Saturday, April 28, 2012

5 cm - Donny Dhirgantoro

Saat mulai membaca buku 380 halaman ini, di pertengahan  saya mulai jenuh, karena dialog-nya cenderung dangkal dan berbau keseharian, sebagaimana novel pop pada umum-nya. Juga cukup banyak salah penulisan khusus-nya artis2 asing yang lagu2nya dikutip oleh Donny. Sempat hampir berhenti beberapa kali, saya pikir tanggung juga, karena status buku ini sebagai salah satu” best seller national” masih membuat saya penasaran, sehingga dengan susah payah saya teruskan. Namun menjelang pertengahan, saat para tokoh-nya reuni setelah 3 bulan tidak bertemu lalu memutuskan untuk mendaki ke Mahameru (3676), cerita-nya menjadi lebih mengalir.




Beberapa hal yang membuat saya kesulitan menamatkan buku ini adalah penggambaran karakter tokoh-nya yang terlalu apa adanya, seperti Ian yang digambarkan sebagai peminat film mesum, dan Riani salah satu yang paling menentang akhirnya malah digambarkan kadang ikut2an meminjam, sehingga terkesan penulis menganggap ini sebagai hal yang wajar2 saja. Lalu penggambaran pikiran kotor Zafran terhadap Arinda adik Arial, terlalu mengumbar ketidak pantasan. Untung lah makin kesini, hal2 tersebut tidak lagi dibahas secara mendetail oleh Donny.
Dalam buku ini, sangat banyak “theme song” yang digunakan, mungkin bisa mendekati lima puluh lagu, menggambarkan pengetahuan musik Donny yang saya nilai cukup lumayan, meski terbatas pada generasi-nya saja. Generasi pembaca diatas atau dibawah Donny, atau yang aliran-nya berbeda mungkin akan sulit terlibat dalam suasana ini karena tidak mengenal lagunya. Saya sendiri yang meski penggemar musik, juga tidak menemukan banyak interseksi dengan selera Donny karena perbedaan aliran, kecuali beberapa track yang cukup mendunia seperti “Just The Way You Are”-nya Billy Joel atau “Fly Me To The Moon” nya Frank Sinatra misalnya.

Sepertinya Donny, memang seorang pencinta alam, sehingga penggambaran suasana pendakian menjadi lebih nyata dan menarik. Namun salah, kalau orang mengira tokoh utama dalam buku hanya berlima (Ian, Genta, Rani, Arial dan Zafran), karena dalam pendakian adik Ariel yang digambarkan sebagai persis Arial namun versi perempuan-nya juga turut serta. Dalam pendakian, sekelompok sahabat ini juga selalu berusaha tidak membuang sampah sembarangan, tidak ingin menyambut godaan Edelweis, dan berusaha menerapkan “Take Nothing But Pictures, Leave Nothing But Footprints”.

Hal menarik dalam buku ini selain suasana pendakian, adalah pertemuan mereka dengan “mahluk” yang merupakan salah satu sahabat dari kelompok pendakian lainnya namun hilang dalam ekspedisi terdahulu serta jaringan cinta diantara para tokoh, dimana Genta mencintai Rani, Rani sebaliknya malah mencintai Zafran, Zafran malah mencintai Arinda, dan ironisnya Arinda malah mencintai Genta. Selain itu beberapa ungkapan yang sangat menarik meski sudah cukup sering kita dengar seperti “Sebaik-baiknya Manusia Adalah Yang Bisa Memberi Manfaat bagi Orang Lain”, atau saat Arial meski bertubuh paling kekar nyaris menyerah menjelang puncak, perkataan rekan2nya  “This World is For Those Who Wants To Fight” membuat Arial bangkit kembali.

Terus, pasti banyak orang penasaran dengan judul buku ini, yang dimaksud Donny,  5 cm adalah jarak mimpi dengan kening kita, begitu dekat selama kita mau berusaha, dan dengan kaki yang mau berjalan lebih jauh, dengan tangan yang berbuat lebih banyak, dengan mata yang selalu terbuka, dengan tekad yang lebih keras, dan dengan mulut yang selalu mengucap doa, maka setiap orang akan mampu mencapai apa yang dia idam2kan.

Adegan mengharukan adalah saat mereka mencapai puncak tepat di 17/8 setelah melewati danau, padang rumput, hutan, jurang, hujan batu, dingin yang mencekam dll dan sambil sesenggukan mereka menangis menyanyikan lagu Indonesia Raya, ini mengingatkan saya akan perasaan yang sama ketika wisuda di Sasana Budaya Ganesha tahun 1999 tepat setahun setelah gerakan reformasi  1998 yang menelan cukup banyak korban, Indonesia Raya membuat saya tersedu sedu. Review ini saya tutup dengan kata2 Henry Dunant yang dikutip dalam buku ini, “Sebuah Negara Tidak Akan Pernah Kekurangan Pemimpin Apabila Anak Mudanya Sering Bertualang di Hutan,Gunung dan Lautan”.

Wednesday, April 25, 2012

Yes Concert - Jakarta 24/4/2012

Karena jam 18:00 salah seorang rekanan milis sudah memberitahu untuk sebelumnya menukarkan kuitansi dengan tiket, maka sehabis maghrib saya langsung meluncur ke One Pacific Place, namun lalu lintas yang luar biasa padat pada jam segituan di Sudirman, membuat saya mengambil putusan untuk kerja sama dengan bang Ojek yang biasa mangkal di depan kantor. Dan dengan helm pinjaman si abang yang entah sudah berapa ratus kali dipakai oleh para pelanggan-nya (terdeteksi dari baunya yang sudah tidak jelas) , saya pun landing persis di depan lobby, dan dengan gagahnya (meski hanya dengan kaos polos, bahkan tanpa tulisan “No” sekalipun)  langsung menuju venue di Ritz Carlton Ballroom,  lantai 4. Sempat sedih juga mengingat Si Sulung yang sangat bersemangat ingin join namun tak mendapat restu , karena harus mengorbankan sekolah.

Saat melihat ruangan, saya langsung agak kecewa karena konfigurasi-nya lebih mirip dengan acara menikah alias datar sd bibir panggung, sehingga penonton di belakang harus mencari posisi yang pas diantara kedua kepala penonton didepan-nya. Penonton sendiri malah didominasi usia 50 an, sekitar 10 tahun lebih dewasa di banding penonton DT di MEIS beberapa hari sebelumnya, namun tentu saja ada beberapa penonton cilik, termasuk anak kecil didepan saya, yang sepanjang show lebih senang memainkan tiang bertali yang berfungsi memisahkan kelas penonton dibanding menyaksikan Chris Squire beraksi. Namun tidak banyak orang yang wara wiri menggunakan kaos hitam berlogo Yes, karena kalah dengan seragam penonton yang baru pulang kantor, alias kemeja tangan panjang dan sepatu gelap, apalagi karena salah satu penonton notabene merupakan salah satu Dirut perusahaan telekomunikasi paling besar di Indonesia dan didampingi  para staf-nya (yang mungkin menonton karena terpaksa he he).

Berbeda dengan konser DT yang lalu, promotor yang sama kali ini mengambil inisiatif untuk menempatkan seorang MC untuk membuka acara, meski dari pembukaan sampai dengan Yes masuk ternyata tidak sebentar juga menunggunya, namun lumayan lah untuk memberi informasi bagi penonton yang sudah resah menanti.


Lalu muncullah Yes langsung menggebrak dengan track “Yours Is No Disgrace” dan langsung diikuti serbuan penonton kelas jauh (silver) ke kelas dekat (gold) secara massal, berhubung kelas dekat ternyata masih agak lowong, dan para pemiliknya lebih senang menunggu di luar sampai menjelang detik2 konser berlangsung. Dengan demikian saya yang memilih tetap duduk di kursi saya sendiri sama sekali tidak bisa melihat konser dengan jelas, karena dihalangi ratusan orang yang berdiri sambil mencari kursi kelas dekat. Bagi saya situasi ini sangat menyedihkan, karena dengan penonton yang jauh lebih dewasa tentu kita mengharapkan konser yang tertib. Setelah track pertama usai, penonton yang masih duduk berteriak teriak “Duduk ! duduk ! “ secara berulang ulang sehingga memaksa penonton yang ke depan dan berdiri namun tidak kebagian kursi, mencari tempat duduk kembali.

Saya pribadi agak heran, dengan orang2 yang dengan cueknya berdiri begitu saja didepan orang yang sedang duduk, sampai2 saya harus mencolek beberapa kali orang2 seperti itu untuk memberi tahu bahwa tindakan-nya sama sekali tidak sopan. Bahkan ada dua orang pria yang secara bergantian dengan narsis-nya foto2 didepan Yes yang sedang konser dan tetap melakukan hal itu dengan cueknya meski sikap mereka membuat penonton lainnya terhalangi dan terganggu, sehingga saya ragu tujuan mereka datang ke konser Yes.

Agak sedikit kaget melihat sosok Howe yang terlihat sangat sangat tua (mirip Einstein sedang puasa dua bulan berturut turut namun tanpa kumis) tapi petikan jari idola banyak gitaris progressive  ini masih maut walau nada2nya kadang kurang bersih. Begitu juga dengan Squire yang menjadi begitu tambun, namun yang paling membuat kaget adalah suara Davison, yang benar2 seperti suara Anderson, meski untuk nada2 tertentu, Davison membuatnya menjadi lebih rendah. Dengan tampang Steve  Morse namun dengan gerak tubuh feminin, Davison membuktikan Howe dan Squire tidak salah pilih. Sayangnya penampilan ketiga tokoh ini tidak tertolong oleh performansi White yang terlihat kedodoran (terutama saat memainkan track-nya Bruford dari album “Fragile”), dan Downes yang jujur saja menyedihkan (apalagi kalau harus dibandingkan dengan Wakeman).

Lalu dilanjutkan lagi dengan track2 lain, namun bukan track2 dari Fly From Here yang membuat saya kaget (karena belum hapal), justru track “Owner of a Lonely Heart” yang nota bene memainkan power chord dan solo aneh Rabin (sementara kita tahu Howe lebih menyukai gaya petikan), namun dengan “nekat”-nya dimainkan Howe, dan jelas saja hasilnya tidak begitu sukses khususnya saat memainkan solo2 Rabin. Secara keseluruhan track yang dibawakan adalah “Yours Is No Disgrace” (yang sangat cocok sebagai pembuka), “Tempus Fugit”, “I’ve Seen All Good People”, “Life On Film Set”, “And You And I”, “Solitaire”, “The Clap” , “Fly From Here”, “Wonderous Stories”, “Into The Storm”, “Heart of Sunrise”, “Owner a Lonely Heart”, “Starship Trooper”, lalu Yes pura2 turun panggung, menunggu penonton berteriak We Want Moore ! berulang ulang, dan lantas ditutup dengan “Round About” yang intronya sangat akrab dengan penggemar Yes, dan lagi2 ratusan penonton maju kedepan.

Hal lain yang menarik, video yang menjadi latar sangat bagus dan cocok dengan setiap lagu yang dibawakan,terutama  ketika di video diputar obyek mercu suar, laut yang bergelora dan suasana hujan sangat terlihat kualitas artistik video yang ditampilkan, begitu juga animasi ala Roger Dean, namun kualitas lighting-nya sangat jauh dari DT kemarin. Sepertinya cukup banyak selebriti yang datang dalam acara ini, termasuk vokalis yang mengaku rock, namun suara lebih mirip Rod Stewart serta salah satu dedengkot vokal metal yang cukup sering muncul di acara rock tv. Sama sekali tidak menyesal menonton konser mereka, musik Yes sudah banyak berjasa dalam mewarnai hidup saya sejak zaman sekolah menengah, khususnya album “Fragile”, dan “Close To The Edge” yang benar2 psychedelic.


Sunday, April 22, 2012

Dream Theater Concert - Jakarta 21/4/2012

Berangkat dari Bandung, sekitar jam 13:00 siang akhirnya setelah menembus kemacetan, saya  sampai di kawasan Ancol sekitar jam 16:00, dan langsung menuju Pantai Carnaval melihat situasi di sekitar MEIS untuk memastikan lokasi persis acara berlangsung. Ternyata meski konser baru akan dimulai beberapa jam lagi sekitar MEIS sudah dipenuhi dengan penggemar Dream Theater, baik yang memakai atribut era Portnoy dan bahkan yang sudah memakai atribut era Mangini, saya sendiri cukup menggunakan kaos Fender, meski Petrucci memakai Music Man dan dulunya Ibanez, sementara Myung masih sebagai endorser Yamaha. Namun yang lebih parah si sulung bahkan menggunakan kaos “Gianni Graccio”, nah apa hubungan-nya ?, dengan mantap dan setengah memaksa si sulung mengatakan “Kan Petrucci berdarah Italia Pa”.

Kemudian saya dan keluarga segera check in di Mercure, keluarga ?  ya karena memang motor acara ini adalah anak saya si bungsu yang meski baru kelas 6 SD dan cewek, sepertinya berbeda dengan teman2nya yang lebih menyukai Lady Gaga, Katy Perry, Bruno Mars, atau bahkan SuJu dan SNSD, si bungsu sangat menyukai Dream Theater, Pink Floyd, SymphonyX, Agents of Mercy, Porcupine Tree meski tidak pernah saya paksa. Bahkan dia merayu habis ibu-nya yang juga menggemari Dream Theater selama unsur metal-nya tidak berlebihan untuk ikut menonton.

Setelah penantian yang luar biasa, antri super panjang, sesak napas, penuh asap rokok, pemeriksaan super lambat dan tanpa penjelasan dari panitia, akhirnya kami berhasil masuk, meski si bungsu nyaris terjepit di gerbang menuju eskalator dan si sulung sempat terpisah dari rombongan entah karena kaosnya apa tidak. Didalam gedung suasana-nya seperti baru dibom, dimana mana debu dan terkesan berantakan, dan begitu masuk ke ruangan, ternyata sama sekali tidak ada pemeriksaan tiket, yang berarti seandainya ada penonton iseng ke bangku platinum ataupun gold, dapat dengan mudahnya dilakukan.

Ruangan termasuk besar dan sepertinya dapat menampung sekitar 8000 penonton, udara cukup dingin, namun bangku2 sangat berdebu, dan dari kursi yang kami duduki pemandangan ke panggung sangat lah jelas. Tak lama kemudian muncul seorang gitaris yang memainkan beberapa lagu akustik dengan merangkap semua fungsi perkusi, bas, melodi dan ritem, meski bermain dengan cukup menarik, saat beliau meletakkan gitar dan penonton bertepuk tangan lega mengira Dream Theater segera masuk, namun berubah menjadi “huuu” yang panjang ketika ternyata ybs hanya mengganti gitar untuk memainkan lagu lainnya. Setelah sekitar empat lagu akhir-nya pada jam 21:00 Dream Theater pun masuk.



Didahului sampling komposisi "Dream Is Collapsing" nya Hans Zimmer dalam film Inception dan animasi para personil Dream Theater, maka pertunjukan pun dimulai. Tata cahaya benar benar menakjubkan, sayang-nya sound system terdengar pecah dari tempat duduk saya, Dream Theater pun langsung menggebrak dengan suara sendawa yang mengawali “Bridges in The Sky”, disisipi dua lagu akustik Silent Man dan Beneath The Surface, solo drum yang ganas oleh Mangini dalam kandang penuh dengan cymbal, sekaligus membuktikan dia layak menggantikan Portnoy dan ditutup dengan “Pull Me Under" setelah para personil pura2 turun panggung. Secara set list, track yang dimainkan nyaris mewakili semua album Dream Theater, bahkan mulai dari album pertama era Charlie Dominici tepatnya “When Day and Dream Unite” yang diwakili oleh track “A Fortune in Lie”, dari era  Kevin Moore album “Images and Words” dengan track “Surrounded” dan “Pull Me Under”, track 6:00 dari album “Awake” dan masih di akhir era Kevin Moore, lalu track “Spirit Carries On” dari album “Scenes From a Memory”, track “Through Her Eyes” yang dimainkan hanya oleh Rudess dan Petrucci,  track “The Root of All Evil” dari album “Octavarium” meski didominasi track2 dari album terakhir mereka seperti “Breaking All Illusions”, “Outcry”, “Build Me Up Break Me Down”,  dll.

Anak2 muda didepan saya head banging ketika track2 “A Dramatic Turn of Events” dimainkan, sebaliknya diam ketika track album lama dimainkan, namun sebaliknya pria tua disebelah saya mengangguk angguk ketika track2 lama seperti “Surrounded” dimainkan. Namun mereka akhirnya bisa mengangguk angguk berbarengan ketika “Spirit Carries On” membahana dan berhasil menghubungkan kedua generasi penggemar Dream Theater. Berkarya selama 25 tahun, terlihat dari dominasi penonton berusia mapan, namun tetap terlihat beberapa anak SD dan bahkan sepertinya TK.


Hal menarik dalam konser ini adalah layar proyeksi berbentuk tiga buah kotak tiga dimensi, yang kalau diperhatikan baik2 sesuai analisa anak saya si sulung, dengan membuang tiga garis penghubung dalam kotak, maka akan berbentuk segi enam, sehingga interpretasi simbol di belakang panggung dapat diartikan sebagai “666”, hemm aneh juga ya. Sebenarnya dalam album sebelumnya memang kita cukup sering melihat simbol “The All Seeing Eye” yakni cover “Train of Thought” dan  cover “Black Cloud and Silver Linings” juga “Jangka dan Mistar Siku” (bentuk lain dari dua buah segi tiga bertindihan alias sacred sextum) nya Freemason di antara syair “Rite Of Passage” di album terakhir mereka bersama Portnoy , dan simbol2 aneh lainnya. Dalam hal ini tentu saja, adalah tugas kita untuk berhati-hati, meski harus diakui, bahwa hal ini  belum tentu berhubungan dengan para personil Dream Theater, dan bisa saja lebih ke team desain visual mereka, karena seperti yang kita ketahui Petrucci adalah seorang katolik yang taat dalam kehidupan agama-nya, dan lirik2 mereka seperti dalam “Spirit Carries On” mengandung makna yang dalam tentang, dari mana kita berasal, kemana kita pergi dan bahwa hidup sangatlah singkat.

Saturday, April 21, 2012

Ganti Hati - Dahlan Iskan

Saat ini karena gaya-nya yang spontan dan lantas dinominasikan media sebagai salah satu capres 2014, maka buku buku tentang Dahlan Iskan bertebaran di hampir semua toko buku. Namun banyak orang lupa sesungguhnya Dahlan adalah seorang penulis yang handal serta mempunyai jam terbang yang tinggi diantaranya saat menjadi wartawan Tempo. Jadi dari sekian buku tersebut tentu akan lebih menarik membaca yang beliau tulis secara langsung dibanding yang ditulis oleh orang lain. Buku yang beliau tulis secara langsung diantaranya kumpulan CEO Notes saat beliau masih di PLN ataupun buku “Ganti Hati” yang sempat ditulis secara bersambung di media milik-nya.



Kenapa judulnya “Ganti Hati”, karena memang tulisan disini isinya adalah suka duka beliau saat memutuskan untuk mengganti hati-nya yang sudah rusak dengan hati seorang donor dari cina. Sakit yang Dahlan rasakan, tahap2 yang sempat dia lalui sebelumnya seperti menambal saluran pencernaan, memotong sepertiga limpa, keputusan penggantian, proses penggantian, dan lantas hal2 yang dia rasakan setelah penggantian hati. Namun jangan salah sangka kalau mengira isi buku ini lantas membuat kita sedih, justru sebaliknya Dahlan menulis buku ini dengan rasa humor yang sangat hebat, dan membuat kita tertawa, namun tentu saja tawa yang getir, karena tetap saja menyimpan rasa sedih.

Buku ini dibagi menjadi 32 bab, dan tidak ditulis secara berurutan sesuai waktu kejadian, beberapa diantaranya ditulis dengan gaya flash back. Humor sepanjang buku ini antara lain, saat orang lain berdoa panjang2, doa Dahlan justru amat pendek (“Ya Tuhan, terserah engkau sajalah! terjadilah yang harus terjadi, kalau saya harus mati, matikanlah !, kalau saya harus hidup hidupkanlah !”), lalu Dahlan sangat takut bergerak setelah operasi, karena tidak yakin dengan cara yang digunakan dokter “menggantung” hati-nya sehingga kuatir copot, permintaan Robert Lai agar tak satupun yang menangis saat mengantar Dahlan ke ruang operasi, sementara Robert Lai sendiri ternyata malah menangis (ternyata sempat2nya masih diamati oleh Dahlan) dan dugaan Dahlan mengenai ketabahan-nya menghadapi situasi ini karena pernah mengalami hal yang lebih sakit yaitu “kemiskinan”.

Tanggap dengan selera humor Dahlan pasca operasi, beberapa teman-nya sempat malah membalas, misalnya ada yang mengatakan jangan takut jatuh hatinya jatuh, tidak akan hilang kok, pasti masih disekitar situ juga. Namun salah satu humor yang paling berkesan adalah saat Dahlan bertemu dengan Prof Shao seorang spesialis hati, yang sangat suka menjamah payudara Dahlan berkali kali dihadapan murid2-nya untuk menjelaskan dampak kerusakan hati terhadap pembesaran payudara. Dalam salah satu bab Dahlan sempat menjelaskan kekuatiran istrinya kalau kalau Dahlan harus menghadap Allah kelak dengan wajah hitam dan payudara besar. Sebaliknya pasca operasi Dahlan sempat kuatir juga karena payudara-nya kembali mengecil, sementara dia sudah mulai nyaman dengan payudara dengan ukuran gadis abg.

Pasca operasi, problem utama transplantasi adalah penolakan tubuh terhadap organ baru, dalam hal ini Robert Lai mengatakan “Trust is good, but control is better”, bagi saya ini salah satu kalimat paling menarik dibuku ini, dan mengingatkan saya akan salah satu atasan saya, meski harus sedikit di modifikasi “Control is better, but untrust is the best”.

Hal menarik lain-nya, lewat buku ini Dahlan mencoba melakukan klarifikasi tuduhan banyak orang mengenai Nurcholis Majid yang  meninggal dengan wajah hitam, karena saat sebelum operasi Dahlan pun sempat mengalami hal yang sama, dan hal ini tentu saja diakibatkan oleh gagal-nya kinerja hati. Jadi janganlah kita buru buru menghakimi seseorang seakan akan cara mati-nya melambangkan nilai atas semua perbuatan-nya di dunia sedangkan diterima tidaknya amal baik seseorang adalah hak Allah semata. Bukan kah banyak orang tahu bagaimana Hamzah paman Nabi , Umar, ataupun Hasan dan Husin cucu Nabi menemui ajal-nya secara mengenaskan, namun kita juga semua tahu bagaimana sosok mereka yang sebenar-benarnya dalam menegakkan kebenaran.

Dahlan sendiri menyimpulkan apapun agama-nya, jika meninggal karena sirosis akan meninggal dengan wajah hitam sebaliknya Mao Zedong yang jenazahnya sempat dilihat oleh Dahlan, meski tidak percaya Tuhan, justru wajahnya putih bersih bahkan terkesan tersenyum.
 

Thursday, April 19, 2012

From Cat Stevens To Yusuf Islam - Hermawan Aksan


Siapa Yusuf Islam ?  kebanyakan orang mungkin akan langsung menghubungkan-nya dengan “Morning has Broken”  lagu yang menurut istri saya selalu dinyanyikan setiap pagi ketika dia sekolah di Stella Duce Yogya akhir 80’an. Namun mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa nyaris dari semua lagu Yusuf Islam, justru lagu inilah mungkin yang satu2nya tidak diciptakan oleh Yusuf. Konon kabarnya “Morning Has Broken” dicptakan oleh Eleanor Farjeon (1881-1965) dan memang lagu yang biasa dinyanyikan sebagai Himne Kristen. Lagu Yusuf lain-nya yang menarik adalah Wild World (pernah dipopulerkan kembali oleh Mr. BIG), First Cut Is The Deepest, Father and Son, dll.

Sebagai pemusik, sampai dengan 2007 Yusuf telah menghasilkan 22 album, dan 10 album kompilasi. Album “Tea for Tillerman” bahkan meraih prestasi 500 album terbaik sepanjang masa versi Rolling Stone 2003 dengan tiga juta kopi, disusul dengan “Teaser and Firecat” meraih status Gold Record dan juga terjual tiga juta kopi, begitu juga Album Catch Bull at Four. Namun album paling sukses adalah kompilasi “Greatest Hits” yang meraih empat juta kopi. Sehingga pada masa itu Yusuf Islam dapat meraih total penjualan 40 juta kopi dari semua album-nya.



Buku tipis ini sangat menarik, karena bukan cuma mengupas Yusuf dari sudut pandang luar, namun juga memuat tiga wawancara beliau dengan Andrew Dansby di  Amerika tahun 21/6/2000, lalu dengan Larry King 7/10/2004 dan dengan Yusuf Assidiq di Aceh 29/1/2005.

Dalam buku ini juga dibahas pemelintiran pers terhadap statement Yusuf soal hukuman akibat penghinaan Salman Rushdie terhadap Nabi Muhammad, dimana yang dimaksud Yusuf adalah Salman Rushdie layak dihukum mati jika dan hanya jika berada di Negara Islam. Namun kalimat-nya disetir seakan akan, bahkan Yusuf sendiri berniat menjadi eksekutor-nya. Dan yang membuat kita salut justru Yusuf “membalas” perlakuan Rushdie dengan cara yang sangat elegan, yaitu membuat buku tandingan “The Life of The Last Prophet”, yang sekaligus menunjukkan Yusuf berbicara dengan fakta, sedangkan Rushdie dengan fiksi.

Memang dalam dunia jurnalistik berlaku ungkapan “hal buruk adalah berita baik, sebaliknya hal baik adalah berita buruk”. Dalam hal ini saya teringat tulisan Hanum Rais, yang “tersinggung” dengan polah salah seorang wartawan yang hanya tertarik memotret Ayah-nya saat jelek2nya karena “menganga” ketika makan namun tenang2 saja saat Amin dalam keadaan normal.

Begitu juga dengan peristiwa 11/9, dimana Yusuf secara jelas mengatakan bahwa hal tersebut tidak dibenarkan secara Islam, karena bagi Islam pembunuhan terhadap satu orang yang tidak bersalah adalah sama dengan pembunuhan terhadap kemanusiaan secara keseluruhan. Bahkan Yusuf menyumbangkan setengah dari penjualan album kompilasinya ke yayasan 11/9, dan separuh sisanya ke anak2 yatim di negara terbelakang. Ini juga mengingatkan saya akan ahlak perang ala Nabi yang melarang keras menyerang lawan yang sudah menyerah serta mengorbankan wanita, anak2, orang tua, binatang, tumbuhan bahkan meski hanya satu lembar daun.

Buku ini juga mengungkapkan kisah pencekalan Yusuf ke Amerika 21/9/2004, yang saat itu sudah semakin “fobi” terhadap segala yang berbau muslim, sampai sampai Menlu Inggris Jack Straw harus melobi  Menlu AS dimasa itu yaitu Colin Powell.

Hal menarik lainnya adalah, saat Yusuf bercerita bahwa dia sempat menemukan Islam garis keras saat awal perkenalan-nya yang bahkan mengharamkan musik, namun dengan bertambahnya pengetahuan Yusuf, dan pemahaman bahwa Allah adalah pencinta keindahan dan kisah kisah Nabi saat mendengarkan nyanyian suku Aus dan Khazraj, Yusuf kembali bermusik dan dipicu saat anak lelaki-nya membawa gitar ke rumah, dan lantas membuat Yusuf sadar bahwa musik dapat dijadikan sebagai sarana untuk beribadah.

Saat ini kegiatan Yusuf selain bermusik, adalah mengurus tiga sekolah, dan mengelola lembaga amal “Small Kindness”  yang awalnya dibuat untuk membantu korban kelaparan di Afrika, dan saat ini membantu ribuan anak yatim mulai dari Kosovo, Bosnia, Montenegro, Albania, Irak dan bahkan Indonesia. 

Saturday, April 07, 2012

Playing “GOD” - Rully Roesli


Beberapa minggu lalu saat mengambil “raport sementara” kedua anak saya, di depan Masjid Al Irsyad Kota Parahyangan, saya melihat sosok yang sangat akrab, tak lain dan tak bukan yaitu ustadz Budi Prayitno. Langsung saja kami berpelukan, dan rasanya jadi dingatkan kembali saat umrah 2009 dimana si Sulung dan si Bungsu terkena demam berdarah, dan saat itu beliaulah yang dengan ringan tangan membantu kami baik dengan doa maupun mengoordinasikan para petugas di Mekkah untuk mengantar saya dan anak2 ke klinik setempat. Setelah berbasa basi sejenak, ustadz Budi cerita bahwa baru2 ini dia diminta salah satu dokter senior Rully Roesli untuk membuat kata pengantar pada buku Rully , dan menganjurkan saya untuk membeli buku tsb.



Namun setelah beberapa waktu berlalu, saya belum saja sempat mencari buku tersebut di toko buku, dan meski ada undangan dari Mizan untuk peluncuran buku tersebut saya juga tetap masih belum punya waktu untuk menghadirinya. Namun memang dasar jodoh, istri yang mengikuti salah satu seminar profesi, ternyata mendapatkan buku tersebut karena memenangkan kuis, dan menghadiahkan buku tersebut pada saya.


Saat tengah malam dan tugas di Jakarta, ketika saya mendadak terbangun dan susah kembali untuk tidur, tangan saya bergerak meraih buku Rully (yang memang saya bawa dan diniatkan untuk dibaca) , dan tidak mampu melepasnya sampai dengan buku tersebut habis dibaca.  Pada awalnya judul tersebut terkesan arogan, akan tetapi setelah kita membaca penjelasan Rully semakin jelas yang dia maksud adalah situasi sulit, seperti ketika seorang Dokter harus memilih Bayi atau Ibu, atau saat seorang petugas pemadam kebakaran harus memilih siapa yang harus diselamatkan.

Buku ini terdiri dari lima topik utama, yaitu saat seseorang membuat keputusan penting menyangkut hidup orang lain, saat seseorang membuat keputusan penting menyangkut dirinya sendiri, saat Tuhan mengambil kembali hak seseorang menentukan hidupnya atau hidup orang lain, saat kita diposisikan sebagai Dokter dan terakhir saat kita menghadapi kehidupan. Meski selama karir-nya Rully tidak dikenal sebagai pengarang buku, namun menjelang senja, Rully memutuskan untuk berbagi  pengalaman hidup dalam karya tulisnya. Salah satu istilah menarik dalam buku ini adalah istilah baru “Euthanasikon”, yaitu “euthanasia” yang terjadi karena situasi dan kondisi, misal kemiskinan.

Sosok inspiratif dalam buku-nya adalah Ibu-nya yang juga berprofesi sebagai dokter dan melahirkan empat bersaudara  (dua putra dan dua putri), dimana tiga dari anak-nya juga berprofesi sebagai dokter serta  anak bungsu-nya yang dikenal sebagai seniman “mbeling” yaitu Harry Roesli. Suatu hari ibu-nya memberikan sebuah tulisan dalam bingkai yang tulisan aslinya terukir pada sebuah batu nisan di peristirahatan terakhir para Raja di Westminster Abbey tahun 1100, dengan isi sbb (saya ubah tanpa mengurangi makna);

Hasrat untuk Berubah

Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal,
aku bermimpi ingin mengubah dunia.
Saat mulai bertambah usia,
ternyata bahwa dunia tidak kunjung berubah.


Maka cita-cita itu pun kupersempit,
dengan hanya mimpi  untuk mengubah negeriku, 
dan usia pun terus bertambah namun mimpi itu pun masih tanpa hasil.


Ketika usiaku semakin bertambah,
dan dengan semangatku yang masih tersisa,
aku bermimpi untuk mengubah keluargaku serta orang orang yang paling dekat denganku,
namun aku terlambat menyadari, mereka pun sudah terlambat berubah.


Kini aku berbaring menjelang ajal,
tiba tiba aku melihat cahaya kesadaran,
seandainya saja akulah yang pertama kali berubah,
maka dengan diriku, aku dapat menjadi panutan keluargaku,
dan dengan demikian dapat mengubah keluargaku,
dan dengan demikian dapat memperbaiki negeriku,
dan dengan demikian akhirnya aku dapat mengubah dunia.


Salah satu inspirasi penting lain dari sosok Ibu-nya adalah, mengenai pentingnya pendidikan, yaitu harta yang sebenarnya dan tidak dapat dirampas siapapun dari kita. Ketika itu dari hasil praktek Ibu-nya, mereka sangat -lah bekecukupan, meski demikian ibu-nya selalu berkata janganlah praktek dengan niat mencari harta, namun karena hanya ingin menjadi dokter yang baik (menolong sesama dan hanya karena Allah semata), karena sesungguhnya harta akan mengikutinya kemudian,  dan tidak sebaliknya. Saat perang kemerdekaan, mereka mengungsi dari Semarang ke Solo, dan meninggalkan semua yang mereka miliki dengan baju melekat di badan, namun di tempat baru dengan pendidikan dan pengetahuan yang di miliki Ibu, lagi2 keluarga mereka dapat “survive” dengan tempat praktek baru.  Ketika harus mengikuti Ayah ke Bandung, Ibu diantar dengan menggunakan kendaraan kerajaan, sehingga Ibu bergurau “Datang ke Solo sebagai Gembel dan, keluar dari Solo diantar Raja”.

Semakin kesana buku ini semakin menarik dan semakin banyak inspirasi yang kita dapat, dan semakin jelas kesan yang kuat terhadap wawasan yang dimiliki Rully, sampai akhirnya kisah ini ditutup dengan ketidak berdayaan Rully saat menolong adiknya, meski sudah dibantu kedua kakak perempuan-nya yang juga dokter. IMO, mengingat muatan tokoh Ibu yang begitu inspiratif, semestinya Rully membuat ini menjadi dua buku, karena tema Playing “GOD” nya sendiri juga mengandung sangat banyak inspirasi.

Buku yang sangat direkomendasikan dibaca. Dan review ini saya tutup dengan salah satu pesan almarhum Ibu, kepada Rully.

Tuhan berilah anakku kepasrahan untuk menerima suatu keadaan yang tidak dapat diubah-nya.
Keberanian untuk melakukan perubahan untuk keadaan yang bisa diubahnya.
Kebijaksanaan untuk dapat membedakan keduanya
.

Menapak Jejak Amien Rais - Hanum Rais

Ini buku kedua Hanum yang saya baca, seperti buku sebelumnya, cara Hanum berkisah seperti kita sedang berhadapan dengan-nya, di suatu sore, di belakang rumah, sambil duduk di kursi taman, dan mengalir begitu saja sebagaimana percakapan dua orang sahabat. Apa adanya, dengan kalimat kalimat sederhana, dan keluar dari hati yang paling jujur dan dalam.
Hanum membagi buku ini menjadi lima bagian namun tetap berusaha sesuai dengan garis waktu perjalanan hidup Amien Rais, mulai dari bagian “Keluarga”,  “Melangkah dipaksa Sejarah”, “Menembus Batas”, “Titik Nol” dan “Magnum Opus”. Sayangnya situasi saat Amien menobatkan Gus Dur, lantas melengserkannya, dan menobatkan Megawati, sehingga beliau sempat dijuluki “King Maker” tidak dibahas secara detail oleh Hanum, padahal momen ini salah satu yang sangat identik dengan beliau disamping amandemen UUD yang sangat fenomenal.



Membuat buku, ini tidak membuat Hanum memosisikan dirinya sebagai pihak dliluar sosok Amien, justru potret yang sangat pribadi sosok Amien dari sudut pandang Hanum sebagai anak perempuan-nya. Sehingga Amien yang kita lihat bukan saja sebagai tokoh Muhammadiyah, Ketua MPR dan kandidat presiden, namun juga sebagai Ayah, yang di sela kesibukannya membeli kue sederhana seharga lima puluh ribuan, dan menyempatkan mengunjungi anak perempuan-nya, atau Amien yang berusaha meluangkan waktu melihat anaknya tampil di panggung, meski hanya dari kejauhan (karena tidak ingin penonton dan anak-nya terganggu, meski beliau disediakan kursi kehormatan), dan potret lain keseharian Amien.

Kita juga mendapat nasihat2 penting dari Amien, seperti ketika dia memberikan nasihat perkawinan bagi Hanum, dengan kalimat “Pernikahan adalah waktu untuk berhenti membandingkan, Num” katanya pada Hanum. Nasihat penting lainnya suatu hari Amien memberi Hanum formula untuk sukses dengan kalimat sbb; “Kalau kamu ingin sukses, dalam bidang apa saja, maka kamu harus menyisihkan minimal tiga jam sehari untuk menekuni bidang tsb”. Hal ini merefer ke Roger Federer, Thomas Alfa Edison, Bill Gates, dan tokoh2 sukses lainnya.  Mungkin perlu saya tambahkan Steve Vai atau John Petrucci yang berlatih nyaris delapan jam sehari. Dan dengan demikian dimulai dari “Konsisten” akan berubah menjadi “Persisten”.

Amien juga orang yang sangat sederhana, sering sekali secara spontan bersedekah, selalu membawa Al Quran kemanapun dia pergi, sportif (Amien orang pertama yang memberi selamat pada SBY saat memenangkan Pemilu), jujur (Amien juga orang pertama yang mengakui menerima DKP untuk dana kampanye partainya), konsisten (menolak tawaran bantuan asing dari Paul Wolfowitz bagi partai-nya), berani (ketika mengkampanyekan suksesi nasional meski harus berhadapan dengan Soeharto), disiplin (selalu berpuasa ala Nabi Daud secara rutin), tak pernah berhenti belajar (dibuktikan dengan koleksi buku-nya yang terus bertambah), berpihak pada kaum lemah, dan sabar (tetap mempertahankan pernikahannya meski sepuluh tahun tidak dikaruniai anak, atau saat rumah ibunya dibakar massa pendukung Megawati).

Satu cerita berkesan lainnya, saat beliau dipanggil Habibie dalam sebuah rapat, yang juga dihadiri Wiranto, Akbar Tanjung, Yusril Ihza Mahendra, Ginanjar Kartasasmita, Hamzah Haz dll dan semua sepakat mendukung beliau sebagai suksesor Soeharto, namun karena tidak mendapatkan izin dari ibunda-nya, yang berpendapat beliau sudah terpilih menjadi ketua MPR dan tidak boleh mengabaikannya, maka Amien Rais menolak pencalonan tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana Amien bersikap pada Ibu-nya, yang dia tempatkan pada posisi sangat terhormat, meski harus mengabaikan peluang yang begitu besar untuk menjadi presiden.

Ada beberapa sisi yang seakan akan terkesan kontroversial dalam diri Amien Rais, pertama meski beliau alumni Chicago University, Amien justru terang2an menolak paham Neoliberalisme yang lahir dari kampus ini lewat tokoh2 Milton Friedman, George Stigler , Ronald Coase dan Gary Becker, dan justru lebih memilih mendukung pemikiran Joseph Stiglitz, kedua meski kalau dalam negeri Amien sering sekali menyerang pemerintah dan terkesan kecewa dengan Indonesia, namun diluar negeri, Amien justru menunjukkan kebanggaan-nya sebagai orang Indonesia, ketiga meski sekolah di Amerika dan tinggal selama tujuh tahun, namun Amien tetap sangat kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika.

Saat putra ketiga-nya Mumtaz ingin mengikuti jejak Amien dalam politik, alih2 memberinya daerah subur agar terpilih, Amien justru “memaksa” Mumtaz kampanye di daerah kering, agar dapat membuktikan dirinya layak menjadi wakil rakyat, dan dia menasehati Mumtaz untuk meluangkan waktu membaca tiga jam sehari. Saat putri keduanya Tasniem Fauzia sekolah di Singapore, Amien bahkan bangga karena Tasniem menyambi sebagai petugas pembuka pintu hotel bagi para tamu yang datang. Dan Amien berkata pada anak2nya “We are proud of you for living from the scratch”. Begitulah Amien lepas dari pro dan kontra terhadap sosok-nya bagaimanapun memberikan pelajaran bagi kita semua, terima kasih Amien.

Wednesday, April 04, 2012

Cheng Ho - Wiwid Prasetyo

Harapan saya terhadap buku ini ternyata tidak sesuai dengan isi-nya, meski hampir 500 halaman, namun 200 halaman pertama sejarahnya terlalu ditarik ke belakang, sehingga Cheng Ho sendiri baru muncul setelah halaman ke 200. Bahkan ekspedisi-nya sendiri baru dimulai setelah halaman 400 an, meski di cover tertulis “Kisah ekspedisi tionghoa muslim terbesar sepanjang sejarah”.  Kualitas cover garapan “gobaqsodor” yang sangat bagus  juga boleh dibilang berhasil “menipu” pembaca. Wiwid yang mungkin punya cukup kualitas sebagai penulis di level akademi dan sempat mengarang beberapa buku sebelum-nya, namun anehnya justru terkesan “gagap” ketika mencoba tampil sebagai penulis novel sejarah , hal ini dapat kita amati dari pemilihan kata dan kalimat2 yang terjebak dengan gaya sinetron televisi. 



Terkesan kurang riset dan hanya mengandalkan sumber terbatas, dan juga sangat disayangkan meski dilengkapi peta dan tabel ekspedisi, namun tidak ada foto2 (lokasi dimana Cheng Ho pernah datang) , gambar (misalnya bentuk kapal dimasa itu, pakaian tempur, dll)  atau cerita yang cukup detail dari setiap lokasi serta peninggalan khususnya lokasi di Nusantara yang didatangi Cheng Ho, padahal ini mestinya menjadi bahan menarik. Juga tidak dijelaskan apakah ini merupakan “ekspedisi terbear sepanjang sejarah” atau “ekspedisi tionghoa muslim terbesar sepanjang sejarah” sehingga terkesan “ambigu”.

Namun demikian kehebatan Cheng Ho yang dapat kita simpulkan dari buku ini adalah kemampuan-nya memimpin ribuan pasukan dengan ratusan perahu, dalam 7 ekspedisi ke puluhan lokasi seperti Campa, Malaka, Benggala, Samudera Pasai, Calicutt, Ceylon, Maldive, Aden, Palembang, Hormuz, dll  dalam periode nyaris 28 tahun (1405 sd 1433) dengan total lama ekspedisi 14 tahun (paling pendek 1 tahun dan paling panjang 3 tahun per ekspedisi) . Dalam misi seperti ini, pengetahuan geografis, perbintangan, bahasa, manajemen serta logistik tentu harus memiliki level yang sangat tinggi. Selama periode ekspedisi ini sempat terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan, namun terlihat jelas bahwa di mata penguasa Tiongkok, ekspedisi2 Cheng Ho  dianggap berhasil, khususnya dalam konteks perdagangan dan persahabatan yang tentu tak lepas dari kemampuan Cheng Ho meyakinkan kerajaan.

Tak jelas benar kenapa dengan jumlah ribuan pasukan, pihak kerajaan dapat menyetujui misi dengan biaya luar biasa besar, namun sama sekali tidak untuk misi penjajahan dan penghancuran, sekaligus sangat ironis dengan periode 50 setelahnya dimana bangsa barat justru datang dengan misi sebaliknya yaitu kolonisasi, memecah belah dan menghisap bangsa jajahan. Seperti-nya era ekspedisi awal juga merupakan sinyal penguasa Mongol yang sudah mulai letih berperang, dan juga tidak menunjukkan dendam setelah ekspedisi sebelumnya di”kerjain” oleh Raden Wijaya. 

Kondisi Cheng Ho yang “dikebiri” secara tidak manusiawi oleh pihak kerajaan saat era Mongol juga ternyata tidak mengurangi kualitas nya sebagai manusia “unggul”. Pada setiap kunjungan, Cheng Ho justru menunjukkan jati diri-nya sebagai muslim yang sangat menghargai kemanusiaan dan tetap rendah hati meski memiliki jabatan Laksamana sehingga menimbulkan kesan yang luar biasa dalam, serta positif bagi penduduk di lokasi yang dikunjungi, dan bahkan terus harum nama-nya hingga kini.