Tuesday, January 22, 2013

Melintasi Banjir Jakarta di depan Citra Land


Malam Kamis 17/1/2013 aku mendadak terbangun oleh suara air yang melewati pipa pembuangan air hujan di balkon Apartemen Westmark. Mendadak langit terang karena petir sambar menyambar di kejauhan. Aku mencoba melihat keluar jendela, langit benar2 gelap sepertinya diluar sana awan berat dan hitam menggantung. Sungai depan MTA (Mall Taman Anggrek) nampak mulai meninggi nyaris mencapai batas paling atas. Kabel2 baja di depan canopy Apartemen berbenturan dan menimbulkan bunyi yang menggelisahkan ditiup angin.

Mencoba untuk tidur meski sangat sulit, akhirnya aku terbangun saat menjelang subuh, air masih terus dicurahkan dari langit. Selesai subuh, aku mencoba memantau  melihat Metro TV, terlihat situasi Jakarta mulai tak menentu, dimana mana banjir mulai mengancam.  Laporan dari NTMC Polda sepertinya cukup mengkuatirkan. Aku lantas mencoba kontak salah satu team senior HSE, dan mencoba memastikan status kantor hari ini, mengingat situasi-nya mulai tidak kondusif. Salah satu manager depertemen ku juga call via BBM menyarankan untuk pemberlakuan mobile office hari ini.

Lantas aku masak untuk sarapan pagi, dan terus kontak2 dengan team untuk memastikan layanan 24x7 kami di lantai 37, Central Park tetap dapat berjalan, menjelang siang aku kembali masak, namun persediaan air mulai menipis. Aku kembali melihat suasana sekitar, kali ini sungai depan MTA  sudah mencapai batas paling atas, gardu parkir sepeda motor terlihat mulai banjir sekitar 30 cm, dan jalan di depan MTA sudah mencapai sekitar 50 cm.  Westmark seperti pulau yang dikelilingi oleh air kecoklatan.

Laporan siang dari Metro TV semakin mengkuatirkan khususnya di daerah Grogol, di Tanjung Duren dan depan Citra Land air mulai mencapai satu meter sesuai reportase lapangan oleh penyiar berwajah ke-arab2-an Zackia Arfan. Nampak sebuah bis mogok didepan percabangan jalan ke pintu tol Grogol -  Tg Priok dan jembatan untuk putar balik ke arah  pintu tol Grogol – Cawang.  Begitu juga sebuah truk di depan DAMKAR. Sementara di depan Universitas Tarumanegara sudah tidak ada kendaraan yang berani lewat karena tingginya air.

Alhamdulillah menjelang maghrib hujan berhenti namun dampaknya masih terus berlanjut, dengan jebolnya tanggul di pusat kota.  Jakarta yang selama ini mengalami tiga resiko mulai dari air pasang, curah hujan dan banjir kiriman menjadi semakin beresiko untuk ditinggali. Aku bergegas belanja kebutuhan makan khususnya air di Carrefour, cemas melihat plaza UOB yang empat basement-nya terendam beserta semua mobil yang parkir dan beberapa karyawan, aku sempatkan untuk mengecek mobil di basement LGM di Central Park. Setelah belanja untuk mengantisipasi  situasi darurat aku mengendarai mobil “melipir” lewat jalan samping dari Central Park ke MTA, lantas minta izin security untuk parkir persis depan lobby Westmark. 

Lalu aku mulai masak untuk makan malam, sekitar jam 21:30 istri menelepon dan kuatir keadaanku serta meminta aku pulang ke Bandung. Namun aku menolak karena belum ada pengumuman dari kantor mengenai status untuk Jumat 18/1/2013. Entah karena “kutukan istri” sekitar jam 22:00 mendadak listrik apartemen  mati, karena gardu listrik Westmark di dekat kantor security meledak akibat luapan air sungai.  “Kutukan” berlanjut karena tak lama terlihat dari jendela hujan dan petir sudah dimulai lagi. Panik dengan situasi ini, aku mulai mengemas barang, dan turun lewat tangga darurat langsung masuk ke mobil. Untung saja mobil sebelumnya sudah aku pindahkan ke Westmark.

Keluar di S.Parman situasi jalan nampak aneh, jalan yang biasanya satu jalur kini menjadi dua jalur, diakibatkan area depan Universitas Tarumanegara sudah tidak dapat dilewati, dengan asumsi air sudah surut karena  hujan sudah berhenti empat  jam-an, aku tancap gas menuju Grogol untuk putar balik dan masuk tol Grogol – Cawang.  Terlihat berbagai kendaraan memutar, dan beberapa diantara-nya sudah tak berdaya dan tak lagi mampu maju. Sepersekian detik sempat bingung aku putuskan naik jembatan dan melewati genangan setinggi sekitar 70 sd 80 cm, pedal gas aku tahan untuk menghindari masuknya air ke kompartemen mesin. Air di jalan sudah sama tingginya dengan sungai di depan Apartemen Grand Tropic. Anak2 muda berkeliaran menawarkan bantuan, namun lebih terlihat sebagai ancaman, apalagi bagi pengemudi mobil yang sendirian seperti hal-nya aku (situasi ini mengingatkan aku situasi jalanan saat kerusuhan 1998).  Mendadak sebuah gerobak dengan motor diatas-nya berusaha memotong jalan-ku, namun urung karena kaget mendengar klakson yang aku tekan kuat2.  Air meluap dikiri dan kanan kap mobil, dan muncul suara2 aneh di bawah kolong mobil saat aku melewati genangan tertinggi.  Ahhh akhirnya lega saat aku melewati jembatan menuju pintu tol Grogol – Tg. Priok.

Dibagian puncak jembatan nampak beberapa motor dan mobil yang berhenti dan mogok, termasuk sebuah X-Trail dengan lampu hazard menyala.  Dan hahhhh ! di depan aku sudah membentang lautan kedua dengan kedalaman yang susah diperkirakan, aku berhenti dipinggir jembatan dan ragu dengan situasi ini, kembali ke Apartemen  dan menerabas kembali lautan pertama, atau dengan gagah berani menerabas lautan kedua, atau memilih tidur di puncak jembatan sampai dengan situasi lebih kondusif meski tidak jelas kapan.  Aku putuskan untuk kembali ke Apartemen menempuh lautan pertama yang tinggi-nya sudah bisa diantisipasi, namun penumpang X-Trail mendadak menyapa aku, dan menyampaikan bahwa sebelumnya sebuah Fortuner selamat di seberang, hemm sepertinya ada secerah harapan dan tentu saja aku tak mau kalah dengan Fortuner, lalu aku putuskan untuk menyeberangi lautan kedua. Pengemudi X-Trail meminta ku membuka jalan dan meminta izin ikut di belakang.

Beberapa detik sebelum injak gas mendadak ada ketokan di jendela mobil, aku kaget dan menoleh ke kanan, ternyata pengemudi X-Trail turun dari mobil-nya memohon agar aku tidak menginjak rem, karena akan sangat berbahaya bagi mereka. Lalu aku kembali siap2 menginjak gas, dan berdoa, eh lagi2 sebuah motor persis berhenti di depan dan mogok. Akhirnya setelah jalan didepan bersih, aku mengucapkan doa dan menginjak gas, Alhamdulillah kali ini lancar, juga karena air ternyata tidak setinggi lautan pertama  dan aku memutuskan lewat jalur busway karena lebih tinggi, sambil mengklakson motor2 yang berhenti disepanjang jalur busway.  Tak lama terlihat pintu tol ke arah Tg  Priok, dan sambil mengucap sukur aku masuk tol, meski sempat tertahan di km 39 selama hamir empat jam, sekitar jam 05:00 subuh aku akhirnya sampai di rumah, satu jam kemudian lagi2 Manager HSE menyatakan status mobile office untuk 18/1/2013, hemm benar2 putusan yang tepat.

Tak pernah sebelum-nya aku mengendarai mobil melewati banjir setinggi itu, sepertinya  jika saja aku masih menggunakan mobil yang sebelumnya yang kebetulan sekarang sudah dipakai istri, bisa jadi sudah berubah menjadi kapal selam  di lokasi tersebut.  Semoga kejadian seperti itu tak lagi aku alami. Semoga juga Jakarta dapat menjadi kota yang lebih baik kedepan-nya dan ini menjadi pelajaran bagi warga-nya agar dapat hidup selaras dengan alam di sekitarnya. 


The Three Trillion War - Joseph E. Stiglitz

Stiglitz sang peraih Nobel ekonomi di 2001 tidak main2 dalam membuat buku ini, bersama Linda J. Bilmes seorang professor Harvard, dia bahkan menyimpulkan bahwa dengan hanya 1 triliun dolar, pemerintah AS bisa membangun 8 juta unit rumah, menggaji 15 juta guru selama setahun, membayar asuransi kesehatan 530 juta anak selama setahun, memberikan beasiswa empat tahun kepada 43 juta mahasiswa di Universitas Negeri. Nah bayangkan kalau dikalikan tiga sebanyak jumlah yang sudah dikeluarkan pemerintah Amerika. 

Stiglitz menganggap Bush menyeret Amerika Serikat ke ambang krisis ekonomi yang kemungkinan besar akan terus berdampak selama puluhan tahun kedepan dan langsung membebani setiap bayi yang lahir di Amerika. Perang ini jadi tambah memalukan karena senjata pemusnah massal yang didengung2kan Amerika tidak pernah terbukti. 



Kenapa bisa terjadi perbedaan perhitungan dengan Pemerintah Amerika ? Stiglitz dan Bilmes, menyoroti biaya perang yang disembunyikan dari mata rakyat. Salah satu contoh kecurangan itu adalah penggantian peralatan militer yang dihargai 6 kali lipat lebih mahal daripada masa damai. Lalu juga tidak dihitung biaya kompensasi tentara yang cedera, demikian juga dengan tidak dihitung-nya senjata pengganti bagi semua persenjataan yang digunakan dalam perang tersebut, dan lain2.

untuk kalkulasi perang selama 5 tahun sampai dengan 2008 saja Stiglitz menyebutkan bahwa setiap keluarga AS harus menanggung biaya sebesar 17.000 dolar dari biaya keamanan AS. Biaya tersebut senantiasa meningkat sebesar 50 % sebagai akibat dari melonjaknya biaya perang Washington di Afghan dan Irak serta operasi-operasi militer AS di luar negeri yang belum dihitung dari 2008 sampai saat ini. Pada WW2, Amerika yang mengerahkan 16,5 juta tentara selama 4 tahun ditaksir mengeluarkan biaya sebesar 5 Triliun.

Kecurangan yang lain adalah melibatkan pihak swasta dalam perang seperti organisasi Black Water, yang ongkos-nya berlipat lipat dibandingkan dengan  tentara normal.

Hemm kenapa perang harus dilakukan, untuk sebagian pengusaha khususnya yang berhubungan dengan industri militer, perang sangat perlu, perang akan memicu pembelian persenjataan oleh pihak yang beperang, pembelian persenjataan oleh pihak2 disekitar yang berperang (untuk jaga2), consumable parts-nya seperti peluru dan minyak, proyek rekonstruksi di pihak yang kalah, obat2an, tentara bayaran, dan lain2. Namun bagi masyarakat dunia secara umum perang sangat merugikan karena penderitaan yang ditimbulkan-nya, seperti polusi, korban tewas dan cacat, perdagangan produk non militer di kawasan yang berperang.  

Inspirasi dari Sydney #1 of 6 - Mrs. McQuarie Chair

Setelah bekerja keras selama 2009, kini saatnya liburan ke Sydney saat permulaan musim Gugur di awal tahun 2010.  Suhu di saat itu sekitar 20 sd 25 Derajat Celcius, jadi memang lebih baik membawa baju hangat atau jaket tipis. Karena akan banyak jalan kaki, saya dansistri menyiapkan alas kaki yang enak dipakai.
Hari sudah menjelang siang sementara taxi  yang kami tunggu2 untuk pergi ke travel tidak datang2 dan dari Bluebird tidak ada penjelasan apakah ada penggantian. Lantas karena waktu sudah sangat mepet, saya antar istri dan koper menggunakan mobil ke travel Cipaganti di terusan Buah Batu, Bandung, lalu balik kerumah dengan mobil yang sama, terus naik ojek kembali ke travel Cipaganti. Syukurlah kami masih sempat mendapatkan kendaraan Elf menuju Soekarno Hatta dan tanggal 3/3/2010, jam 20:40 saya dan istri terbang bersama Qantas QF 42, maskapai penerbangan Australia dengan logo Kangguru, untuk bertualang menuju Sydney.  

Jelas kami deg2an, nyaris tidak jadi berangkat, dan ini bukan cuma deg2an yang pertama, saat memohon VISA pun rasanya tidak semudah negara2 lain. Ketatnya proses ini  bisa jadi karena Australia dikenal dekat dengan Amerika dan Inggris, sehingga dianggap termasuk target utama teroris. Dengan demikian jangan harap bisa mendapatkan VISA dengan mudah.

Kembali ke perjalanan, ternyata pesawatnya bagus, dan dengan memilih maskapai yang sama dengan negara tujuan  ternyata membuat kita merasakan suasana Australia lebih awal. Setelah 7 jam di perjalanan , loh kok lama ?, ya karena Sydney terletak agak kebawah kalau di peta dan juga lebih dekat ke New Zealand (yang terkenal sebagai tempat shooting trilogi Lord of The Ring) . Jadi Sydney memang  berbeda dengan Perth yang lebih dekat secara jarak dari Jakarta. Akhirnya kami pun sampai jam 07:15 waktu setempat dan mendarat di Kingsford Smith Airport.






Proses imigrasi berjalan cukup lama, karena pemeriksaan yang cukup teliti, begitu juga dengan barang2, hampir semua koper dibuka dan diperiksa. Sepertinya barang bawaan turis Indonesia yang dikenal loyal dengan makanan khas, menjadi obyek menarik yang perlu diperiksa. Selisih waktu yang mencapai empat jam, membuat kami masih terkantuk kantuk. Hemm melihat bawaan beberapa turis di depan saya  membuat saya menyesal tidak membawa saus sambal ABC, maklum makan tanpa rasa pedas, rasa-nya tidak nyaman bagi yang sudah biasa.

Lalu dengan bis berukuran besar dengan ground clearance sangat rendah,  kami meninggalkan Airport menuju lokasi wisata pertama yaitu sebuah taman dengan rumput hijau  dipinggir sungai dengan jogging track dan bukit2 kecil dan jalan berliku liku. Tempatnya sangat bersih dan dipenuhi dengan pohon2 berukuran besar. Jauh diujung sana terlihat Sydney Harbour Bridge dan Opera House yang terletak di Bennelong Point masih di area Sydney Harbour, yang menjadi landmark Sydney. Perahu2 hilir mudik dikejauhan, mulai dari perahu2 kecil sampai dengan yang berukuran besar. Nama tempat ini adalah “Mrs. McQuarie Chair”. Hemm “chair” ? ya memang ada sebuah bangku batu panjang yang dulunya menjadi tempat duduk favorit seorang wanita bernama Elizabeth yang merupakan istri Gubernur Inggris Lachlan McQuarie. Dari tempat itu dia biasa melihat kapal2 yang datang dan pergi ke atau dari Great Britain.


Selanjutnya di http://hipohan.blogspot.co,id/2013/01/inspirasi-dari-sydney-2-opera-house.html

Inspirasi dari Sydney #2 of 6 – Opera House, Darling Harbour dan The Rock


Setelah puas foto2 di McQuarie Chair, kami menuju ke Opera House dan melewati jalan2 di Sydney yang besar2, naik turun, dan sangat bersih serta tentu saja sepi dari motor, becak, gerobak dan klakson. 

Opera House merupakan salah satu land mark Sydney, khususnya atap-nya yang berundak dengan desain repetitif. Gedung ini juga sering muncul di kartu2 pos mewakili satu dari sekian landmark Australia. Gedung ini didesain oleh arsitek Denmark bernama Jorn Utzon, yang memenangkan lomba desain di tahun 1957.


Opera House di gunakan untuk acara kesenian, dan rata2 pertahun ada lebih dari 1400 acara kesenian yang menggunakan gedung ini dan rata2 dihadiri sekitar 1,2 juta pengunjung.



Terlihat beberapa pelukis jalanan di sekitar sini, salah satu diantaranya memiliki skill teknis tinggi, dan langsung menggambar dan menjual lukisan-nya pada pengunjung yang datang. Harganya cukup mahal, namun kualitas lukisan-nya cukup sebanding.


Supir yang membawa kami ternyata imigran Serbia, begitu juga asisten supir. Sayang sekali wajah2 mereka sama sekali tidak ramah, dan cenderung berbicara satu sama lain dengan bahasa yang tak kami kenal.  Lalu kami menuju Taifoon Harbourside Restaurant di Darling Harbour  untuk  menikmati masakan Chinesse Food yang lezat.  Antara Opera House dan Darling Harbour, kami melewati The Rock, satu daerah yang dulunya sangat kumuh dan rawan, namun saat ini ditata dengan sangat cantik oleh pemerintah kota.

Mobil2 yang lewat menggunakan logo bergambar singa yang asing, belakangan saya baru tahu logo tersebut merupakan logo Holden, dan saat ini Holden memang lebih banyak di jual secara lokal, itu sebabnya logo tersebut tidak akrab bagi kebanyakan orang. Dan melihat beberapa model-nya sepertinya ada kerjasama antara Holden dan Chevrolet.


Link selanjutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2013/01/inspirasi-dari-sydney-3-rose-bay-bondi.html

Inspirasi dari Sydney #3 of 6 – Rose Bay, Bondi Beach dan Sydney Tower


Lalu kami menuju Rose Bay, tempat ini merupakan daerah elit dan dengan jalan2 yang berkelok kelok turun naik. Rumahnya besar besar dan cenderung berwarna putih atau cerah.  Disalah satu lokasi mirip dengan Uluwatu kami berhenti dan melihat lihat laut dari tebing2 curam Rose Bay. Langit sangat cerah dan melihatnya menyatu di cakrawala bersama laut yang juga berwarna biru menciptakan degradasi seputar biru yang sangat indah. Angin bertiup sangat kencang, sementara kami berdiri di tebing batu  berwarna broken white diantara  pohon2an berbatang hitam pekat.




Setelah puas foto2 di Uluwatu ala Australia ini kami melanjutkan perjalanan ke Bondi Beach. Ini merupakan salah satu pantai favorit di Sydney, bentuknya seperti cekungan mengingatkan saya akan Senggigi jika dilihat dari atas.  Saat itu pantai terlihat sepi, toko dan restoran kecil terlihat sangat bersih, dan mereka dengan ramah menyambut pengunjung yang datang. Ragu dengan kehalalan makanan saya memilih untuk menikmati es krim coklat seharga 5.5 AUD untuk double scoop, sambil duduk di salah satu bangku berpayung dan  menikmati pemandangan pantai. Namun kami memilih tidak berenang, maklum kostum yang ada tidak memungkinkan.









Sorenya kami menuju Sydney Tower di 100 Market Street Sydney, CBD, NSW, untuk makan di Sydney Tower Revolving Restaurant , salah satu land mark kota setinggi 309 meter dengan restoran berputar diatas-nya, nah kalau yang ini sih mengingatkan saya akan Restoran di puncak Hotel Panghegar sekitar tahun 1989 dimana saya pernah diminta untuk membuat materi iklan buat group perhotelan tersebut.  Melihat kota dari menara 19 lantai yang dibuat pada tahun 1970 ini,  pemandangan-nya benar2 sangat indah, kita menjadi saksi bagaimana pemerintah kota Sydney berhasil mengintegrasikan lautan, sungai, jembatan dan bangunan2  serta pepohonan menjadi sangat indah. Makan di sini sangat sulit untuk bisa konsentrasi, karena pemandangan berubah2 setiap waktu, dan kita tidak ingin melewatkan-nya barang sedetikpun.





Menjelang malam sambil melewati beberapa tempat seperti Market Street dan Queen Victoria Building, Myers dan lain lain kami menuju Hotel Mercure yang terletak di area pusat kota. Hotelnya biasa saja namun sangat dekat dengan terminal bis dan metro. Saya melihat beberapa spanduk mengenai wisata hantu, sepertinya menarik juga, namun istri saya yang gemar nonton film hantu sambil menutup mata, sudah pasti tidak akan setuju.





Inspirasi dari Sydney #4 of 6 – Sand Dunes, Port Stephen dan Nine Dragon Restaurant.


Untuk lokasi kali ini sebenarnya agak kurang jelas kaitan-nya dengan Sydney, maklum lokasi Sand Dunes cukup jauh, sekitar tiga jam perjalanan dari Sydney tepatnya di Port Stephen. Kami sempat beristirahat disebuah tempat peristirahatan, tempatnya bersih dan rapi dan didominasi bahan kayu. Di pelataran parkir nampak truk2 raksasa persis seperti yang digunakan BJ and The Bear, film seri TV tahun 80’an tentang supir truk raksasa dengan sahabat baiknya seekor simpanse. Ada sebuah restoran disana dengan menu fastfood, dibagian beranda diletakkan kursi2 santai untuk menikmati menu dan minuman ala kadarnya dengan pemandangan ke pelataran parkir saat hujan sedikit gerimis. Tempat istirahat ini diapit dua buah jalan dengan arah berlawanan yang menghubungkan dua tempat yang sama.

Sesampainya di Sand Dunes, kami keluar dan melihat lihat pemandangan, hemm disini ternyata lebih sepi lagi. Dari lokasi bis berhenti kami berjalan cukup jauh menuju samudera pasir. Disini kita bisa main surfing pasir, lalu ngebut gila2an dengan truk 4WD. Lokasinya rada2 mirip Bromo, namun sudah diset sebagai daerah kunjungan wisata, hemm kreatif juga orang2 di Australia. 




Setelahnya kami menaiki speed boat untuk melihat dolphin alias lumba2, angin bertiup sangat kencang, dan nyaris tidak ada dolphin yang terlihat, maklum di alam bebas tak semuanya dapat berjalan sesuai rencana. Setelahnya kami kembali ke Sydney istirahat sebentar di Hotel dan langsung menuju Nine Dragon Restaurant, salah satu restoran Chinesse Food terbaik di Sydney. Makan masakan pembuka seperti asparagus panas2 sementara diluaran hujan sangat asyik. Tentu saja setelah-nya saya memilih yang bernuansa sea food untuk lebih bisa memastikan kehalalan-nya.





Pulang-nya hujan masih tidak berhenti, saya dan istri berjalan berduaan, menyusuri malam sambil lari2 kecil dan kembali berjalan ketika melewati kanopi2 toko. Berjalan kaki secara langsung memberikan nuansa yang berbeda dibanding sekedar sight seeing dari Bis. Suasana Inggris sangat terasa di negeri ini, dan sangat berbeda rasanya melihat perlakuan istimewa bagi pejalan kaki. Banyak yang mengatakan peradaban lalu lintas di suatu negara akan terlihat dari bagaimana mereka memperlakukan pejalan kaki, kaum cacat dan pesepeda. Saya jadi ingat video yang sempat trend di tv mengenai seorang pejalan kaki wanita dengan payung-nya memaksa pengendara motor turun dari trotoar ke jalan di kawasan Semanggi.  Juga mengingatkan pengalaman saya menyeberang jalan yang lebih sulit mengharapkan belas kasihan pemotor di banding mobil.


Saat perjalanan, tour leader menunjuk jalan2 di Australia yang sangat mulus dan berkontur cembung, katanya di Australia jumlah pengawas pembuatan jalan nyaris seimbang dengan pelaksana, itu sebabnya kualitas jalan di Australia sangat baik. Hemm jadi ingat di negara sendiri dimana tahun ini selesai dibuat, tahun depan sudah rusak lagi, namun yang disalahkan biasanya pelanggaran aturan berat kendaraan di jalan tersebut, padahal banyak dugaan bahwa pungutan liar, pengerjaan dibawah spesifikasi dan kontrol yang lemah lah yang jadi penyebab utama.

Link selanjutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2013/01/inspirasi-dari-sydney-5-featherdale.html

Inspirasi dari Sydney #5 of 6 – Featherdale Wildlife Park, Blue Mountain, Katoomba Restaurant dan Captain Cook Cruise.




Hari ketiga  kami berencana menuju Blue Mountain, salah satu daerah wisata dengan alam pegunungan di Australia melewati Featherdale Wildlife Park di daerah Doonside, 40 menit dari pusat bisnis Sydney. Lokasi persis-nya di Kildare Road, agak sedikit unik karena seakan akan berada di tengah2 pemukiman. Sebagaimana namanya tentu saja Featherdale ini adalah semacam kebun binatang. Saat kami masuk, kami diberikan sebuah form berisi daftar2 binatang yang ada, dimana tersedia kolom tertentu yang akan distempel oleh petugas di lokasi tujuan dengan cap berbentuk telapak binatang dimaksud. Hemm trik yang cantik untuk “memaksa” pengunjung berkeliling.

Kebun binatang ini bagi saya sangat menarik, karena meski sangat kecil dibanding kebun binatang Bandung, apalagi Ragunan, namun manajemen-nya sangat rapi , dan dikelola dengan professional. Di beberapa spot dimungkinkan untuk foto bersama Koala misalnya. Petugasnya berseragam dan sangat ramah, dan di pintu exit disediakan sebuah toko souvenir yang cantik dan dikelola dengan professional. Disini kita juga dapat menemukan sekitar 2200 hewan termasuk Dingo, sejenis anjing hutan yang sempat terkenal karena peristiwa pembunuhan bayi kontroversial sekian tahun lalu, buaya air asin Australia ,  lalu tentu saja salah satu maskot  yaitu Tasmanian Devil (salah satu binatang dengan rahang terkuat di dunia) , serta juga Wombat, dan Cockatoo, yang sayang-nya sampai kami meninggalkan tempat ini tak pernah mau keluar. Tak ketinggalan Wallabies(kangguru mini) dan kangguru sendiri.  Karena beberapa hewan ini sangat dekat dengan kita dan tanpa pagar pembatas, maka jangan kaget kalau anda menginjak kotoran kangguru yang luar biasa bau-nya.


Dari sini kami menuju Blue Mountain yang terletak di area pegunungan, dan terkenal dengan tiga tebing kembar dengan nama Three Sisters. Tiga tebing kembar ini sudah menjadi legenda yang diceritakan secara turun temurun oleh penduduk Aborigin di sekitarnya. Di area parkir, sudah terlihat satu2nya orang Aborigin di tempat ini, sedang duduk sambil meniup seruling khusus sepanjang dua meteran.  Masuk ke wilayah yang lebih gelap di hutan ini, kami melewati jembatan kayu yang saling berhubungan dengan tinggi kurang lebih dua meter dari permukaan tanah, sehingga jika cuaca buruk kita tetap dapat menikmati suasana hutan tanpa kuatir menginjak tanah becek dibawah-nya.





Lalu kami menuruni jurang menuju ke dasar Three Sister dengan cable car, yang sengaja di buat nyaris vertikal dan penumpang lebih mirip terkurung di kandang di banding sebaliknya.  Sebagian penumpang menjerit histeris saat menuruni tebing ini, apalagi ranting2 dan daun2 acapkali memukul tangan dan kepala dari sela2 jeruji. Untuk keatas kami menggunakan sky lift, jika tadi kami menuruni-nya dengan posisi duduk, kali ini kami dalam posisi berdiri, dan seperti Featherdale, di bagian pintu keluar kita disuguhi souvenir dari sebuah toko khusus. 



Menjelang siang kami makan di Katoomba Restaurant, disini disediakan daging Kangguru, yang rasa-nya agak aneh dan cenderung memiliki bau yang sangat khas. Hemm kalau di Featherdale wisatawan melihat kangguru hidup, kini sebaliknya wisatawan memakan daging kangguru. Bagi yang heran, sepertinya perlu diketahui bahwa kangguru bukan hewan yang dilindungi, karena meski mereka maskot Australia (padahal kangguru juga ada di Papua) jumlah mereka cukup banyak. 

Saat pulang Bis melewati Sydney Harbour Bridge di antara Milsons Point dan Millers Point, jembatan ini terdiri dari jalur sepeda, kereta, mobil dan pejalan kaki.  Sejak beberapa tahun lalu ada wisata khusus memanjat jembatan dengan tinggi 134 meter, lebar 49 meter, dan panjang 503 meter  ini, dan kita bisa melihat sosok2 mereka berjalan pelan2 menuju bagian puncak dari Sydney Harbour Bridge yang sering juga dijuluki “gantungan baju raksasa”. Jembatan yang dibuat pada tahun 1932 dan memerlukan 8 tahun proses pengerjaan ini menghubungkan pusat bisnis Sydney dengan North Shore. 

Lalu kami langsung menuju Sydney Harbour dan masuk ke salah satu cruise yang berlabuh  disana untuk menikmati santap sore steak khas Australia dengan daging berukuran super besar sambil berlayar menyusuri sungai , melewati  Sydney Harbour Bridge, Opera House, dll. Jika steak Australia disuguhkan dengan cara “kurang matang” dan kadang bahkan masih berdarah, sebagaimana kebiasaan Indonesia saya memilih untuk di masak dengan “well done”.  





Disekitar pelabuhan ini kita bisa juga mengunjungi museum maritim, yang gampang dikenal dengan jangkar segede gajah yang diletakkan di halaman depan-nya. Selain itu banyak sekali toko2 dan restoran serta ratusan perahu layar indah yang berlabuh.  Burung2 camar dengan bebasnya menjerit dan beterbangan di atas kepala kita.


Link selanjutnya http://hipohan.blogspot.co.id/2013/01/inspirasi-dari-sydney-6-paddys-market.html

Inspirasi dari Sydney #6 of 6 – Paddy’s Market dan Perjalanan Pulang

Hari terakhir sambil menunggu skedul penerbangan  QF41, kami jalan2 ke Paddy’s Market mencari buah tangan untuk keluarga yang ditinggalkan sebagaimana tradisi masyarakat Indonesia pada umum-nya.

Paddy’s Market lebih mirip pasar tradisional, hanya saja tidak becek dan gang2nya lebih besar. Nyaman-nya pedagang2 warga keturunan disini tidak masalah kalau kita menawar dagangan mereka.  Sepintas pedagang disini memang lebih banyak yang berasal dari Asia, dan kami bahkan sempat diminta bercerita mengenai Bali, sekaligus menunjukkan minat mereka untuk jalan2 ke Indonesia. 

Hem meski mereka pedagang di pasar seperti Paddy’s tidak aneh jika mereka sanggup wisata ke Indonesia namun jangan harap sebaliknya. Saya jadi ingat beberapa tahun lalu seorang bule Australia jalan2 ke Indonesia dan bahkan sempat mampir dan sarapan di rumah orang tua saya , dia sendiri mengaku seseorang yang berprofesi sebagai “gardening”.  Jadi begitulah negara2 yang lebih maju, memungkinkan warga negara-nya untuk wisata ke negara2 lain, dan mereka diperlakukan sangat baik bahkan lebih dari negara mereka sendiri. Sebagai perbandingan misalnya, seorang warga negara Jepang diluar Tokyo tentu saja akan memilih negara seperti Indonesia, ketimbang jalan2 ke Tokyo, karena dengan uang yang mereka miliki mereka akan mendapatkan imbal balik yang jauh lebih baik.

Hemm pasti ada yang bingung dengan Aborigin, dimana mereka ? kaum ini mengalami nasib yang kurang lebih sama dengan Indian di Amerika. Dalam hal perlakuan pada penduduk asli, Indonesia terhitung lebih baik dibanding kedua negara “kolonial” ini. Kaum Aborigin ditempatkan dalam kamp khusus, dan pemilik asli benua ini memang sangat jarang terlihat dimana-mana. Saya jadi ingat salah satu prestasi duta besar kita di Australia, yaitu August Marpaung. Saat semua pendahulunya menghindari wartawan Australia yang terkenal ganas pada kebijakan Indonesia di Australia, August Marpaung malah dengan “pede” nya melakukan konferensi pers. Dia membiarkan semua wartawan bertanya dan menyerang apa saja soal kebijakan Indonesia, dan lantas dijawabnya dengan pertanyaan kurang lebih seperti ini “Saya akan menjawab pertanyaan anda dengan pertanyaan lagi, yaitu lantas bagaimana dengan kebijakan pemerintah anda pada kaum Aborigin ?”. Komunitas Wartawan Australia terdiam dan tersengat, namun setelahnya mereka memuji August Marpaung sebagai salah satu Duta Besar tersukses di Australia.

Akhir kata, jalan2 ke Sydney ini sangat menarik, dari sudut pandang kota ini, Australia memang terlihat sebagai sebuah negara maju, didesain dengan gaya Eropa meski meski lebih dekat dengan Asia, dan dengan penduduk yang cuma sepersepuluh Indonesia, mereka mampu mengelola benua yang begitu luas ini menjadi begitu cantik. Namun kalau anda memilih bepergian ke sini, saya kira Melbourne atau Perth akan lebih ekonomis, khususnya dari sisi biaya transportasi. Sebenarnya sayang juga kami tidak melanjutkan perjalanan ke New Zealand, mengunjungi sahabat yang bermukim disana, namun waktu-nya terlalu sempit.

Wednesday, January 16, 2013

Habibie dan Ainun (2012) - Faozan Rizal

Jika menonton dan membaca tentang hal yang sama biasanya menimbulkan ketidak nyamanan, namun hal itu tidak berlaku bagi film ini. Apa sebab ? sepertinya keterlibatan langsung Habibie sebagai nara sumber menyebabkan film ini masih sejiwa dengan  buku (persis seperti keteribatan Rowling dalam film Harry Potter), walaupun sangat banyak hal di buku yang tidak dapat tertuang secara lengkap di film, mengingat durasi film yang terbatas dan padatnya buku Habibie dan Ainun. Lantas apa siapa aktor paling penting yang menyebabkan film ini masih bisa mewakili buku, tentu saja Reza Rahadian.

Seperti apa sih kualitas akting seorang Reza dalam film ini, saya lebih senang menyebutnya "kesurupan arwah Habibie" dibanding mampu memainkan peran Habibie. Reza bukan cuma mampu meniru cara Habibie berbicara, namun juga berjalan dan ekspresi khas Habibie yang agak "berlebihan" seperti sorot mata yang berbinar-binar membuktikan film ini sebagai puncak kualitas akting seorang Reza. Dan tidak main2, Reza harus menyingkirkan Agus Kuncoro, Lukman Sardi dan Teuku Wisnu untuk mendapatkan peran ini.

Diluar Reza tidak ada aktor yang bermain "lebih", Bunga Citra Lestari bermain biasa saja, meski sebenarnya potensi kemiripan fisik dengan Ainun lebih tinggi dibanding antara Reza dengan Habibie. Kedua anak Habibie juga muncul namun tidak berperan sebagai karakter sentral dan justru dimainkan dengan biasa2 saja. Akan tetapi karakter Ibnu Sutowo cukup menarik dimainkan dan ditampilkan lebih sebagai pengusaha bergaya "koboi" dibanding pejabat negara. Selain nama2 tsb yang tidak kalah aneh-nya adalah Hanung Bramantyo bermain sebagai Sumohadi, karakter misterius pengusaha "lihai" yang belum terbuka topeng-nya dan seingat saya tidak muncul dalam buku-nya (ehmm mengingatkan saya akan SfWn atau malah SeDd).



Untuk special effect, film ini juga menunjukkan banyak kemajuan dibanding film2 Indonesia kebanyakan, misalnya adegan penerbangan ke Jerman yang ditumpangi Habibie dan Ainun setelah menikah (untuk tinggal di Oberfortsbach). Namun sebaliknya adegan pendaratan di Halim terlihat sangat kaku. Setting masa lalu digambarkan dengan sangat baik seperti adegan awal saat di SMA (yang lokasinya di Bandung dikenal dengan SMAK Dago).

Hal2 menganggu dalam film adalah pemaksaan munculnya sponsor seperti Chocolatos dan Sirup Marqisa, sangat menganggu dan terlalu menyolok mata. Sepertinya penonton akan lebih menghargai jika muncul saat "screen title" saja. Selain sponsor tersebut, juga agak aneh melihat Habibie yang dikenal sebagai cendekiawan muslim dansa dansi atau apakah ini memang hal yang umum di masa itu ? Namun sepertinya inilah resiko komersialisasi, dan penonton yang kritis mesti menelan-nya bulat2.Untung-nya adegan2 penyelamat seperti saat kritisnya Ainun, atau adegan saat2 Habibie tercenung memandang pesawat karya-nya yang juga merampas waktu2nya bersama keluarga selama bertahun-tahun, bisa menambal kekurangan tersebut.  

Akhir kata, film ini sangat layak ditonton, lepas dari segala kekurangan, film ini mengajarkan betapa kebahagiaan itu sangat sementara sifatnya, karena seberapa besar pun cinta antara Habibie dan Ainun namun waktu jua lah yang memisahkan mereka. Namun betapa berat pun perpisahan itu tetap tidak dapat mengabaikan 48 tahun kebahagiaan yang diberikan Allah bagi mereka. Perjuangan Habibie dalam karir seperti yang digambarkan saat beliau tidak punya uang untuk naik kereta dan terpaksa berjalan kaki melewati jalanan saat musim dingin juga sangat menginspirasi, dan mengajarkan pada kita bahwa cita2 dalam hidup sangatlah penting.

Tuesday, January 15, 2013

Football is Coming Home - Muhammad "Mice" Misrad

Sempat sedih dengan "perceraian" Benny dan Mice, kini justru saya gembira melihat produktifitas mereka. Menyusul karya Benny, tak lama berselang Mice merilis FiCH. Berbeda dengan Benny yang ceritanya lebih kuat, Mice lebih merupakan kumpulan fragmen masa lalu dilengkapi kumpulan istilah bola dan ilustrasinya.

Meski karya Mice secara skenario lebih lemah dibanding Benny, namun kocak-nya masih berimbang. Uniknya buku Mice terkesan dua buah buku yang digabung dengan masing2 memiliki cover sendiri2. Mengingatkan saya akan buku Andrea Hirata. Sedang kualitas dan teknik ilustrasi nyaris berimbang, kecuali Benny memiliki keunggulan untuk penggambaran "lapangan" seperti yang ditunjukkan Benny saat menggambar Lawang Sewu di edisi kedua "Tiga Manula".



FiCH ini gaya berceritanya sedikit mirip Kampung Boy-nya Lat, bahkan pada halaman yang menceritakan anak2 main bola di pasir lalu berenang di pantai, nyaris seperti gaya ilustrasi Lat.
Salah satu bagian paling menarik adalah saat Mice ketiduran dan dilanjut dengan kutipan salah satu ustadz paling top di TV saat ini dengan ciri khas agak "melambai" tentang bedanya menutup dan membungkus. 

Bagian kedua alias Kamus Istilah Komentator Bola, membahas 52 buah berbagai istilah sepak bola seperti transfer pemain, belanja pemain, pemain yang sedang bersinar, penyerang subur, bola muntah, menggoreng bola, stadion angker, tackling keras, dll. Namun jangan berharap ilustrasi Mice memperjelas, justru sebaliknya menjadi semakin "kacau" alias kocak.

Tiga Manula Jalan Jalan ke Pantura - Benny Rachmadi

Setelah karya Benny  jalan2 ke Singapura yang sempat bahkan saya jadikan "pegangan" saat pergi ke Singapura, saya sempat ngobrol2 sama istri mengenai destinasi wisata keluarga berikutnya yaitu Cirebon. Eh tak dinyana Benny membuat buku ini, dan tetap setia dengan #M alias tiga manula-nya yang sukses di petualangan pertama. Dimotori Liem, dan dua kawan-nya, cerita ini tak cuma kocak namun mengisahkan persahabatan antar suku yang indah.

Pada setiap bab dihiasi peta perjalanan mengingatkan saya akan Indiana Jones, dan perjalanan pun dimulai mencari kampung "Tingal" yang sudah 40 tahun ditinggalkan Waluyo, namun persis seperti "Waiting for Godot" karya Macbeth, Desa Tingal tak pernah bisa ditemukan, karena fokus utama-nya adalah pencarian itu sendiri.



Dengan menggunakan Honda CRV (tak jelas apakah Honda memang mensponsorinya atau ini memang mobil Benny), yang bahkan digambar sampai ke interior2nya, mereka melewati Cikampek, Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pekalongan, Alas Roban, Semarang, Pati, Tuban, Surabaya, dan Trowulan.

Di setiap tempat, dengan jeli-nya Benny menyoroti muatan truk aneh, truk2 yang panjang dan super lambat, motor yang ugal2an, jalan rusak, pasar tumpah, orang tua misterius di Alas Roban, oknum DLLAJ, peminta sumbangan, penyapu uang bahkan sampai lukisan2 di bak belakang truk.

Saya jadi ingat perjalan saya sendiri terakhir ke Batu, dimana motor bukan cuma digunakan untuk mengangkut tabung gas, melainkan pakan ternak dengan volume nyaris sebesar mobil box,  lemari atau bahkan tempat tidur. Menyalip motor seperti ini apalagi cenderung bergoyang membutuhkan sedikit syaraf baja dan banyak doa.

Begitu juga tempat wisata seperti Lawang Sewu, Sam Poo Kong, Candi2 di Trowulan, Jembatan Suramadu dan tempat unik seperti tempat dengan toilet terbanyak dan tak lupa wisata kuliner seperti, Empal Gentong, Sate Blengong, Lumpia, Nasi Gandul, Rawon Kalkulator dan banyak lain-nya. Akhir kata komik ini super kocak sekaligus penuh dengan informasi yang menarik bagi traveller. Disertai juga dengan tips perjalanan seperti istirahat per empat jam dan bahkan sampai lokasi penempatan "koyo".

Monday, January 14, 2013

VW Variant 1968

Mobil ini boleh dibilang sebagai mobil pertamaku, dibeli ayah-ku dari istri ketiga abang-nya tak lama setelah beliau berpulang  (Maradjo Pohan atau Uwa Gandapura biasa kami panggil) dan lantas jatuh ke tanganku. Dengan mobil inilah tahun aku pertama kali belajar menyetir. VW built up  USA ini memiliki setir kiri. Kursinya berwarna merah, dan bodinya broken white. Dilengkapi dashboard berwarna hitam dan radio dengan model pencari saluran menggunakan batang merah yang bergeser dari kanan ke kiri.

Uwa Gandapura yang memang tinggal di jalan Gandapura 8, Bandung (begitu kami biasa menyebutnya karena adat batak melarang pengucapan nama2 orang yang lebih tua) membelinya sepulang bertugas sebagai TNI dari Philippina. Uwa memang beberapa kali ditugaskan ke  luar negeri termasuk sebagai pasukan perdamaian ke Kongo. Uwa membawa VW Variant ini  dengan kapal laut ke Indonesia. Saat di kapal, beberapa asesorisnya hilang seperti spion dan logo VW di kap belakang.

Aku ingat, saat pertama kali kembali ke Bandung setelah hampir sepuluh tahun meninggalkan-nya (kami sekeluarga sempat di Sibolga lima tahun dan lalu Denpasar lima tahun), kami bersaudara dijemput Uwa di stasiun bandung dengan VW ini, tepatnya di tahun 1980. Tak penah terlintas di benakku, bahwa mobil ini kelak akan menjadi milikku. Saat itu Uwa sengaja lewat Unpad dan mengatakan ini kelak akan menjadi kampus abang-ku, lalu melewati ITB dan mengatakan ini kelak akan jadi kampus-ku, dan terbukti beberapa tahun kemudian.

Sebagaimana umum-nya VW, mobil ini juga memiliki mesin dibelakang, tanpa radiator, dan persnelling dengan empat gigi, plus gigi mundur yang pengoperasiannya dengan ditekan kebawah. Namun hal yang khusus adalah mobil ini memiliki double karburator, sepertinya ini ciri2 kalau mobil ini memang didesain untuk balapan. Untuk roda, semua rodanya boleh di bilang independen, tertarik kedalam jika muatan ringan, dan terdorong ke luar jika dengan muatan penuh. Ini juga yang menyebabkan mobil ini sangat stabil saat melaju kencang, dan meski dengan muatan berlebih ataupun sedang kencang di tikungan.



Eksterior dihiasi ornamen krom dari ujung ke ujung disetiap sisi-nya, dop chrome  dengan logo VW. Bagian depan-nya mirip karman-ghia dengan logo VW diujung kap-nya. Bempernya bertanduk kembar. Ada dua jenis yang biasa terlihat pada masa itu, station wagon dan sedan. Ada soket antena di sisi kiri, namun aku tak pernah melihat antena ini sejak awal. Stir-nya tidak berlogo VW melainkan gambar benteng istana, hemm agak aneh juga. Di tempat kerja ku dulu, ada dua orang yang sering wara wiri menggunakan VW ini, yang pertama senior ku, dan yang kedua salah satu staf di Laboratorium Geodesi.

Saat2 kuliah dan kerja, aku selalu merawat mobil ini serta membawanya ke Padasuka Motor, untuk servis di bengkel khusus VW. Untuk servis, spare parts dapat di beli di Servo, Wastukencana dan sebuah toko khusus lain-nya di daerah Suniaraja. Untuk problem kelistrikan, aku biasanya membawanya ke Ahmad Yani, di ujung deretan toko sepeda ada bengkel khusus dinamo starter dan dinamo "jalan" serta instrumen kelistrikan lain-nya.

Saat mobil ini ada dibawah "kekuasaan"ku, aku sempat mengganti tape-nya, pengecetan ulang, dan pelapis jok. Total pada masa itu aku menghabiskan  cukup banyak dana untuk mobil ini. Sering kali jika sudah dicuci bersih, aku lebih baik naik angkot kemana-mana. Namun mobil ini pernah diseruduk Elf yang sedang mundur, dan pintu kanan-nya sempat penyok.

Mobil unik ini juga cukup menarik perhatian, bukan sekali dua kali orang2 minta berhenti atau mengetuk kaca jendela dan berusaha menawar langsung di jalan. Tahun 1994 mobil ini dibeli abang-ku dengan membayar ganti rugi ke aku (biaya modifikasi) dan orang tua, namun beberapa tahun kemudian menjualnya dengan harga 3x lipat ke seorang kolektor. Aku masih sempat melihatnya parkir di Bandung Super Mall (kini TSM), melihatnya begitu terawat membuatku tak menyesal menjualnya.

Rais Abin - Mission Accomplished - Dasman Djamaluddin

Saya ingat beberapa tahun lalu pernah membaca artikel mengenai seorang petinggi militer asal Sumatera Barat yang kecewa dengan banyak-nya kegagalan putra daerah menembus seleksi Akabri. Sebaliknya Sumatera Utara justru dikenal dengan tinggi-nya tingkat kelulusan seleksi yang sama. Usut punya usut kebudayaan Sumatera Barat memiliki peran disini, contoh jika ada seleksi dengan pengandaian sbb; "Jika Ayah anda terlibat gerakan separatis terhadap NKRI, apa yang anda lakukan ?" pemuda asal Sumatera Barat akan kesulitan menjawab ini sebaliknya pemuda Sumatera Utara akan dengan tegas menjawab "Aku tembak lah kalau tak menurut dia !".

Sikap berani dan cepat mengambil putusan sekaligus tidak takut kontroversi ini lah yang juga melatar belakangi kenapa orang Sumatera Utara banyak yang jadi tentara, supir bis malam atau bahkan copet. Sebaliknya pemuda Sumatera Barat cenderung menjadi pengusaha, ulama dan tokoh politik.



Namun Rais Abin yang lahir di Sumatera Barat, merupakan pengecualian, meski tidak begitu berkibar di lingkup nasional, namun dia justru menjadi panglima UNEF dan termasuk tokoh penting yang membidani lahirnya perjanjian Camp David. Pada masa lalu Camp David dinilai sangat signifikan bagi perdamaian di Middle East, meski pada masa kini terasa sia2 karena agresif-nya Israel dalam memperluas wilayah dan membangun perumahan baru. Sehingga terkesan Camp David cuma berhasil sebatas hubungan Mesir dan Israel, tidak lebih.

Lantas dimana hebat-nya beliau ? Indonesia sebagaimana yang kita ketahui adalah Negara yang masih tidak mengakui Israel, sementara sebagai panglima, posisi ini memerlukan tokoh yang bukan cuma disetujui PBB namun juga pihak2 yang bertikai seperti Israel dan Mesir. Beberapa tokoh sebelumnya gagal, namun Rais Abin dengan kemampuan militer-nya yang cakap dan kemampuan-nya berbahasa asing dapat menerima kepercayaan dari berbagai pihak dan menjadi panglima ribuan tentara dari berbagai negara.

Namun buku ini bukan cuma tentang Camp David, tetapi juga menyinggung perjalan karir Rais Abin, setelahnya-nya. Buku ini mengingatkan bahwa Indonesia punya peran penting di PBB dengan mencatatkan dua tokoh penting, yaitu Adam Malik dan Rais Abin yang selayak-nya  menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia. 

Rais Abin sempat menjadi asisten M.Jusuf selama beberapa waktu, sekembalinya dari Middle East. Dengan demikian Rais punya beberapa hal menarik terkait masa2 ini. Buku ini juga mengungkapkan bagaimana M.Jusuf yang saat itu sangat populer dan dekat dengan prajurit di seluruh Indonesia, pelan2 mulai tersingkir oleh Sudomo, karena M.Jusuf selalu ke lapangan sementara Sudomo mewakilinya dalam setiap rapat kabinet.

Soal M.Jusuf mengganti beberapa PANGDAM hanya karena mereka sedang tidak ditempat saat dia  sidak, meski sedang cuti juga diungkap. Bagi M.Jusuf, seorang tentara tidak perlu cuti dan dia tidak bisa menerima bawahan-nya cuti meski situasi aman. Pada masa itu ada dua PANGDAM yang diganti karena tidak ada di tempat.  Sidak model begini mengingatkan saya akan Jokowi.

Pada saat TNI membutuhkan helikopter, instruksi presiden berdasarkan masukan Habibie adalah menggunakan buatan dalam negeri. Namun M.Jusuf masih kuatir dengan kualitas produksi lokal, maka dia meminta saran Rais Abin. Sebutkan satu hal spesifik yang tidak ada dalam buatan dalam negeri yang sangat kita perlukan secara mendesak, kata Rais, dengan demikian kita bisa tetap membeli buatan luar. Membaca bagian ini membuat saya sedikit kecewa, di beberapa negara penggunaan produk dalam negeri merupakan hal yang umum, dengan demikian menghemat devisa dan meningkatkan kemampuan teknologi anak bangsa. IMHO, seharusnyalah TNI mendukung industri strategis nasional. Kekuatiran soal kualitas bisa diatasi dengan "testdrive" yang obyektif, sebagai masukan pengembangan produk.

Untuk kasus ini Rais berpikiran bahwa dia merasa sedikit janggal harus membeli rakitan dibanding membeli langsung dari luar, sementara Habibie mengatakan pesawat rakitan adalah bagian dari transfer teknologi sebelum bangsa kita mampu membuatnya sendiri.

"Perseteruan" Habibie dan TNI di masa itu juga terjadi saat Habibie ingin meminjam fasilitas angkatan laut untuk industri strategis PT PAL, lagi2 Rais memberi masukan pada M.Jusuf. Sepertinya Habibie dipandang militer sebagai "pengacau", namun posisi-nya yang langsung di bawah Soeharto membuat banyak pihak segan.

Saat menjadi duta besar, hal menarik lain-nya adalah saat Soeharto menegur Rais lewat Benny Moerdani, karena tidak mampu memenangkan Golkar di antara WNI Malaysia. Terlihat bagaimana Soeharto memaksakan mesin birokrasi untuk tunduk di bawah Golkar. Namun alih2 memberhentikan Rais, dia malah ditugaskan ke pos berikutnya sebagai Dubes di Singapura.

Thursday, January 10, 2013

Virgin Mary - Marek Halter

Sayang sekali, Marek tidak mengungkapkan nara sumber atau regerensi yang digunakan dalam buku ini. Bagi saya cukup mengagetkan melihat bagaimana karakter Mary (atau Maryam dalam versi Islam) di gambarkan. Marek novelis Prancis yang lahir di Polandia (1936) ini sepertinya menggunakan cukup banyak menggunakan imajinasi dalam membuat karya ini. Sosok Mary yang selalu digambarkan lembut dalam berbagai patung dan lukisan menjadi karakter pemberontak, berani dan keras kepala di tangan-nya. 

Namun selain Mary, dalam buku ini muncul juga tokoh Maryam putri Rachel, dimana Mary sempat bersembunyi beberapa waktu untuk menghindari tentara Herodes. Maryam yang lebih muda digambarkan sempat menjadi sahabat dekat Mary.



Keberanian Mary digambarkan ketika bepergian seorang diri untuk meminta tolong Barabbas dan pengikutnya, agar Joachim ayahnya  diselamatkan dari ancaman penyaliban oleh tentara Herodes. Sebelumnya Mary, juga digambarkan sempat sembunyi berduaan dengan Barabbas di tempat persembunyian rahasia Joachim, ketika terjadi penggeledahan tentara Herodes. Hutang budi  inilah yang membuat Mary berani meminta tolong balik  pada Barabbas, dan Barabbas dengan dibantu kaum Am-haretz (kaum miskin yang dipandang dengan sebelah mata) berhasil men"setting" kebakaran hebat dan lalu menyelamatkan Joachim. Uniknya lagi2 Mary digambarkan ikut dalam proses ini. Sepertinya penggambaran karakter ini agak "janggal" apalagi untuk wanita di masa itu.

Sikap Mary yang memekik dan meratapi kematian Abdias, juga rasanya cukup kontroversial, begitu ketika dia memaki maki pelayan di Beth Zabdai tempat Joseph d'Arimate tinggal, yang berniat untuk mengingatkan kesehatan-nya agar beristirahat daripada terus menerus meratapi kematian Abdias.

Sikap Yahudi yang cenderung ekslusif sebagai bangsa pilihan, digambarkan Marek saat menentukan lokasi pemakaman Abdias yang sengaja ditempatkan di pemakaman kaum asing dan penjahat dan bukan di Essene. Hal ini dilakukan karena Abdias berdarah Am-haretz dan dianggap tidak pantas dimakamkan bersama Yahudi. Dalam hal ini karakter antagonis diperankan oleh Gueouel, yang juga menjadi penentang utama Mary saat memutuskan untuk menjadi penyembuh bagi orang2 yang sakit.

Lepas dari kontroversi tersebut, Marek yang menulis cukup banyak buku dan meraih beberapa penghargaan ini cukup mengalir dalam menulis "Virgin Mary". Hal itu terlihat dalam buku ini, dan tetap menambah perbendaharaan kita pada salah satu karakter penting dalam kitab suci. Sepertinya penulisan tokoh Mary ini cukup berat bagi Marek, dan dia akhirnya memberanikan setelah sebelumnya sukses besar di Perancis menulis karakter yang juga terinspirasi kitab suci seperti Sarah, Tsippora dan Lilah.