Tuesday, July 31, 2012

Princess - Jean P. Sasson

Membaca buku ini membuat mata kita terbuka betapa Bani Saud, belum dapat mengimplementasikan Islam dengan cara yang diajarkan Nabi, khususnya dalam memperlakukan wanita. Meski Nabi dalam salah satu hadistnya mengatakan “Sebaik-baik kamu (suami ) adalah yang paling baik kepada istrinya dan aku adalah yang paling baik kepada istriku”. Sesuai penuturan Sang Puteri yang diceritakan kembali oleh Jean P. Sasson, sampai dengan 1991, kaum wanita Saudi masih menjadi sekedar kaum pelengkap, hidup dan matinya ditentukan kaum lelaki, tidak hanya pelecehan, hukuman perzinahan yang berat sebelah, bahkan kaum lelaki acapkali dapat menghukum mati anggota keluarga wanita yang “bersalah” mulai dari penyekapan, sampai penenggelaman. Dalam cerita ini wanita akan diceraikan dengan mudah saat mereka tak lagi sehat atau tak dapat memberikan anak lelaki. Sebaliknya para “pangeran” Bani Saud dapat tenang2 saja meski mereka sendiri berperan dalam perzinahan dimaksud.
Sungguh ironis membaca bagaimana generasi kedua dan ketiga para lelaki Bani Saud, menghambur-hamburkan uang, sementara masih banyak saudara-nya di tempat lain yang kelaparan. Bahkan alkoholisme dan pesta2 seks gelap terjadi meski secara sembunyi2 dengan mendatangkan berbagai macam wanita penghibur dari seluruh Eropa. Sebagaimana yang disampaikan Putri Sultana, suku Badui memang selamat dari panasnya padang pasir namun mereka hancur dan mabuk karena kekayaan “emas hitam”.
Bukan cuma itu Faruq (abang-nya Sultana) bahkan sering berpetualang ke berbagai negara, khususnya Thailand dan Mesir dimana keperawanan gadis gadis cilik bisa dibeli, serta plesiran di Eropa dan Amerika demi memenuhi hasrat seksualnya, meski di negaranya dia dibebaskan sampai memiliki empat istri dan sekian gundik. Cerita ini juga mengisahkan beratnya hal2 yang dialami pekerja wanita dari dunia ketiga, meski tidak menyebut Indonesia, karena Sang Putri mengisahkan pengalaman pekerja Phillipina yang sengaja dijadikan “eksperiman” anak2 lelaki sebuah keluarga setelah sebelumnya “dicicipi” oleh ayah-mereka.
Dinasti Saud berawal dari Al Saud dan Al Wahhab, gabungan antara mental prajurit Badui dan pemahaman agama yang keras, tak aneh jika kedua kombinasi ini sempat melakukan pembunuhan secara besar2an penduduk lelaki Thaif, sebuah perkampungan didekat Mekkah pada awal 1800 an. Meski akhirnya kekuasaan mereka di ambil alih Turki, dan kemudian Bani Rashid di Riyadh, namun pada 1902, Bani Saud kembali merebut kekuasaan dari Bani Rashid.
Setelah itu Bani Saud dipimpin Abdul Azis bekerja sama dengan pemerintah Inggris melawan Turki yang memang memilliki motif penguasaan sumber2 minyak yang sangat dibutuhkan dalam revolusi industri yang saat itu sedang bertumbuh pesat di Eropa. Lalu Abdul Azis mengangkat dirinya dari pejuang Badui menjadi Raja Hijaz, di Mekkah. Pada 1932, Hijaz dan Najd digabung menjadi satu kerajaan yang kita kenal sekarang sebagai Arab Saudi. Setelah Abdul Azis wafat maka diganti dengan anak sulung-nya Raja Saud. Namun kebiasaan Raja Saud yang buruk dan bermewah mewahan, akhirnya membuat dia terusir ke Beirut dan mahkota kerajaan diambil alih Raja Faisal.  Raja Saud akhirnya meninggal setelah menghabiskan 15 juta USD dalam pengasingan.
Raja Faisal yang dikenal sebagai pribadi yang lurus, berkali kali terlibat pertentangan dengan para pangeran muda yang merasa beliau membatasi gerakan mereka dan terlalu terobsesi dengan modernitas. Dua tahun setelah mengembargo minyak bagi Amerika sebagai bentuk protes atas keberpihakan Amerika pada Israel, pada 1975 Raja Faisal tewas dibunuh keponakan-nya. Lalu digantikan Raja Khalid sampai dengan wafat tahun 1982 dan lalu digantikan Raja Fahd dengan Pangeran Abdullah sebagai putra mahkota.  Sampai kapan Bani Saud bertahan ? semakin jauh mereka dari ajaran Nabi akan semakin sulit bagi mereka untuk menolak aspirasi warga Saudi yang menginginkan perubahan yang lebih baik, dan hanya waktu yang bisa menjawab.
Bagaimana Sasson dapat menuliskan buku ini ? dia menetap di Arab Saudi dari 1978 sd 1991 dan bekerja di Rumah Sakit Khusus dan Pusat Penelitian Raja Faisal. Tahun 1983 Sasson bertemu Sang Putri (yang dalam buku ini disamarkan sebagai Putri Sultana Al Saud). Anak bungsu dari sepuluh bersaudara dengan hanya satu anak lelaki (Faruq) , dimana Ibu mereka merupakan istri pertama ayah-nya. Terinspirasi dari perjuangan wanita di seluruh dunia, Sultana berbagi tentang riwayat hidupnya agar mendapatkan dukungan dari seluruh dunia tentang perjuangan wanita Saudi.

Uda Domma #1 Sebuah pertemuan

Pertemuan awalku dengan Uda Domma terjadi saat aku berusia sekitar 5 tahun. Saat itu kami sekeluarga tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah jalan Nilem Dalam, Buahbatu, Bandung. Awal persaudaraan keluarga kami pun dengan Uda Domma terjadi secara spontan dan alamiah,  khas orang perantauan.

Seperti umumnya terciptanya persaudaraan sesama orang rantau, Uda Domma yang kemudian ternyata bermarga Pohan, muncul begitu saja di pintu kontrakan rumah kami dan memperkenalkan dirinya. Ayahku pun menyambutnya dengan wajar dan hangat. Itulah awal aku mengenalnya atau tepatnya sebaliknya, awal Uda mengenalku.

Meskipun mulanya nama Domma terasa aneh di telingaku, namun nama2 orang Tapanuli umumnya mengandung makna tertentu. Baik makna harafiah maupun terkait dengan peristiwa dalam bahasa daerah, ataupun juga berasal nama dan istilah yang diambil dari Kitab Suci.

Demikian pula, nama khas Tapanuli Utara. Tentunya kalau tidak berasal dari Kitab Sucinya, nama2 Barat,  juga pastinya berasal dari bahasa asli daerah. Hanya, memang,  bagi yang tidak terbiasa, kadang jadi merasa, kok antara sesama saudara, namanya bisa jomplang jauh ya ? Misalnya temanku satu sekolah. Nama abangnya Rockefeller, tapi namanya sendiri Martumpal. Nah bagi yang nggak ngerti pasti menganggap, yang satu modern banget, tapi yang lainnya kok tradisional banget ? Ibarat Pizza dijejer sama Gethuk, atau ibarat Spaghetti dipajang bareng Ombus2 (ini sejenis makanan khas Tapanuli, yang disajikan panas2, sehingga ditiup dulu sebelum dimakan, Ombus sendiri berarti tiup atau hembus dalam Bahasa Indonesia).

Yang paling parah ini karena memang teman2 satu sekolah tidak terbiasa, singkatan panggilan nama kawan ini, tidak seperti kebiasaan khas Tapanuli yang menyingkat nama Martumpal menjadi Tumpal atau Tuppal, tapi malah mereka menyingkatnya menjadi Martum. Untuk ini memang kebiasaan Tapanuli agak sedikit aneh, alih alih menggunakan DM seperti Bahasa Indonesia (misal Dia pergi), Tapanuli menggunakan MD (misal Pergi dia).

 

Uda Domma #2 Arti Sebuah Nama

Lantas, bagaimana dengan arti kata Domma ? Aku tidak pasti. Dugaanku nama itu berasal dari singkatan kata indonma atau indomma yang artinya ya ini atau inilah.
 
Soal nama dan penamaan ini memang bisa menimbulkan protes dari si anak khususnya saat anak beranjak dewasa. Tidak ada orangtua yang ingin memberikan nama yang jelek. Namun kadang zaman berlalu, kosa kata baru timbul, tokoh atau bintang baru muncul, sehingga kadang tidak sejalan dengan nama dan harapan nama yang diemban. Misalnya ada saudaraku yang bernama Riskan (muncul sebelum istilah itu populer), atau temanku yang bernama Koboli (sebelum bahasa pemrograman Cobol muncul),  Termasuk juga ayahku yang tidak sreg dengan nama pemberian Ompungku, sehingga nama itu selalu disingkat oleh Ayah. Mungkin Ayah menganggap arti namanya terlalu berat buat diusung, atau tidak cocok dengan kepribadian dan keseharian Ayah, entahlah.
 
Pernah bahkan Ayah ngomel2, karena ada saudara sepupu Ayah yang belum mengetahui perkembangan kaidah nama Ayah yang terbaru, masih terus memanggil Ayah dengan nama lamanya. Sampai akhirnya Ibu harus turun tangan dengan diam2 memberitahu kepada sang sepupu yang lugu agar berhenti memanggil Ayah dengan sebutan lamanya.
 
Kembali ke soal2 silaturahmi dan pergaulan. Untuk hal yang satu ini, ayahku memang sering membuat ibuku terkaget2. Mengapa ? ya karena Ayah kerap langsung membawa pulang ke rumah orang yang ditemuinya begitu saja di luaran. Kawan barunya tersebut kemudian akan di bawa Ayah ke rumah dan diajak makan bersama.

Tipe yang diajak ayahku pun bermacam2. Kadang pecatur pinggir jalan, kadang pemuda lontang lantung pengangguran. Malah suatu ketika dengan sepeda motornya pernah pula Ayah mengantar pengemis pulang ke rumahnya sehabis beroperasi di kaki lima (Ayah berhenti mengantar anggota senior partai Kay Pang (kalau mengacu pada cerita silat-nya Khoo Ping Hoo) tersebut, setelah Ayah tahu dari Ibu profesinya yang sebenarnya, bahwa dia hanya action dan berpura2 lemah untuk meraup sedekah, dan memanfaatkan Ayah untuk antar jemput). Hal2 seperti  ini kadang dijadikan Ibu bahan gurauan sekaligus referensi untuk mengingatkan dan mengerem kebiasaan Ayah bergaul.
 
Sewaktu kami tinggal di Sibolga,Tapanuli Tengah, pernah pula ayah membawa ke rumah seorang pelukis tua – yang bertubuh ceking bungkuk dan terus menerus batuk dengan frekuensi yang rendah dan tetap. Pelukis ini baru terbatuk2 dengan gejolak di luar frekuensi tetapnya apabila kuda, gajah ataupun bentengnya tengah terancam, apalagi bila rajanya dalam intaian posisi skak (beliau dan Ayah sama2 hobi catur).
 
Paman pelukis ini memiliki hidung yang sedikit melengkung (seperti pelatih sepakbola Argentina zaman dulu kala, Cesar Luis Menotti), dengan tatapan tajam menusuk dan menyelidik seperti burung hantu yang tengah mengajar anaknya perkalian dan pecahan.
 
Saat dia menatapku itu pun , aku sangat yakin bahwa beliau bisa mengetahui dengan tepat jumlah kelereng dalam saku celanaku dan permen Union warna apa yang terselip di gigiku (zaman itu nama permen yang terkenal di daerah Sibolga adalah permen Union, atau permen Hacks yang bergambar orangtua yang tidak pernah berhenti batuk rejan sejak puluhan tahun yang lalu). Saat ini permen seperti itu masih bisa kita temukan misal-nya di Pekanbaru dan memang diproduksi di Malaysia.

Namun semata2 karena profesinya sebagai pelukis, maka bagiku tatapannya laksana ia tengah menyapukan kuas dengan ayunan yang kuat untuk mengecat mukaku. Bibirnya agak tebal melengkung ke bawah – dengan seringai dingin dan tak acuh, sebagaimana umumnya orang yang merasa dalam tahun2 belakangan hidupnya selalu dikecewakan oleh dunia dan seluruh alam semesta.
 
Tampilannya ini semua masih dilengkapi dengan sepasang lengan bertulang besar dan ujung jari2 yang panjang berurat dengan kuku berwarna kuning kehitaman diresapi nikotin. Itulah sebabnya aku pun tidak bisa lari dari tatapannya saat pertama dikenalkan. Karena sementara beliau menyapukan kuasnya ke mukaku dengan matanya, maka Tangan lainnya dengan kokoh mengulum tanganku yang menjabat jemarinya.
 
Itulah sebabnya, khusus untuk tamu yang satu ini aku lebih sering mengintipnya dalam radius aman dan terukur dari balik pintu kamar baca (di Sibolga, kami memiliki ’kamar baca’ yang berisikan koleksi buku2 Ayah).

Uda Domma #3 Lukisan Tua

Seingat aku, ada satu lukisan Paman Tua yang tergantung di ruang baca tersebut. Lukisan itu menggambarkan seorang sais pedati yang tua dan bungkuk, dengan pedati kusam  dan dihela oleh sapi yang sama tuanya dan anehnya, sama pula bungkuknya.

Lukisan itu berlatar belakang gunung tunggal yang senyap dan posisinya tergantung tak acuh dengan posisi tali yang agak miring diapit  jejeran buku Karl May koleksi Ayah. Tepatnya kira2 diapit episode Kara Nirwan Khan di Albania di satu sisi dan episode Dari Baghdad ke Istanbul di sisi lainnya. Sehingga aku berkesimpulan bahwa posisi lukisan ini mestinya menutupi episode Di Pelosok-Pelosok Balkan sekaligus Menjelajah Negeri Skiptar

Bagiku, efek lukisan itu sendiri cukup dramatis dan mencekam, karena dari kejauhan tampak keseluruhan gerobak tersebut bersama saisnya seolah melayang diantara awan. Perjalanan kakek tua yang entah ke negeri antah berantah itulah yang kadang membuatku cemas. Aku takut kalau2 kakek tua itu tiba2 mengajakku serta.

Meskipun, sejujurnya, apabila pada saat yang bersamaan aku mendadak menoleh ke pelukisnya, aku tidak yakin lagi mana diantara dua obyek itu yang lebih mencekam dan  lebih dramatis.

Beliau alias sang pelukis tua ini konon masih terus berusaha menggali dan menanti ilham untuk menelurkan minimal satu masterpiece di senjakala hari tuanya itu. Mengetahui tekad sang pelukis tua tersebut, dengan spontan Ayah menghadiahkan seluruh koleksi gambar2 kalender yang dikumpulkan Ayah sejak usia mudanya.

Tindakan ini pun sempat membuat Ibu sewot beberapa waktu lamanya. Ibu memprotes keroyalan Ayah, karena Ibu sendiri seorang pecinta seni yang gemar gambar2 dan lukisan, dan bahkan sudah memilih beberapa koleksi Ayah untuk dipasangi pigura.

Memanglah tangan ayah selalu terbuka dalam menyambut dan menolong siapa saja. Bahkan yang baru beberapa detik saja dikenalnya. Walaupun berdasarkan pengalaman dan obeservasi Ibu kadang2 sifat terbuka Ayah itu lebih sering mencelakakan Ayah, sehingga Ayah seringkali menjadi korban pemanfaatan oleh orang2 yang baru dikenalnya. Namun itulah, Ayah tidak pernah kapok.

Para tamu2 yang diundang Ayah, biasanya, seusai makan dengan takaran gembul walaupun dengan lauk ala kadarnya, maka sambil memainkan tusuk gigi di mulutnya, akan duduk santai menyeruput kopi bersama Ayah. Setelah  mengepulkan asap rokok tembakau lintingan untuk yang ketiga kalinya, dan berbicara panjang lebar kiri kanan muka belakang, maka di akhir pembicaraan yang panjang dan alot itu, terbuktilah bahwa sang tamu tersebut ternyata benarlah masih terhitung kerabat. 

Karena ternyata tamu tersebut merupakan tetangga jauh satu kampung, dari kerabatnya kerabat, yang ompung dari ompungnya, pernah diangkat anak oleh familinya, yang terletak di seberang kampung tetangga yang paling ujung.

Akhirnya, dari penelusuran silsilah yang panjang, berliku dan melelahkan, kait mengait dengan nama sejumlah nama tokoh dulu kala, dipadu dengan sejumlah lokasi huta (kampung) dan dirangkai dengan rentetan peristiwa2 prasejarah, maka ditemukanlah hubungan kefamilian (tarombo), bahwa aku harus memanggilnya Uda (Uda artinya adik ayah yang laki2, kalau abang Ayah, kami panggil Uwa’, dan kalau saudari2 Ayah kami panggil Bou),

Sejak status kefamiliannya jelas, terang dan benderang, tuntas dan terdaftar, maka Uda Domma pun tinggal dengan perasan lega, di rumah kontrakan kami. Aku tidak jelas dan tidak ingat di kamar sebelah mana atau di korsi panjang rotan yang mana Uda tidur, karena pada saat itu pun, seorang adik ibuku, yakni Tante Z, juga turut tinggal bersama kami.

Uda Domma #4 Tinggal bersama

Memanglah bahwa sejak aku mampu mengingat, beraneka ragam tipe karakter sanak dan saudara silih berganti tinggal bersama2 kami. Ini berlanjut terus sampai saat Ayahku sudah almarhum. Hanya mungkin intensitas kunjungan famili di saat2 sekarang ini sudah jauh berkurang. Selain karena Ibu yang sudah tua, mungkin juga karena daerah tempat tinggal kami saat ini tidak lagi pada posisi lintas yang strategis. Analisaku yang lain adalah karena para orangtua modern zaman sekarang memang lebih individualistis. Mereka umumnya tidak memperkenalkan anak2 mereka dengan sepupu2 jauhnya.

Bukan itu saja, bahkan mereka pun tidak memperkenalkan budaya asli nenek moyang kepada anak2nya, karena mereka sendiri pun mungkin kurang paham juga. Akibatnya generasi yang besar di rantau canggung pulang kampung. Tidak mengenal asal usulnya, fasih namun tidak berakar di rantau. Aku sendiri pun hanya tahu kulit2 arinya adat istiadat Tapanuli, dan sebagian lagi aku banyak bertanya kiri kanan. Termasuk pemahaman akan bahasa daerah, aku dapat sewaktu ompung (dari pihak Ibu) tinggal dengan kami selama beberapa tahun. Kugunakanlah ompungku itu sebagai sparring partner intensif dalam mengasah bahasa daerah.     

Kehidupan keluarga kami yang pas2an saat Uda Domma bersama kami, membuat apa yang kami makan dan kami pakai harus selalu dibagi. Tidak hanya nasi, lauk, sayur, kerupuk, kecap dan sambal terasi. Bahkan pun termasuk rokok Ayah. Bila rokok Ayah tinggal sebatang, tanpa ragu Ayah pun  memotesnya (mematahkannya) menjadi dua untuk dinikmati bersama Uda Domma.

Apabila kondisi keuangan ayahku berada di titik nadir, maka rokoknya adalah tembakau murah yang dilinting dengan kawung (bahasa Tapanulinya pusuk). Apabila ada roda ekonomi mengalami sedikit peningkatan, maka ayah beralih ke tembakau Mars Brand dengan pembalut kertas putih yang bungkusnya bergambar kakek2 pensiunan komisaris dengan kacamata tebal tengah membaca koran dengan headline yang itu2 saja.

Secara bergurau Ayah mengatakan pada Uda, bahwa rokok yang dilinting itu adalah rokok mahal, sedangkan rokok sigaret mesin alias pabrikan, adalah rokok murah (meskipun dalam kenyataannya, pada saat itu, harga sigaret pabrikan jauh lebih mahal).  Mengapa disebut rokok mahal ? Ya, karena rokok yang dilinting memerlukan banyak waktu untuk membuatnya. Jadi hanya para direktur atau para pejabat tinggilah yang punya waktu luang dan kesempatan cukup untuk melinting rokoknya.

Namun, di balik keharmonisan kami sebagai suatu keluarga besar yang baru dalam rumah kontrakan, Ayah sebenarnya menyayangkan kapasitas uda Domma yang saat merantau itu telah memiliki ijazah SMA - yang tidak termanfaatkan seluruhnya. Menurut perhitungan  Ayah, Uda tidak akan berkembang kehidupannya bila terus menerus tinggal bersama kami.

Uda Domma #5 Mencari uang

Ayah dan Uda sering berdiskusi dan putar otak untuk mencari ide mencari duit. Pernah mereka merencanakan untuk membuat usaha rokok keliling sederhana (berupa pembuatan kotak kayu dengan bungkusan2 rokok tersusun berjajar dan digendong kian kemari, seperti asongan rokok saat ini).

Uda Domma yang serbabisa dan pandai bertukang (mahir menggunakan perkakas) ini pun sudah selesai merancang gambar kotak rokok tersebut dan tinggal menanti datangnya papan, kayu, paku, lem dan cat untuk mewujudkan kotak rokok rancangannya itu. Namun rencana mereka berdua terpaksa dibatalkan karena setelah hitung punya hitung, kemampuan finansial  Ayah baru bisa mendapatkan salah satunya, kotaknya atau rokoknya, namun tidak kedua2nya sekaligus, Akhirnya rencana mulia ini pun tertunda.

Setelah sekian lama memutar otak, Ayah kemudian teringat dengan rekannya sesama perantauan ke Bandung, yakni FH. FH saat itu telah menduduki jabatan penting di sebuah bank swasta, dan bertempat tinggal di rumah yang megah di Jalan Buah Batu dengan dua buah mobil menghuni garasinya.

Kesempatan pun tiba saat Lebaran, ketika Ayah dan Ibu ke rumah FH untuk bersilaturahmi. Saat Ayah dan Ibu tiba, di rumah FH, sejak pagi telah menanti teman Ayah yang sekaligus juga merupakan teman merangkap bawahan FH di bank yang sama, yakni MH.

FH, walaupun tadinya mantan rekan sebantal, seguling, seselimut dan seseprei, namun seperti umumnya orang yang melesat tinggi karier dan status sosialnya, telah banyak berubah. Ayah dan Ibu maupun MH dan istrinya harus menunggu beberapa jam karena adik FH atau siapapun juga yang ada di rumah FH tidak berani membangunkan FH dari tidurnya yang telah berlangsung beberapa jam lamanya.

FH kemudian muncul dengan santai dan wajah innocent. Namun karena memang Ayah adalah seorang yang seorang humoris dan senang melawak (melucu), suasana segera mencair dan pembicaraan pun menghangat.

Di tengah suasana perbincangan dan nostalgia tersebut, mendadak salah seorang anak FH yang masih batita nyelonong ke ruang tamu dengan ingus yang berleleran di hidungnya.  Tengah FH terperanjat dan bersiap memanggil istri atau pembantunya, MH telah bergerak terlebih dahulu. Dengan sigap MH merogoh saku mengeluarkan saputangan yang bersih dan wangi, berjongkok menangkap sang batita, dan dengan cekatan tanpa ragu mengelap tuntas ingus yang berleleran tersebut dengan cermat dan teliti tanpa bersisa.

Kiranya hal2 seperti inilah – walaupun bagi sebagian orang terkesan menjilat yang membuat FH menjadikan MH orang kepercayaan sekaligus anak buah kesayangannya.

Setelah cukup lama berbincang2 dan bernostalgia, maka tepat sebelum mengakhiri silaturahminya, Ayah mengutarakan maksudnya, yakni ada seorang pemuda yang baik, rajin dan dapat dipercaya untuk bekerja. Tentu, lanjut Ayah, pada awalnya kerjanya apa saja, tidak pilih2 karena Ayah yakin, apabila FH telah mampu melihat dan menilai kualitas Uda secara langsung, maka dengan sendirinya kesempatan dan kepercayaan yang lebih besar akan terbuka lebar.

Pada awalnya, FH terkesan enggan, dan tidak merespons positif terhadap rekomendasi Ayah, apalagi terhadap Uda Domma yang menurut FH tidak memiliki hubungan kekerabatan yang signifikan dengan Ayah. Mungkin, jauh di dalam hatinya, FH geleng2, heran, kasihan sekaligus geli melihat Ayah yang kerap memungut saudara disana sini,  sampai2 ikut memperjuangkan masa depan saudara2nya itu, di tengah keadaan Ayah sendiri yang lintang pukang.

Namun akhirnya, mungkin karena masih memandang sisa2 persahabatan lama, dan juga melihat wajah Ayah yang kelihatan mengharap, FH akhirnya bersedia menerima Uda Domma di rumahnya. FH menerima Uda sebagai tukang cuci kedua buah mobil FH.

Sesampainya di rumah, Ayah memanggil Uda ke ruang tengah untuk menceritakan kabar baik ini dan menyuruh Uda siap2 untuk berangkat ke tempat FH. Sambil duduk berhadap2an,  Ayah menasehati agar Uda bekerja baik2, pandai2 membawa diri dan bersungguh2 dalam menata masa depan.

Kerja apapun itu, semua dimulai dari dasar. Dalam hidup ini tidak ada yang instant. Semua pekerjaan, walaupun tampak remeh dan sederhana, namun semua itu ada ilmunya. Dan apabila dikerjakan dengan sungguh2 dan penuh kecintaan, pasti kelak akan bernilai dan menghasilkan. Mendadak di tengah suasana penuh nasihat itu, Uda Domma menghambur dan memeluk kaki Ayah seraya terisak ...

Abaanngggg... asi  inda abang na maradong iiii ... asii inda abang na kayo iii ... sai denggan roa ni abaaangggg .... (abaangg, kenapa bukan abang saja yang berharta, kenapa bukan abang saja yang jadi orang kayaa, kan abang begitu baiikk ..).  

Ucapan yang spontan itu, disertai dengan isak tangis yang tersendat, membuat ayah dan Ibu tercenung dan tertegun haru. Walaupun mungkin sesuai dengan karakternya ayah merasa tindakannya itu wajar2 saja. namun mungkin bagi Uda Domma yang berperasaan halus, dan selama ini merasa hanya Ayahlah orang yang mensupport dan membimbingnya dengan tulus selama di rantau, itulah penilaian dan sikap Uda terhadap Ayah. Ayah bangkit, memapah Uda kembali duduk sambil menghibur dan menyemangatinya. 

Uda Domma #6 Akhirnya bekerja

Puluhan tahun berselang, di mata Ibu selalu kulihat keharuan apabila aku memintanya untuk menceritakan ulang kejadian ini. Mungkin bagi Ibu ini adalah tidak saja kenangan bagi Uda yang dianggapnya adik, tapi juga kenangan akan sifat2 Ayahku yang idealis dan tulus itu. Adapun Ayah sendiri, selama hidupnya tidak pernah mengatakan atau bercerita apapun tentang detail peristiwa ini padaku. Karena, memang begitulah sifat Ayah.

Beberapa waktu berselang, setelah mengantar Uda, kembali Ayah dan Ibu bersilaturahmi ke rumah FH, sekalian ingin mengetahui perkembangan dan kemajuan Uda. Namun ternyata Uda Domma sudah tidak berada di rumah FH. Melihat ekspresi heran di wajah Ayah dan Ibuku, FH kemudian bercerita dengan dongkol.

Masak, ning roa muyu, barani2  ia masuk tu kamarku get mambuat sigaret ?? (Coba, kalian fikir, kok berani2nya dia masuk kamarku untuk ngambil rokok) ?? demikian ujar FH dengan nada tinggi.
Torus bia ma ? (Trus selanjutnya gimana ?) balas ayahku
U paorot .. !! (Aku usir !!) balas FH
Ayahku kaget, dan menanyakan ? Ise mangida na ? Adong na mangida na ? Ida ho ? (Siapa yang melihat ? Ada nggak yang melihat ? Apa kau lihat sendiri ?)

FH mengaku mendapat laporan dari istrinya, dan istrinya FH (istri FH masih sepupu FH, alias boru tulang FH, artinya ibu FH bersaudara kandung dengan ayah istrinya FH), juga tidak hanya mendapatkan laporan dari pembantu rumah tangga mereka. Jadi tidak satu pun dari mereka berdua suami istri yang menyaksikan langsung laporan tersebut.

Mengingat karakter Uda Domma yang dikenal Ayah selama ini, Ayah sebenarnya tidak yakin kebenaran cerita itu. Tapi kemana pula Ayah harus melakukan crosscheck ? Toh Uda sebagai tertuduh utama telah tidak lagi berada disana. Lain halnya bila FH, begitu mendengar laporan pembantunya, terlebih dahulu mengajak Ayah berunding. Kalau begitu jalan ceritanya, tentunya pihak2 yang terkait bisa dikonfrontasi langsung.

Ayah terdiam menghela nafas dengan ekspresi muka yang dalam bahasa Tapanuli Selatannya dikatakan lebak (yang kalau kita coba tafsirkan adalah campuran dari rasa sedih dan kecewa, tapi lebih didominasi rasa prihatin/ menyayangkan). 

Sejak saat itu Uda Domma menghilang, dan Ayah pun tidak pernah pula bertemu FH.

Namun beberapa waktu kemudian, FH datang tergopoh2 ke rumah, berdua bersama istrinya dan tanpa basa – basi langsung bertanya;
 
Anggia, i boto amu do sanga i dia sannari si Domma ?
(Kalian tahu si Domma dimana sekarang ?)
Ayah dan ibuku menggeleng, terdiam dan  bertanya2 dalam hati.
Inda jungada amu pasuo dohot si Domma ?
(Kalian nggak pernah ketemu  Domma ?)
Inda jungada, dung do upataru ia tu amu an  di na sadari i, inda jungada be ami pasuo
(Nggak pernah, sejak aku antar ke tempatmu dulu, tidak pernah lagi kami ketemu ..)
Bia lakna ? (Emangnya kenapa) ? sambung Ayah
Boh .., apengani um solkotan do hubungan nami pado2 tu ho anggia ..
(Wah, ternyata hubungan kami lebih erat daripada hubungan dia denganmu ..)
Bia lakna hubungan muyu ? (Seperti apa rupanya hubungan kalian ? )
Sapala anak namboru kandung uma’ku ma aya nia ..
(Ternyata, Ibu FH saudara sepupu kandung dengan Ayah Uda Domma, jadi orangtua ibu FH bersaudara kandung dengan orangtua Ayah Uda Domma. Sehingga, antara Ibu FH dengan Ayah Uda – menurut adat Tapanuli, merupakan hubungan antara boru Tulang dan anak Namboru. Kebetulan, sama dengan hubungan persaudaraan antara FH dengan istrinya yang akhirnya memang terikat pernikahan).

Rupanya, tidak lama setelah FH mengusir Uda, ibu FH berkunjung ke rumah FH. Ngobrol ngalor ngidul, secara tidak sengaja FH berkisah tentang mantan tukang cuci mobilnya yang bermarga Pohan dan telah diusirnya tersebut. Mendengar cerita dan deskripsi FH, Ibu FH terperanjat, dan kemudian mencecar anaknya dengan ciri2 dan latar belakang (kampung halaman) Uda Domma. Sontak menyadari bahwa Uda Domma adalah keponakannya, Ibu FH gusar dan memarahi FH.

Masak kau nggak ngerti bahwa ayahnya Domma itu sepupuku kandung ? Terlalu kau ! omel Ibu FH panjang pendek. Cepat jemput dia ! sergah Ibu FH. FH dan istrinya langsung mencari Uda ke tempat Ayah. Ayah dan Ibu tercenung mendengar penuturan FH. Namun Ayah dan Ibu pun tidak bisa membantu, karena sejak Ayah dan Ibu mengantarkan Uda ke rumah FH, mereka tidak pernah saling kontak lagi dengan Uda.

Waktu pun berlalu.

Uda Domma #7 Buah Mahoni

Suatu ketika, adik ibuku, Tulang N, datang dari Padang Sidempuan ke Jakarta. Ibuku kemudian menugaskan Tante Z untuk menjemput Tulang N ke Jakarta dan membawanya ke Bandung. Saat perjalanan pulang Jakarta Bandung, Tante Z melihat sosok Uda Domma tengah menggelar buah di bawah deretan pepohonan Mahoni di pinggiran jalan. Buah Mahoni, yang berkulit keras dan berwarna coklat marun itu saat itu memang ramai didesas desuskan  karena konon dianggap obat penyakit darah tinggi. Agaknya Uda memanjat dan memetik sendiri buah2 Mahoni itu dan menggelarnya di pinggir jalan.

Tak lama setelah kisah Tanteku itu, Uda Domma tiba2 muncul pula di pintu rumah kontrakan kami. Dengan badan tegak, langkah2 panjang dan wajah berseri2, Uda berseru dengan nada riang ke Ayah,
 
Bang, ma marepeng au sannari ! Aha do giot ni Abang ?
(Bang, sekarang aku udah punya uang !  Abang pengen apa ?)
Boh, adong lakna epengmu (Wah, ada rupanya duitmu ?)
sambut Ayah sambil tersenyum.
Beres mai (Bereslah itu),
Aha do giot ni Abang ? So utabusi, momo mai !, seraya menepuk kantongnya
(Abang mau apa ? Biar aku yang traktir, Gampanglah itu ..)
Bang, Keta ma tu pasar manobusi buntut so i masak kakak !
(Bang, ayolah kita ke pasar, kita beli buntut biar dimasak kakak .. !)

Ayah dan Uda kemudian bergegas ke pasar dan membeli buntut sapi yang paling besar, paling segar dan paling mantap. Mereka pun bersama2 memboyong buntut tersebut pulang naik becak, dan  menyerahkannya pada Ibu untuk segera dimasak (Uda tahu masakan favorit ayahku dan juga Uda sendiri. tak lain dan tak bukan adalah sup buntut made in Ibu).

Tulangku N sendiri, puluhan tahun kemudian, pernah mengatakan bahwa setelah sekian lama mencoba sup buntut di berbagai tempat, maka yang menurutnya rasanya setara dengan sup buntut Ibu adalah yang pernah dia cicipi di Hotel Borobudur. Itu pula sebabnya, sejak dahulu kala, sejak mereka baru menikah, sering sekali Ayah membujuk Ibuku untuk membuat warung spesial sop buntut. Namun niat itu tidak pernah terealisasi karena berbagai faktor, antara lain karena Ibu ingin berkonsentrasi mengurus dan membesarkan kami anak2nya.

Tak berapa lama, setelah suara ayunan lading (golok) ibu di dapur, suara ulekan sambal, dan desis bawang goreng di kuali, sup buntut pun terhidang dengan asap mengepul, diselaputi aroma yang mencekam, kuah panas yang sampai ke tepian mangkok sup dan bonggolan buntut yang berenang pelan didalamnya. Sup buntut memang paling enak dimasak saat daging sapi itu baru saja dipotong. Ibu melengkapinya dengan sambal segar yang terbuat dari cabe hijau plus sedikit tomat (tidak digoreng dan tidak pakai terasi). Ibu tidak memasak kerupuk udang, tapi lebih sering menggunakan emping.

Ditengah2 upacara penyeruputan kuah sop buntut panas, dan ritual penggerogotan daging yang menempel pada sela2 tulang sapi, Ibu menanyakan ke Uda, apa sih yang sebenarnya terjadi ? Kenapa Uda sampai di Drop Out dari tempat tinggal FH ?

Uda menceritakan bahwa sehari2 ia sibuk mencuci mobil FH yang memang telah menjadi tugas utamanya. Suatu ketika pembantu wanita yang ada di rumah mungkin karena melihat majikannya sering bersikap semau gue terhadap Uda menyuruh Uda menjemur pakaian di loteng rumah. Namun Uda yang memprioritaskan tugasnya mencuci mobil, menolak. Nah, apakah mungkin hal itu yang membuat si pembantu kesal dan lantas mempelintir fakta dan kata, tidak jelas, karena sampai detik pengusiran tersebut, Uda tidak pernah di crosscheck atau dikonfrontir dengan sang pembantu wanita.

Mungkin juga karena umumnya manusia terlalu terpaku pada statement ’mana ada sih maling yang ngaku ?’ Sehingga statement inilah yang akhirnya membuat kita lalai mengkonfrontir dan meng crosscheck fakta. Akibatnya ? Kita jadi kesulitan sendiri untuk membedakan antara yang tidak maling, dengan yang benar2 maling namun tidak mengaku maling. Dua2nya juga nggak bakalan ngaku maling. Meskipun tidak mungkin kedua2nya sekaligus sama2 maling kan ?

Ibu menceritakan bahwa FH dan istrinya datang ke rumah tak lama setelah kepergian Uda, atas perintah ibunya FH yang merupakan bounya kandungnya Uda. Namun Uda Domma hanya merenung sesaat dan tidak memberikan komentar apa2.

Uda Domma #8 Menyambung Hidup dengan Kaki lima

Singkat kata, Uda bercerita bahwa setelah beberapa waktu lamanya berdagang mahoni di pinggir jalan. Uda ikut bantu2 sekaligus magang ke temannya pedagang kelontong senior. Metode yang mereka gunakan adalah berdagang barang di kaki lima, dengan menggelar dagangannya secara acak2an. Di waktu itu, masih belum umum bila orang menggelar dagangan dengan membuatnya berantakan, terserak2 dan campur aduk seperti yang telah lazim sekarang ini di berbagai Mall. Boleh dikatakan Uda dan beberapa rekannya tersebut merupakan pionir menggelar dagangan dengan metode berantakan dan campur aduk tersebut.

Setelah magang beberapa waktu lamanya dengan rekan seniornya tersebut, maka dari hasil simpanan ditambah keuntungan berdagang mahoni, maka Uda yang  telah mempelajari dan memahami liku2 perdagangan kaki lima tersebut, memberanikan diri untuk membuka usaha kaki lima sendiri. Walau berat karena kehilangan tangan kanan andalannya, senior Uda tersebut maklum akan keputusan Uda, dan ikhlas melepas Uda mandiri.

Demikianlah maka sejak saat itu pun Uda pun menggelar dagangannya di tempat2 yang dirasanya paling strategis. Dalam satu hari kadang Uda harus berpindah2 lokasi sesuai dengan kondisi di lapangan. Saat  senja membayang, maka Uda pun membuntal (membungkus) barang2 dagangannya dan memanggulnya kembali ke tempat kostnya di daerah Betawi asli di pinggiran Jakarta. Beberapa waktu berlalu, sampai akhirnya Uda merasa sudah on the right track dan itulah saatnya Uda memunculkan diri kembali di pintu kontrakan kami. Namun kali ini dengan rasa puas, rasa bangga dan optimis.

Ayah pun turut merasa bangga, dan setelah memutar2 sendok sup yang besar dalam mangkok, Ayah pun minta tambah kuah sop. Istilah Ayah yang umum adalah, tambahlah sikit kuahnya .. dan kemudian bila hanya kuah yang muncul, maka ayah akan menyambung .. kok kuahnya sepi sendirian ? nggak ada teman2nya yang berenang2 didalamnya ? (maksudnya, buntutnya atau dagingnya ..). Ibu sudah faham betul kebiasaan Ayah. Itulah sebabnya Ibu selalu menyiapkan ronde tambahan atau atau amunisi cadangan yang ditaruh di dapur.  

Sehabis makan Uda dan Ayah pun berbincang2. Ayah kemudian menyarankan langkah selanjutnya, yakni tetap berhemat, kumpulkan duit, tabung, dan fokuslah untuk membeli warung. Kalau masih belum mampu, ngontrak saja dulu. Ini perlu, lanjut Ayah, karena kalau kau sudah bisa memelihara dan menjaga kepercayaan pelanggan, lebih bagus lagi kalu kau tak usah berpindah2, Nanti langgananmu bingung mencari2. Demikian antara lain nasihat Ayah. Ayah memang kutu buku, pengetahuannya luas dan lintas sektoral, dan kalau berbicara penuh semangat dan energik, sehingga aku pikir2, kalau zaman sekarang ini mungkin Ayah bisa menjadi motivator kesohor. Uda Domma pun berpamitan dan berlalu dengan langkah2 lebar dan sejumlah rencana.

Apa yang diterima Ayahku dari Uda, aku tidak pernah jelas. Namun seingatku, tidak lama setelah kepergian Uda tersebut, mendadak Ayah memiliki sebuah baju baru bermotif kotak2 besar,  berwarna krem dan coklat tua. Baju kesayangan Ayah itu hanya dipakainya pada kesempatan dan acara2 khusus selama bertahun2 kemudian.

Tidak lama kemudian, kami sekeluarga kembali merantau. Kali ini ke Sibolga, sebuah pelabuhan penting di Sumatera Utara yang dikembangkan oleh pemerintah Belanda. Sibolga merupakan sebuah kota kecil yang tertata rapi sekaligus pelabuhan alam yang cantik dan saat itu merupakan ibukota Tapanuli Tengah.

Kami pindah tepat pada tahun dimana Ompung laki (Ayah nya Ayah) meninggal dunia. Perpindahan ini memang atas permintaan Ayah, agar lebih dekat dengan ibundanya  yang baru menjanda dan bermukim di Padang Sidempuan dekat Siborang, di depan Tangsi Polisi (demikian patokan yang kita berikan ke supir2 bis kalau ingin datang ke tempat Ompung). Kami memanggilnya Ompung Gendut, karena memang demikianlah adanya.

Sibolga, pada saat itu, seperti juga umumnya kota2 kecil di Indonesia, khususnya yang terletak di luar Pulau Jawa, adalah tempat yang  terlokalisir. Jangankan televisi yang belum tertangkap siarannya, bahkan koran Kompas (waktu itu ayah berlangganan Kompas, sejak harian favoritnya Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis, dibreidel mulai era Soekarno) pun  terlambat sampai dua hari. Harian Kompas terbitan Senin, baru bisa kami terima hari Rabu. Terkadang munculnya sekaligus bersama2 Kompas Selasa, namun tiba pada hari Kamis.

Ada memang radio mendiang Uwa’ (kakaknya Ibu), yang diperbaiki kembali dan dipasang di kamar Ibu. Namun bagiku itu tidak banyak menolong. Karena selain bentuknya yang kuno, juga pada frekuensi radio tersebut dicantumkan sejumlah nama2 kota yang menunjukkan dari mana2 saja siaran tersebut berasal namun kota2 tersebut sebagian sudah tidak ada lagi di pelajaran ilmu bumi (geografi) di sekolahku saat itu, misalnya kota Batavia.    

Dengan kondisi daerah dan alat komunikasi seperti itu, wajar jika kemudian – sebagian besar perkembangan berita kita ketahui dari mulut ke mulut. Khususnya dari sanak saudara yeng kebetulan berkunjung ke rumah.

Kemudian Ayah dan Ibu pun mendengar berita Uda Domma.

Uda Domma #9 Kembali Pada Sang Pencipta

Salah seorang kerabat, kemudian singgah ke rumah. Kebetulan famili ini berasal dari kampung yang bertetangga dengan kampung Uda Domma. Kemudian ibuku bercerita, bahwa waktu kami di Bandung, Uda Domma pernah tinggal dengan kami. Namun sudah lama kami putus berita. Apakah kerabat ini mungkin kenal dengan seseorang yang bernama Domma ?

Ternyata, Uda Domma telah meninggal dunia beberapa waktu yang lalu. Ya, dan betul, kerabat ini memang kenal dengan Uda. Uda meninggal karena sakit paru2 dan muntah darah yang parah. Dia meninggalkan seorang istri yang dinikahinya di Jakarta, namun tanpa sempat dikaruniai anak.

Rupanya setelah usaha Uda bertambah maju, ke tempat Uda berdagang datanglah seorang pemuda perantauan yang tengah kelaparan. Melihat tampilan pemuda lontang lantung bermarga S yang memelas ini, Uda teringat akan hidup dan perjuangannya untuk mandiri beberapa waktu yang silam.

Timbullah niat tulus Uda. Tidak saja Uda dengan sigap memberi makan anak muda itu, namun anak muda itu langsung diajaknya tinggal berbagi tempat kost. Bahkan Uda mengajari dan mengajaknya untuk bersama2 berdagang.

Suatu ketika, Uda pamit ke rekan barunya itu untuk mengurus suatu keperluan. Sekembalinya ke tempat kost, Uda mendapati kamar kostnya kosong. Barang2 dagangan tak satu pun yang bersisa dan pemuda bermarga S itu pun lenyap entah kemana, Tetangga kiri kanan kost tidak ada yang tahu dan tidak pernah pula dipamitin oleh si pemuda.

Hasil penelusuran lebih lanjut Uda, mengungkapkan bahwa ternyata sang pemuda tersebut telah mengangkut seluruh barang dagangan Uda dan dengan seketika menjualnya dengan model banting harga hingga tuntas, habis tak bersisa.

Dihadapkan pada kenyataan itu, Uda Domma pun terhenyak dan terkulai lemas. Bukan hanya modal barangnya saja yang terkuras habis, tapi juga modal kepercayaan dan mungkin juga modal semangat dan modal harapannya sekaligus turut pula terbang.

Sama sekali tidak pernah terlilntas dalam fikiran Uda yang sederhana, bahkan di dunia ini ada orang yang mampu bertindak setega itu. Rasa tidak percaya, heran tak habis fikir, kecewa bercampur dengan rasa dikhianati ternyata begitu merasuk jauh dalam fikiran dan perasaannya, sehingga tak lama kemudian Uda langsung terkapar jatuh sakit. Itulah awalnya Uda terkena hantaman penyakit  paru-paru.

Dalam keadaan sakit2an, seorang wanita Betawi dengan ikhlas tetap bersedia menikah dan mengurus Uda, yang saat itu telah menjadi pengangguran dan hidup terlunta2 tanpa tempat tinggal tetap. Boleh dikatakan bahwa sebenarnya Uda menggantungkan hidupnya pada istrinya itu. Namun hal ini mungkin malah memperparah beban fikiran Uda yang merasa sebagai laki2 seharusnya Uda lah yang paling bertanggungjawab atas kehidupan dan nafkah keluarganya.

Suatu ketika, entah karena firasat apa,  walaupun dengan kondisi yang masih lemah, Uda mendadak berpamitan dan bersikeras untuk pulang, karena rindunya ke kampung halaman sudah tidak tertahankan. Ternyata itulah pamit perpisahan. Sesampainya di kampung, penyakit Uda memuncak dan bertambah parah dan Uda pun wafat dalam usia muda.

Uda Domma #10 Akhir Sebuah Kisah

Saat Uda pulang kampung tersebut sebenarnya kami telah berada di Sibolga. Sedangkan jarak antara Sibolga dan Sibakkua pun tidak begitu jauh dan  dengan kondisi medan saat itu dapat ditempuh selama kira2 2 jam perjalanan darat. Namun Ayah dan Ibu pun tidak mengetahui kabar Uda sedikitpun. Dengan kondisi daerah dan fasilitas komunikasi yang ada pada saat itu, antara kami dan Uda benar2 terputus kabar.

Mendengar akhir kisah kehidupan yang singkat itu, Ayah dan Ibu tercenung menghela nafas panjang dalam diam. Mereka sangat terharu dan sangat menyayangkan akhir tragis hidup Uda Domma. Seorang pemuda pekerja keras yang lurus dan berfikiran sederhana. Sederhana dalam berfikir dan bertindak, namun ternyata singkat pula perjalanan hidupnya.

Bagaimana pula dengan orang2 yang sempat muncul dalam era kehidupan singkat Uda ? Waktu akhirnya membuktikan, tidak berselang lama setelah Uda diusir, FH tersandung kasus pemberian kredit (a.l. usaha bank dalam bank), Celakanya, MH termasuk kelompok pertama dan terdepan yang turut menjatuhkan FH.  Karir FH, sejak saat itu, benar2 amblas, semua bukti2 yang memberatkan dan rekan2 sekitar yang tidak memberikan dukungan, membuat FH menjadi tersangka pelaku utama, dan seluruh harta FH ludes disita untuk mengganti kerugian bank. Posisi FH terjun bebas menjadi pegawai biasa dan FH harus minggir dari arena untuk menyerahkan kedudukannya. Karir FH yang cemerlang dan gemilang benar2 jatuh terkapar dan untuk selama sisa hidupnya, FH tak pernah lagi bisa bangkit bersinar seperti sebelumnya.

MH sendiri minimal dari sisi finansial kemudian berjaya, karena selain mendapat posisi jabatan yang lebih tinggi, MH juga membuka profesi sampingan sebagai rentenir  (mirip bisnis bank dalam bank – dan tentunya dengan modus yang lebih berhati2). Selain itu, MH rajin nyambi sebagai dosen (yang kemudian banyak dicomplaint mahasiswa karena kerap meminta imbalan kepada mahasiswanya, agar mahasiswanya tidak dipersulit kelulusannya). Dari berbagai usaha sampingannya itu, MH hidup layak dan berkecukupan, sampai memiliki lapangan tenis pribadi yang kemudian disewakannya sebagai tambahan penghasilan. Namun, di puncak kejayaannya, MH justru kehilangan seluruh isi brankas yang disimpan di rumahnya sendiri.

Sampai hari tuanya pun, MH tidak pernah mengetahui siapa pelakunya karena tidak ada tanda2 kerusakan atau tanda2 paksaan apapun pada brankas. Dan di akhir hayatnya, MH akhirnya meninggal setelah didera sakit gula yang parah. Dan apapula yang tersisa dalam ingatanku tentang Uda ? Uda Domma adalah contoh sosok orang yang berhati lurus. Pekerja keras yang berfikiran sederhana, berperasaan halus dan berhati tulus. Namun hatinya yang tulus dan perasaannya yang halus dihantam oleh kenyataan pahit, bahwa ternyata ada orang yang sanggup bertindak sedemikian tega. Semoga Allah meridhoi Uda dan menyelimutinya luka2 hatinya dengan kasih sayangNya.

Sekarang, jika sesekali aku melintas jalanan dimana jejeran pohon mahoni tegak berbaris diterpa bayang2 matahari condong, ditingkah dedaunan yang bergerak perlahan dihembus angin sore yang dingin, aku teringat Uda Domma.
  
Jakarta, 10 Sya’ban 1433.

Monday, July 30, 2012

The Book of Codes - Zaynur Ridwan

Belum habis pesona “Indonesia Incorporated”, kali ini Zaynur Ridwan kembali menggebrak lewat buku terbarunya The Book of Codes (selanjutnya kita singkat dengan TBoC). Dibuka dengan kalimat “In the land of blind, the One Eye Man is King”, yang terkesan ambigu disatu pihak kita bisa menganggap itu sebagai kalimat yang wajar namun disisi lain kata2 “the One Eye Man is King” mengingatkan kita akan “The All Seeing Eye” alis “Eye of Horus”. Berhubung tema2 yang dipilih cukup “beresiko” jangan berharap anda akan memeroleh keterangan mengenai sang penulis, sepertinya penulis lebih senang “bersembunyi” karena sensitifnya tema2 tsb. Covernya sendiri seperti biasa, memesona, tak salah jika Gobak Sodor lagi2 dipercaya untuk membuat cover yang berkelas.


Seperti biasa kita langsung dihajar dengan bab2 pendek yang menegangkan sekaligus membentuk kesatuan cerita utuh mengenai rahasia di balik TBoC. Alur cerita berjalan dengan cepat namun dengan cerdiknya, Ridwan membahas latar belakang tsb dengan menggunakan Alif , yang berperan sebagai narator dan mengantar kita pada konspirasi dibalik TBoC.
Meski demikian ada beberapa kesalahan menganggu misalnya ketika disebutkan obelisk di Basilica Santo Petrus dibawa oleh Caligula pada tahun 1937 yang secara logika jelas tidak mungkin karena Caligula adalah kaisar pada periode yang lebih awal, jadi seharusnya tahun 37.  Atau pada Hal 66 dan 67, dimana nama salah satu tokoh kadang disebut Ajeng Justisia namun halaman berikutnya ditulis Ajeng Yustisia. Lalu hal 108 disebutkan pejuang Sacaren, semestinya Saracen. Atau pada halaman 272 dan 273 disebutkan singkatan BIS adalah “Bank for International Settelments” seharusnya “Bank for International Settlements”.
Lepas dari segala kekurangan tersebut, saya angkat topi pada Ridwan, baik karena idenya, alur yang cepat dan mulus, kalimat2 cerdas, dan menggabungkan semuanya menjadi cerita yang bermutu. Khusus untuk kedua buku terakhir Ridwan, rasanya bisa dimasukkan dalam kelas khusus setara dengan  karya2 penulis internasional. Untung sebelumnya saya sudah membaca Satanic Finance karya Riawan Amin, yang pada dasarnya mengangkat hal yang sama.
Buku ini menceritakan bagaimana Adipati seorang warga negara Indonesia, berusaha melacak jejak emas Indonesia yang pernah digunakan Presiden Soekarno untuk membantu Amerika yang saat itu dipimpin oleh John F. Kennedy dengan meminjamkan emas dalam jumlah luar biasa, dan digunakan oleh Kennedy sebagai kolateral / jaminan dalam mencetak mata uang (Fiat Money) sendiri sekaligus melawan dominasi Federal Reserve. Jaminan ini diperlukan untuk memberikan garansi atas uang yang dicetak oleh Amerika. Pada periode yang kurang lebih berdekatan, ada banyak negara yang juga meminjamkan emas mereka ke negara2 barat, seperti Cina saat terancan oleh Jepang, demikian juga Philippina, dll. 
Namun emas tersebut saat ini “dikadali” oleh kelompok rahasia bankir internasional yang dipimpin oleh sekumpulan petinggi Freemason sebagai kolateral dan bagian dari tujuan untuk menguasai dunia dengan mengontrol ekonomi. Ridwan juga menyoroti berbahaya-nya tentakel ekonomi bernama riba. Hal ini mengakibatkan tuntutan yang lebih serius dari negara2 timur, karena bagaimanapun mereka selama ini tidak pernah mendapatkan pembagian keuntungan dan hak2 mereka sebagai pemilik sebenarnya masih secara terus menerus dikangkangi.
Bukan cuma itu, Ridwan juga menyoroti berbahaya-nya riba, dan disinyalir menjadi penyebab dari terbunuhnya Caesar, “Penyaliban” Nabi Isa,  terbunuhnya Abraham Lincoln sampai terbunuhnya John F. Kennedy serta menjadi kunci misteri meninggalnya Paus Jhon Paul I. Sungguh buku yang menarik dibaca dan menambah kewaspadaan kita terhadap riba.

Catatan
Untuk lebih jelas-nya dapat membaca review saya mengenai buku Satanic Finance di http://hipohan.blogspot.com/2012/06/satanic-finance-nya-ariawan-amin.html

Buku2 Zaynur Ridwan yang lain dapat dilihat di

http://hipohan.blogspot.com/2012/01/khilafa-nya-zaynur-ridwan.html
http://hipohan.blogspot.com/2012/01/novus-orde-seclorum-nya-zaynur-ridwan.html
http://hipohan.blogspot.com/2011/12/greatest-design-nya-zaynur-ridwan.html
http://hipohan.blogspot.com/2011/12/indonesia-incorporated-nya-zaynur.html
http://hipohan.blogspot.com/2013/06/rambut-annisa-nya-zaynur-ridwan.html