Friday, September 28, 2012

Disidik Supir Taksi

Sore itu saya dan salah seorang staff saya, sebut saja CP, menaiki taksi dari daerah Kuningan ke Central Park. Ketika sedang asyik2nya membuka BB untuk melihat email2 yang masuk ke folder kantor, saya merasa sepasang mata terus menerus melihat saya, ketika saya mengangkat kepala, terlihat wajah sang supir melihat saya penuh selidik dari kaca spion. Usianya sekitar 50 an, raut wajah sepertinya berasal dari daerah timur Indonesia, bertubuh ramping, berkulit gelap dengan alis mata tebal, sorot mata tajam dan ekspresi penuh selidik, seakan akan saya bukan penumpang namun terdakwa.

Lantas berjalanlah proses interogasi antara pak supir sebagai penyidik (P) dan saya sebagai terdakwa (T)

P: Bapak sudah lama pakai kacamata ?
 
T: Hemm lumayan lama.

P: Apakah bapak tahu kenapa bapak pakai kacamata ?

T: Yaaa karena banyak membaca.

P: Saya banyak membaca tetapi tidak pakai kaca mata !, jadi bapak sebenarnya tidak tahu penyebabnya kan ?

T: Hemmm (agak sedikit bingung).

P: Bapak mau tahu ?

T: (mengangguk ngangguk dengan ekspresi masih bingung campur pasrah, serta menebak nebak, apa sih maunya si supir ini ?)

P : Penyebab utama ada tiga pak, ayam negeri, telor ayam negeri dan mie instan, apakah bapak tidak tahu kalau ayam negeri itu dulu dibawa oleh BS (sambil menyebut nama seorang pengusaha eksentrik terkenal), ayam negeri itu disuntik dengan berbagai hormon, begitu juga telur-nya dan juga mie instan, semuanya sudah menggunakan berbagai bahan kimia yang sangat merusak, saya tidak pernah makan, makanya saya sehat. Ayam kampung dikagetkan terbang, ayam negeri pingsan (lantas dia mengucapkan berbagai pantun berirama dan cepat, namun saya tidak ingat persis apa kata2nya).

T : ohh (sambil mengangguk ngangguk dan teringat acara investigasi di salah satu TV swasta)

P: Zaman dulu, orang2 sehat, sekarang masih muda sudah diabetes, tumor, radang sendi, ibu saya umur 60 tahun sudah meninggal, karena setiap hari makan makanan seperti itu, begitu juga bapak saya, dan akhir hidup mereka penuh dengan berbagai macam penyakit, sejak itu saya memutuskan kembali ke alam. Begitu juga ikan, sudah banyak yang menggunakan pengawet, apa bapak suka ikan ?.

T: Suka sih.. (mulai agak segan dan merasa bersalah), cuma saya bilang sama asisten di rumah, kalau cari ikan, cari yang ada lalatnya tapi jangan terlalu banyak, kalau banyak berarti busuk banget, kalau tidak ada lalat berarti sudah menggunakan pengawet.

P: Nah itu pak, kalau saya lebih suka ikan gabus, bermanfaat untuk berbagai macam penyakit, begitu juga sayur x,y,z (dia menyebutkan berbagai macam sayuran yang saya sudah tidak ingat, namun mendadak saya jadi ingat Professor Hembing, sepertinya supir ini cocok jadi fans-nya).

T: (mulai tertarik)

P: Kalau bapak masih tidak percaya, saya sudah tanya seorang dokter kenalan saya, dia bilang zaman dulu Rumah Sakit sepi, sekarang luar biasa ramai, sudah seperti Mall, apa coba artinya ?, orang sekarang gampang sakit. Bahkan bukan cuma itu, zaman dulu tidak ada pria berdada besar (sambil melirik dada saya dan CP yang memang kebetulan cukup besar, dan kami sempat saling lirik membandingkan siapa yang lebih besar).

Akhirnya saya dan CP turun di Central Park, dan saya jadi merenung sekaligus mengingat buku Rizki Ridyasmara, mengenai konspirasi asing dalam bidang makanan dan obat. Konspirasi ini bertujuan melemahkan suatu bangsa, sekaligus peran industri obat di belakang-nya dan tentu saja motif serakah bisnis plus konspirasi rahasia. Dan hari ini saya membaca bagaimana Monsanto berada dibalik rekomendasi Komisi Keamanan Hayati varian RRNK603 dan Bt Mon89034. Meski sebaliknya Prof Gilles Eric Seralini dari Caen University, Prancis meneliti dampak berupa benjolan tumor yang memenuhi tubuh tikus percobaan pada 2009 dan 2012 setelah diberi asupan varian ini (penelitian lain menemukan gejala kematian prematur, kerusakan hati, ginjal). Saat ini hasil produksi varian ini di Meksiko digunakan untuk bahan sereal, tortilla dan kripik.

Sepertinya masih belum hilang dari ingatan kita mengenai kasus kapas Bollgard di Sulawesi Selatan, dimana lagi lagi Monsanto berperan di belakang layar, dan berhasil memaksakan produknya di tanam di beberapa kabupaten. Meski dua tahun kemudian dihentikan oleh kementerian pertanian karena dianggap gagal. Dan tragisnya, penjualan bibit ini biasanya sekaligus berpasangan dengan pestisidanya, sehingga membuat petani menjadi lebih tergantung sejak bibit hingga pemeliharaan.

Moral of the story-nya, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara dengan keaneka ragaman hayati terbesar di dunia, sudah selayaknya kita melakukan riset sendiri dan menemukan bibit terbaik yang dapat diproduksi dengan cara2 yang sehat dan alami. Hentikan jalan pintas dengan memberikan rekomendasi pihak2 asing yang tidak jelas motifnya. Bukankah kita memiliki PTN yang khusus meneliti pertanian (yang saat ini malah lebih banyak bekerja di Bank, Pers dan IT), juga kementerian pertanian yang dengan mendayagunakan mereka secara benar,  tentu saja kita dapat menciptakan kemandirian, dan memberikan manfaat yang lebih banyak bagi dunia.


 

Thursday, September 27, 2012

The Power of 10-10-10 - Suzy Welch


Kadang kita dihadapkan dengan situasi rumit dan harus mengambil keputusan segera, kebanyakan orang menggunakan intuisi, yang lain berusaha mencari second opinion sedangkan sisanya mungkin malah tertekan dan ragu mengambil putusan yang mana. Buku ini memberikan metode pengambilan keputusan dan sangat banyak contoh praktis bagaimana menerapkan-nya.
Saat ikut training Covey dan melihat bagaimana Jack Welch dijadikan sebagai salah satu contoh sukses Seven Habits ketika mengangkat kembali General Electric,  saya tidak pernah menduga akan membaca buku Suzy yang saat ini adalah istri-nya. Suzy  menyarankan penggunaan 10 (menit), 10 (bulan) dan 10 (tahun). Apa yang dimaksud Suzy adalah kemampuan menguji dampak keputusan secara waktu. Dengan begitu kita dibimbing untuk mengambil putusan yang tepat.
Misal seperti yang dialami Natalie, suatu saat paman-nya meninggal, persis ketika dia mau berangkat ke pemakaman dalam rangka mewakili keluarga-nya sendiri, salah satu anaknya mendadak minta diantar ke sekolah krn mobil jemputan berhalangan, begitu pula mendadak suaminya berhalangan mengantar si bungsu ke dokter gigi.Natalie bisa saja melakukan keduanya namun dengan demikian dia tidak bisa ke acara pemakaman. Setelah berpikir jangka panjang akhirnya Natalie memutuskan ke pemakaman dan berusaha mencari solusi instan untuk kedua kasus lain-nya. Solusinya adalah meminta tolong guru anak-nya untuk mengantar si sulung, serta reskedul jadwal dokter gigi si bungsu.Uniknya suaminya bahkan memutuskan untuk bergabung, setelah menyadari hadir ke acara pemakaman memiliki prioritas jangka panjang yang lebih penting khususnya dihadapan keluarga besar.
Penerapan pada kasus lain, pola pikir 10-10-10 membuat kita melakukan redefinisi hidup kita, misalnya seperti apa kita 10 tahun lagi ? Dengan demikian kita dipaksa untuk melakukan hal2 yang sesuai di 10 menit (jangka pendek)  dan 10 bulan (jangka menengah). Suzy sendiri mulai menemukan ini  saat menyadari kerja kerasnya sebagai wanita karir membuat hidupnya tidak bahagia, bercerai di usia 40 an (Jack Welch adalah suami kedua-nya) , dengan empat anak.Terobsesi dengan nilai2 nenek-nya  (seorang pengusaha wanita berkarakter keras di tahun 1940 an) yang menjadi panutan Suzy, dan  menyebabkan dia tidak memiliki nilai2nya sendiri.
Apakah cara ini pasti berhasil ? belum tentu, namun membuat kita lebih bahagia dan lebih pasti menjalani hidup. Salah satu contoh-nya adalah Pete Turkel, redaktur shift khusus malam hari di Associated Press. Pete masuk jam 16:00 dan pulang jam 08:00, dia tidur ketika anak2nya pergi sekolah, dan istrinya ke kantor, dan pergi ke kantor saat anak dan istrinya kembali untuk makan malam dan tidur. Suzy yang bingung mengira Pete tidak bahagia, namun jawaban Pete "Aku mendapat bonus shift malam, jika aku bertahan, maka aku bisa pensiun lebih awal, membiayai anak2 ku ke universitas, membeli sebuah rumah di tepi danau , dengan dermaga, setiap menit yang kulakukan saat ini akan terbayar lunas saat aku keluar melalui pintu kantor ini di hari terakhirku". Namun setahun kemudian Pete dan istrinya tewas dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Dalam hal ini pertimbangan jangka panjang-nya (lebih sulit dipastikan) yang terlalu kuat mengabaikan jangka pendek (lebih mudah dipastikan).



Salah seorang rekan wanita Suzy yang dibesarkan dengan tradisi musik klasik, mengira anaknya menyukai instrumen tertentu, dan "memaksa" anak itu terus menerus belajar menggunakan-nya. Sampai suatu saat anak itu menginginkan drum dan mereka konflik karena-nya. Setelah menggunakan 10-10-10, rekan Suzy tersebut menyadari 10 tahun dari sekarang anak ini tidak akan berhasil dalam dunia musik, karena tetap tidak menyukai pilihan instrumen-nya. Lalu memutuskan mengalah dan memberikan drum sebagai hadiah ulang tahun anak-nya sekaligus memperbaiki hubungan ibu-anak serta memastikan anak-nya tetap ada di jalur musik dengan potensi lebih baik karena instrumen yang dia sukai.
Contoh lain, Suzy pernah memiliki asisten bernama Megan yang cerdas namun sedikit ceroboh, suatu hari dia melakukan kesalahan fatal saat pengiriman hadiah ke rekanan. Jika Suzy menggunakan 10 pertama, sudah pasti dia akan memecat Megan, namun Suzy akhirnya memilih 10 yang kedua, karena yakin jika dia mau sabar membimbing Megan, maka dalam hitungan bulan Megan akan menjadi asisten yang hebat, dan memang terbukti belakangan. Megan akhirnya menjadi sosok sukses dan perfeksionis, dan selalu mengatakan di balik karir-nya yang cemerlang ada peran signifikan Suzy sebagai mentor. 
Jadi redefinisikan-lah hidup anda, 10-10-10 akan membantu kita persis seperti GPS dalam suatu perjalanan. Khususnya jika anda menganggap pekerjaan atau hidup anda saat ini meski sangat penting sekaligus terasa sangat sulit, atau kadang2 merasa fisik dan psikis anda seakan akan terpisah saat momen2 kritis dimana keputusan harus diambil. Namun metode ini tidak penting jika anda sudah bahagia dengan hidup anda saat ini serta sudah tahu persis apa tujuan hidup anda.

Tuesday, September 25, 2012

Armageddon - Wisnu Sasongko

Setelah membaca Yakjuj dan Makjuj karya Wisnu Sasongko (atau kadang dikenal dengan nama pena Muhammad  Alexander) yang meraih predikat best seller di Malaysia dan bahkan mencapai cetakan kesepuluh hanya dalam waktu sangat singkat, saya jadi tertarik mencari karya beliau lain-nya. Beberapa saat lalu, salah seorang sahabat yang tahu saya tertarik dengan karya beliau memberikan hadian Armageddon #1 (2003). Lalu setelah melakukan perburuan yang sulit dan berbulan bulan akhirnya saya berhasil mendapatkan Armageddon #2 (2008).  Apa yang menarik dari buku Wisnu Sasongko ini, yang jelas beliau berbeda dengan Jaber Bolushi yang terkesan lebih sebagai "dukun" dengan pendekatan matematika alias utak atik angka, Wisnu lebih seperti ilmuawan, sejarawan dan menggunakan pendekatan sistematis dan rasional.




Apa yang membuat buku Armageddon menjadi dua jilid, sesuai penjelasan Wisnu, saat buku pertama terbit, banyak sekali pertanyaan yang memerlukan jawaban. Dengan demikian pertanyaan2 tersebut dianalisa dan dibuatkan jawaban-nya dalam buku kedua. Pada buku ini juga Wisnu melengkapinya dengan bebagai macam gambar, dan diagram untuk mempermudah pemahaman pembaca mengenai hal2 yang dimaksud oleh Wisnu.

Pendekatan yang dilakukan Wisnu misalnya soal efek Dukhaan (kabut asap) pada penduduk bumi, kenapa selektif dan berdampak pada kelompok tertentu saja, menurut Wisnu karena terjadinya di bulan Ramadhan, saat sebagian manusia berpuasa, dan mengakibatkan lekosit cendrung tinggi sehingga meminimalisir efek semacam “influenza berat” akibat Dukhaan pada manusia.  Pendekatan seperti ini boleh2 saja, namun jika merefer ke sejarah Nabi Muhammad SAW misalnya saat burung Ababil menyerang pasukan gajah, jelas ini bukan rasional tetapi semata2 keajaiban dan kuasa Allah.
Namun berbicara bencana selektif, ini bukanlah hal baru, dan mengingatkan saya akan issue kolaborasi Israel dan Amerika menciptakan virus yang selektif terhadap kode genetika tertentu, sehingga berdampak hanya pada ras tertentu saja. Meski menurut pengakuan virus ini hanya eksis di laboratorium, tak ada yang tahu apakah ini pernah digunakan dalam perang yang sebenarnya.
Tidak tanggung2  sebagaimana Yakjuj dan Makjuj yang menggunakan sumber2 kitab Yahudi, Wisnu juga menggunakan berbagai sumber, seperti Al Qur’an, Hadits, Injil dan Taurat serta data sejarah lain-nya. Wisnu juga membahas akibat Dukhaan, terhadap kulit, mata, telinga dengan detail dan juga berbagai macam jenis benda langit dan semuanya dilengkapi dengan catatan kaki yang lengkap dan jelas. Dan meski terkadang terkesan diulang ulang, buku ini sangat enak dibaca. Namun sayang team artistik-nya tidak bekerja secara profesional, khususnya cover yang terkesan sangat biasa dan terlihat berbeda dengan edisi barunya yang terbit di Malaysia.
Masih ada buku karya beliau yang saya cari, sayang-nya sesuai kabar yang beredar masih belum diterbitkan di Indonesia, dan buku ini merupakan penjelasan lanjutan dari Yakjuj dan Makjuj (Gok – Magog) dan dibuat untuk membuka misteri siapa sebenarnya Iskandar Zulkarnaen dan apa hubungan-nya dengan "Alexander The Great". Semoga karya terbaru beliau ini dapat segera kita temukan di Indonesia. 

Monday, September 24, 2012

Brida - Paulo Coelho

Malam itu sambil duduk berangkulan, Brida dan Lorens memandangi kapal-kapal, yang melintasi sungai. Lalu memandangi langit musim semi yang penuh bintang. “Coba lihat langit itu”, kata Lorens, mengelus rambutnya, “apa yang kita lihat sekarang sama dengan wajah langit, ribuan tahun lalu”. “Kebanyakan bintang2 itu sudah mati, tapi cahaya mereka masih mengisi alam raya, bintang bintang lain terlahir amat jauh, dan cahaya mereka belum bisa mencapai tempat kita berada”.

Kutipan diatas (saya modifikasi sedikit) menggambarkan salah satu situasi yang terjadi, antara Brida sebagai tokoh utama dan Lorens pacar-nya. Tetapi kalau anda mengira akan seasyik ini semuanya, anda salah besar. Pada novel kedua Coelho yang saya baca ini, alur-alur ala “The Alchemist” hilang. Pada Brida, kita seakan dibawa melayang ke alam surealis.

 

Pada alam ini tidak lagi jelas mana yang nyata dan mana yang mimpi, mana yang benar dan mana yang salah. Cerita-nya sendiri mengenai Brida seorang gadis cantik yang terobsesi untuk menjadi penyihir, dan dia memilih dua orang guru masing2 wanita (Wicca) dan pria (Magus), yang mewakili dua tradisi atau jalan untuk menjadi penyihir, yaitu tradisi Bulan dan Matahari. Tak jelas benar bagaimana Coelho dapat terinspirasi menulis dunia ini, karena ritual2nya ditulis dengan cukup detail, dan tidak jelas apakah imajinasi atau Coelho memang mengetahui dunia “abu-abu” ini.

Brida digambarkan harus menjalani kompleksitas dalam memilih jalan hidup, spritualisme, cinta dan mengeksplorasi dirinya sendiri, serta berani mengambil risiko kegagalan, kekecewaan, kehilangan arah, tapi tak pernah berhenti dalam pencarian.

Lokasi peristiwa ini digambarkan disekitar Dublin dan hutan serta reruntuhan kastil atau gereja disekitarnya, dan tradisi yang digambarkan sepertinya mengacu pada budaya Celtic. Setting waktu adalah pada masa kini, dimana hal-hal modern seperti restoran masakan Jepang sudah ada dimana-mana. Buku ini cukup sulit dicerna, meski saya hanya perlu waktu sekitar 1x24 jam membaca buku Stieg Larson yang nyaris 1000 halaman, tetapi buku Coelho memerlukan 4x24 jam padahal cuma 232 halaman. Hanya yang punya minat khusus pada sastra yang cocok membaca buku ini, dan untuk pembaca normal tidak saya rekomendasikan.

Sunday, September 23, 2012

Tinggal kelas karena nama

Suatu hari Lian pulang dengan wajah pucat, pada hari dimana diumumkan kenaikan kelas dan semua anak2 yang lulus berbahagia, sebaliknya bagi Lian. Ayah dan Ibu segera bertanya apakah dia lulus ? Pada masa itu, tidak ada rapot, guru akan mengumumkan anak2 yang lulus begitu saja dan langsung pindah ke kelas yang lebih tinggi. Menurut Lian begitu nama “Abdul Halim” disebut, karena ada dua anak yang memiliki nama yang sama, maka “Abdul Halim” yang satunya meski dikenal sebagai anak dengan kemampuan dibawah rata2 namun gesit, segera pindah kelas, dan sampai pengumuman selesai diucapkan, tidak ada lagi nama “Abdul Halim” yang dipanggil.

Daripada harus mengecek ke sekolah, Ayah dan Ibu memutuskan memindahkan Lian ke sekolah lain di Roburan. Bagi Ayah yang memang berprofesi sebagai pengajar tentu ini merupakan situasi yang tidak nyaman.

Profesi Sampingan Sang Penggembala

Saat menggembalakan kambing, adalah masa2 penjajahan Jepang, dan makanan menjadi sesuatu yang sangat mewah di masa itu meski sekedar sekepal nasi tanpa lauk. Meski ayah dan ibu kami mengajarkan perbuatan yang baik dan benar, namun godaan lapar saat menggembalakan kambing selalu datang tanpa bisa dicegah.

Di dekat salah satu ladang, tinggal sebuah keluarga petani penjaga ladang keturunan Jawa di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari kayu. Entah kenapa aku selalu berpikir pastilah makanan mereka sangat enak, dan suatu saat pucuk dicinta ulam tiba, rumah kayu tersebut dalam keadaan sepi. Dan tak sengaja aku melihat ujung kunci yang terlihat dibalik batu. Tergoda dengan bujukan setan, aku mengambil kunci tersebut. Bersama Lian aku berdiri di depan pintu, dan memasukkan anak kunci ke lubang-nya, sesaat  sebelum diputar, aku ingat kata2 Ayah dan Ibu mengenai dosa mencuri, namun godaan lapar begitu kuat. Gamang akhirnya aku melemparkan kunci itu ke atap seakan akan sekaligus membuang pikiran jahat, tanpa menyadari apa akibatnya bagi keluarga tsb saat pulang dan tidak menemukan kunci rumah. Sejak saat itu daerah disekitar rumah kayu tersebut kami hindari, dan memilih daerah lain untuk menggembalakan kambing betina kami.
Hari yang lain, saat menggembalakan kambing kami melihat sebuah  kebun yang dipagari dengan tanaman hidup seperti kacang panjang. Pagar hidup itu mengelilingi ubi jalar yang saat itu masih merupakan tanaman langka. Didorong rasa lapar yang hebat, aku menyuruh Lian untuk mengambil sepotong ubi, karena badan-nya yang kecil masih memungkinkan dia untuk dapat menyusup diantara pagar hidup. Tak berapa lama, dia keluar dengan sepotong ubi merah di tangan, lalu kami makan begitu saja mentah2.
Di tempat lain lagi, saat menggembalakan kambing, kami melihat pohon jambu biji, yang meski masih kecil sebesar pergelangan namun sudah berbuah ranum anehnya hanya satu biji. Aku menarik pohon-nya, Lian memetik jambu tunggal tersebut. Lalu kami bagi dua, dan rasanya ketika gigi kami menembus daging-nya yang putih, lembut dan berair sungguh sangat nikmat dan tak terlupakan apalagi di saaat terik dan kehausan, meski setelahnya kami lagi2 merasa berdosa.  
Namun rasa lapar tidak harus menyerang saat menggembalakan kambing, kebiasaan sampingan tersebut akhirnya juga menjadikan  mangga tetangga sebelah sebagai obyek perburuan kami berikutnya. Untuk ini diperlukan kehati2an, dan saat yang kami pilih adalah antara adzan maghrib sampai dengan isa, karena saat itu Ayah dan Ibu bisa dipastikan akan sangat tekun beribadah dan tidak keluar dari kamar. Setelah aku memastikan keempat puluh ayam kami semuanya masuk kandang, lalu aku dan Lian membagi tugas, aku yang mengawasi, dan Lian yang bertugas memanjat pohon. Namun kami lupa kalau tetangga tersebut wc-nya merupakan bangunan terpisah, dan saat Lian memanjat, tetangga kami keluar dengan membawa ember, dengan pucat aku mencoba memberi isyarat namun sudah terlambat. Lian segera menahan napas, dan menempelkan dirinya sedekat mungkin seakan akan dia merupakan bagian dari pohon tersebut. Untung saja kali ini kami selamat, seandainya ketahuan sudah bisa dibayangkan hukuman yang harus kami terima dari Ayah dan Ibu yang dikenal sangat keras. Kali lain kami memilih mengambil Sawo milik tetangga yang sama, khususnya untuk dahan2nya yang menjuntai ke halaman kami, karena menganggapnya sebagai hak kami. Lalu sawo2 itu kami peram di bawah kolong rumah, pada masa itu kebanyakan rumah merupakan rumah panggung. Setiap pulang sekolah kami memeriksa sawo2 yang matang dan segera membaginya begitu ada yang memenuhi syarat. Aku menulis dengan kapur pada salah satu papan di kolong dengan rasa bangga “mangan sawo alak di son”, yang artinya kira2 “ada orang makan sawo aku disini”.
Namun ketika ada kesempatan berbuat baik dan tidak harus mencuri tentu saja itu merupakan tawaran yang lebih baik daripada profesi sampingan aku dan Lian selama ini. Dalam perjalanan pulang bersama kambing, kami melewati  sebuah rumah yang dihuni seorang Ibu Muda bernama Sarina. Karena bayi perempuan-nya masih kecil, sedangkan dia harus melakukan pekerjaan rumah tangga, dia meminta kami menjaga bayi-nya. Sebagai hadiah, dia memindahkan nasi yang sudah matang dari periuk ke wadah terpisah, lalu menyiram kerak nasi di dasar periuk dengan kuah gulai. Kemudian dia korek semua kerak berlumur kuah gulai tersebut dari dasar periuk dan membungkusnya menjadi dua tumpukan yang hangat dan harum dengan daun pisang. Tak lupa dia ucapkan terimakasih, dan lantas kami segera mencari tempat yang nyaman untuk menyantap hidangan istimewa tsb. Begitu kami kekenyangan maka giliran Si Kambing menikmati daun pisang bekas pembungkus, dan dia pun dengan nikmatnya langsung mengunyah2.

Menggembalakan kambing.

Karena ayah setiap hari harus pergi mengajar di Sekolah Rakyat dengan mengayuh sepeda hitam kesayangan-nya, sedangkan ibu ke sawah, maka sepertinya mereka berdua memutuskan untuk memberikan aku dan adikku Halim (biasa di panggil Lian) tugas khusus. Kenapa kami berdua ? karena kami berdua relatif sebaya, dan Kakak kami sudah disibukkan mengurus adik2 kami yang lebih kecil. Suatu hari Ayah membawa seekor kambing betina hitam, dan lalu  meminta kami sepulang sekolah untuk membawa kambing tsb ke lapangan rumput disekitar rumah. Dan inilah yang menjadi cikal bakal petualangan kami selama beberapa waktu kedepan.

Halaman belakang kami memang tidak memungkinkan untuk menggembalakan kambing, karena sempit dan tidak banyak rumput yang tersedia. Aku yang saat itu masih kelas lima dan Lian kelas tiga, sangat sulit mengendalikan kambing tersebut khususnya ketika kandang-nya baru dibuka, karena dia akan langsung berlari sambil mengembik kelaparan. Lapar setengah hari membuat kambing seakan akan musafir di gurun yang mendadak menemukan oase. Aku tak mampu menahan-nya begitu juga Lian, maka aku biasanya segera memutarkan tali tsb ke tubuhku, sehingga kambing tsb harus berlari dengan menyeret aku dibelakang-nya. Menjelang sore kami kembali menuntun kambing tersebut ke rumah dengan meneriakkkan kata2 seperti “no no no” atau Lian biasa-nya dengan meneriakkan “hush hush hush”.
Aku selalu menggunakan mukena yang sudah sobek di sana sini dengan diikat tali bahan pembuat tikar, sedangkan Lian menggunakan baju terusan yang juga dia gunakan sebagai baju sekolah, baju di rumah dan juga sekaligus seragam penggembala kambing. Setelah menemukan lahan berumput, maka kami mengikat-nya dan membiarkan-nya makan sepuasnya, jika rumput disekitar tempat tsb habis, maka kami menggiringnya dan mengikatnya kembali di tempat lain.
Suatu hari kambing tersebut hilang, dan kami sudah berkeliling mencarinya sampai menjelang sore. Kami sangat ketakutan, karena pada zaman Jepang, binatang ternak tanpa pemilik akan langsung diserahkan ke Jepang. Kuatir akan dimarahi ayah dan ibu, kami berteriak “hush” dan “no” seperti biasa seakan akan kambing tersebut sedang kami giring ke kandang. Malam itu aku dan Lian gelisah dan sulit untuk segera tidur. Keesokan harinya barulah kami mengaku bahwa kambing tsb hilang. Ibu segera menyuruh abang kami mencari-nya, dan akhirnya dia ditemukan berada di kolong rumah “Kuria Batu Na Dua”, yaitu pejabat kampung, dan berada di samping seekor anjing herder milik mereka yang sedang diikat.  Takut meminta izin pada pejabat kampung, dan sekaligus takut pada anjing tersebut, menyebabkan kami menunggu disekitarnya, sampai kambing tsb akhirnya keluar sendiri mencari rumput. Saat itu aku menyadari bahwa aku merindukan kambing tersebut kembali ke rumah kami.
Suatu pagi kambing kami mengembik dengan suara yang aneh dan lebih mirip tangisan. Aku dan Lian bergegas ke kandang, saat membuka pintu pintu kandang kami menemukan seekor kambing jantan kecil di samping kambing kami dengan warna hitam dan bintang putih di antara tanduknya. Ternyata perut gendutnya yang selama ini kami kira rumput berisi kambing kecil, namun siapa jantan-nya, sampai saat ini masih misteri bagi kami. Selama beberapa saat aku sempat keheranan melihat pusat si Bintang (begitu kami memberi nama kambing kecil tersebut) yang panjang, namun seiring dengan penambahan usia, pusat Si Bintang pusat menjadi normal, ternyata itu adalah bagian dari plasenta yang belum lepas pada saat awal kelahiran.   Beberapa saat kemudian lagi kambing kami melahirkan kambing betina putih, dan lagi2 menjadi misteri berikutnya bagi kami, siapa jantan-nya.

Suatu hari, ketiga kambing kami  masuk ke wilayah yang dijadikan Jepang sebagai daerah terisolasi untuk menumpuk hasil bumi untuk kepentingan perang. Kami sangat takut mengingat beberapa penyusup yang mengalami nasib mengenaskan ketika ketahuan masuk ke wilayah tersebut. Namun Lian berhasil masuk, dan sebelum Jepang datang, dia  berhasil menghalau keluarga kambing tersebut keluar pagar berduri itu. Saat Lian berusaha keras, aku menanti diluar dengan perasaan tegang dan cemas. Namun akhirnya Lian berhasil menyelesaikan misi tersebut.
Jika ada pertemuan pastilah akan ada perpisahan, maka hari itupun tibalah,  kami kedatangan tamu, seorang pria setengah baya bersepeda dengan dua keranjang di kedua sisi sepeda. Terlihat ayah dan pria tersebut, berbicara sejenak dan lalu pria tersebut mengangkut ketiga kambing kami, induk-nya, si bintang dan adik si bintang yang masih kecil. Tak jelas kenapa Ayah menjual keluarga kambing tersebut, tapi aku menduganya karena cukup banyak masalah yang menimpa aku dan Lian akhir2 ini. Lalu pria tersebut mengayuh sepedanya makin lama makin kecil hingga akhirnya menghilang di balik tikungan. Entah kenapa bukan-nya lega yang aku rasakan, dengan air mata menggenang aku melihat kebalik tikungan dan akhirnya menyadari kami tidak akan pernah bersua kembali dengan mereka.  

Wednesday, September 19, 2012

Selamat Jalan Sahabat

Hemm sedih juga melihat foto2 “T” sahabat-ku, di facebook-nya dia mengupload foto2 teman seangkatan. Begitu juga foto anak2nya yang kebetulan ketiga-nya cewek dan paling besar masih sekitar 12 tahun-an serta foto2 anak bungsu-nya yang menggemaskan.

Jadi ingat waktu aku bertemu dia pertama kali di RS Advent Cihampelas, Bandung, karena kita berdua sama2 kena lever. Aku kena lever, karena hampir setiap malam “begadang” buat persiapan kuliah, sedangkan dia karena terbentur setir saat tabrakan. Karena kamar kami terpisah oleh gang, kami surat2an dengan dibantu suster Rumah Sakit, kita juga saling kirim puisi, dan dia kadang suka kirim gambar "nakal" buatan sendiri. Dia juga sering cerita bagaimana dia menggoda setiap suster yang manis dan kebetulan didominasi oleh suku Batak dan Manado.

Beberapa bulan kemudian tanpa direncanakan eh ketemu lagi di Politeknik ITB, sebagai mahasiswa baru dan surprise ternyata kita satu jurusan di Teknik Komputer. Saat itu dia masuk bareng "A" (yang biasa dipanggil “T” dengan sebutan "ay** aep") dan mereka berdua memang sama2 alumni SMAN 5 angkatan 1987 dan sekelas. Karena sama2 penderita lever, kita berdua kompak tidak ikutan Resimen Mahasiswa (yang saat itu merupakan kewajiban di Politeknik ITB) serta sekaligus menjadi kaum minoritas dua orang gondrong di jurusan selain “Yk” dan “Yn” (“Yk” yang peranakan Jepang-Solo dan “Yn” yang peranakan Sunda-Batak, memang merupakan minoritas cewek di jurusan kami).

Terus karena kita sama2 ingin kos, aku bahkan menjadi teman sekos / sekamar di tempat pak Siringo ringo agar lebih hemat. Tapi aku hanya sekitar enam bulan kos, sementara “T” terus lanjut di sana sampai setahun-an. Disana sebagian besar temen akrab-nya adalah suku Batak, termasuk “U” yang mantan keyboardist Jamrud (dulu masih dikenal sebagai Jamrock).


Cerita menarik semasa kuliah, saat perut “T” ditonjok “P” salah satu rekan kami dari Malang karena meneriakkan "***cuk", dengan maksud bercanda pada “P” yang saat itu telat masuk kelas, tapi situasi-nya tidak pas. Namun “T” meski anak-nya pemberani tidak lantas panas, dia setengah berbisik pada ku dan dengan sportifnya mengaku salah.

“T” juga yang mengenalkan aku dengan film dewasa, karena koleksi-nya yang lumayan, dan karena khusus untuk dia, orangtuanya memberi kebebasan "istimewa", saat menyadari putra bungsu-nya ketika kecil agak berpenampilan "feminin". Keistimewaan tersebut menurut “T” diberikan orang tua-nya krn ingin dia menjadi pria seutuhnya. Aku masih inget film yang dia putar saat itu, yaitu film kontroversial mengenai voodoo berjudul “Angel Heart” yang dibintangi Mickey Rourke dan pemeran anak Bill Cosby dalam the Cosby Show. Dia juga yang mengenalkan game "poker nakal" pada teman2 satu angkatan dan sempat kepergok saat dimainkan di laboratorium jurusan. Namun lucunya Bapak Pengawas, sengaja diam dan menunggu persis di belakang “T” sampai semua baju tokoh wanita di game tersebut terlucuti.

Aku juga ingat kalau angkatan atau jurusan kami main sepak bola, “T” lah yang jadi kiper, rasanya main jadi back jadi tenang sekali kalau dia “stay“ di bawah tiang gawang. “Tongkrongan”-nya yang tinggi dan besar serta tidak pernah takut "menabrak" striker lawan bikin kita “pede” melawan jurusan lain.

“T” yang aku kenal adalah penggemar Queen, Tangerine Dream, Kitaro serta album2 solo Freddie Mercury. Koleksi-nya boleh dibilang lengkap. Sementara saat itu aku justru lebih suka Iron Maiden, Megadeth, Metallica, Deep Purple, Led Zeppelin, Genesis, Pink Floyd, dll.

Aku juga ingat dia cukup sering main ke rumah, cuma bukan buat menemui aku, melainkan ibu ku. Maklum saat itu dia sering konflik dengan ibu-nya, dan dia menemukan sosok pengganti dalam diri ibu ku, sehingga sempat terobsesi mencari istri bermarga Lubis seperti ibu. Suatu waktu dia menyatakan rasa sukanya pada adik perempuan ku, namun merasa kurang enak pada ku, karena ketahuan “belang”-nya sebagai  "playboy" yang sering tebar pesona sana sini.

Saat aku menikah, dia menyempatkan diri datang setelah izin dari tempat bekerja-nya di Glaxo, salah satu perusahaan di bidang obat2an. Lalu kami dan istri-ku sempat makan malam bertiga di salah satu tempat jajan di Bandung. Saat itu Bandung baru diguyur hujan, dan aku sempat bertanya rencana dia untuk menikah. Kini semua tinggal kenangan, hanya bertahan dua hari di ICU terhadap serangan stroke, akhirnya “T” menyerah dan kembali ke Sang Pencipta, semoga “T” diterima disisiNya, diampuni semua dosa2nya, diterima pahalanya dan diberikan tempat terbaik di sisiNya, selamat jalan sahabat.

Tuesday, September 18, 2012

Perahu Kertas - Dee

Sebenarnya saya sudah lihat buku ini beberapa kali, dan sama sekali tidak “ngeh” kalau buku ini adalah karya Dee. Sebelumnya saya nyaris menonton film-nya juga bersama keluarga, namun di saat terakhir saya memilih menonton karya Deddy Mizwar. Beberapa hari yang lalu si bungsu minta dibelikan "PK",  karena menurut teman2nya ini merupakan buku yang bagus, hemmm bagus untuk remaja, tetapi apakah untuk seusia saya buku ini bagus ? belum lagi covernya yang berkesan “abg” itu. Singkat kata, saya akhirnya membeli buku yang judul-nya juga pernah digunakan sebelumnya oleh Sapardi Djoko Damono. Namun sebelum diberikan pada si bungsu saat week end, rasanya tidak ada salahnya saya coba untuk membaca-nya di saat week day sekaligus mengaktifkan radar orang tua untuk mencegah hal2 negatif jika ada .

Kesan awal buku ini memang terkesan seperti “teenlit” atau kisah2 remaja tanggung kelas akhir SMA atau tingkat2 awal perguruan tinggi. Hemm rasanya topik yang aneh juga kalau mengingat usia Dee yang sudah menjadi seorang istri dan sekaligus ibu. Namun jawaban-nya adalah karena buku ini memang sempat dibuat di tahun 90’an meski untuk kalangan terbatas dan tidak dalam kesatuan yang utuh, namun buku yang direncanakan muncul secara bersambung ini terhenti selama lebih dari 10 tahun. Saat sebuah perusahaan provider mengajak Dee untuk kerja sama dengan menawarkan space untuk menampung karya Dee, eh Dee malah menyarankan untuk menggunakan karya yang ini,  karena memang belum pernah dipublikasikan. Provider menyambut dengan senang hati, dan langsung memberikan dead line yang super ketat.

Akibat janji pada provider, maka Dee terpaksa menyepi selama 55 hari, dan bahkan tinggal di tempat kos, yang sekaligus menyegarkan-nya dengan kehidupan mahasiswa di Bandung yang memang  merupakan tema sentral novelnya kali ini. Keluarga Kugy yang digambarkan sering pindah, kuliah di Bandung, memiliki seorang adik perempuan, sepertinya menggambarkan kisah hidup Dee sendiri yang kebetulan memang “anak kolong” dan sering mengalami pindah rumah.

Berbeda dengan Supernova #1 (Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh) yang terkesan dewasa, pada awalnya buku Perahu Kertas ini terasa kekanak2an, namun makin kesini makin terlihat bahwa ini memang karya orisinil-nya Dee meski indikator-nya tidak banyak. Meski skenario-nya terasa lemah, penokohan-nya cukup kuat, emosi tokoh2nya digambarkan secara baik, Kugy yang tampak luarnya kekanakan namun dewasa, Keenan yang pendiam dan tertekan karena figur ayah-nya (yang juga merupakan nama anak Dee dari pernikahan pertama-nya) , Ojos yang kecewa dengan sikap Kugy, Wanda yang mengharap cinta Keenan, Luhde serta Remi yang cintanya tak terbalas,  dan tokoh2 lainnya. Begitu juga ciri khas  Dee yang sering memasukkan unsur “ilmu” dalam novel2-nya, semakin terlihat menjelang akhir buku.  Mulai dari bahasa Belanda, Bali, Sunda, serta berbagai pengetahuan mengenai seni ukir dan lukis, saat Keenan di Ubud memenuhi buku ini walau tidak secanggih Supernova.

Perahu Kertas

Namun kalau harus mengeritik buku ini, saya cenderung mengangkat pacaran kelewat bebas gaya remaja kota, seperti  bisa menginap di kamar hotel yang sama seperti yang diminta Wanda pada Keenan, atau  Ojos ketika mengajak Kugy berlibur bersama di Bali. Sebagai orang tua, saya cukup miris membaca-nya, bagaimana tidak ? remaja2 yang masih mengandalkan biaya orang tua memilih cara berpacaran kelewat bebas. Saya sendiri jadi ingat saat jalan2 bersama keluarga beberapa tahun yang lalu di Bali, dan bertemu dengan salah satu anak komposer / arranger top di Jakarta yang memiliki band sendiri, sedang berpegangan tangan dengan teman wanita-nya di malam hari melewati salah satu gang yang bermuara di Kuta. Namun Dee sepertinya tidak membenarkan / menyalahkan budaya ini, sepertinya Dee memilih untuk memotret-nya.

Cara Kugy memberi harapan pada Remi dan cara Keenan memberi harapan pada Luhde juga menimbulkan kesan ada yang salah dengan-nya. Bagi saya ini mengganggu dan terasa sangat egois, karena hanya berpikir soal perasaan sendiri saja.  

Selain potret budaya diatas, buku ini juga penuh dengan kebetulan, sehingga hubungan Kugy dan Keenan, terasa tidak dibangun dengan realita yang kuat, dan jalan ceritanya juga relatif mudah ditebak, jadi bagi saya akhirnya, jelas ini bukanlah novel sastra yang memukau, malah kalah kelas dibanding karya Dee sebelumnya, sekaligus terlihat kekurangan riset dan referensi, namun tetap novel pop yang asyik, dan masih "layak" dikoleksi. 

Saturday, September 15, 2012

Kubah - Ahmad Tohari

Kapten Somad berkata “Sebelum datang kematian, setiap orang akan mengalami satu diantara tiga cobaan; sulit mendapatkan rezeki, kesehatan yang buruk, dan hilangnya orang2 terdekat. Yang kini sedang terjadi pada dirimu, saya kira, adalah gabungan ketiga cobaan hidup itu. Luar biasa memang. Namun apabila kamu percaya dan berserah diri kepada Tuhan, maka jalan keluar selalu tersedia”. Ini kutipan dari halaman 27, dialog antara Kapten Somad pada Karman, saat Karman akan meninggalkan penjara setelah 12 tahun terasing di Pulau Buru sebagai  tahanan politik. Sangat mengena dan menyadarkan sekaligus menampar Karman yang sempat atheis karena pengaruh partai yang dia ikuti, tak aneh rasanya jika karya ini mendapatkan penghargaan sebagai novel terbaik 1981 dari Yayasan Buku Utama Kementrian P&K, dan bahkan sudah diterbitkan dalam bahasa Jepang.



Bagaimana Ahmad Tohari menggambarkan keterasingan Karman saat menjelajahi dunia di luar penjara, juga menarik sbb; Karman berdiri dan kembali termangu, merasa terasing seperti benda langit yang baru sedetik jatuh ke bumi. Benar2 ungkapan yang sangat menarik, dan kena. Karya Ahmad Tohari dari dulu memang bagaikan magnet bagi saya, dia seakan muncul dan tiba2, serta langsung menjadi salah satu sastrawan papan atas dalam dunia sastra Indonesia.

Membaca penderitaan Karman seperti dipenjara, dalam keadaan sakit, istrinya yang cantik menikah kembali dengan lelaki lain, anak lelaki-nya menumpang di rumah saudara, anak bungsu-nya meninggal, dan kebingungan yang dia alami kembali ke dunia di luar penjara tanpa tahu harus berbuat apa, mengingatkan saya akan Pramoedya Ananta Toer. Tetapi memang sekali dua putusan yang salah di masa muda akan memberikan dampak yang terus menerus dalam hidup seseorang. Persis seperti moral of the story-nya komik Rose yang baru saja saya tamatkan.

Buku yang saya rekomendasikan untuk dibaca, dan dikoleksi mumpung Gramedia tiba2 merilis buku yang dulunya memang pernah diterbitkan tahun 1995, lalu 2001 dan 2005 dan mendadak muncul lagi di 2012.

Friday, September 14, 2012

Rose - Jeff Smith dan Charles Vess


Ketika di Gramedia, seperti biasa saya langsung menuju pojok buku2 discount. Cukup susah mencari buruan disini, karena tidak disusun secara baik, namun lebih mirip bagaikan terserak begitu saja. Jadi memang dibutuhkan kesabaran ekstra.
Kesabaran saya memelototin tumpukan itu akhirnya terbayar saat melihat Bone 7, cukup lama saya mencari ini, setelah memiliki enam Bone sebelumnya. Sepertinya Pionir Jaya sebagai penerbit tidak mencetaknya dalam jumlah cukup. Namun review kali ini tidak membahas Bone 7, karena saya menemukan harta karun karya Jeff Smith lain-nya dan cuma satu2nya di dalam tumpukan tsb yaitu Rose.
Lantas apa hubungan Rose dengan Bone, tentu bukan cuma karena sama2 karya Jeff Smith, melainkan Rose lah yang mengawali semua komik Bone yang ada. Jadi akan sangat menarik mengetahui siapa Tuan Berkerudung (alias Briar), Lucius dan Nenek Ben (Rose) serta misteri diantara ketiganya dan juga asal mula Raja Belalang.
Ada perbedaan antara Rose dan serial Bone, jika Bone cenderung hitam putih, maka Rose berwarna, meski pilihan warna yang digunakan bagi saya terlalu pucat. Tak jelas juga bagaimana Vess dan Smith sebagai kolaborasi pemenang Eisner Award ini dalam membagi peran dalam Rose, kesan saya Vess lebih banyak fokus ke gambar sebaliknya Smith ke cerita, dan aneh juga kenapa kolaborasi mereka berhenti di Bone, karena Smith akhirnya terkesan jalan sendiri.
Meski demikian, jika anda penggemar Bone, maka Rose akan menjadi koleksi yang sangat berharga. Lantas apa moral of the story-nya ? kadang dalam hidup kita khususnya di saat muda kita melakukan kesalahan, namun ini terus menerus memberikan dampak besar terhadap nasib kita di masa depan. Dalam hal ini cerita yang disusun Smith sangat kuat sehingga efek psikologis komik menjadi lebih dalam.

Thursday, September 13, 2012

Illuminati - Henry Makow


Buku ini unik bukan melulu karena isinya melainkan karena justru dibuat oleh keturunan Yahudi. Beliau  terpanggil untuk menulis karena mengkhawatirkan masa depan dunia, meski harus berhadapan dengan ras-nya sendiri. Sayangnya meski isinya sangat menarik, lagi2 ufuk tidak melakukan fungsi “proof reader” dengan baik, dan saya menemukan begitu banyak kesalahan ejaan di buku ini, termasuk judul bab.
















Salah satu poin paling menarik di buku ini adalah summary dari “Protocols of The Learned Elders of Zion” termasuk pro dan kontra terhadap keaslian dari dokumen ini.  Saya pribadi salut pada Makow yang secara terang2an memposisikan dirinya sebagai “musuh” dari Illuminati, meski dia tentu mengalami konsekuensi yang tidak ringan. Bukan rahasia lagi, jika para penentang di garis depan umum-nya mengalami nasib mengenaskan, mulai dari yang paling sederhana seperti situs-nya di banned, dicap anti semit, sampai mengalami percobaan pembunuhan.

Hal menarik lainnya dalam buku ini adalah banyaknya referensi yang digunakan oleh Makow, dan kesemuanya memang menunjukkan arah kesimpulan yang sama. Bayangkan satu dunia, tanpa agama, tanpa kepemilikan, tanpa ikatan keluarga, dan semuanya dicapai melewati pengorbanan jiwa milyaran penduduk dunia lewat perang, bencana yang diset, kontaminasi makanan produk modern, manipulasi media, manipulasi keuangan dunia, dll, sungguh impian yang benar2 mengerikan.

Wednesday, September 12, 2012

Midah Si Manis Bergigi Emas - Pramoedya Ananta Toer

Buku yang pertama kali terbit di tahun 1954 ini dibuka dengan mengutip pandangan Pramoedya, yaitu "ah sudara, manusia ini kenal satu sama lain, tapi tidak dengan dirinya sendiri". Cukup menarik, meski tidak jelas apakah yang dimaksud Pramoedya dengan tidak mengenal dirinya sendiri itu tokoh utama alias Si Manis Bergigi Emas.
Cerita ini sederhana saja, mengenai seorang wanita bernama Midah yang sempat jadi anak tunggal dan dapat perhatian penuh dari kedua orang tua-nya. Namun segera setelah adik2nya lahir, Midah tidak lagi menjadi pusat perhatian. Bahkan sempat mengalami kekerasan dari ayah-nya hanya karena menggemari musik keroncong.




Saat menjelang remaja, ayahnya alias Haji Abdul, menikahkan-nya dengan Haji Terbus untuk menjadi istri kesekian. Tak berani menolak permintaan ayah-nya menikah, Midah memilih kabur dari suaminya saat hamil tiga bulan.
Dalam kondisi galau dan uang yang semakin menipis, Midah akhirnya memutuskan mengikuti rombongan pengamen keroncong, aliran musik yang memang disukai Midah. Berhasil menyelamatkan diri dari pelecehan salah satu anggota rombongan menyebabkan hubungan yang dekat dengan Kepala Pengamen. Namun karena menolak lamaran Sang Kepala Pengamen, Midah kembali harus mencari jalan-nya sendiri.
Lalu dia ditolong seorang polisi yang lalu jatuh cinta padanya. Sayangnya setelah menghamili Midah, Sang Polisi tak mau bertanggung jawab pada perbuatan-nya. Saat itulah Midah kembali ke runah orang tua-nya. Kondisi hamil tanpa suami, menyebabkan keluarga ayah dan ibunya yang dikenal sholeh menjadi bahan gunjingan. Akhirnya Midah kembali harus pergi ke jalan tetapi dengan meninggalkan anak sulungnya.
Pada akhir cerita, Midah kembali digambarkan bernyanyi dari satu tempat ke tempat lain, dan lebih bebas lagi dalam pergaulan. Bagi Midah yang nota bene dibesarkan dalam keluarga dengan latar belakang agamis, hal2 seperti moral dan kesusilaan  tidak lagi penting.  
Akhir kata, IMHO ini bukan salah satu novel terbaik Pramoedya, riset yang minimal, akhir cerita yang terasa kurang pas terasa cukup mengganggu khususnya saat Midah meninggalkan anak sulungnya, meski cerita nya tetap terasa mengalir sebagai ciri khas Pramoedya. Bagi penggemar karya terbaik Pramoedya saya tidak menganjurkan untuk membaca buku ini, namun jika anda seorang kolektor karya beliau, buku ini tetap menjadi koleksi yang berharga.

Monday, September 10, 2012

The Girl Who Played With Fire - Stieg Larsson

Agak aneh juga saya baru membaca buku kedua, setelah sebelumnya menyelesaikan buku pertama dan ketiga dari trilogi milenium ini. Kenapa bisa begitu ?, maklum buku Larsson yang beredar di pasaran kebanyakan adalah hasil produksi 2010, jadi ketersediaan di toko buku cukup langka dan saya tidak bisa memperoleh ketiga-nya sekaligus.  Karena sudah tahu cerita awal dan cerita akhir-nya wajar2 saja jika hasrat untuk menyelesaikan buku ini tidak seperti dua buku sebelumnya, sehingga otomatis agak lambat. Bahkan diantara proses membaca buku ini saya sempat memilih untuk menamatkan sebuah buku lain.



Jika buku pertama dapat disimpulkan sebagai cerita yang berdiri sendiri, tidak demikian halnya dengan buku kedua yang kaitan-nya cukup erat dengan buku ketiga.  Bahkan misteri yang di bangun di buku kedua sebagian besar baru dapat dipecahkan di buku ketiga. Jadi buku kedua ini memang serba tanggung, dan agak aneh rasanya ada reviewer yang menganggap buku kedua lebih baik dari pertama kecuali sekitar 50 halaman terakhir buku kedua yang memang sangat menegangkan.  Saya jadi ingat trilogi “Lord of The Ring” nya Peter Jackson, saat orang menonton episode kedua, kritikus mengatakan sbb; “Rasanya ganjil ada  orang mau membayar untuk menonton Two Towers, sebuah film yang awalnya ada di film sebelumnya, sedangkan akhirnya tidak jelas sampai dengan film ketiga dibuat”.

Tokoh2 yang ada dalam buku kedua ini masih Salander, Blomkvist, Erika, Palmgren, dll sedangkan di pihak lawan ada tokoh2 seperti Alexander Zalachenko (yang merupakan Ayah kandung sekaligus musuh Salander), dll. Seperti biasa Blomkvist lagi2 memamerkan “kelainan”-nya lagi2 berhubungan dengan Harriet Vanger si ahli waris Henrik Vanger, industrialis Swedia yang muncul di buku pertama. Begitu juga dengan Salander yang di awal cerita digambarkan keliling dunia namun juga tebar pesona sekaligus menikmati seorang bocah belasan tahun. Satu2nya tokoh yang terlihat normal adalah Jan Bublanski, inspektur polisi berdarah Yahudi, namun jika harus memilih tokoh normal lain-nya tentu saja Palmgren wali Salander sebelum Bjurman bisa dimasukkan. 

Kali ini Salander dan misteri terbunuh-nya pasangan Mia dan Dag, dimana Dag adalah salah satu kontributor Millenium, sedangkan istrinya Mia adalah seorang peneliti sekaligus kandidat Doktor mengenai human traficking di Swedia yang melibatkan Alexander Zalachenko yang ironis-nya di lindungi olah dinas khusus intelijen Swedia.  Namun korban lainnya juga akhirnya ditemukan, yaitu Bjurman, yang juga adalah wali Salander. Kesemua korban ini akhirnya menyeret Salander seakan akan sebagai pelaku tunggal dan diperkuat dengan latar belakang Salander yang kelam. Namun diantara tuduhan yang bertubi tubi, sebagian kecil orang termasuk Blomkvist tetap percaya bahwa Salander justru seorang korban, dan berusaha membuktikan dugaan mereka tsb.

Pada beberapa literatur yang saya baca, jadi lebih jelas kenapa karya Larsson cenderung terkesan “feminist”, ternyata hal ini dipicu oleh peristiwa dalam hidupnya saat melihat penganiayaan seksual dan brutal sekelompok gang pada seorang gadis. Penyesalan karena membiarkan hal itu terjadi, menyebabkan Larsson tak dapat melupakan-nya dan sekaligus seakan akan malam wisuda-nya sebagai seorang feminist atau pejuang hak2 wanita.  

                                                               

Thursday, September 06, 2012

The Alchemist - Paulo Coelho

Buku ini sudah nangkring cukup lama dalam rak buku saya, bahkan saya masih terus membeli karya Coelho yang lain seperti Brida, The Pilgrimage, Eleven Minutes, The Devil and Miss Prym, dll meski belum sempat membacanya . Namun baru beberapa hari yang lalu akhirnya saya tamatkan. Berbeda dengan kebiasaan saya yang membaca buku secara sekuensial, kali ini buku kedua dari trilogi millenium-nya Stieg Larsson saya tinggal sementara karena jenuh membaca berbagai kelainan seksual dalam karakter tokoh2nya, dan mencoba fokus menyelesaikan karya Coelho pertama saya.

 

Buku ini tipis saja, cuma sekitar dua ratus halaman, mengisahkan seorang gembala, seorang Pemuda yang bernama Santiago yang memiliki mimpi dan memutuskan untuk mewujudkan-nya dan meninggalkan comfort zone-nya di Spanyol dan menuju Mesir untuk menemukan Piramida yang muncul berkali kali dalam mimpinya. Disepanjang jalan dia menemukan berbagai macam karakter unik, dan semakin membuat dia yakin akan penting-nya mewujudkan mimpi. Buku ini ditulis dengan gaya dongeng campur realita, berbicara mengenai kesulitan hidup namun juga mengisahkan keajaiban ala dongeng.

Membaca buku ini lagi2 mengingatkan saya akan mestakung, alias semesta mendukung, karena begitu kita berikrar akan muncul berbagai pertanda disepanjang jalan hidup kita sehingga membuat kita semakin dekat pada apa yang kita impikan. Kalimat ini muncul berkali kali khususnya dari The Alchemist, sosok yang akhirnya di jumpai si gembala dalam perjalanan-nya. Ini juga mengingatkan saya saat berencana membeli mobil merk tertentu, mendadak sepanjang jalan kita akan menemukan mobil yang sama / petunjuk tentang mobil tersebut  dengan berbagai warna, kenapa hal ini terjadi ? saya rasa ini lah rahasia dari ikrar atau niat.

Cobaan yang dialami Si Gembala cukup berat, mulai dari kehilangan seluruh hartanya, harus berhenti dan bekerja paruh waktu di sebuah toko kristal, dan sukses menerapkan “blue ocean” dengan menggunakan teh campur mint sebagai cara menjual peralatan minum kristal di salah satu puncak bukit di perbatasan Spanyol dan Afrika. Menempuh gurun yang gersang, terjebak badai di salah satu oase dan lagi2 kehilangan seluruh hartanya, sampai akhirnya menemukan harta terbesar dalam hidup-nya ternyata adalah hatinya sendiri. 

Salah satu kisah menarik dalam buku ini adalah cerita tentang seorang lelaki yang melakukan perjalanan sulit dan berat puluhan hari untuk mencari kebahagiaan dan lalu menemukan Istana. Ketika dia berbicara dengan penguasa Istana mengenai kebahagiaan, maka si penguasa memberikan sendok dengan cairan yang tidak boleh tumpah dan memintanya mengelilingi Istana dan lalu menemui Sang Penguasa setelahnya. Si Lelaki berkonsentrasi menjaga agar isi sendok tidak tumpah sekaligus mengabaikan semua keindahan yang ada di Istana, seperti lukisan2 indah, keramik2 cantik, arsitektur dan taman2 yang cantik. Lalu si Penguasa mengeritiknya, karena dia mengabaikan hal2 indah dalam hidupnya yang diibaratkan sebagai istana tadi. Lalu si Penguasa kembali memberikan tugas, dan memintanya fokus pada keindahan Istana, Si Lelaki kembali dengan sendok kosong, melihat Si Lelaki lagi2 gagal dalam misi-nya lalu Sang Penguasa menasehati Si Lelaki bahwa makna kebahagiaan sejati adalah menikmati hidup yang diberikan, namun tetap tidak melupakan tugas utama sebagai manusia, dan semua yang mampu menjaga keduanya akan menemukan makna kebahagiaan.

Topik menarik lainnya adalah interseksi antara budaya Moor (arab) yang bersinggungan dengan budaya Spanyol, bahkan Coelho pengarang Brazil yang sempat masuk RS Jiwa tiga kali ini (karena konflik dengan orang tua-nya), menunjukkan kefasihan-nya mengenai rukun islam, dan sepinya pasar yang mendadak ditinggalkan para pedagang karena mendengar panggilan sholat, dalam rangka menjaga keseimbangan dunia dan akhirat. Persinggungan tersebut digambarkan juga saat Si Pemuda akhirnya menemukan cintanya pada sosok Fatima, seorang gadis gurun sebagai klimaks interaksi antara Moor dan Spanyol. Hemm buku yang aneh sekaligus menarik untuk dibaca dan saya tutup dengan dialog The Alchemist dengan Si Pemuda yaitu

"Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?" tanya si anak, ketika mereka mendirikan tenda pada hari itu.  "Sebab, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada."



Monday, September 03, 2012

Sold - Patricia McCormick

Menghabiskan waktu di India dan Nepal, mewawancarai wanita2 muda di distrik lampu merah Calcutta, lalu mewawancarai pekerja sosial serta gadis-gadis yang berhasil selamat dari “human traficking”. Disanalah McCormick membuat catatan2 dan  bahkan mencoba mengikuti perjalanan yang ditempuh para tokoh dalam buku ini dari sebuah desa kecil di Nepal, melalui Kathmandu, sampai ke rumah bordil di Calcutta. Dari semua hal itulah buku ini akhirnya dibuat oleh McCormick, yang sampai dengan 2006 tinggal di New York beserta suami, putra dan dua ekor kucing.

Sementara kebanyakan penduduk belahan lain bumi menikmati karir dan hidupnya, di pelosok tertentu dunia terjadi hal-hal yang mengerikan, penjualan ribuan gadis-gadis muda untuk dieksploitasi, jaringan ini bahkan terbentuk dengan lengkap, mulai dari “pencari bakat”, broker tingkat satu, dan seterusnya sampai dengan pemilik rumah bordil dan tentu saja pelanggan-nya yang berani membayar mahal, khususnya bagi yang masih perawan.

Lakshmi, ya begitulah nama tokoh dibuku yang tidak terlalu tebal (300 halaman) namun memiliki bab yang sangat banyak (tepatnya 159 bab). Bagi saya jumlah bab dalam buku ini agak sedikit aneh, dan gaya penulisannya mirip dengan blog. Sebagaimana kita ketahui untuk menghemat bandwidth saat download, blog memang dibagi dalam satu sd tiga web page saja.

McCormick memulainya dari masa kecil Lakshmi, dimana masyarakat desanya sangat menjunjung supremasi lelaki dengan segala haknya. Para lelaki bisa berjudi dengan uang yang dihasilkan istri mereka dengan susah payah bahkan kadang sambil minum-minum. Sementara kaum wanita disamping mencari nafkah masih disibukkan dengan urusan rumah tangga lain-nya. Lebih parahnya, saat anak-anak gadis mereka beranjak dewasa, hanya karena masalah uang, sebagaimana yang dialami Lakshmi, dia dijual oleh Ayah-nya.



Meski pada awalnya Lakshmi memberontak pada Mumtaz si pengusaha bordil, namun setelah dibius dalam keadaan tidak sadar dia dipaksa melayani berbagai macam lelaki tanpa perlindungan minimal sehingga sangat rentan terserang penyakit menular seksual dan kehamilan yang tidak diinginkan. Saat sakit Mumtaz akan langsung mengobati para pekerja rumah bordil, sekaligus menambahkan daftar hutang yang harus mereka bayar untuk bisa melepaskan diri dari rumah tersebut. Para pekerja yang melarikan diri tidak akan segan-segan di hajar kelompok preman yang dibayar Mumtaz, seperti yang dialami Anita sehingga sebagian wajahnya rusak.

Namun demikian diantara beberapa penghuni terjalin persahabatan yang luar biasa, dan didekatkan oleh kesamaan nasib. Buku ini mengingatkan kita bahwa semua ini adalah tanggung jawab kita bersama. Akhir kata, bagi saya tema buku ketiga McCormick ini dan cara penulisan-nya bisa dikatakan unik, meski pembagian bab-nya menyebabkan alur ceritanya kurang terasa mengalir.