Wednesday, December 31, 2014

Petualangan Mengelilingi Jawa Part #1 dari 14 : Masa Persiapan


Terinspirasi dari komik Benny Rachmadi “Tiga Manula Jalan-Jalan ke Pantura” dan “Tiga Manula Jalan-Jalan ke Selatan Jawa” saya sekeluarga beserta keluarga adik yang memang sudah menjadikan petualangan sebagai tradisi liburan siap memulai petualangan baru. Setelah petualangan kedua keluarga kami terakhir di Hongkong, Shenzhen dan Macau, keliling Jawa adalah sesuatu yang tak kalah menariknya dan memang sudah kami tunggu dengan tidak sabar. Tidak tanggung-tanggung perjalanan kali ini rencananya akan mencakup kedua rute tersebut, yakni pergi lewat Utara dan kembali lewat Selatan.

Pada awalnya kami berencana menggunakan dua mobil, namun adik keberatan karena dalam satu mobil akan ada keuntungan merasakan suasana yang sama, berbagi pengalaman yang sama, makanan yang sama, termasuk canda yang sama selama perjalanan dan tentu saja theme song yang sama dan  akan mewarnai perjalanan kami.




Akhirnya diputuskan menggunakan Mitsubishi Pajero, namun karena saya sampai detik2 terakhir belum berhasil meminjam roof box komplit dengan roof rack  (meski teman di klub Sportage ada yang menawarkan namun tanpa Roof rack), akhirnya atas ide adik istri, kursi baris belakang direbahkan dan dilapis dengan kasur Palembang, sehingga nyaman bagi kedua anak gadis kami atau jika sesekali peserta termuda dalam rombongan kami ikut bergabung dengan kakak-kakaknya.





Paralel istri dan adiknya membuat itinerary, secara lengkap  hari ke hari serta obyek2 yang akan kami kunjungi, sedapat mungkin kami menghindari obyek2 yang pernah dikunjungi sebelumnya. Sementara saya menyiapkan kendaraan dan theme-song yang akan menemani selama perjalanan dan tak lupa kamera untuk mendokumentasikan kegiatan kami serta tentu saja Canon Rebel beserta lensa andalan 10-22 untuk mengabadikan momen2 landscape istimewa. Total perjalanan sesuai perkiraan kami sekitar 8 hari, berangkat Sabtu dan kembali Sabtu, namun akhirnya molor menjadi 9 hari. Sebenarnya saya memiliki sepupu di Surabaya dan Batu, selain kakak kandung yang memang tinggaldi Batu, namun itinerary yang padat membuat kami kesulitan mengalokasikan waktu mengunjungi mereka, semoga lain waktu kami dapat sekalian bersilaturahim. 



Jumat sore 19 Desember 2014 setelah meeting dengan salah satu customer di sekitar Medan Merdeka, saya langsung melesat mengejar adik ipar yang sudah meluncur dengan Mitsubishi Lancer kesayangannya dua jam sebelumnya ke rumah kami di Bandung sebagai tempat start. Sesampainya di Bandung tengah malam, maka kamipun menyusun barang-barang dan tak lupa sholat subuh serta berdoa agar perjalanan kami lancar.

Untuk navigasi kami mengandalkan peta Periplus, GPS AVT di Pajero dan aplikasi Waze di smartphone masing-masing.  Dan memang ternyata dalam perjalanan GPS AVT meski sinyalnya stabil berkali kali memberikan instruksi aneh, sementara Waze meski lebih akurat dan dapat mendeteksi kemacetan, namun sinyal provider sering-sering malah tidak stabil dan begitu juga dengan GPS nya yang di beberapa lokasi mati begitu saja. Jadi kombinasi ketiganya sepertinya yang paling bisa diandalkan. 

Silahkan ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2014/12/petualangan-mengelilingi-jawa-part-2-of.html

Petualangan Mengelilingi Jawa Part #2 dari 14 : Menuju Cirebon via Sumedang


Diawali dengan kegalauan kami mendengar berita longsornya jalan di Sumedang, kami sempat mengubah itinerary via Subang, namun berita terakhir ternyata sisa longsoran sudah dibersihkan, sehingga kami kembali ke rencana semula. Namun kesempatan ini saya gunakan untuk menjelaskan seni-nya kehidupan pada anak-anak, bahwa kita boleh berencana, namun harus siap dengan kenyataan hidup yang bisa saja berbeda. 


Sabtu 20 Desember 2014, sehabis subuh kami memulai perjalanan, setelah sekitar satu jam menempuh 60 km, kami lalu sarapan Tahu, Lontong dan Bacang di Sumedang. Ternyata Bacangnya enak sekali apalagi kalau dimakan hangat2. Sayang Tahu Bongkeng Sumedang yang konon kabarnya pioner industri tahu di Sumedang pada jam sepagi itu masih tutup, sehingga keinginan untuk makan tahu sambil dicocol ke sambal tidak terlaksana. Terlihat Sumedang mengalami banyak kemajuan, khususnya Rumah Sakit tempat istri magang dahulu kala sebelum menikah dengan saya yang terlihat semakin megah saja. 





Kemudian perjalanan lanjut melewati Majalengka dan akhirnya Cirebon setelah sekitar 2 jam dan menempuh 72 km.  Sesampainya di Cirebon kami langsung menuju Kampung Batik Trusmi dan setelah belanja berbagai motif khas mega mendung, kami lalu menyantap Nasi Jamblang Mang Dul di Jalan dr. Cipto Mangunkusumo, dengan hidangan penutup Es Duren Tjampolay yang jualan di depan warung. 

Menu utama di Nasi Jamblang Mang Dul terdiri dari semur daging, sate kerang, tempe goreng dan tahu goreng dan nasi yang dibungkus dengan daun Pohon Jati. Tempenya sendiri sangat khas cenderung kering dan gurih. Tak lupa minuman teh manis hangat yang berbau sedap. Per orang biaya yang kami harus keluarkan sekitar Rp 18.000, namun cara penjualnya menghitung agak unik, kalkulator yang dia gunakan lebih terlihat dielus elus secara cepat dibanding di tekan. 

Di Warung sebelahnya kami juga memesan Empal Gentong, dimakan dengan nasi panas, gumpalan-gumpalan daging empuk dan kuahnya terasa sangat segar dan harum.  Masakan Cirebon ini mengingatkan saya akan Warung Langganan di Batununggal yang sayangnya saat ini tutup karena suami pengelola warung terkena stroke sehingga sang istri harus merawat suaminya.  Dulu setiap minggu pagi setelah berolahraga, lokasi warung ini merupakan favorit saya dan istri.  Dari beliau berdualah kami mengenal nikmatnya kuliner Cirebon. 

Silahkan ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2014/12/petualangan-mengelilingi-jawa-part-3-of.html

Petualangan Mengelilingi Jawa Part #3 dari 14 : Brebes, Tegal, Pemalang dan Wisata Batik di Pekalongan


Lalu kami lanjutkan perjalanan melalui Brebes  setelah menempuh sekitar 66 km kami belanja Telor asin dan Wingko khas Brebes yang ternyata berbeda dengan Wingko Semarang, Wingko Brebes sepertinya membutuhkan gigi yang lebih kuat karena sangat keras. 




Lalu kami istirahat di SPBU yang masuk rekor MURI dengan 67 Toilet + 40 Toilet (SPBU MURI 44.521.08), tidak tanggung-tanggung SPBU unik ini juga memiliki kolam renang dan penyewaan matras tidur. Referensi mengenai ini kami dapat dari komik Benny Rachmadi juga. 




Dengan semangat baru kami menuju Pemalang menempuh 44 km atau sekitar satu jam dan menjelang sore sampai di Pekalongan setelah menempuh 50 km berikutnya dari Pemalang. Kami berhenti di IBC (International Batik Center) Pekalongan untuk wisata Batik. Batik disini terlihat lebih berkualitas dari Trusmi-Cirebon, dan pilihannya jauh lebih banyak, namun harganya juga lebih mahal. Saya sempat tertarik dengan salah satu model dan mundur teratur setelah mengetahui harganya ternyata jutaan. Di kantin bagian depan kami menikmati berbagai penganan  seperti Mendoan Pekalongan, sayangnya Nasi Rawon nya kurang mantap, meski secara harga makanan disini sangat murah. 




Makan tempe mendoan disini mengingatkan saya akan seorang teman saat kerja di Pusat Komputer ITB, yang sempat kuliah di Matematika ITB, dan memang asli asal Pemalang, dan hobi berat makan mendoan.  Saya ingat dia pernah cerita salah satu keahlian ayahnya adalah memperbaiki jaring rusak, yang memang merupakan profesi umum di kalangan masayarakat nelayan.

Silahkan ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2014/12/petualangan-mengelilingi-jawa-part-4-of.html

Petualangan Mengelilingi Jawa Part #4 dari 14 : Alas Roban, Batang, Kendal dan Semarang.


Di komik Benny Racmadi, Alas Roban digambarkan dengan seram, namun sepertinya kami diarahkan lewat jalan untuk mobil kecil sedangkan truk2 besar diarahkan ke jalan bagian atas melintasi bagian terseram dari Alas Roban. Sebelum melewati tempat ini kami harus menghadapi kemacetan parah, untungnya ada penjual pisang rebus dan kacang rebus hemm sedap, sepuluh pisang dan empat bungkus kacang rebus langsung dibantai rombongan. 
Karena kami tidak melewati bagian atas, rasanya hutan yang konon kabarnya sangat angker ini, tidak begitu menyeramkan saat kami lewati. Meski si bungsu sempat ketakutan karena pernah membaca sosok kakek berlampu dalam komik Benny Rachmadi yang konon kabarnya sering terlihat di Alas Roban. Konon kabarnya keseraman Alas Roban ini salah satunya dipicu kasus Petrus di zaman Pak Harto, yang memang menjadikan hutan ini sebagai lokasi pembuangan mayat. Selain itu hutan ini sering dijadikan lokasi pembegalan kawanan penjahat. Dari beberapa informasi yang kami baca, di warung terakhir seelum masuk hutan, khususnya di malam hari kebanyakan kendaraan akan menunggu kendaraan lain sampai berjumlah cukup untuk sama-sama masuk melewati hutan ini. 

Setelahnya kami menuju Batang , meski tadinya sempat tertarik untuk ke ke Batang Dolphin Center, karena sudah malam kami lanjutkan perjalanan ke Kendal menempuh sekitar 70 km.  Saat malam kami akhirnya tiba di Semarang, dan langsung ke penginapan di Hotel Neo, hotel minimalis yang dikelola dibawah manajemen Aston. Kami memesan dua unit kamar, untuk menghindari pertanyaan manajemen Hotel, kami masuk duluan, lalu anak2 menyusul kemudian. Maklum tidak semua Hotel mengizinkan satu keluarga menggunakan satu kamar saja. 

Malamnya saat hujan mengguyur Semarang, kami menuju Semarang Bawah dengan tujuan makan di Nasi Sego Kucing Pak Gik di daerah jalan Gadjah Mada. Sayangnya beliau baru buka jam 24:00 malam, dan karena sudah lapar akhirnya kami parkir di sekitar alun2, sementara hujan mengguyur deras dan jalan sangat macet karena sedang ada persiapan sirkuit untuk balap motor keesokan harinya. Istri dan adik-nya akhirnya memutuskan untuk membeli saja makanan di alun2, dan kami makan di hotel. Dalam keadaan lapar menu capcay, udang saos, dan ikan goreng terasa sangat nikmat. 

Keesokan paginya setelah membeli shampo kaca mobil di samping hotel, kami sarapan di Soto Pak No yang juga terkenal dengan sate kerangnya yang memang enak dan di warung sebelahnya kami membeli Serabi Notosuman yang sangat lezat. Lalu kami menuju Lawang Sewu Jl. Randusari Spaen, dengan diantar guide berkeliling dari satu bangunan ke bangunan lain-nya. Tak lupa kami berdoa di lubang menuju ruang bawah tanah yang menurut guide merupakan tempat mengurung sampai mati ratusan pejuang Indonesia yang memiiliki ilmu kebal.  Guide disini berpakaian ala era kolonial dan ramah-ramah. 

Kami terpesona dengan arsitektur Lawang Sewu, termasuk bangunan sumur yang sangat dalam dan menurut guide sekitar 1.000 meter untuk menghindari air asin, keramik bagian luar yang didatangkan langsung dari Jerman, lampu-lampu hias, desain jendela yang membuka keatas, engsel pintu jati tanpa sekrup, langit2 yang tinggi, ornamen kaca hias di jendela,  toilet yang sengaja dipisahkan jauh dari bangunan utama, lantai yang bergema, ruang bawah tanah yang tergenang dengan air saat musim hujan serta aula besar dengan konstruksi jati yang sebenarnya langit-langit Lawang Sewu. Di Langit-langit Lawang Sewu ini masih terlihat garis-garis marka lapangan Badminton, menurut guide, memang sempat digunakan TNI sebagai lapangan olahraga. Tentu kami tidak akan tahu itu semua jika tidak mengandalkan guide. Kebiasaan kami sekeluarga untuk menyewa guide memberikan informasi yang jauh lebih komprehensif di banding jika membacanya sendiri. Kami juga menikmati museum Kereta Api yang berada di lantai bawah dengan koleksi-koleksi lengkap tidak kalah dengan area disekitar Peak Tram yang pernah kami kunjungi di Hongkong. 








Lalu kami menuju Pandanaran untuk membeli oleh-oleh Bandeng, Wingko dan Lun-pia serta Jambu Air (Cincalo) yang terasa sangat segar.  Tujuan berikutnya adalah Klenteng Sam Poo Kong di Jalan Simongan Raya, sayang petugas di bagian depan terlihat kurang bersahabat dan bersikap ketus. Klenteng ini dibangun dengan indah, berada di dalamnya serasa berada di Negeri China. Tujuan ke Ambawara untuk wisata kereta tua lewat Ungaran kami coret karena sudah puas menyaksikan berbagai sejarah Kereta Api di lantai dasar Lawang Sewu yang dahulunya memang merupakan Gedung Pusat Pengelolaan Kereta. Api. 






Siangnya kami shalat Lohor di Masjid Agung, Semarang yang sangat megah namun sayang terlihat kurang terawat dan ternyata sudah tidak sesuai dengan publikasi yang kami akses via internet sehingga rencana makan siang di resto berputar di salah satu menara batal dilakukan. Di Masjid Agung Semarang, saat itu cuaca cukup terik, lantai keramik sangat panas, berbeda dengan lantai marmer di Mekkah yang tidak panas meski cuaca jauh lebih terik. Ketika lewat dan meringis dan meloncat loncat kepanasan saya bercanda, kalau di Masjid saja begini panas, bagaimana di Neraka ya. 

Lalu kami ke Toko Es Krim Oen Jl. Pemuda no. 52 namun karena petugas saat itu tak berani menyatakan menu-nya halal akhirnya Toko Es Krim terkenal tersebut kami tinggalkan.

Silahkan ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2014/12/petualangan-mengelilingi-jawa-part-5-of.html


Petualangan Mengelilingi Jawa Part #5 dari 14 : Menuju Lamongan

Dalam perjalanan menuju Purwodadi ke arah Lamongan, di jalan saya berhenti di salah satu cabang Shop N Drive untuk ganti wiper yang mendadak berbunyi, cek aki lalu menambah air aki secukupnya. Untung semuanya normal-normal saja. 

Dalam perjalanan karena memang sudah jam makan, kami memutuskan untuk berhenti di salah satu warung di pinggir jalan. Menunya agak unik yakni Ikan Mangut Asap yang disajikan dengan kuah seperti kari, namun rasanya enak. Gule kari ini mengingatkan saya akan Gule Ikan Limbat Asap yang merupakan makanan khas Sumatera Utara, tepatnya Mandailing. Disamping Ikan Mangut, ada juga bebek goreng berukuran besar, sayang-nya sangat alot. Dan kejutan, meski warung-nya kecil ketika harus membayar, ternyata makan disini adalah salah satu yang termahal selama perjalanan. 

Sesuai itinerary kami lanjut ke Lamongan melewati Babat, dengan rencana wisata ke Gua Maharani, sayangnya sampai menjelang malam perjalanan terkendala. Saat melewati Babat teringat riwayat keluarga saya yang sempat tinggal disini, dan Ayah bahkan sempat jadi salah satu pimpinan PNI. Ayah yang memang berbakat orator dan terbiasa berpidato di depan massa sempat ditawari menjadi Ketua DPRD, sayang-nya Ibu tidak setuju. Di sini juga Ayah yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Kantor Pos, nyaris melepas nyawa saat di hajar oleh tentara Kavaleri ketika tidak bisa menerima keputusan Ayah memecat adik si tentara yang merangkap menjadi anggota PKI kala itu. Ibu cerita saat Ayah kembali ke rumah kami dengan sekujur wajah berlumuran darah dan memeluk abangku. Saya masih ingat jam kesayangan Ayah merk Titoni buatan Swiss,  kacanya pecah berantakan saat mencoba menangkis pukulan gesper. Sejak itu Ayah termasuk dalam top list jajaran orang-orang yang akan dibunuh PKI. 

Karena sayang kalau melewatkan Gua ini, maka kami memutuskan tidak jadi menginap di Surabaya, melainkan mencari penginapan di Lamongan agar keesokan paginya bisa langsung ke Gua. Sayang juga Soto Lamongan yang menjadi andalan daerah ini sudah tutup jam 17:00 sehingga kami terpaksa makan ala kadarnya di Depot Kaliotik dengan rasa standar. 

Ternyata hotel Mahkota di Lamongan cukup mahal, sertelah berputar –putar dari satu hotel Mahkota ke hotel Mahkota yang lain karena memang ada tiga hotel Mahkota, kami akhirnya memutuskan menginap di Hotel Elresas. Disini kami memesan tiga kamar, namun lokasinya yang dilantai tiga dengan desain tangga yang tidak pas, membuat kami yang membawa banyak tas ngos2an. Disini saya sempat bertemu dengan salah seorang teman saat masih di Metrodata Group, jadi ingat saat wisata ke Macau saya juga bertemu dengan teman Metrodata. 

Lokasi Gua Maharani ini, terletak di kawasan Paciran, Lamongan, disini kami bisa menikmati stalagtit dan stalagmit yang dikelilingi kebun binatang mini serta wisata bahari di bagian depannya. Lokasinya relatif mudah ditemukan karena di tepi jalur utama Pantura atau Jalan Raya Daendels di Lamongan. Setiap rombongan kami bergerak di dalam gua, seorang pria yang membawa botol aqua dengan air berwarna keruh selalu mengikuti, tak jelas apa sebenarnya yang dia inginkan, saya menduga dia bermaksud menjual air tetesan gua, namun dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Sebelum lupa, aneh rasanya melihat setiap Stalagtit dan Stalagmit di sini diberi nama, seakan akan mahluk hidup. Istri saya mengatakan memang budaya Jawa seperti itu. 








Setelah mengunjungi Gua, kami diarahkan ke sebuah lokasi yang penuh dengan koleksi berbagai batu fosil. Batu-batu tersebut sangat cantik dan disusun dalam lemari kaca dengan keterangan lengkap. Saat mendekati pintu keluar, kami melewati set manusia prasejarah, istri dan adiknya sempat ketakutan ketika melewati tempat ini. 

Melihat desainnya yang khas, saya menduga kawasan ini ada hubungan dengan Jatim Park, dan ternyata memang benar. Kawasan ini sudah disewa selama 25 tahun, dan dikelola oleh pengelola yang sama dengan pengelola Jatim Park yakni PT Bunga Wangsa Sejati, dengan membuat perusahaan patungan dengan Pemerintah Kabupaten Lamongan. Tak aneh kalau iklan tujuan wisata dalam satu manajemen dengan mudah bisa kita temukan di sini.  

Paul Sastro Sandjojo atau biasa dikenal dengan Pak Sastro lah yang memulainya dengan Club Bunga Butik Resort, dan lalu mendirikan perusahaan PT Bunga Wangsa Sejati untuk mengelola semua tempat rekreasinya termasuk Jatim Park 1, Jatim Park 2 (Secret Zoo), Museum Angkut, dll. Konon kabarnya Pak Sastro selain mengembangkan usaha bersama Pak Ciputra,  juga akan mengembang Kaltim Zoo. 

Gua nya sendiri tidak terlalu istimewa, namun dikelola secara baik. Tadinya seperti yang digambarkan di brosur saya mengira stalagtit dan stalagmitnya memang berwarna warni, ternyata hanya permainan cahaya. Suasananya terasa sangat sumpek, dan air menetes menetes dari langit-langit gua mengingatkan saya akan cerita Tom Sawyer saat Joe si Indian harus menghabiskan sisa umurnya dengan menunggu tetesan air setetes demi setetes untuk memuaskan dahaganya. 

Kembali ke mobil, kaget saya melihat mobil sudah dicoret-coret dengan jari (karena memang berdebu), dengan tulisan "Wong Edan". Sementara istri dan adiknya melihat lihat berbagai snack unik seperti Kerupik Cumi (ada yang bertinta dan tidak), Kerupuk Rajungan, dan berbagai jenis ikan asin. Istri membeli ikan asin kesukaan ibu, saya, dan baunya yang menyengat akhirnya menyertai perjalanan kami dan rasanya masih menempel di mobil hingga kini. Istri yang mengira air Legen sama dengan Nira menyarankans saya membelinya, namun baunya tidak nyaman, sehingga hanya dari tiga botol yang kami beli, kami hanya sanggup menghabiskan satu seperempat-nya saja.

Beberapa kisah tentang Ayah dapat dibaca di link ini 

http://hipohan.blogspot.com/2013/04/ayah-saat-di-babat.html
http://hipohan.blogspot.com/2013/04/ayah-dan-pni.html
http://hipohan.blogspot.com/2013/02/ayah-terjun-ke-politik.html
http://hipohan.blogspot.com/2013/04/ayah-sebagai-politikus-pni-part-1.html
http://hipohan.blogspot.com/2013/04/ayah-sebagai-politikus-pni-part-2.html
http://hipohan.blogspot.com/2013/04/ayah-sebagai-politikus-pni-part-3.html


Silahkan ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2014/12/petualangan-mengelilingi-jawa-part-6-of.html

Petualangan Mengelilingi Jawa Part #6 dari 14 : Menuju Surabaya dan Madura via Suramadu


Selanjutnya perjalanan kami lanjutkan ke Suramadu, adik sekeluarga turun dan karena memang disini dilarang untuk berhenti, dengan mencuri-curi mereka akhirnya sukses berfoto dekat salah satu tiang jembatan. Di ujung jembatan kami menikmati kembali restoran yang sama saat tahun 2013 kami kesana. Sayang sekarang suasananya terlihat lebih kumuh.




Disini kami memesan udang, ikan bakar, burung dara, ayam goreng, capcay namun rasa-nya biasa2 saja, dan yang menyedihkan meski rasanya biasa saja, namun secara harga disini termasuk biaya terbesar yang kami keluarkan untuk sekali makan. Bayangkan seporsi Burung Dara disini bisa seharga Rp 70.000. Cap cay nya unik karena berkuah merah, menurut abang ipar yang ahli memasak memang daerah Jawa Timur mereka kerap menggunakan saos tomat dalam masakannya, sehingga mengingatkan saya akan Nasi Goreng Merah Cak Jali langganan sejak masa kuliah yang kini membuka usaha dibawah jembatan Pasupati. 

Saat menulis perjalanan ini saya jadi teringat penumpang Air Asia dari Surabaya menuju Singapore yang sampai blog ini ditulis masih belum jelas keberadaannya. Semoga keberadaanya segera diketahui dan keluarga yang ditinggal diberi ketabahan olehNya.

Beberapa informasi tambahan soal jembatan ini, bisa dilihat di link sbb 
http://hipohan.blogspot.com/2013/08/inspirasi-dari-jawa-timur-5-suramadu.html 

Silahkan ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2014/12/petualangan-mengelilingi-jawa-part-7-of.html



Petualangan Mengelilingi Jawa Part #7 dari 14 : Menuju Mojokerto dan Trowulan


Dari Madura kami langsung menuju Mojokerto, lokasi yang berjarak 70 km dan bisa ditempuh selama satu setengah jam ini ternyata lagi-lagi menempuh jalan macet luar biasa, sementara hujan terus menerus tidak henti2nya, mendadak saat giliran kami maju, eh Pak Polisi menyuruh kami belok ke jalan yang tidak direkomendasikan Waze. Namun mau tak mau terpaksa kami ikuti, akan tetapi alokasi waktu untuk kompleks Candi di Trowulan otomatis jadi semakin berkurang. 

Karena sudah "kebelet" ke toilet, kami berhenti di salah satu SPBU, dua orang wanita yang kami tanyai mengatakan Sleeping Budha sudah tutup jam 16:00, namun adik ipar tidak mau menyerah, dan bertekad akan meminta tolong pada petugas di Vihara, sekiranya sudah ditutup. 

Menjelang jam 17:00 akhirnya kami sampai setelah memasuki gang kecil menuju Desa Bejijong. Nampaklah sebuah padepokan yang tenang, kami parkir dengan dipandu pemuda setempat berwajah sangar dengan badan penuh tatto, eh ternyata sangat sopan tutur katanya. Untungnya jam kunjungan relatif tidak dibatasi, sehingga ditengah gerimis kami bisa langsung bergegas ke lokasi Patung Sleeping Budha yang konon kabarnya terbesar ketiga di dunia sepanjang 22 meter, tinggi 4,5 meter dengan lebar 6 meter. 

Ukirannya sangat rapi, dan dikelilingi relief yang bercerita saat-saat terakhir Budha menjelang beliau wafat. Saya jadi ingat salah satu ramalan Budha akan datangnya Budha terakhir alias Budha Maitreya yang ciri khasnya adalah tubuhnya cenderung mengikuti arah kepalanya saat harus berkomunikasi dengan seseorang dan memiliki ribuan pengikut sebagaimana ciri-ciri Nabi Muhammad SAW. Posisi Budha yang menyamping ke kanan dengan telapak tangan kanan sebagai bantal juga mengingatkan saya akan posisi tidur yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW.
Dari sini kami bergegas ke Batu melewati Trowulan, jalan semakin gelap dan diluar nampak kabut menebal, anak2 terdiam ketakutan di belakang. Mobil dipenuhi bisik2 doa, dan dari sisi kiri terlihat silhuet Candi Bajang Ratu berdiri tegak dalam kesunyian, dan lalu Candi Tikus, kami seakan akan dikepung peradaban masa lalu.  Entah kenapa saya membayangkan seakan akan kabut ini membawa kami ke masa keemasan Majapahit, dan sekonyong konyong saya membayangkan dari balik kabut muncul penduduk dengan pakaian dari masa silam menyambut kedatangan kami. Bisa jadi saya terpengaruh buku karya Djoko Lelono yang diterbitkan tahun 1971, Terlontar ke Masa Silam. 




Setelah suasana sepi yang mencekam, mendadak kami semua tertawa karena tak jauh dari situ, ada Indomaret dan lalu Alfamart, ternyata kedua franchise ini sudah merambah sampai ke daerah relatif terpencil seperti Trowulan ini. Si Sulung bercanda bagaimana kalau ternyata pegawainya memang benar-benar mengenakan kostum Majapahit, dan disambut tertawa terbahak bahak oleh kami semua saat ikut membayangkannya. 

Petualangan Mengelilingi Jawa Part #8 dari 14 : Menuju Batu


Dari Trowulan kami langsung menuju Batu, namun jalan yang dipilih Waze benar2 sepi, lalu Abang Ipar yang menunggu kami di Batu menelepon dan sempat dengan nada heran bertanya kenapa kami lewat situ, ketika kami bilang tidak ada pilihan lain, dia mengatakan agar kami berhati-hati karena akan melewati Hutan. Saat itu saya dan istri masih tenang-tenang saja, karena kami pernah memiliki pengalaman masuk Batu via Pujon yang di tahun 1999 saat jam 23:00 malam, dan rasanya sudah menjadi pengalaman yang sangat berkesan hingga kami melewati Cangar.  

Namun jalan semakin seram, sempit dan berkelok tajam, sangat sedikit mobil yang melewati tempat ini, dan semakin dalam semakin sepi, kadang kami harus melewati beberapa jembatan tua yang terlihat sangat rapuh. Adik ipar yang kebetulan kebagian shift menyetir selalu membunyikan klakson manakala kami melewati jembatan. Ketika tanjakan semakin curam bahkan sekitar 40 derajat dengan sudut belokan nyaris patah, ban mobil berputar namun mobil seakan mendecit tertahan karena beban traksi yang tak sama. Di satu titik bahkan adik ipar sempat merasa lost power meski sudah menggunakan shiftronic di posisi satu, namun dia segera menginjak gas lebih dalam. Disini performa torsi Mitsubishi Pajero benar-benar diuji dengan baik. 



GPS mobil, petanya sudah tidak akurat lagi di sini, saya lalu mengandalkan Waze, namun sinyal provider lalu hilang sama sekali, sehingga peta tidak tampil maksimal, tak lama kemudian giliran GPS Waze berkedip-kedip, dan di beberapa tempat bahkan sempat hilang. Setiap kali hilang sinyal, saya minta adik memperlambat kecepatan, namun membuat suasana semakin mencekam. Bayangkan sudah seram harus lambat pula. Si Sulung lalu bertanya, bagaimana sinyal pa ? haduhh jujur saja tak tega menjawabnya, saya cuma bisa bilang "Tidak stabil nak, namun teruslah berdoa semoga kita bisa segera melewati tempat ini". 

Lagi-lagi kami semua sibuk berbisik membaca doa-doa, di beberapa tempat jurang menganga di sebelah jalan sementara di sebelah lainnya dinding tebing mengancam. Setiap kali ada yang berbicara yang lain menimpali dengan instruksi "shhhhh berdoa !", termasuk ketika kedua anak gadis di baris belakang berbisik bisik ketakutan.  Farras, anak bungsu adik lalu menyeletuk, "Kalau mobilnya gak kuat naik bagaimana ?" kami semua yang tersentak kaget lalu berseru "shhhhh berdoa !". Cuaca benar2 gelap sementara hujan terus menerus mengguyur jalanan yang semakin licin sesekali kabut menutup pandangan. Lalu kembali memasuki hutan gelap dengan jalan berkelok kelok, hemm rasanya jauh lebih seram ini dibanding lewat Pujon bertahun -tahun yang lalu. Kami sempat melewati jalanan dengan sisa longsoran dan licin karena tertutup lumpur. Anehnya kami sempat melihat sebuah mobil berhenti di kegelapan, dan beberapa hari setelahnya kami membaca koran ditemukan mayat seorang pengusaha Surabaya yang dibuang pada malam dimana kami lewat, setelah beberapa minggu berselang ada mayat lainnya yang ditemukan. Hiiii ternyata memang lokasi ini lokasi yang dipilih pelaku kriminal dalam melenyapkan jejak korbannya. 




Ketika akhirnya sampai ke Batu, meski kami bermaksud makan di Alun-alun Batu, namun Abang Ipar berkeras agar kami makan di Restoran Hotel Purnama, Selecta, akhirnya kami pun menyantap Cap Cay, Ayam Goreng Mentega dan Nasi Goreng ditengah udara pegunungan yang dingin di Batu. Lalu Abang Ipar cerita, kalau dia sendiri dan kebanyakan penduduk Batu, tak berani lewat jalur yang kami tempuh saat malam hari, daerah Hutan Lindung tersebut menurut Abang Ipar, masih banyak terdapat Harimau Jawa dan Monyet Hitam.






Setelah makan kami berkeliling Hotel Purnama melihat lihat tamannya yang indah, kebun Strawberry, Kolam Pemancingan dan restoran lantai atas yang memungkinkan kita memandangi lampu-lampu kota Batu di waktu malam serta persiapan Hotel Purnama menyambut Natal dan Tahun Baru.  Dan lalu menginap di rumah Abang Ipar di antara kebun bunga di belakang Hotel Purnama. 

Pagi hari saya dan adik ipar mencuci mobil yang luar biasa kotor dan penuh lumpur setelah sempat melewati daerah longsor di Cangar, lalu kami jalan kaki ke Hotel Purnama melewati kebun petani bunga. Melewati rumah2 kayu yang disewakan seorang pengusaha alumni ITB, dan berkunjung ke toko-toko penjual Pot Bunga serta melihat lihat villa-villa indah disekitarnya. Adik ipar terkesan dengan masjid-masjid  di sekitar Batu yang rata-rata dibuat dengan cantik. Sebelum berjalan-jalan si Bungsu sempat berpose disamping mobil di depan tempat tinggal kakak dan abang ipar. 







Untuk sarapan kami menuju Warung AMIN (yang menurut penjualnya singkatan Anda Makan Ingin Nikmat),  di  Jalan Surapati.  Menu andalannya masih seperti dulu saat berjualan dekat Lampu Merah salah satu perempatan di Batu di Jalan Panglima Sudirman. Rawon Sapi dengan daging berukuran besar-besar, Gule Kambing dan Pecel Madiun yang menggunakan sayur khusus (daun kemangi) dan dimakan dengan rempeyek renyah. Lelaki tua si penjual yang berusia 65 tahun bercerita, dulu dia sempat bekerja sebagai Guru, lalu pindah bekerja ke Kalimantan dan akhirnya memutuskan untuk jualan makanan di Batu. Sayang kata beliau, lokasi lama tidak dijual oleh pemiliknya, sehingga dia terpaksa pindah. Beliau cerita, bahwa dia  selalu membeli daging terbaik meski berharga Rp. 100.000 sekilo, dan tetap menggunakan cabe secara maksimal meski saat ini harganya terus naik.  Pembelinya berdatangan dari Malang maupun Surabaya dengan membawa rantang. 

Silahkan ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2014/12/petualangan-mengelilingi-jawa-part-9-of.html

Petualangan Mengelilingi Jawa Part #9 dari 14 : Eksplorasi di Batu


Setelah sarapan kami menuju Jatim Park 2 alias Secret Zoo, masih seperti dulu dan sepertinya tetap merupakan Kebun Binatang terbaik di Indonesia, belum lagi tambahan berbagai arena main untuk anak2, plus Musium Satwa (berisi binatang2 yang sudah diawetkan dengan diorama kelas dunia). Namun karena sudah melihat yang versi mininya di Gua Maharani, sepertinya anak-anak sudah relatif familiar, bahkan Si Sulung memutuskan untuk tidak ikut dan baru akan bergabung dengan kami di Museum Angkut. Kunjungan kesini kami akhiri dengan makan siang di restoran berputar alias Jungle Fast Food yang mengelilingi kandang hewan-hewan buas seperti Leopard. Suasana di Restoran ini mengingatkan saya akan film besutan Spielberg, Jurassic Park. Sepertinya Jatim Park 2 / Secret Zoo tetap harus menjaga kualitas, karena terlihat lebih kusam dibanding saat saya terakhir kesini. Selain hal-hal diatas, fasilitas foto bersama hewan bisa dilakukan disini, dengan biaya murah alias cukup Rp. 5.000, anak-anak berfoto dengan Burung Kakaktua, Orang Hutan, Harimau Putih dan Binturong. Satu hal yang menarik disini adalah, treknya dibuat sedemikian rupa, sehingga kita bisa berjalan namun tidak kehilangan satu objek pun. 




















Lalu kamipun menuju Museum Angkut, dengan membayar tiket lebih anda bisa melihat Pasar Apung dan D'Topeng, namun kami memutuskan untuk fokus pada Museum Angkut saja. Ternyata memang fasilitas disini memang kelas dunia, koleksinya luar biasa termasuk helikopter yang dipakai Presiden Soekarno serta limo Hummer, serta berbagai sepeda dengan merk Harley Davidson sekalipun ada. Tidak cuma itu  beberapa kendaraan tradisional seperti Cidomo yang mengingatkan kami saat jalan-jalan ke Gili Trawangan atau replika perahu berukuran besar yang dibuat berdasarkan ukiran di  Candi Borobudur. Uniknya mobil hancur yang digunakan Dahlan Iskan yakni Tucuxi pun ada disini.  Tema yang diusung pun menarik, dengan berjalan mengikuti petunjuk kita tidak perlu khawatir ada obyek yang terlewat, begitu juga saat melewati komplek yang disusun berdasarkan negara seperti Jerman dan Inggris. 

Kami beruntung tidak langsung pulang, karena ternyata ada pawai yang cukup meriah, belasan mobil-mobil antik melintasi jalanan di Museum Angkut dengan artis-artis lokal berpakaian aneh-aneh. Namun entah kekurangan artis atau tidak, beberapa diantaranya ternyata waria yang spontan mengundang para penonton tersenyum-senyum sendiri melihat lagak mereka. 
















Setelah capai, kami menuju pintu keluar tak terasa mengunjungi Secret Zoo dan Museum Angkut ternyata benar-benar menghabiskan energi, untung-nya pintu keluar melewati Pasar Apung sehingga kami bisa jajan Es Tong dan Bapau dari penjual yang menggunakan perahu yang entah kenapa rasanya lezat sekali dimakan saat gerimis. Namun bagi wisatawan lain saya sarankan untuk mencoba menggunakan perahu di pasar apung, karena sesuai informasi yang kami terima banyak hal menarik seperti terowongan yang bisa kita lihat dengan fasilitas ini. 





Menjelang tengah malam, kami menuju alun-alun Batu untuk makan malam, dan memilih berbagai unggas goreng, dari mulai Ayam, Burung Dara sampai Bebek yang semuanya digoreng dengan lapisan putih telur. Lalu tak lupa membeli ketan di salah satu tempat terkenal di Batu, yakni Pos Ketan. Ada berbagai jenis ketan disini, dari mulai ketan duren, ketan nangka, ketan keju, dan untuk minuman akan lebih nikmat jika membeli susu segar yang jualan persis di depan-nya. Bagi yang tidak suka susu, disini juga dijual Asle alias minuman khas daerah sini, yang mirip Bajigur plus kolang kaling, cincau dan potongan roti berbentuk kotak dengan kuah santan. 

Keesokan paginya kami makan soto Ayam Lamongan Pak Sokip, di Jalan Darsono, yang biasa disajikan dengan potongan-potongan tulang ceker atau sayap dalam mangkok terpisah yang sudah jualan sejak belasan tahun yang lalu. Lalu kamipun berkemas meninggalkan kota Batu yang penuh kenangan, dan karena masih ada tujuan lain maka lokasi seperti Eco Park, D'Topeng serta Pasar Apung  terpaksa kami lewatkan , semoga kelak kalau ada rezeki kami masih bisa mengunjungi Batu kembali. Sebelum pulang kami mampir di Toko Brawijaya untuk membeli berbagai oleh-oleh khas Malang di Jalan Diponegoro 74. Disini kita bisa membeli berbagai kerupuk aneh seperti apel, nangka, bahkan rambutan. 

Silahkan ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2014/12/petualangan-mengelilingi-jawa-part-10.html