta menonton semua film baru di bioskop, dan membeli pakaian baru 1x sebulan, saya masih punya sisa dana untuk ditabung.

Keasikan bekerja ternyata membuat kuliah menjadi terasa berat, dan godaan uang kadang membuat kita lengah, sehingga tibalah saat tugas akhir harus dibuat. Di Politeknik pada masa itu selalu ada tugas akhir setiap tahun, sehingga selama masa kuliah kami harus menyelesaikan tugas akhir sebanyak 3x. Tugas tahun pertama saya selesaikan dengan dua orang rekan saya di salah satu perusahaan milik pemerintah yang bergerak di bidang ekspedisi dan pengiriman dokumen. Tugas tahun kedua saya selesaikan di salah satu Televisi Swasta Nasional dengan salah seorang rekan yang kini berdiam di New Zealand. Meski pada saat tugas kedua saya menemukan partner yang pas, sayangnya saya memutuskan tugas tahun ketiga dikerjakan dengan kelompok yang berbeda dengan yang kedua. Sehingga saya mendapatkan seorang pembimbing yang “nyentrik” dan menempatkan kami untuk bekerja pada sebuah LSM yang bergerak di bidang kesenian anak.

LSM ini begitu khususnya sehingga saya dan team mendapatkan kesulitan yang cukup berat, dan relatif abstrak untuk dituangkan dalam rancangan implementasi IT yang cenderung membutuhkan segala sesuatu yang sudah pasti. Sementara pekerjaan di perusahaan perkebunan tersebut juga membutuhkan konsentrasi tinggi. Kesulitan ini ditambah lagi dengan pembimbing kami memutuskan untuk melanjutkan sekolah di luar negeri dan meninggalkan kami dalam kebingungan. Kondisi yang sudah begitu sulit akhirnya ditambah lagi dengan penggantian pembimbing ke salah satu tokoh paling “ajaib” di dunia IT, yaitu pak Sayid Budiseno. Tadinya saya berpikir lengkap sudah penderitaan kami dalam menyelesaikan tugas tahun ketiga. Akhirnya karena pak Sayid menolak meneruskan pekerjaan yang sudah separuh jadi, maka kami diminta merombak lagi dari awal. Saat itu rasanya ini sudah menjadi derita yang tidak tertahankan, dan dunia serasa gelap. Ketika akhirnya diputuskan bahwa kami tidak mungkin lulus pada tahun itu dan harus mengulang setahun untuk fokus pada pekerjaan tugas akhir, maka lengkap sudah penderitaan kami. Rasanya seperti di dunia menderita, ketika di akhirat pun masuk neraka.

Akhirnya kami memutuskan untuk fokus pada pekerjaan, konsultasi dengan pak Sayid pada awalnya terasa berat, tetapi semakin lama, kami semakin memahami apa yang beliau inginkan, dan ilmu kami tak terasa semakin bertambah, khususnya dalam perancangan database / normalisasi, entity relationship , desain interaksi dengan user, dan lain2. Tak terasa selesailah masa bimbingan, dan kami akhirnya menghadapi presentasi final dihadapan dosen penguji yang tidak berdaya mengajukan pertanyaan karena kharisma pak Sayid yang memang saat itu disegani oleh dosen2 lainnya.


Setelah lewat masa itu, saya merasa sangat beruntung pernah memiliki masa2 yang sangat intensif dengan salah satu tokoh IT kharismatis, dan ilmu yang di berikan pak Sayid sampai kini masih menjadi sesuatu yang bernilai bagi saya pribadi. Semoga ilmu yang diberikan beliau dapat terus menjadi amal baik beliau di alam sana, selamat jalan pak Sayid, meski kau telah tiada, namamu akan selalu terpatri di hati. Sebagaimana yang tertulis di Quran Surat An Nasyr ayat 5-6 “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”

Hijrah #1

Hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah adalah salah satu tonggak penting dalam sejarah Islam. Kepindahan tersebut justru memberikan keuntungan strategis dan politis terhadap perkembangan agama baru yang mempunyai banyak musuh pada masa itu. Saat tersebut juga digunakan untuk menandai mulainya penanggalan Islam. Dan terbukti kini, Hijrah Nabi membawa sangat banyak perkembangan positif bagi perkembangan agama Islam kelak, dan Madinah akhirnya menjadi pusat peradaban yang mengungguli Persia dan Rumawi (dua bangsa besar pada masa itu).

Mirip dengan Hijrah Nabi, saya jadi ingat peristiwa yang saya alami sebelas tahun yang lalu pada perusahaan pertama dimana saya bekerja. Saat itu saya bekerja pada pusat komputer di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Suatu kali Manajemen perguruan tingi memutuskan untuk melebur pusat komputer yang tadinya setara dengan fakultas menjadi dibawah jurusan. Situasi menjadi sangat tidak nyaman, yang tadinya sibuk dan semangat dalam bekerja menjadi terganggu dan lebih senang diskusi dan melemparkan komplain serta protes ke forum dipicu suasana yang dinilai tidak adil. Dimana mana muncul kelompok diskusi kecil yang mengekspresikan ketidak puasan terhadap putusan manajemen.

Berada dalam situasi seperti ini, emosi saya juga terganggu sebagaimana karyawan yang lain. Tetapi daripada merusak energi positif pada diri saya sendiri, maka saya memutuskan ini lah saatnya Hijrah dengan tujuan utama mencari nafkah yang halal bagi keluarga. Menindak lanjuti tawaran dari salah satu anak perusahaan provider telekomunikasi, maka saya melakukan salah satu putusan terberat dalam hidup saya. Meninggalkan anak, istri, rumah dan kota kelahiran serta memulai hidup baru di Ibukota.

Sebelas tahun berselang, sejak keputusan tersebut, saya merasakan manfaat positif dengan putusan Hijrah, situasi seperti ini ternyata memompa adrenalin, memaksa saya untuk lebih meningkatkan lagi kualitas dan kemampuan agar dapat survive di kehidupan keras ala ibukota. Meski hidup jadi secara ekstrim berubah, mulai dari pola makan, komunikasi dengan keluarga, lingkungan kerja baru, lingkungan tempat tinggal, pekerjaan baru, dll, akan tetapi saya memiliki kesempatan mempelajari ilmu baru yaitu yang berhubungan dengan implementasi IT di lingkungan provider telekomunikasi, pengetahuan tentang pabean, business development, data warehouse, enterprise apps, dll. Rasanya hal itu juga lah yang menyebabkan kaum perantauan umum-nya lebih sukses, dan menjadi pribadi yang lebih tangguh dibanding yang cenderung menetap di "comfort zone".



Hijrah mengingatkan saya akan suatu cerita tentang proses interogasi yang dilakukan malaikat terhadap orang yang tidak menjalankan perintah Allah karena dilarang dan diteror penguasa, akan tetapi dia tidak memutuskan Hijrah. Sehingga akhirnya orang tersebut tetap mendapat hukuman dari Allah. Kesimpulannya Hijrah adalah suatu kewajiban selama dilakukan jika kondisi yang ada sudah tidak memungkinkan dan bertujuan agar kehidupan berjalan dengan baik dibanding kondisi sebelumnya. Sebagaimana Surat Al-Baqarah ayat 218 yang artinya "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Wednesday, September 28, 2011

Sampaikan sebelum terlambat

Kali ini saya bercerita tentang Sahabat Saya yang kebetulan mencintai seorang wanita. Sayangnya setiap kali dia datang berkunjung ke rumah Sang Wanita, selalu saja rumah tersebut dipenuhi para pria lajang yang bagaikan kumbang mengelilingi bunga. Tapi Sahabat Saya tidak kehilangan akal (maklum kesukaan-nya terhadap segala hal yang berbau militer, telah mengubahnya menjadi pemikir taktis dan strategis).

Jika para kumbang memilih malam minggu untuk datang, maka untuk meminimalkan persaingan, Sahabat Saya memilih Malam Senin, sebuah pilihan yang sangat tepat, karena bahkan dia tidak cuma bertemu dengan Sang Wanita, melainkan juga dengan Ibu dan Ayah-nya. Sehingga lambat laun sosoknya mulai diterima oleh keluarga Sang Wanita.

Akan tetapi waktu terus berlalu, tak jua muncul tanda2 dari Sang Wanita bahwa Sahabat Saya adalah lelaki idaman yang sejak lama ditunggu tunggu. Sedangkan Sahabat Saya tidak cukup kuat untuk menerima penolakan, sehingga memutuskan untuk tidak menyatakan perasaan apapun, serta bersikap pasif sampai dengan adanya sinyal yang lebih kuat dan memungkinkan dia menyatakan perasaan-nya. Sementara Sang Wanita, sebagaimana kebanyakan wanita pada masa itu juga merasa tidak mungkin menyampaikan apa yang dia rasakan, karena dinilai merendahkan dirinya sebagai seorang Wanita.


Akhirnya hubungan ini menjadi tidak jelas, dan Sahabat Saya mulai letih dengan semua ketidak jelasan ini, sehingga akhirnya memutuskan untuk mendekati wanita lain, yang langsung disambut dengan terbuka sehingga segala sesuatunya berjalan lancar dan Sahabat Saya akhirnya memutuskan untuk menikahi wanita lain ini. Singkat kata tibalah saat mengantarkan kartu pada para undangan, dan Sahabat Saya memutuskan untuk mengantar sendiri kartu undangan ke Sang Wanita. Betapa kagetnya Sang Wanita ketika mengetahui Sahabat Saya mengantar undangan untuk menikah dengan wanita lain. Dengan tercekat dia bertanya, “Lantas apa maksud kamu selama ini datang ke rumah, dan berbicara akrab dengan kedua orang tua saya ?”, “Saya pikir kamu mencintai saya, dan memilih saya sebagai istri kamu kelak” lanjutnya. Sahabat Saya tak kurang kagetnya “Loh saya pikir kamu tidak suka, karena saya tidak melihat sinyal2 bahwa kamu menanggapi kehadiran saya”, “Tapi kamu tidak pernah menyatakan apapun” sedu si Wanita. Namun nasi sudah menjadi bubur, kartu undangan sudah jadi, dan sebagian undangan sudah disebar, dan sudah tidak mungkin menarik apa2 yang sudah diucapkan.

Jadi kesimpulan-nya untuk sebuah niat baik, tak perlu menunda untuk mewujudkan-nya sehingga dengan mengetahui jawaban-nya lebih awal, akan membantu kita untuk mempersiapkan yang terburuk. Seperti kata pepatah, berharaplah untuk yang terbaik tetapi bersiaplah untuk yang terburuk.

Koran untuk Ayah

Ketika kita mulai dewasa, waktu semakin terasa sempit seiring dengan banyaknya aktivitas yang harus dilakukan. Sebaliknya Ayah, justru waktu-nya semakin banyak setelah pensiun, dan jika saya sedang mampir ke rumahnya di salah satu bukit dikawasan Bandung Utara, Ayah yang semakin menua selalu dengan semangatnya berbicara mengenai banyak hal khususnya politik. Tetapi saya sendiri karena terlalu banyak yang dipikirkan tidak bisa selalu fokus mendengar apa2 yang Ayah sampaikan.


Ayah saya sudah merantau meninggalkan kampung-nya di Sumatera Utara sejak lulus SMP, lalu melanjutkan SMA di Yogya, serta sempat menjadi pegawai di PT Pos Indonesia (d/h Pos dan Giro). Setelah sempat menjadi pegawai tak beberapa lama dia mengikuti program pendidikan di Akademi PTT Bandung, untuk meraih gelar BcAP. Sosoknya adalah sosok yang pemaaf, tidak sabaran, humoris sekaligus sangat gampang meledak. Mahir dalam berorasi dan sangat percaya diri, serta tak ketinggalan hobi khususnya yaitu catur dan menyanyi sebagaimana kebanyakan suku Batak.

Karena karakternya yang berbeda dengan Ibu, rumah kami selalu dipenuhi konflik2 panas sejak kami bersaudara masih sangat kecil sampai dewasa dan seringkali dipicu oleh masalah2 yang sangat sederhana. Meski demikian mereka memiliki persamaan yaitu sangat mencintai kami sebagai anak2nya. Sepertinya hal ini lah yang mengikat mereka sampai maut memisahkan. Karena karakternya yang tidak sabaran, Ayah bukanlah pendengar yang baik, sehingga kami bersaudara selalu lebih banyak bercerita pada Ibu untuk hal2 yang kami hadapi / alami sehari hari.

Ketika Ayah sudah menua, dia sering sekali bagaikan hidup dalam dunianya sendiri, bermain catur sendirian sampai pagi, menonton tv dan membaca. Khusus untuk hobby-nya membaca, setelah pensiun dana-nya semakin terbatas. Jika semasa aktif dia bisa berlangganan Matra, Tempo, Jakarta Post, Republika dan Kompas, maka saat pensiun dia hanya beli Majalah Tempo sekali seminggu. Suatu hari saat saya datang menjenguk Ayah dan Ibu, dia berkata “Sejak pensiun Ayah kekurangan bacaan, tolonglah bawakan Ayah Koran Tempo, kan kau langganan”, saya cuma senyum dan mengiyakan permintaan-nya. Sayangnya saya lebih banyak lupa-nya atau malah tidak menganggap serius permintaan-nya, sehingga ketika kedatangan berikutnya masih saja titipan yang dia minta belum tentu saya bawakan.

Sampai suatu malam di tahun 2001, Ayah mengeluh sakit, dan langsung kami bahwa ke Rumah Sakit Islam di Bale Endah, badan-nya bengkak karena ginjalnya sulit mengeluarkan cairan. Karena saat itu Malam Senin dan keesokan harinya saya sudah harus kembali bekerja di Jakarta, maka saya memutuskan untuk pulang ke rumah, agar dapat berangkat dalam kondisi fit. Sayangnya dini hari telepon dari Rumah Sakit menyampaikan bahwa sekitar jam 01:00 dini hari, Ayah sudah menghembuskan nafas terakhir untuk kembali pada Sang Pencipta. Saya termangu dan menyesali betapa saya sebagai anak tidak cukup berbakti baginya, hanya sekedar koran bekas sajapun saya tidak memenuhi permintaan-nya secara bersungguh sungguh. Sesungguhnya perpisahan adalah kepastian, karena itu syukurilah setiap pertemuan, hari lalu tak dapat diulangi, hari ini milik kita, hari esok adalah ketidak pastian.

Mencintailah dengan sewajarnya

Saat mulai bisa mengendarai mobil, akhirnya keluarga mengijinkan saya untuk menggunakan VW Variant 1968 USA (double karburator), si putih dengan setir kiri. Meski mobil ini sudah tua, tetapi sangat “eye catching”, saya masih ingat bagaimana pernah beberapa kali dihentikan seseorang meski ditengah hujan lebat, yang tanpa tedeng aling aling langsung menawar untuk membeli si putih.

Karena kondisinya yang kurang terawat, maka setiap kali gajian (saat kuliah menginjak tingkat dua, saya sudah mulai bekerja sebagai part timer programmer) saya selalu menyisihkan duit untuk melakukan beberapa modifikasi bagi si putih. Mula2 tentu saja faktor mesin yang harus diprioritaskan, lalu menyusul bodi dan interior. Ketika akhirnya modifikasi selesai dengan perasaan puas saya amati si putih yang kini dop-nya mengkilat, jok-nya dilapis kain motif kotak2 ala scotch, tape terbaru yang nangkring ditengah dashboard disertai additional speaker di depan kaca belakang, spion baru serta cat putih gading dan cling.

Sejak mobil ini berpenampilan baru dan menghabiskan cukup banyak uang dan waktu, maka saya tidak lagi menggunakan-nya sebagai kendaraan harian, bahkan ketika hujan saya rela berbasah basah agar si putih tetap nangkring di garasi dengan tenang. Saat saat libur sudah merupakan waktu khusus antara saya dengan si putih. Dengan penuh perasaaan saya gerakkan berbagai alat pembersih mulai dari lap khusus sampai dengan sikat gigi bekas.

Suatu hari, dengan didukung keluarga, saya harus mengunjungi calon mertua yang sedang di rawat di salah satu RS di Bandung. Saat melewati jejeran kendaraan yang diparkir, sebuah minibus mundur begitu saja persis ketika saya lewat, maka terjadilah apa yang seharusnya terjadi. Sebagaimana layaknya supir omprengan, setengah merengek Si Supir memohon untuk dibebaskan dari ganti rugi. Dan akhirnya saya kembali dengan perasaan hancur, bagaikan kehilangan kekasih.

Hal ini mengingatkan saya akan surah Al Qasas ayat 88, yang artinya “Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenang-Nya dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan”. Jadi tidak ada yang abadi, sebagaimana kita dari ketiadaaan kembali ke ketiadaan.

Arti keluarga

Suatu malam di akhir minggu, ketika menyetir menuju Bandung lewat Cipularang, di sekitar kilometer 82 an, aku menerima berita dari Si Sulung, bahwa dia mengalami sesuatu. Saat itu Si Sulung sedang menuju salah satu perumahan elite di daerah Padalarang untuk menyaksikan konser Jazz. Tepatnya di Bale Pare di Kota Parahyangan.

Sebenarnya aku dan anak2 sudah berjanji untuk bersama-sama menyaksikan konser ini, entah apa yang ada di pikiran-nya, bukan-nya menonton bersama ayah dan adik-nya dia malah memutuskan untuk pergi nonton duluan dan seorang diri.

Sayangnya malang tak dapat ditolak ketika melaju dengan kecepatan sekitar 70 km/jam (menurut pengakuan-nya kemudian), mendadak sebuah motor keluar dari SPBU, dari jalur lambat langsung menuju jalur cepat untuk memutar balik kearah berlawanan dimana mobil anak ku lewat.

Dan brakkk...!, anak ku menabrak tanpa ampun sepeda motor tanpa spion tersebut sehingga terpental kekanan sekaligus membuat garpu dan kerangka motor melengkung, sedangkan tubuh pengendara motor melayang menghantam kap mobil kiri lalu kepala-nya membentur kaca depan sampai hancur dan tubuhnya terpental kekiri. Dengan radiator bocor, dudukan lampu patah, gril dan bemper kiri remuk, Si Sulung menghentikan mobil-nya sampai menimbulkan bunyi berdecit keras dan panjang, serta jejak hitam ban kiri yang kempes seketika sekitar 7 meter-an di aspal (jejak ban ini nantinya tidak menghilang selama dua mingguan) serta langsung dikerubungi security kompleks dan polisi (yang kebetulan bertugas mengamankan acara konser jazz). Menurut saksi mata, sebagian penonton konser kaget mendengar decitan ban dan suara tabrakan, berlarian keluar meninggalkan konser untuk melihat kecelakaan tersebut.




Saat aku sampai dilokasi, Si Sulung berdiri dengan wajah galau, shock dan pucat pasi sambil menatap ku dengan ekspresi memohon pertolongan berdiri diantara beberapa polisi yang terkesan sedang mengintimidasi-nya dan security kompleks yang sedang memroses BAP. Sedangkan korban telah dibawa ke UGD Rumah Sakit terdekat (Cahya Kawaluyaan) dengan menggunakan mobil security kompleks.

Kilas balik sedikit, belakangan ini Si Sulung setelah mulai memasuki masa remaja, selalu mempunyai acara sendiri, sehingga tidak seperti setahun yang lalu dimana kami sekeluarga selalu bersama-sama menghabiskan acara saat weekend, maka saat2 seperti sekarang, hal ini sudah sangat sulit untuk dilakukan. Aku selalu menyampaikan pada Si Sulung betapa waktu2 bersama keluarga adalah hal penting, karena begitu lewat, masa ini akan jadi kenangan yang tak dapat kembali dinikmati. Bahwa teman untuk bersenang-senang akan sangat mudah ditemukan dimanapun sebaliknya saat2 kesulitan keluarga lah yang lebih dapat diandalkan, tetapi apa2 yang aku sampaikan seakan akan masuk telinga kiri dan langsung melompat keluar dari telinga kanan.

Kembali ke peristiwa kecelakaan, maka aku langsung ambil inisiatif untuk berbicara dengan polisi. Menggunakan mobil langka dengan bentuk aneh dan DRL yang terang benderang, serta ketika turun didampingi dua rekan berbaju batik yang entah kenapa posisi jalan-nya di belakang aku sehingga seakan akan terlihat lebih sebagai ajudan (maklum ada dua teman yang ikut nebeng dari Jakarta sampai Cimahi), membuat polisi sedikit "terintimidasi"  dan menyambutku dengan ekspresi "segan". Aku langsung saja melontarkan pertanyaan agak sedikit memaksa
"Maaf pak, saya ingin segera urusan ini selesai secepat-nya, langkah2 apa saja yang harus saya tempuh ?". Polisi lalu menyampaikan agar aku segera ke Rumah Sakit dan menyampaikan bahwa mobil dan motor akan di bawa ke Kantor Polisi. Lalu aku menyampaikan keberatan kalau mobil harus dibawa, dan Polisi mengatakan hal itu bisa saja, selama ada kesepakatan damai dengan keluarga korban.

Lalu aku segera menuju ke rumah sakit, diskusi dengan keluarga korban, diskusi dengan rekan2 kerja korban, konsultasi dengan dokter seraya membaca hasil rontgen, membayar uang muka perawatan, membuat surat pernyataan bersama keluarga/ wali korban rangkap tiga, kontak agen asuransi dan derek kendaraan. Saat salinan surat perdamaian aku serahkan pada Polisi, beliau menolak dengan alasan harus ada materai, seraya menyampaikan kembali pada wali korban, bahwa jika surat ini di sepakati, maka jangan salahkan Polisi kalau ada apa2 di kelak kemudian hari. Sempat terlihat keraguan di wajah wali korban, tak kehilangan akal aku mencoba meyakinkan resiko pada kedua kendaraan kami jika kesepakatan damai ini tidak berhasil. Dan lalu meminta bantuan administrasi Rumah Sakit untuk beberapa lembar meterai.

Tak lupa aku ajak Si Sulung untuk meminta maaf pada korban (sebagai bagian untuk mengajari-nya menjadi sosok yang bertanggung jawab), yang tengah terbaring dengan luka jahitan dikepala (ada retakan di kepala sesuai rontgen), memar disekujur tubuh, retakan di rusuk,  dan jari tangan patah. Akhirnya jam setengah dua belas malam selesai juga semua urusan penting yang melelahkan ini, meski masih harus ditindak lanjuti penyelesaiannya beberapa hari kedepan. Lalu setelah segala sesuatunya dapat dikendalikan, dengan wajah serius, Si Sulung menatap ku haru, dan dengan suara bergetar berkata “Papa, you’re the best, sekarang aku baru benar benar tahu apa arti keluarga”.

Lalu aku dan Si Sulung meninggalkan tempat itu sambil mengikuti mobil derek bak terbuka yang melaju di depan sambil menyalakan lampu emergency, dengan "city car" compang camping diatas-nya. Aku sama sekali tidak menunjukkan kemarahan dan ekspresi lain-nya, dengan kesenyapan suasana tersebut aku lebih ingin Si Sulung merenungi apa yang sudah terjadi. Beberapa lama setelah kejadian, hal ini memang pernah dia tanyakan, karena dia pernah melihat ayah teman-nya yang luar biasa murka, meski apa yang dia alami teman-nya masih dalam skala yang jauh lebih kecil.  Aku cuma menjawab, "Kamu sudah mengalami sesuatu yang lebih parah dari sekedar amarah papa, jadi gunakanlah kejadian ini untuk berubah, kalau tidak sekarang kapan lagi ?".  

Saat ini Si Sulung jauh berubah, dan semoga demikian seterusnya. Bagi Si Sulung malam itu adalah kepompong yang mengantar-nya dari ulat menjadi kupu-kupu. Beberapa waktu kemudian, aku membaca di internet, bahwa kecelakaan memang dapat membantu menyehatkan psikologis seseorang. Pelaku kecelakaan umum-nya akan berusaha ikut merasakan apa yang diderita oleh korban. Rasa bersalah akan mengubah cara pandang kita dan membuat kita lebih menghargai kehidupan dan menyadari penting-nya keluarga. Penelitian tentang ini dibukukan oleh Prof. Eric Wilson dari North Carolina dengan judul "Everyone Loves a Good Train Wreck : Why We Can't Look Away".

Janganlah terlalu membenci atau menyukai sesuatu secara berlebihan

Saat kuliah, saya pernah mengalami hubungan yang tidak nyaman dengan salah satu teman, yang dikenal sebagai seseorang dengan watak berangasan. Jika teman2 yang lain cenderung menghindar, karena ybs juga mempunyai banyak teman dengan karakter setipe, saya sebaliknya malah cenderung siap dengan konfrontasi.

Setelah beberapa kali konfrontasi, hubungan saya dengan ybs mulai dilandasi oleh rasa benci yang semakin menebal setiap saat. Saat itu saya tidak perduli, sampai terjadilah suatu kejadian dimana ada suatu peristiwa penting yang harus dilakukan sedangkan saya tidak punya seseorangpun yang dapat menolong kecuali dia (dengan izin Allah). Maka dengan menahan malu saya menyampaikan kesulitan yang saya hadapi dan alhamdulillah dia ternyata membantu dengan senang hati.

Saat itu saya teringat surat Al Qur’an surat Al Baqarah 216, yang artinya” Boleh jadi apa yang kamu benci ternyata ia baik bagi kamu dan boleh jadi apa yang kamu cintai ternyata ia jelek bagi kamu, dan Allah mengetahui apa yang kamu semua tidak tahu”. Jadi bersikaplah sewajarnya, dengan demikian kita dapat menjalani hidup dengan cara yang lebih baik.

Lakukan segala sesuatu secara bertahap

Saat masih mahasiswa saya pernah ditawari menjadi salah satu dari anggota dewan redaksi bulletin IT kampus. Setelah anggota team komplet, mulai dari pembina, kontributor, dewan redaksi sampai graphic designer, maka kami pun memulai rapat2 serius mengenai antara lain cover, tebal halaman, desain, distribusi, percetakan dan lain lain.

Setelah melalui beberapakali pertemuan dan diskusi hampir semua point2 tersebut akhirnya selesai dibahas kecuali jumlah halaman. Saat itu saya mengusulkan bagaimana kalau 8 halaman saja (terinspirasi dari bulletin dakwah yang biasa dibagikan setiap shalat Jumat), nanti pelan2 setelah konsistensi terjaga kita bisa tingkatkan jumlah halaman-nya. Akan tetapi Ketua Dewan Redaksi menolak,dan ingin langsung 32 halaman sejak awal. Lalu pertemuan mulai menghangat soal jumlah halaman ini, dan tidak dapat menemukan kesepakatan antara pihak2 yang berseberangan.

Alasan saya adalah, perlunya pentahapan dalam menjalankan sesuatu, kontributor untuk 8 halaman saja sudah susah apalagi 32 halaman, akan semakin banyak waktu yang harus kita sediakan untuk menjalankan proses bulletin ini sementara ini bukanlah pekerjaan utama kami.

Seingat saya karena beberapa rapat setelahnya juga tetap tidak sepakat soal halaman, maka bulletin ini akhirnya batal dilahirkan hingga saat ini. Moral of the story, adalah lakukan sesuatu step by step, lalu jangan lupa sempurnakan begitu ada kesempatan. Seperti kata pepatah China, "semua perjalanan sejauh apapun itu, selalu dimulai dengan satu langkah kecil yang pertama", lalu lengkapi dengan falsafah Jepang dengan proses penyempurnaan tanpa henti yang biasa kita kenal sebagai “Kaizen”.

Monday, September 26, 2011

The Science of Luck - Bong Chandra

Harus dikatakan buku ini sangat simple, tetapi mungkin justru disitu letak kekuatan-nya, dilengkapi contoh2 praktis dan mengena, dan sebagian besar bahkan merupakan pengalaman dari Bong Chandra sendiri. Cara Bong menawarkan-nya juga sangat atraktif, disertai judul provokatif, serta dilengkapi bonus CD audio, Tiket Seminar, serta bahwa 120% royalti akan disumbangkan (meski tidak dijelaskan akan disumbangkan kemana). Selain hal diatas, kekuatan lain dari buku ini adalah, Bong Chandra bukan melulu motivator dan speaker, melainkan juga praktisi dari apa2 yang dia yakini dan tulis.

Belum lagi promosi di halaman belakang oleh tokoh2 berkelas seperti Andrie Wongso, Merry Riana (yang berita tentangnya mengisi koran tempo panjang lebar pada edisi September 2011), serta James Gwee dan tak ketinggalan Ippho Santosa di bagian cover.


Apa sih yang diterapkan oleh Bong Chandra, dalam meng”ilmiah”kan keberuntungan ? Nah cara pertama adalah membahas “Bad Day dan Good Day”, lalu “Uang tidak bisa membeli keberuntungan”, “Pinggiran Roti” yaitu suatu cara untuk tidak mengabaikan hal2 kecil, “Timing” dan disusul beberapa bab serta yang terakhir “Daur Ulang Keberuntungan”.

Secara umum contoh2 didalam buku ini sangat mengena, salah satu yang paling menarik adalah bab dimana Bong Chandra menceritakan kembali asal usul Virgin Air, yaitu ide yang muncul ketika Richard Branson dan sejumlah penumpang yang berwisata terpaksa menunggu di sebuah pulau bernama Virgin, karena delay pesawat. Ketika penumpang lain memilih untuk berkeluh kesah, dia malah mencari pesawat carteran, lalu memutuskan untuk keliling dengan kertas bertulisan ajakan untuk terbang dengan biaya kolektif di tangan-nya yaitu “Hanya 30 USD untuk bisa ke Puerto Rico”. Hal ini lah yang akhirnya membuat Richard Branson mendirikan Virgin Airlines, yang bahkan saat ini mulai menawarkan petualangan di ruang angkasa.




Implementasi penting lainnya adalah kemampuan mengklasifikasikan hal2 yang harus kita hadapi sehari hari, misalnya”Penting tapi tidak mendesak”, “Mendesak tapi tidak penting”, “Tidak penting dan tidak mendesak”, serta “Penting dan mendesak”. Dengan demikian kemampuan mengklasifikasi ini akan meningkatkan kemampuan kita dalam me”manage” waktu secara baik.

Hanya ada satu hal yang agak sedikit mengganjal, yaitu pada halaman 91, dimana diceritakan Napoleon yang digambarkan sebagai tidak pernah kalah dalam perang karena selalu membakar habis kapalnya setibanya dia di pulau musuh. Pada kenyataan-nya Napoleon kalah di Waterloo, karena terlalu berambisi untuk menyerang sementara logistiknya tidak memadai. Kalau urusan membakar kapal sepertinya bukan taktik yang benar2 baru dan diperkenalkan oleh Napoleon (abad 17), melainkan sudah dimulai duluan oleh Thariq Bin Ziyad beberapa ratus tahun sebelumnya (abad 7). saat menyerbu Spanyol . Sepertinya Bong Chandra perlu membuat daftar sumber bacaan, untuk meningkatkan kredibilitas apa2 yang beliau tulis, agar buku ini tidak cuma menarik melainkan juga akurat.

Thursday, September 22, 2011

Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya Ajahn Brahm

108 cerita yang ada dibuku ini tidak semuanya menarik, tetapi sesuai catatan saya ada 27 cerita yang menarik dan dapat kita jadikan sebagai bahan bakar kesadaran, kesabaran dan semangat untuk menempuh perjalanan di dunia fana ini. Meski saya cuma menemukan 27 dari 108 atau tepatnya sekitar 25% cerita yang menarik, akan tetapi garansi penerbit buku ini yang akan mengembalikan 100% uang jika tidak puas tentu saja sama sekali tidak akan saya proses, karena ke 27 cerita tersebut sudah lebih dari cukup bagi saya.

Ajahn Brahm sendiri, merupakan seorang biksu dengan latar belakang Fisika Teori dari Cambridge University yang pada usia 23 tahun memutuskan untuk menjadi petapa di hutan Thailand. Setelah lulus beliau memutuskan untuk membangun wihara di Australia, dan hingga sekarang beliau melakukan perjalanan keliling dunia dengan ciri khas-nya yaitu kumpulan cerita keseharian yang disampaikan dengan jenaka. Sehingga meski topiknya terasa berat, akan tetapi Ajahn Brahm mampu melakukan simplifikasi, sehingga inti yang disampaikan dapat diterima dengan mudah. Topik2 yang diceritakan, mengingatkan kita akan salah satu hit-nya serious (grup happy metal asal Bandung) yaitu “rocker juga manusia” menjadi “biksu juga manusia”.

Diantara 27 cerita tersebut, sudah tentu cerita tentang dua batu bata jelek, masuk sebagai salah satu nominasi. Dimana kita diingatkan bahwa tidak ada hidup yang sempurna, sehingga terus menerus mengingat 1 hal yang kurang sempurna seringkali mengabaikan 99 kesempurnaan yang lain. Cerita lain yang menarik adalah ketika Ajahn bertanya pada hadirin, siapa yang hari ini berbahagia, dan sebaliknya siapa yang sebaliknya, lalu Ajahn bertanya dimana letaknya, sehingga sebagian peserta bingung, dan lalu menyadari bahwa letaknya kebahagiaan dan kesedihan adanya dipikiran, dengan demikian mengubah cara berpikir adalah cara untuk menemukan kebahagiaan sejati.

Cara pandang Ajahn Brahm yang sudah menjadi petapa selama 35 tahun, merupakan sumber kebijaksanaan, dan membuat kita kembali menilai hidup kita sendiri, dari mana kita berasal, akan kemana kita kembali.

Saturday, September 10, 2011

Tom Sawyer - Mark Twain

Pada awal-nya sedikit aneh, membuat review salah satu karya termashur sepanjang zaman, seperti Tom Sawyer, karena karya ini sudah dibuat tahun 1876. Dan tambah aneh karena saya baru membuat review buku yang oleh sebagian orang disebut buku anak2 ini justru setelah berusia lebih dari 40 tahun. Tetapi mengingat ini karya hebat, mari kita lupakan hal2 aneh diatas dan fokus pada review saja. Mark Twain sendiri dalam pengantarnya di buku ini juga sebenarnya tidak memfokuskan karya ini bagi pembaca anak2 melainkan juga pembaca dewasa yang menurutnya perlu dingatkan kembali bagaimana masa kecil mereka.

Saat saya masih berusia sekitar 6 sd 7 tahun, saudara2 saya yang lebih tua sudah membaca buku ini duluan, sementara saya masih lebih suka membaca komik Mandrake, Tarzan, dll. Akan tetapi karena orang tua saya juga sudah membaca sebelumnya, maka topik2 tentang kenakalan Tom, kejam-nya Joe si Indian, cerewet-nya Bibi Polly dan tentu saja berantakan-nya Huck Finn ini sering sekali menjadi topik yang dengan semangat dibahas, jadi meski tidak membaca-nya secara langsung saya cukup akrab dengan tokoh dan cerita dalam buku ini.

Menjelang kuliah, saya mulai tertarik group2 progressive, dan salah satu diantaranya Rush, yang memiliki track Tom Sawyer (Selain track fenomenal YYZ yang terinsiprasi dari style Alan Holdsworth) dalam album Moving Pictures (1981) , dan ini membuat saya teringat kembali akan buku ini, sayang saat itu koleksi buku Ayah saya sudah tidak tahu entah dimana, dan saya sendiri masih belum menemukan buku ini di Toko Buku. Begitu beberapa bulan lalu menemukan buku ini, langsung saja tanpa berpikir dua kali saya sambar dan dijadikan sebagai hadiah bagi si sulung, setelah dia menunjukkan reaksi yang menggembirakan, maka saya tergerak membaca buku ini untuk pertama kali.

Dan sungguh, ini memang buku yang menarik hati, dengan cara bercerita Mark Twain yang menakjubkan, dipenuhi dengan kejutan dari awal sampai dengan akhir, meski tidak didukung gambar yang memesona, dan tidak sesuai dengan karakteristik Tom yang digambarkan sebagai bocah keriting tetapi justru di cover buku sebagai anak yang berambut lurus.

Buku ini mirip dengan petualangan Laura Ingals Wilder dalam Little House in the Prairie, tetapi ganti tokoh Laura dengan sosok anak lelaki nakal yang tinggal bersama Bibi dan sepupu-nya. Kemudian tambahkan beberapa tokoh penjahat, lalu masukkan unsur petualangan, maka jadilah Tom Sawyer sebagai buku yang penuh dengan daya tarik. Tom Sawyer sendiri digambarkan sebagai anak, yang hidup di masa dimana tahyul masih merajalela (dipengaruhi adat istiadat budak afrika yang pada masa itu menjadi pekerja di rumah2 tuan tanah kulit putih), dimana barter menjadi cara anak2 untuk memiliki sesuatu, lalu dilengkapi dengan petualangan2 yang diilhami Robin Hood, para Bajak Laut zaman dulu, dan setting hutan, gua dan pulau kecil yang melengkapi semua persyaratan “seru” serta tak lupa tokoh jahat keturunan Indian, yang akhirnya mati mengenaskan kelaparan dan kehausan dalam gua dengan pintu terkunci.

Tak lupa ditambahkan dengan karakter Becky Tatcher, yang menjadi kekasih hati Tom Sawyer dengan cinta lugu dan cara kekanak-kanakan ala Tom dan pengalaman mereka tersesat di Gua berhari hari dengan persediaan makanan dan lilin yang semakin menipis. Karakter Bibi Polly yang penyayang namun seringkali tidak sabar menghadapi ulah Tom Sawyer, serta diakhiri dengan kesuksesan Tom mendapatkan Harta Karun peninggalan Joe si Indian.

Tuesday, September 06, 2011

Dibawah lindungan Kab’ah (2011) - Hanny Saputra

Secara sinematografi, film Hanny R. Saputra ini layak mendapat ancungan jempol, pemilihan warna, setting kampung di sumatera barat tahun 1920 an, setting pasar tradisional, setting surau termasuk kincir air besar (yang konon memang dibuat secara serius di desa Gonjong Seribu, Solok Selatan, dan lantas dihibahkan bagi penduduk kampung yang menjadi lokasi shooting) dan yang cukup mengagetkan suasana Mekkah digambarkan dengan cukup detail dan menarik lewat teknologi CGI.

Hanya saja penempatan beberapa produk yang terasa memaksa seperti Kacang Garuda, Baygon, Chocolatos, sangat menganggu, dan “mengotori” artistik film ini. Apalagi dimunculkan berkali kali seakan akan kuatir jika penonton tidak “ngeh” terhadap produk2 ini. Hal ini mengingatkan saya akan penempatan iklan dalam Adzan, yang baru2 ini menjadi pembicaraan diantara masyarakat.

Untuk kualitas akting, Didi Petet bermain baik, demikian juga Leroy Osmani dan Widyawati, khusus-nya buat Jenny Rachman patut dapat ancungan jempol. Sedangkan dua bintang muda Laudya bermain dengan baik meski tidak luar biasa sedangkan Herjunot Ali terlihat sekali bermain habis-habisan dalam film ini, sebuah upaya yang patut diancungi jempol meski suara tertawanya saat adegan di pantai bersama Zaenab (yang diperankan Laudya) agak sedikit menganggu (dan mengingatkan saya akan suara tertawa ganjilnya tokoh ayah dalam trilogy “Back To The Future”). Demikian juga adegan pacaran malam hari yang terlalu lama dan lebih terkesan agak sedikit “gila” dibanding romantis, dan tidak kalah memaksanya adegan menari dibawah hujan dengan disaksikan orang2 di pasar, mengingatkan saya akan film india. Sebaliknya adegan saat ibu-nya Hamid meninggal dalam pelukan Hamid ketika tengah diatas delman, yang berhenti di tepi kerimbunan hutan, cukup dramatis.

Salut buat Buya HAMKA, ulama sekaligus sastrawan yang karyanya masih bisa kita nikmati di 2011 ini, sekaligus mengingatkan generasi saat ini, bahwa karya bagus tidaklah mengenal masa, dia akan selalu indah kapanpun juga, meski mengangkat tema “kasih tak sampai” yang mana saat itu menjadi trend, dan saat ini mungkin justru terdengar ganjil. Akhir kata, rasanya kualitas bangsa ini dalam seni, memang sesuatu yang membanggakan, semoga Film Indonesia dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

The Untrue Power of Water - Haryadi dan Karni

Sebelum Masaru Emoto membuat beberapa buku yang meraih best seller terkait dengan keajaiban air, sebenarnya saya sudah lama tertarik dengan air, masalahnya persentasi terbanyak dalam tubuh kita didominasi oleh air, dan kesimpulan Emoto mengenai kemampuan air merekam pesan dan bereaksi terhadap pesan tsb menjadi terkesan wajar bukan karena cuma masalah dominasi air dalam tubuh kita tetapi juga bahwa faktanya air yang didoakan banyak digunakan dalam proses pengobatan di Indonesia. Sehingga “penelitian“ Emoto terkesan melegalkan tradisi kebanyakan masyarakat Indonesia terhadap air.

Masalahnya, penelitian Emoto sudah dicoba beberapa peneliti lain tapi tak kunjung menemukan apa yang dimaksud dengan kemampuan air sebagaimana yang dimaksud oleh Emoto. Belum lagi bahwa latar belakang Emoto bukanlah sains melainkan humaniora, dan gelar “Doctor” yang dimiliki berasal salah satu universitas terbuka di India, yang dikenal sebagai perguruan tinggi yang sangat longgar dalam memberikan gelar. Disamping itu metodologi yang digunakan Emoto tidak mengandung kaidah double blind (pembuat dan pengecek harus merupakan sosok yang berbeda) dan model sampling pemotretan-nya terkesan hanya mengambil sampel yang sukses dan mengabaikan sampel yang tidak sukses, sehingga konsistensi metoda-nya meragukan.

Emoto juga mengaitkan penelitian ini dengan HADO, sejenis kepercayaan di kelompok tertentu di masyarakat Jepang, yang meyakini adanya energi pada setiap benda. Misal ketika kita mengeluarkan kata kata negatif ke air, maka otomatis, akan terciptalah energi negatif yang akan direspon air dengan cara yang negatif juga.
Buku ini melontarkan kritik terhadap Emoto, tapi bukan dengan penelitian dibalas penelitian tandingan, melainkan mengutip penelitian Khristopher Setchfield, Kenneth Librecht, Kelompok Amanda White, Robbie Else dan Scott Wilson, dll. Akibatnya meski mengunakan kata pengantar Prof Soewarno Soekarto, bobot ilmiah buku sebagai jawaban atas buku Emoto jadi terasa kurang.

Meski demikian tanpa bermaksud menyerang Emoto secara pribadi, secara umum buku2 Emoto mengajarkan hal2 prinsip dalam berhubungan dengan air, yaitu memelihara lingkungan dan air disekitar kita, berpikir positif, mencintai dan bersyukur akan adanya air dalam kehidupan. Tentu saja ini sebuah pesan positif.