Wednesday, March 28, 2012

Epileptik - David Beauchard

Buku ini berkesan suram, murung, gelap, didominasi dengan warna2 hitam, dan dihantui mahluk2 aneh yang ada dalam alam pikiran David dan muncul dimana saja dalam buku ini. Apa yang tergambarkan di buku ini adalah curahan hati sebuah keluarga dengan tiga anak, dua lelaki dan satu wanita sekaligus sebagai anak bungsu dimana David sendiri merupakan anak kedua. Kenapa judulnya epileptik, ya karena memang asal muasal buku ini bersumber dari penderitaan keluarga tersebut dalam upayanya untuk menyembuhkan abang David, yaitu Jean Christophe, yang sejak kecil terus menerus diserang epilepsi.



Ceritanya bermula dari sejarah keluarga David, dimulai dari kakek dan nenek dari ayah dan ibu David, sampai dengan David bersaudara akhirnya mencapai masa dewasa. Entah sudah berapa dokter, dukun voodoo, terapis magnetik, ahli makrobiotik, akupuntur yang pernah mereka datangi, namun penyakit Christophe tetap tidak bisa disembuhkan. Kondisi ini diperparah oleh karakter Christophe yang cenderung “anak mama” sehingga dia lebih nyaman tergantung pada orang sekeliling-nya, khususnya ibu mereka dibanding mencoba untuk mandiri.

Pada masa2 ini, episode yang menarik adalah saat kakek David meregang nyawa, dan dalam imajinasi David, kakeknya bertransformasi menjadi manusia burung, yang akhirnya muncul dalam berbagai episode hidup-nya khusus-nya mimpi2 David. Sejak meninggalnya kakek, maka  manusia2 berkepala binatang makin sering muncul dalam komik ini.

Pada saat2 frekuensi kambuh meningkat, Christophe secara psikologis bisa menjadi sangat kasar, dan bahkan mampu memukul ayah ataupun menendang ibu-nya sendiri. Hal ini disebabkan oleh karakter nya yang masih belum dapat berdamai dengan penyakit yang dia derita. Ketika serangan dapat terjadi 3x sehari, maka Christophe dapat merusak liburan, mempermalukan keluarga, jatuh begitu saja di jalanan, dan berbagai hal lain yang secara psikologis harus dihadapi oleh David dan keluarga-nya. Belum lagi pandangan masyarakat yang seringkali justru seakan akan menjadikan momen ini sebagai tontonan, dan menganggap penderita dan keluarganya seakan akan sebagai korban kutukan.

Tertekan oleh situasi ini, David, dapat menjadi sangat kasar pada abang-nya, memukul-nya, sengaja memancing agar penyakit-nya kumat, mengencingi bak mandinya, dan bahkan mengusirnya. Dan semuanya dia ceritakan dengan sangat jujur dan apa adanya. Saat saat David sudah tidak sanggup mengendalikan emosinya, maka pelariannya adalah hutan disamping rumah, dimana dia dapat bertemu mahluk2 dari alam pikiran-nya. Situasi ini juga membuat David yang memang punya hobi menggambar semakin intens menekuni minat-nya, dan kelak menjadi  profesi-nya. Apakah David membenci abang-nya, saya rasa tidak, hal ini lebih diakibatkan kebencian-nya pada penyakit abang-nya yang dia gambarkan sebagai Naga. Karakter David yang introvert juga sangat terlihat jelas pada buku ini, dan situasi ini membuat dia semakin memilih untuk berkomunikasi dengan alam mimpi-nya.

Membaca buku ini cukup berat secara psikologis, suasana muram yang dirasakan David dengan cepat menular pada para pembaca-nya. Rasanya kita terlibat secara emosionil dan ingin menolong meringankan beban yang dirasakan keluarga David walau tak mampu. Juga mengingatkan saya akan seorang teman di masa sekolah menengah, yang sangat cerdas dan tampan, namun semua kesan itu berubah saat dia kejang kejang dengan mulut berbuih di lantai kelas, dan menyebabkan sebagian anak perempuan histeris dan akhirnya menghindari ybs. Saya juga tak pernah menduga efek-nya pada keluarga sebesar apa yang digambarkan oleh David. Namun dengan membaca buku ini serta mengerti perasaan keluarga, membuat kita bisa lebih fair dalam memperlakukan penderita dan keluarga.

Namun kita patut mengapresiasi karya ini, karena David dapat mengubah penderitaan-nya menjadi prestasi, dan pengakuan atas karya-nya ini diterima dari Time, The Comics Journal, dan San Fransisco Chronicle. Satu hal yang sangat saya kagumi dari David adalah kejujuran-nya dalam mengungkapkan apa yang terjadi.


 

Tuesday, March 27, 2012

Tiga Bayangan - Cyril Pedrosa

Sehabis belanja bulanan di Carrefour Kiara Condong, saya dan keluarga melewati stand discount produk Gramedia di, tiba2 si bungsu menunjuk buku relatif tebal dengan cover indah meski terkesan suram. Karena tertarik dengan cover yang indah dan misterius, maka kami membuka selembar demi selembar  novel grafis komikus Prancis ini dari sampel yang disediakan. Mata saya  langsung melotot melihat kualitas gambar yang disajikan. Sangat indah dan ekpresif sekaligus surealis. Akhirnya tanpa berpikir panjang, saya membeli buku ini dan langsung membaca-nya di rumah. Siapakah Cyril, dia adalah seorang komikus ex Disney kelahiran 22/11/1972 serta pernah terlibat dalam “The Hunchback of Notre Dame” dan “Hercules”.



Ceritanya sendiri seputar keluarga kecil yang tinggal di lokasi terpencil, di sebuah pondok nan indah dikelilingi daerah perkebunan dan hutan yang sangat cantik. Sang Ayah Luis, Sang Ibu Lise dan si kecil Joachim hidup berbahagia, dengan mengelola kebun dan ternak mereka, juga mandi bersama di danau sekitar pondok, sampai suatu saat kebahagiaan mereka berubah menjadi kecemasan karena  selalu di kuntit tiga bayangan yang terus menerus hilang timbul dan seakan akan memata-matai aktivitas mereka setiap hari.  Sejak saat itu hidup mereka berubah menjadi tidak nyaman, dan meski sudah meminta tolong pada “orang pintar” bernama Mistress Pike tak juga menyelesaikan masalah mereka. Bahkan Mistress Pike meminta mereka untuk tidak melawan bayangan ini dan memilih untuk menikmati saat kebersamaan mereka bersama Joachim. Namun alih2 menerima saran Pike, mereka memutuskan mencoba mendekat dan mengusir, namun tiga bayangan akan menjauh sementara, dan setiap kali mereka kembali ke rutinitas harian, maka tiga bayangan kembali mendekat.

Luis yang tidak tahan dengan situasi ini, akhirnya memutuskan pergi sejauh mungkin bersama Joachim meninggalkan istrinya Lise demi cinta mereka pada anak satu2nya itu, menyeberangi laut dan danau, namun tiga bayangan tersebut selalu mengikuti mereka berdua. Berhasil menyelamatkan diri dari kapal yang mengalami musibah dan terkena fitnah serta terjebak ulah penipu sampai kehabisan harta, akhirnya mempertemukan mereka dengan seorang tua sakti yang bersedia menolong Luis dengan memberikan kekuatan asal Luis memberikan “hati”-nya. Namun kekuatan yang dimiliki Luis tetap tidak dapat membuat mereka lolos dari kuntitan tiga bayangan, sehingga akhirnya Luis menyerah, dan tiga bayangan merampas Joachim dari-nya. Siapakah ketiga bayangan tersebut ?, meski Cyril seakan akan menyerahkan kesimpulan pada pembaca, kita dapat menduga bahwa yang dimaksud adalah malaikat kematian, yang entah kenapa digambarkan berjumlah tiga.

Meski cerita ini memang tidak berakhir dengan gembira, namun kualitas gambar Cyril  benar2 luar biasa, mencekam, surealis dan ekpresif. Tak banyak kata dalam komik ini, sebagaimana novel grafis, kita sebagai pembaca lah yang diminta mengambil kesimpulan dan merangkai kata2 sendiri untuk setiap gambar yang ditampilkan atau singkatnya “membaca gambar”. Gaya gambar yang melukiskankan kepolosan Joachim dan Lise ibu-nya mengingatkan saya akan film kartun kehidupan prasejarah "Kum-Kum", yang sering sekali menggambarkan tokoh utama-nya dalam keadaan polos.
Singkat kata, apakah moral of the story dari Tiga Bayangan ?, bahwa hidup ini tidak mungkin akan selalu bersama, tidak mungkin selalu bahagia, bahwa kematian dan perpisahan akan datang tanpa kita sanggup menolaknya, bahwa kita cukup menikmati apa yang kita miliki saat ini, bersyukur tanpa harus terganggu dengan  apa yang pasti terjadi nanti. Cyril sendiri terinspirasi dari anak2 sahabat-nya yang meninggal muda setelah memberikan kebahagiaan yang sangat pada orang tua-nya meski hanya sesaat.

Monday, March 26, 2012

The Raid (2011) - Gareth Evans

Rasanya sudah cukup lama sejak era Garin Nugroho, Indonesia belum lagi secara “bertubi tubi” mendapatkan gelar bergengsi di festival film internasional. Namun kali ini “The Raid” berhasil mendapatkan penghargaan yang sama, dan saya jadi tertarik untuk menonton film ini bersama keluarga. Penghargaan tersebut antara lain dari Toronto International Film Festival, Dublin International Film Festival, Sundance Film Festival, Busan, dll. Sayang-nya saya salah perkiraan, ternyata film ini sama sekali bukan film yang layak ditonton bersama  keluarga, adegan sadis terjadi dimana-mana, tembakan jarak dekat ke kepala, penusukan dan pembantaian yang bahkan langsung di mulai sejak adegan awal. Meski menyesal mengajak anak saya, perlu diakui ini film yang seru, akting berkelas dari Ray Sahetapy juga Pierre Gruno sangat membantu kualitas film ini secara keseluruhan.



Film ini menyadarkan kita bahwa selama ini bangsa kita seringkali memiliki keminderan ketika berhubungan dengan pihak asing, padahal justru dengan menonjolkan kekayaan budaya lokal seperti pencak silat lah yang membuat film ini memiliki “faktor x”, dan menyebabkan-nya mampu bersaing dengan film manca negara,meski tak  lepas dari peran sutradara asing Gareth Evans, yang harus diakui memiliki kualitas sinematografi action dengan kelas “khusus” bersama salah satu bule lainnya yang menjabat direktur of photography (DOP) sekaligus menjadi minoritas dua orang asing dalam film yang produksi-nya didominasi sumber daya lokal. Film  ini menjadi inspirasi bagi kita semua untuk bangga dengan nilai2 lokal yang kita miliki dan berusaha terus mengembangkan-nya menjadi  identitas bangsa. Rasanya tidak sia2  upaya Gareth mendokumentasikan pencak silat dan mempertemukan dia dengan Iko, yang akhirnya melahirkan film pertama  “Merantau” dan lantas di lanjutkan dengan film kedua “The Raid”. Gareth sendiri secara rendah hati menganggap film ini 100% Indonesia, karena pemeran, lokasi, budget, content semuanya adalah murni Indonesia.

Ceritanya sendiri bermula dari operasi rahasia pasukan khusus tanpa back-up, yang melibatkan kombinasi pasukan junior dan senior, ke sebuah apartemen tua 30 lantai yang dikuasai bos penjahat sekaligus gembong narkotik Tama Riyadi (Ray Sahetapy) selama sepuluh tahun terakhir. Namun komandan lapangan pasukan khusus ini seringkali berbeda pendapat dengan pimpinan yang di perankan oleh Letnan Wahyu (Pierre Gruno) yang dianggap menyembunyikan latar belakang penyerbuan ini. Perbedaan pendapat ini menyebabkan berkali kali diantara pasukan terjadi debat tak perlu, yang sejak awal sudah dipicu oleh ketidak setujuan Letnan Wahyu akan keterlibatan pasukan junior.

Kalah jumlah dan penguasaan medan serta penghianatan dalam tubuh pasukan elit ini menjadi kan mereka sebagai bulan-bulanan kawanan penjahat, satu persatu mereka tewas secara mengenaskan, termasuk komandan lapangan Sersan Jaka (yang diperankan dengan sangat baik oleh Joe Taslim) dan akhirnya menjadi bulan2an, psikopat bela diri merangkap centeng Tama Riyadi dengan julukan Mad Dog (Yayan Ruhian). Namun tokoh utama, Rama (Iko Uwais), berhasil bertarung dengan gagah berani dari lantai ke lantai sambil menyelamatkan salah satu anggota pasukan yang luka parah. Catatan tambahan dalam film ini adalah penggunaan tampang2 dengan raut khas muka saudara2 kita asal Maluku (Godfred Orindeod), walau terlihat wajar karena mencerminkan situasi saat ini (dipicu kasus2 perkelahian preman yang terjadi akhir2 ini), namun memang berpotensi SARA.

Menonton film ini mengingatkan saya akan sulitnya membuat film yang benar2 murni secara ide, begitu juga yang terjadi dalam film ini, tingkat kesulitan pertarungan dari lantai ke lantai mengingatkan saya akan film “Game of Death” nya Bruce Lee, CCTV yang disebar diseluruh apartemen dan dimonitor oleh sang Bos Penjahat, mengingatkan saya akan film “Sliver”-nya William Baldwin dan Sharon Stone, makian2an sepanjang film dan pertarungan melawan banyak penjahat dalam gedung bertingkat mengingatkan saya kan film “Die Hard” nya Bruce Willis, serta perkelahian brutal dan menguras tenaga, dengan shoot2 cepat mengingatkan saya akan  “Ong Bak” nya Tony Jaa.

Tetapi film ini bukan sekedar pertarungan, dia juga menyimpan misteri bahwa keterlibatan Rama dalam misi ini memiliki motivasi pribadi yaitu, mengajak abang-nya Andi (Donny Alamsyah)  kembali ke jalan benar, dan justru menjadi tangan kanan Tama Riyadi. Itu juga yang menyebabkan Rama di adegan awal sempat berjanji membawa Abang-nya kembali, pada Sang Ayah yang sudah lanjut usia. Adegan awal di mana Rama sholat subuh, dan pamitan sambil mencium perut istrinya yang hamil sangat mengharukan dan mengingatkan kita akan situasi berat yang sering dialami orang2 yang berkarir dengan mempertaruhkan nyawa. Namun di akhir cerita  misi pribadi Rama gagal, dan abang-nya tetap memilih eksis di jalan hitam, walau tetap menunjukkan rasa sayang-nya pada Sang Adik dengan membahayakan dirinya sendiri dalam menolong Rama. Adegan ini sangat ekspresif, dimana Rama digambarkan berjalan berlawanan arah dengan Andi.

Selain akting aktor2 senior, beberapa akting bagus juga ditunjukkan para pemain muda dalam film ini, meski artikulasi kata2nya sering  tak terdengar cukup jelas (bisa jadi karena tidak memiliki latar belakang teater), Donny Alamsyah yang berperan sangat baik dalam Negeri Lima Menara sebagai Ustadz Salman lagi2 menunjukkan kemampuan akting yang prima, demikian juga sang komandan Joe Taslim, dan juga Iko Uwais sendiri. Iko pemuda betawi yang memang sudah belajar silat dari umur 10 tahun dan meninggalkan profesi-nya sebagai supir di sebuah perusahaan telekomunikasibahkan harus rela mengalami robek ligamen otot dalam pertarungan dengan Yayan Ruhian yang juga habis2an dalam adegan laga seru serta mengalami tempurung lutut bergeser ketika bertarung dengan Godfred Orindeod saat seleksi pemeran tambahan. Akhir kata semoga Indonesia terus bangkit dan bukan cuma di film melainkan di semua hal positif lainnya.

Tuesday, March 13, 2012

Indonesia Mengajar - Anies Baswedan

Karena sebelumnya saya sempat menonton tentang “Indonesia Mengajar”  di acara Kick Andy, maka ketika melihat buku ini tanpa pikir panjang langsung saya comot dua, satu untuk salah seorang teman di Kantor (fans Anies Baswedan yang sedang merintis usaha sekolah di kampung halaman-nya)  dan satu untuk saya baca sendiri.  Jujur saya berharap dapat melihat satu cerita utuh, namun yang saya dapat adalah kumpulan cerita berbagai gaya yang tak semuanya menarik dibaca. Sepertinya karena kemampuan menulis yang berbeda beda, maka ada yang bener benar menyentuh seperti dua cerita pertama sehingga membuat kita berkaca-kaca, namun ada juga yang garing dan tak jelas mau kemana.

Ada juga pengajar muda  yang mengutip kata2 berbahasa Inggris, seakan akan tidak memiliki kebanggaan menggunakan bahasa sendiri dan tidak menemukan padanan-nya dalam Bahasa Indonesia. Saya jadi ingat Pramoedya, yang begitu bangga-nya dapat menggunakan Bahasa Indonesia sampai2 dia bersumpah tak lagi menggunakan Bahasa Jawa, dan hebatnya karya beliau dalam Bahasa Indonesia justru di publikasikan dalam lebih dari 40 bahasa di dunia.



Secara umum setengah dari total bab dalam buku ini sangat inspiratif, ada yang bercerita mengenai keindahan lokasi, bangunan sekolah yang menyedihkan, profesi masyarakat di lokasi, suka duka mengajar serta karakter beberapa anak yang bahkan diabadikan menjadi judul. Beberapa yang kocak adalah permintaan nama bagi bayi yang baru lahir pada salah satu pengajar muda, ataupun anak2 yang selalu mengantar dan menjemput guru2 yang mereka cintai dan sebaliknya. Tidak aneh kalau tokoh pendidikan Indonesia Arief Rahman ketika melepas para pengajar muda berpesan agar  anak2 muda ini jangan sampai jatuh cinta, karena kemudian itulah yang mereka rasakan, untung saja cinta mereka adalah untuk murid2 sekolah dasar di semua daerah penugasan dan bukan pada orang tua murid he he.

Kita juga dapat melihat potret pendidikan Indonesia, dimana anak yang masih harus bersekolah malah terpaksa membantu orang tua-nya bekerja, kekerasan di beberapa daerah yang merupakan tradisi dalam mendidik anak dan bahkan dianjurkan oleh guru2 senior,  gedung sekolah yang mau rubuh, belum masuk-nya listrik, serta infrastruktur lain-nya yang menyedihkan. Salah satu cerita berkesan adalah buku dalam kemasan yang tak pernah dibuka  karena kuatir kotor sedangkan perlakuan paling buruk dari sebuah buku adalah justru dengan tidak membaca-nya. Lewat buku ini kita diingatkan bahwa Indonesia masih jauh dari sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. 

Lewat buku ini kita terpesona melihat bagaimana Anies Baswedan mencetak Bapak dan Ibu Muslimah, tokoh pendidik  idealis dalam Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Sungguh kalimat “Setahun Mengajar, Seumur  Hidup Menginspirasi” sangat tepat menggambarkan indahnya program ini. Saya sempat berpikir kalau saja saya seumuran dengan anak anak muda “Indonesia Mengajar”, rasanya saya tidak akan berpikir panjang untuk mendaftarkan diri dalam kegiatan ini. Salut bagi lebih dari seribu anak muda Indonesia yang memutuskan untuk mengikuti program ini, meski hanya segelintir yang lolos seleksi. Meski demikian timbul pertanyaan dalam hati saya kenapa yang terpilih didominasi PTN seperti ITB, UI, UGM, dll sedangkan dari PTS nyaris tak terlihat. Akhir kata ini terlepas dari segala kekurangan, ini buku yang menginspirasi dan layak anda koleksi.

Dilamar Parmuhunan

Akhirnya setelah tiga tahun penantian dan menolak semua lamaran yang datang, pada tahun 1960 sekitar dua setengah tahun setelah berpulang-nya kakak-ku, suami ku datang kembali ke Padang Sidempuan, kami sempat bertemu di rumahnya dengan skenario yang diatur oleh Mayurida. Ternyata saat itu hanya ada dia di rumah, dan untuk pertama kali dia memegang tanganku dan menyampaikan lamaran secara pribadi. Saat itu jantung-ku berdebar debar kencang, untuk masa itu dan gadis pingitan seperti aku, memegang tangan merupakan sesuatu yang sangat mengejutkan dan tidak biasa.

Tak berapa lama keluarga suami melamarku, dan meski Ayah ragu, aku berkeras menjawab “ya”. Dan bahkan aku meminta Ayah menurunkan nilai emas kawin agar tidak memberatkan keuangan suamiku yang baru saja diterima di Akademi PTT di Bandung. Pesta pernikahan kami dirayakan tiga hari dua malam dengan sangat meriah. Ketika melintasi Medan, aku berziarah di makam kakak, hati-ku sangat sedih melihat makam-nya yang ditumbuhi ilalang dan tidak terawat dan aku memanjatkan doa padanya dengan berurai air mata. Beberapa hari setelahnya aku dan suamiku menaiki kapal menuju Jawa.

Menolak pinangan calon Jendral

Tiga tahun setelah pertemuan-ku dengan suami, aku terus menerus menunggu kabar dari-nya. Suasana di rumah berangsur angsur membaik, setelah meninggal-nya kakak-ku. Suatu hari adik-ku Lian mengenalkan ku pada sahabat baiknya. Sahabatnya ini seorang anak yatim piatu, sangat sopan, selalu menjadi yang pertama datang jika ada musibah dan membantu sebisanya (misalnya dengan ikut menggali kubur), mengajar anak2 kecil mengaji di langgar, dan bekerja keras sebagai kuli atapun asisten tukang kayu di akhir minggu untuk biaya sekolah.

Lambat laun karena aku sering memperlakukan-nya dengan lembut seperti adikku sendiri, sosoknya yang haus kasih sayang menyebabkan dia jatuh hati dan menyatakan perasaan-nya padaku. Melihat bahwa ini bisa dijadikan cara untuk memotivasi dia dalam meraih cita2. Aku menjanjikan akan mau menjadi istrinya kelak jika dia sudah sukses. Akhirnya dia benar2 sukses dan berhasil masuk ke Akabri, dan sangat kecewa ketika menerima kabar bahwa aku memilih suami ku sebagai pasangan hidup.

Kelak, saat hidupku dan suami sempat menjadi begitu sulit, seorang “pintar” mengingatkan aku akan janji ku pada sang Calon Jendral, yang ternyata memendam kekecewaan yang sangat. Saat aku sudah memiliki empat anak, aku memaksakan diri pergi ke Surabaya ditemani Halim adik-ku, dan meminta maaf pada Sang Jendral atas apa yang aku ucapkan saat itu, dan percaya tidak percaya, hidupku dan suami-ku membaik sejak itu. Peristiwa itu kami akhiri dengan berkurban kambing yang dibeli Lian.  Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagiku dan mengingatkan aku akan prinsip kehati2an dalam menjaga ucapan.

Menolak permintaan Ayah

Sedih atas meninggal-nya Khairani kakak-ku, Ayah menawarkan aku sebagai pengganti kakak-ku, atau dikenal dengan istilah “turun ranjang”. Namun berbeda dengan kakak yang sangat lembut, aku terang2an menolak permintaan Ayah. Apalagi pada saat itu aku sudah berkenalan dengan suamiku dan menerima tiga surat dari-nya enam bulan setelah pertemuan ku yang berkesan di rumah-nya. Ayah menangis memohon agar aku menerima-nya, dan aku tetap berkeras menolak-nya. Ironis-nya malam itu juga Ombak Harahap datang kerumah kami untuk mengabarkan undangan, bahwa dia sudah menemukan pengganti kakak dan berharap Ayah dan Ibu dapat datang ke acara pernikahan mereka.

Aku sangat menyesal menyadari kalau saja waktu itu aku mengatakan “ya”, sebenarnya pernikahan itu toh tetap tidak akan terjadi karena Ombak sudah menemukan calon lain.  Kalau saja saat itu anak kakak selamat, aku mungkin akan mengatakan “iya”, karena bagaimanapun aku pasti tidak akan membiarkan keponakanku besar tanpa seorang Ibu yang mengasihi. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan hal ini merupakan salah satu penyesalan terbesar hidupku. Setelah  peristiwa malam itu Ayah tak mau bicara denganku nyaris selama tiga bulan.

Khairani kakak-ku

Dari empat wanita bersaudara, wajahnya terlihat sangat berbeda dengan ku ataupun kedua adikku. Khairani putih, langsing, mancung,  bermata lebar, dengan figur ke-arab2-an. Sehari harinya dia selalu mengenakan jilbab dan baju kurung. Tutur katanya lembut dan hanya bisa menangis dalam diam seandainya keinginan tidak dipenuhi. Sosok kakak sangat menginspirasiku, dan kakak juga lah yang mengajarku ilmu agama, etika dan tutur kata.

Saat Ayah di penjara oleh Jepang, ada seorang Ibu yang dengan keluarganya selalu mengirim berbagai makanan, baik ke penjara maupun ke keluarga kami. Ibu itu memiliki beberapa putra, dan salah satu diantaranya bernama Thamrin, seorang pemuda berwajah cakap dengan masa depan cerah yang bekerja sebagai Duane di Tanjung Pinang. Saat Ayah keluar penjara, Ibu tersebut datang bersama keluarga untuk melamar Khairani dengan membawa berbagai perhiasan emas. Sayang Ayah serta merta menolaknya hanya karena merasa tak sanggup berpisah dengan Kakak ku.  Padahal kakak sangat ingin Ayah menerima lamaran tersebut.

Tak tega melihat kakak-ku bersedih, kakak perempuan Ayah yang belum juga dikaruniai anak, berusaha membujuk Ayah, namun Ayah marah besar dan mengatakan “Enak saja kau menyarankan aku untuk membiarkan Khairani pergi begitu jauhnya ke Tanjung Pinang ! kau gak tahu perasaan orang tua, sebab Tuhan tak pernah memberikan mu anak”. Kakak perempuan Ayah menangis karena sakit hati dan pergi dari rumah kami dengan pedih.

Tahu kakak-ku sangat berminat menerima lamaran itu, aku mengatur strategi dan membujuknya untuk kawin lari meski kakak takut, sayangnya Ibu ku karena pengaruh Ayah mengancam kakak, bahwa dia akan segera mati kesepian kalau kakak memutuskan untuk kawin lari. Akhir-nya Khairani dengan hati yang pedih mengikuti keinginan Ayah, sayang-nya hal ini menyebabkan kakak jadi semakin pendiam dan cenderung mengurung diri dalam kamar.

Suatu hari datang seorang kerabat, dan bercerita bahwa Thamrin akhirnya menikah dengan gadis lain, pestanya sangat meriah dan mereka hidup bahagia di Tanjung Pinang. Saat mendengar cerita itu kakak-ku tiba2 menangis sedih dan sejak itu dia menjadi lebih pendiam dan terus menerus mengurung diri serta bahkan sempat tidak mau berhias atau bahkan sisiran selama enam bulan. Ibuku akhirnya tidak tahan melihat rambutnya yang gimbal lantas memotong rambut kakak secara paksa, dan kakak hanya diam meski airmata-nya mengalir. Situasi yang dialami kakak sempat beberapa kali menyebabkan pertengkaran hebat antara kedua orang tuaku sehingga nyaris saja bercerai. Dalam pertengkaran hebat, di dorong rasa sedih yang luar biasa, Ibu memberikan pisau dan berkata pedas pada Ayah, “jika kau tidak ingin melihat dia bahagia, bunuhlah dia sekarang juga !”.

Awal 1957, kakak-ku kembali dilamar, kali ini Ayah setuju, namun sebaliknya kakak-ku malah menolak. Dia menangis memohon pada Ayah untuk tidak menerima lamaran tsb dan mengatakan dia tidak mau meninggalkan rumah kami dan akan melakukan apapun yang diminta Ayah asalkan dia tidak usah menerima lamaran tsb. Namun Ayah memaksa kakak menerima lamaran tsb.

Pria itu bernama Ombak Harahap seorang pemuda berkulit gelap dengan wajah india, mereka mengetahui kakak dari salah seorang kerabat. Karena pada masa itu keluarga si wanita biasa-nya akan “jual mahal” maka Ombak dan keluarganya berpura pura sebagai tamu yang mencari abang-ku Arief Lubis, dengan harapan dapat bertemu kakak. Saat itu aku kebetulan sedang menyapu di halaman dengan baju yang sobek di bagian ketiak. Melihat tamu datang aku segera masuk menyiapkan jamuan ala kadarnya (roti kelapa yang dipotong2 kecil2) dan meminta kakak ikut kedepan dan serta membantu menyiapkan dirinya agar tampil secantik mungkin karena sudah menduga maksud kedatangan mereka. Aku pun mengganti baju dengan yang lebih sopan.

Ternyata belakangan Ombak lebih memilih untuk meminangku. Kakak sempat menduga aku sengaja berganti pakaian agar perhatian Ombak beralih, dan kakak memintaku untuk menggantikannya. Namun aku yang memang tidak tertarik pada Ombak menolak permintaan tsb. Akhirnya beberapa minggu sebelum aku bertemu calon suamiku, setelah Ayah menerima lamaran Ombak, dan menyelenggarakan pesta pernikahan yang sangat besar sehingga membuat para tetua berkomentar, bahwa jangan sampai terlalu besar untuk yang satu tetapi mengakibatkan anak2 yang lain kelak dikorbankan.

Akhirnya kakak dibawa oleh Ombak ke Medan, dan tak berapa lama kemudian kakak hamil dan dia menjalani pernikahan-nya dengan hambar sekalipun Ombak sangat mencintainya. Untuk menemani kakak-ku, Ombak meminta salah satu bibi-nya yang belum menikah untuk tinggal bersama. Ombak sangat perhatian pada kakak, dan membelikan kakak bahan kain yang cukup lebar. Namun ketika bibi-nya Ombak menyarankan untuk membuat gurita dan perlengkapan bayi lainnya, kakak mengatakan tak perlu karena bayi ini akan menggunakan kain dari surga, sedangkan kain yang diberikan Ombak akan dia gunakan untuk kain kafan-nya. Kuatir dengan kalimat kakak-ku dan menduganya kesepian, maka bibi menyarankan kakak untuk silaturahim dengan mengunjungi keluarga besar Ombak. Namun kakak menolak dan mengatakan “untuk apa ?, biarkan mereka nanti yang beramai ramai mendatangiku”, seakan akan dia sudah dapat melihat upacara pemakaman-nya.

Saat kehamilan masuk pada bulan kedelapan, dia sempat bermimpi kaki-nya dibelit ular besar, dan akhirnya apa yang dibayangkan kakak-ku menjadi kenyataan ketika kakak ke kamar mandi, dia merasa seperti ada urat yang tersentak dan putus di bagian pinggang-nya, tak lama kemudian kakak kehilangan kesadaran, dari kuping, mulut dan telinga-nya darah bercucuran. Pada saat itu tepatnya akhir 1957, PRRI membom Medan, dan Rumah Sakit semuanya terpaksa tutup, sehingga kakak tidak mendapatkan perawatan yang semestinya. Akhirnya kakak ku kembali ke Sang Pencipta dan dimakamkan di Medan dengan menimbulkan duka yang sangat pada Ayah dan Ibu.

Tuesday, March 06, 2012

Cerita Calon Arang - Pramoedya Ananta Toer

Saat masih kecil saya ingat betapa ingin-nya saya membaca cerita bersambung “Calon Arang “ di majalah Kuncung. Apalagi cerita ini selalu jadi pembicaraan Kakak dan Abang saya. Namun, karena terlambat memulai sehingga tidak mengikuti cerita ini dari awal, saya akhirnya hanya melihat lihat ilustrasi-nya sekilas. Obsesi ingin mengetahui Calon Arang ini akhirnya kesampaian setelah membeli salah satu buku Pramoedya baru2 ini.



Kali ini Pramoedya membuat sebuah buku yang mengacu pada dongeng yang di bicarakan secara turun tumurun mengenai Kerajaan Daha (sekarang Kediri) saat dipimpin oleh Airlangga. Berbeda dengan karya Pramoedya yang lain yang cenderung mengacu pada sejarah (tetralogi “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah” sd “Rumah Kaca”), reportase  jurnalistik  (“Sekali Peristiwa di Banten Selatan”) ataupun kisah pribadi-nya (“Bukan Pasar Malam” dan “Gadis Pantai”), kali ini Pramoedya berusaha menuangkan cerita turun temurun ini menjadi tulisan.  Buku ini juga memiliki versi bahasa inggris dengan judul “The King, The Witch and The Priest”. Meski ada sumber versi Bali selain Jawa, Pramoedya sendiri memilih versi Jawa, tak jelas benar apa penyebab-nya, bisa jadi karena versi Jawa mengindikasikan Empu Baradah berasal dari tempat yang sama dengan Pramoedya.

Berbeda dengan buku2 Pramoedya lainnya, kali ini cover-nya sangat tidak sesuai, tak jelas benar siapa wanita yang dimaksud dalam cover, jika Calon Arang terlalu muda, namun jika yang dimaksud putrinya Ratna Manggali juga terkesan kurang rupawan. Dan karena teknik yang digunakan fotografi, cover ini makin terasa aneh mengingat setting cerita ini terjadi pada zaman dahulu.

Ceritanya sendiri tentang seorang janda penyembah “Betari Durga” bernama Calon Arang, yang kecewa karena anak perempuan satu2nya menunggu lamaran yang tak pernah tiba. Sesungguhnya bukan rupa, yang menyebabkan para pemuda setempat tidak mau melamar sang gadis karena Sang Anak justru seorang wanita yang cantik rupawan, tetapi kelakuan Calon Arang yang suka menyantet-lah yang menyebabkan orang2 takut melamar-nya. Calon Arang menguasai sihir, dan dengan murid2nya sering melakukan upacara yang mengorbankan manusia, meminum darah-nya dan menjadikan usus-nya sebagai selendang dalam tarian persembahan bagi “Betari Durga”. Upacara ini mengingatkan saya akan peradaban Maya yang digambarkan Mel Gibson dalam “Apocalypto”. 

Setelah sekian lama kemarahan Calon Arang semakin menjadi jadi, bahkan dia mulai menyebarkan penyakit mematikan meski masih diluar ibu kota kerajaan. Gerah melihat situasi ini Airlangga mengutus pasukan, yang sayang-nya justru gagal membunuh Calon Arang. Sehingga akhirnya dia meminta tolong Empu Baradah (yang menurut Pramoedya berasal dari Blora). Di lain pihak Calon Arang bahkan mulai berani menyerang kerajaan dengan lagi lagi menyebarkan penyakit. Empu Baradah lalu mengutus murid-nya Empu Bahula dengan terlebih dahulu melamar Ratna Manggali, agar sumber permasalahan yang menyebabkan Calon Arang berbuat jahat terlebih dahulu di selesaikan.

Singkat kata, Empu Bahula meyakinkan Ratna Manggali akan perbuatan jahat ibu-nya dan berhasil mencuri kitab ilmu sihir Calon Arang, lalu menyerahkan-nya ke Empu Baradah untuk dicari ilmu penawar-nya. Calon Arang yang marah lalu meminta tolong kembali ke “Betari Durga”, namun kali ini Sang Dewi menolak, karena menilai Empu Baradah bukanlah lawan sembarangan. Memutuskan untuk melawan Empu Baradah tanpa bantuan akhirnya menjadi “blunder” bagi Calon Arang, karena dia akhir-nya tewas di tangan Empu Baradah. Kocaknya sinopsis dalam buku ini agak sedikit “memiripkan” kejahatan Calon Arang sedemikian rupa sehingga kesan yang muncul justru kelakuan salah satu penguasa negeri ini. Sepertinya bagi yang masih penasaran bisa menyimpulkan sendiri siapa yang saya maksud  dari kalimat berikut ini “Semua lawan politik-nya dibabatnya, yang mengkritik dihabisinya”

Dewey - Vicki Myron

Kata apa yang terlintas dalam benak anda, jika mendengar kata “Dewey”, kalau saya yah jelas kata “perpustakaan”.  Kenapa justru kata “perpustakaan” ? , karena “Dewey” merupakan nama yang digunakan untuk metode klasifikasi buku  di perpustakaan. Kembali ke buku yang jadi topik utama kita , belakangan ini saya sering melihat buku “Dewey” di rak buku, kenapa gambarnya justru kucing saya juga tidak terlalu ambil pusing. Namun ketika saya melihat buku “Dewey Datang Lagi”, maka timbul rasa penasaran apalagi “Dewey Datang Lagi” dibuat konon kabarnya karena “Dewey” alias buku sebelumnya sukses. Tertarik dengan buku kedua, maka saya memutuskan untuk membeli dulu buku ke satu. Ternyata memang buku ini berkisah tentang kucing perpustakaan yang nama lengkap-nya adalah “Dewey Readmore Books”, sungguh nama yang lucu.
Cover-nya bergambar, seekor kucing tampan, dengan mata besar dan bulu panjang cenderung kuning tetapi berkesan jingga. Wajah-nya cerdas dan sedikit miring dengan ekspresi mengamati. Siapakah Dewey ? dia tadinya seekor kucing kecil berumur delapan minggu saat dibuang ke kotak pengembalian buku sebuah perpustakaan di suatu musim dingin pada tahun 1988 dalam keadaan menggigil lemah tak berdaya,kotor dan kaki sedikit pincang karena sempat membeku  lalu di rawat oleh Direktur Perpustakaan yang tak lain dan tak bukan adalah sosok Vicki Myron. Perpustakaan itu terletak di sebuah kota kecil bependuduk sekitar 10.000 jiwa dan terletak di Iowa.
Karena Vicki dan staff-nya sudah kadung jatuh cinta dengan sosok Dewey maka mereka memperjuangkan ke Dewan Kota agar  perpustakaan mendapatkan izin untuk memelihara dan menjadikan Dewey sebagai maskot perpustakaan. Untunglah dewan kota menyetujui, dan didukung sosok Dewey yang tidak usil serta sangat perhatian pada pengunjung yang datang. Lambat laun Dewey dan perpustakaan Kota Spencer menjadi pusat perhatian. Begitu populernya Dewey, sehingga jumlah pegunjung pertahun dari 63.000 kunjungan naik sampai dengan sekitar 100.000 kunjungan.
Dewey selalu mengamati pengunjung yang datang, dan pengunjung yang beruntung umumnya akan didekati oleh Dewey dan lalu tanpa ragu melompat ke pangkuan sang pengunjung, serta mendengkur halus menunjukkan kehangatan , keramahan dan kepercayaan-nya pada pengunjung. Lambat laun, dimulai dari publikasi di koran lokal, maka Dewey menjadi semakin terkenal bahkan sampai ke Jepang dan disiarkan dalam program televisi NHK. Situasi ini menyebabkan pengunjung perpustakaan menjadi semakin ramai. Bahkan sempat ada tiga film dokumenter mengenai Dewey dan sekarang ditambah dua buku karya Vicki Myron.
Salah satu interaksi Dewey dengan pengunjung yang paling berkesan adalah interaksi dengan seorang gadis kecil cacat bernama Crystal, dan gadis tersebut berubah menjadi pribadi yang lebih periang saat berinteraksi dengan Dewey. Meski tak ada instruksi siapa pengunjung yang harus didekati Dewey dan Sang Kucing memilih sendiri siapa yang akan dia dekati, namun uniknya Crystal termasuk prioritas Dewey jika si gadis kecil tersebut berkunjung.
Selain cerita tentang Dewey, kita bisa membaca kisah Vicki secara tidak langsung, perceraian-nya, kisah sampai dengan dia diterima sebagai asisten direktur perpustakaan selama lima tahun sampai dengan dipromosikan jadi direktur, konflik-nya dengan anak tunggalnya, dan suka duka-nya dalam mengelola perpustakaan, serta mengubah image perpustakaan dari sekadar tempat orang meminjam dan mengembalikan buku menjadi pusat diskusi, budaya, dan aktivitas sosial lainnya. Pada awalnya agak sedikit bingung kenapa memoar Vicki mendominasi beberapa bab, akan tetapi terlihat bahwa Vicki hanya ingin menceritakan bahwa saat2 berat dalam hidupnya terasa menjadi lebih ringan saat Dewey menjadi penghibur yang setia.  
Vicki dan Dewey  akhirnya melewati kebersamaan tersebut hingga 18 tahun, sampai dengan Dewey sakit dan akhirnya meninggalkan para pegawai perpustakaan, pembaca, dan perpustakaan yang dia cintai untuk selama-lamanya.  Jika saja kucing dapat menimbulkan dampak yang begitu luar biasa dengan menyebarkan kegembiraan, keramahan,  tentu saja kita sebagai manusia harus lebih terinspirasi untuk dapat berbuat lebih.

Thursday, March 01, 2012

Pengusaha Rock’n Roll - Intan Pratiwi

Bayangkan jika anda harus membuat sebuah tempat kursus musik, pastinya anda akan memulainya dari survey lokasi, sewa atau beli lokasi yang diinginkan, menyiapkan fasilitas di lokasi seperti ac, kursi, dll beli peralatan musik, cari guru, pasang iklan lalu cari murid kan ? Sebaliknya Intan, dia cari murid dulu, baru cari guru, kemudian minta guru kontak murid untuk set skedul, lalu menyiapkan tempat, dan sambil jalan mulai melengkapi alat musik, ac, kursi sampai dengan white board sesuai kebutuhan saat itu. Dia juga membuat skema bagi hasil dengan guru dan dengan demikian guru akan senang kalau tambah murid, karena pendapatan guru pun ikut naik.



Cerita menarik saat membuat majalah “Gitar Plus” juga dijelaskan oleh Intan, saat pengusaha lain membutuhkan ratusan juta untuk menyiapkan kantor di lokasi bergengsi, furnitur kantor termasuk ac, mempekerjakan puluhan staff, Intan sebaliknya dengan biaya seperlima-nya berdesak-desakan di kantor yang sempit serta panas, rebutan kipas angin yang cuma satu-satunya dan sudah tidak bisa geleng2  kiri kanan, antri komputer “lemot” yang cuma dua biji untuk menyiapkan artikel, jumlah staf yang gak lebih dari lima termasuk dia dan suami-nya dan sudah berani menjual ke distributor walaupun baru selesai cover-nya saja serta Intan bahkan tidak mengerti apa yang dimaksud dengan faktur saat harus kerja sama dengan distributor. Faktanya saat ini “Gitar Plus” sudah bertahan 10 tahun, dan masih menjadi satu2-nya majalah gitar di Indonesia, sementara rekan-nya yang memulai dengan modal yang jauh lebih besar justru harus gulung tikar.

Begitulah Intan pemilik majalah "Gitar Plus", satu demi satu bisnis dia lahirkan dengan cepat dan selalu berusaha duduk bareng dengan team serta partner untuk mencari solusi terbaik, dan sama sekali tidak takut gagal serta selalu siap bangkit kembali jika jatuh. Dimulai dengan berhenti kerja bersama suami, lalu Gitar Plus lahir, toko peralatan musik, tempat kursus sampai dengan event organizer untuk acara yang berhubungan dengan gitar. Tidak tanggung2, sambil bisnis di beberapa bidang diatas, dia juga sempat berjualan kasur, namun karena dikritik terus menerus oleh suami-nya karena gak nyambung dengan gitar (padahal kan gitaran bisa juga dilakukan diatas kasur he he). Intan akhirnya kembali fokus ke bisnis utama-nya. Pertimbangan kembali ke bisnis utama salah satunya adalah karena bisnis kasur hanya untuk dirinya sendiri, sedangkan bisnis gitar bisa untuk menghidupi lebih banyak karyawan, meski di toko musiknya dia juga masih saja "gatal" dengan menjual kopi (dengan dispenser) dan bahkan menjual buku yang dia buat sendiri.

Kini  Intan sudah melahirkan buku kedua, setelah buku pertama-nya “Bermain Dengan Uang” laris manis di pasaran. Gaya bisnis yang unik, meski terlihat nekat namun sebenarnya tetap penuh perhitungan, kreatif, dan langsung turun ke lapangan dia lakoni dengan hati gembira. Bahkan ketidak pahaman-nya soal sound system, lighting maupun gitar, sama sekali tidak menghalangi-nya untuk menjalankan bisnis ini. Intan juga terus menerus mengembangkan networking seluas-luasnya mulai dari direktur perusahaan atau bahkan cuma sekedar supir di kota dimana event Gitar diadakan.

Buku ini sangat enak dibaca, pada bab tertentu bahkan saya benar2 terkekeh kekeh sendirian yaitu ketika Intan menceritakan, bagaimana proses peminjaman bank mengharuskan dia negosiasi dengan staf Bank yang sangat “lemot”,sehingga dia terpaksa memilih Bank lain untuk mempercepat proses pencairan kredit. Jadi lewat buku ini Intan membuktikan bahwa dia bukan cuma berbakat bisnis terkait gitar (toko, event, kursus dan majalah), jualan kasur, ataupun kopi, dia juga bahkan sangat berbakat membuat buku yang enak dibaca.