Friday, January 31, 2014

Game Over - Muhammad "Mice" Misrad

Berbeda dengan Benny Rachmadi yang memilih cerita perjalanan seperti petualangan di Pantura, Singapura dan Pantai Selatan, sepertinya Mice justru memilih kenangan masa kecil. Dari sini terlihat Benny lebih mampu menyusun benang merah dalam membentuk cerita, sementara Mice menyusun fragmen fragmen masa lalu sehingga lebih terlihat sebagai kumpulan catatan kecil. Karya Benny juga terlihat lebih mampu memancing tawa, baik secara gambar maupun narasi.  

Meski demikian secara teknik gambar mereka memiliki keterampilan yang perbedaannya sangat tipis, dengan keunggulan masih lebih terlihat pada karya Benny, khususnya saat menggambarkan lingkungan sekeliling seperti arsitektur bangunan, kendaraan, teknik pewarnaan, dll.



Namun tujuan review ini tentu saja bukan membandingkan karya Benny dan Mice, dan juga meski berbeda, karya2 mereka berdua masih sangat layak dikoleksi. Melihat nomor yang dicantumkan Mice pada karya-nya ini, sepertinya masih merupakan edisi awal dari edisi2 berikutnya yang mungkin akan dipublikasikan.

Unik juga, melihat bagaimana sosok Mice digambarkan di halaman2 awal sedang menikmati Sistem Dajjal karya Ahmad Thomson. Bermula dari hujan, lalu flashback saat Mice masih kecil bermain  hujan dengan teman teman sebayanya. Setelahnya muncullah berbagai mainan saat kecil, cara membuat, cara bermain, dll seperti

Tembak2an Kayu
Pletokan
Sumpitan
Bola Gebok
Gelatik
Kelereng
Adu Biji Karet

Lalu mirip dengan Lagak Jakarta, Mice juga membahas profil bocah di masa 70 sd 80 an. Lengkap dengan tiga serangkai penyakit yang selalu menjadi momok dimasa itu, yakni Borokan, Cacingan dan Ingusan.  Saya masih tetap pada kesimpulan meski berpisahnya Benny dan Mice mungkin terasa menyakitkan khususnya bagi penggemar komik, namun ternyata mereka berdua menjadi lebih produktif dengan karya2 komik mereka.

Pengakuan Algojo 1965 - Tempo Publishing

Buku ini menyoroti munculnya algojo dadakan dari seluruh negeri saat terjadinya pemberontakan PKI 1965. Bagaimana para algojo tersebut kembali menjalani kehidupan kembali seperti anggota masyarakat biasa seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak hanya di Jawa, ternyata di Bali pun terjadi hal yang sama, lalu merembet ke daerah lain-nya.

Buku ini dipicu munculnya film Joshua Oppenheimer alumni Harvard University, mengenai sosok Anwar Congo seorang preman merangkap calo bioskop yang merasa sangat dirugikan oleh paham komunisme, The Act of Killing (Jagal), akhirnya meraih perhatian masyarakat banyak sekaligus diingatkan oleh getirnya kejadian kejadian di masa itu. Tak tanggung-tanggung Oppenheimer akhirnya bahkan harus bergaul selama tujuh tahun dengan Anwar. Film ini bahkan  seakan membalik pandangan umum, siapa yang sebenarnya melakukan kekejaman, PKI atau Non PKI. Joshu mengatakan mungkin ada 1.000 atau bahkan mungkin 10.000 sosok jagal seperti Anwar yang dilahirkan di masa itu.



Entah atas nama dendam pribadi, keyakinan, atau tugas negara, para algojo menghunus senjata mereka dan mengeksekusi korban yang entah dikenal atau tidak, terbukti bersalah atau tidak. Truk demi truk bergerak saat tengah malam ke tempat eksekusi dan lalu mayat-mayat bergelimpangan. Lalu sebagaimana yang pernah dilakukan Soeharto saat mengeksekusi penjahat kambuhan saat dia berkuasa, mayat-mayat orang-orang yang diduga PKI dibuang begitu saja ke sungai, jurang atau hutan. Posisi Soeharto saat itu dan mungkin tangan2 gelap CIA, diduga berada dibalik semua peristiwa ini.  

Buku ini mencoba menjawab kenapa para pelaku seakan tidak merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan. Melalui investigasi dan wawancara dengan pelaku sebenarnya, satu demi satu, sejarah kelam masa lalu ini dibuka lembaran demi lembaran. Tentu saja menyakitkan, dan dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana salah satu organisasi massa keagamaan, merasa sangat tidak nyaman saat hal ini dibuka kembali oleh Tempo, dan juga mempertanyakan apa alasan Tempo di balik ini.

Namun memang masa itu situasi memang sangatlah kompleks, tarik menarik kepentingan antara Angkatan Darat dan PKI yang menggunakan petani sebagai angkatan kelima yang dipersenjatai serta posisi sulit Soekarno yang tetap berusaha agar antar semua komponen bangsa tetap bersatu. Harus diakui PKI yang merasa diatas angin dengan "dukungan" Soekarno menekan penduduk yang tidak sealiran,  memprovokasi petani yang tidak memiliki lahan, dan lalu keadaan berbalik. Dan terjadilan pembalasan dendam dengan "direstui" tokoh masyarakat, Angkatan Darat dan juga ulama. Ada banyak bukti dilapangan, dimana para algojo dilatih oleh Angkatan Darat, lalu diberikan daftar korban, diantar ke lokasi eksekusi di dipersenjatai.

Mengadili peristiwa tersebut dengan kacamata kekinian menjadi sulit, karena situasi dimasa itu hanya bisa dipahami dengan memperhatikan konteks sosial-ekonomi. Lepas dari semua itu, upaya Tempo untuk melakukan jurnalisme investigas sangat dihargai agar dapat melengkapi kepingan hilang dari Sejarah Indonesia meskipun terasa pahit.



Saturday, January 25, 2014

Escape - Carolyn Jessop

Membaca buku ini mengingatkan saya akan A Child Called It karya Dave Pelzer, meski penyiksaan fisik-nya tidak separah A Child Called It, namun siksaan psikologisnya yang digambarkan dalam buku ini cukup dalam. Sebenarnya saat membeli buku ini saya tidak tahu kalau buku ini ada hubungannya dengan Stolen Innocence nya Elisa Wall. Kalau saja saya tahu ini masih seputar kehidupan di sekte pecahan Mormon alias Fundamentalist Church of Latter Day (FLDS) bisa jadi saya tidak akan membeli buku ini. Namun jika dibandingkan, dengan karya Elisa, ternyata buku Carolyn Jessop ini justru lebih memiliki daya tarik.

Jika Elisa merupakan korban dari tetua FLDS terkait pernikahannya yang tidak bahagia dengan seorang pemuda psikopat, Carolyn justru menikah dengan tetua FLDS dan menjadi istri muda kesekian dari sosok Merril Jessop. Bagaimana sebagai seorang remaja, Carolyn harus menempatkan diri diantara enam istri Merril dan nyaris 35 anak menjadi benang merah dalam buku ini.



Episode menegangkan antara lain saat Carolyn memutuskan untuk menjauhkan diri dari konflik rumah tangga dengan menawarkan diri mengelola losmen milik Merril. Namun seorang mantan narapidana menghantui Carolyn setiap kali sampai seorang pria membantunya selamat dari ancaman narapidana tersebut. Pria itulah yang akhirnya menyadarkan Carolyn bahwa dia mengalami kesewenang wenangan serta penganiayaan psikologis yang dalam dari Merril.

Dalam buku ini dikisahkan 17 tahun lamanya Carolyn yang lahir pada tahun 1968 ini terjebak menjadi korban Merril, sejak menikah di usia 18 tahun, seorang pria yang lebih tua 32 tahun dari dirinya sebagai istri keempat. Selama 15 tahun pertama Carolyn harus melahirkan 8 anak Merril. Kejadian demi kejadian akhirnya menambah kuat konstruksi bangunan ketidakyakinan Carolyn atas FLDS dan membuatnya mengambil keputusan untuk pergi dengan kedelapan anaknya. Meski perjalanan ini menuju kebebasan yang dia dambakan namun juga ketidak pastian yang sangat besar. Tahun 2003 tepatnya Carolyn pergi membawa delapan anaknya serta uang sebanyak 20 USD. Untunglah cita cita tinggi Carolyn dan keinginannya untuk terus belajar dan bersekolah dapat menyelamatkan keluarganya dari jeratan finansil kebutuhan hidup.

Kisah yang diceritakan secara setahap demi setahap ini membuat kita sulit melepas buku setebal 500 halaman lebih ini sebelum benar benar selesai. Sebuah buku yang layak menjadi renungan bagi kita semua, betapa kebenaran semu bisa berkembang lewat doktrinasi terus menerus, kontrol ketat semua aspek kehidupan dan bumbu kekerasan. Sebagaimana karya Elisa, kesulitan FLDS muncul akibat ulah Warren Jeffs, nabi palsu yang menyalahgunakan kondisi nabi sebelumnya alias ayahnya Rulon Jeffs dengan cara yang manipulatif.

“In a cult, you have two identities: your cult identity and your authentic self. Most of the time I operated from my cult identity, which was pliant, submissive and obedient. But when I was pushed to the point where it felt like my survival was at stake, my authentic self came to the fore.”  ― Carolyn Jessop, Escape


Saturday, January 18, 2014

Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan - Suhartono


Hanya ada 3 Polisi yang tak bisa disuap, Patung Polisi, Polisi Tidur dan Hoegeng. Gus Dur

Demikian lah tulisan dalam foto yang dijadikan sebagai pembuka buku. Ini bukanlah buku tentang Hoegeng yang pertama, namun apa yang tertulis disini melengkapi puzzle tentang beliau. Dalam buku ini, buku-buku lain tentang Hoegeng juga dijadikan sebagai referensi oleh Suhartono seperti karya duet Abrar Yusra - Ramadhan KH serta duet Ery Sutrisno - Aris Santoso. Mantan wartawan yang kini menjadi editor di Kompas ini juga menjadikan salah satu sekretaris Hoegeng sebagai nara sumber yakni Soedharto Martopoespito (Selanjutnya kita sebut Dharto).

Berbeda dengan buku tentang Hoegeng yang lain, Dharto lebih banyak menyoroti masa kerja Hoegeng sebagai Menteri/Sekretaris Presidum Kabinet. Meski cuma bekerja sebagai sekretaris Heogeng selama lima bulan, namun sangat banyak dan mendalam kesan yang ditimbulkan oleh hubungan tersebut. Namun sayang saat Hoegeng, Ali Sadikin dkk mengikuti Petisi 50, hubungan silaturahim Dharto menjadi sedikit renggang.



Ada banyak cerita mengenai karakter Hoegeng mulai dari menolak mobil dinas, memilih untuk menjual sepatu bekasnya  ke pasar loak untuk tambahan uang belanja, menolak hadiah dari pengusaha setempat dimana beliau bertugas, menutup toko bunga istrinya karena kuatir dibeli orang dengan maksud tertentu, menegur keras anaknya yang menggunakan mobil dinas kapolri untuk belajar, menolak untuk dikawal dan berbagai hal lainnya. Semua hal itu mencerminkan kejujuran, kesederhanaan sekaligus kewibawaan beliau.

Kata pengantar yang ditulis Abraham Samad, semakin menambah bobot buku ini sekaligus mengingatkan saya akan Abdullah Hehamahua, salah satu tokoh KPK yang juga memiliki integritas mirip dengan Hoegeng. Samad juga menulis betapa ironi kepolisian yang yang baru saja tercemar dengan kasus Djoko Susilo dan disinyalir merugikan keungan negara sampai 121 Milyar.

Integritas Hoegeng tergambar dari hal yang paling sederhana sekalipun, misalnya genggaman eratnya saat menjabat tangan seseorang, seperti pernah dikisahkan oleh Jusuf Kalla. Kesehariannya seperti yang diingat Dharto diantaranya adalah hobinya untuk berangkat kantor sepagi mungkin, menjawab berbagai surat dengan pulpen beraneka warna, mengunjungi rumah bawahan-nya dan bertemu dengan keluarganya, serta selalu menerima tamu di tempat terbuka di lokasi kantor.

Juga beberapa cerita lucu tentang beliau misalnya saat diledek oleh Soekarno yang meragukan nama Hoegeng, dan menduganya Sugeng, serta permintaannya Soekarno untuk mengganti namanya dengan yang lebih berbau Jawa seperti Soekarno. Namun Hoegeng berkeras dan menolak nama seperti Soekarno yang dia katakan secara canda sebagai nama pembantunya di rumah. Soekarno hanya bisa melotot, tertawa ngakak dan berkata "Kurang ajar kamu ya". Dalam buku ini juga terungkap rasa humor Hoegeng dan sesekali tindakan usil dibalik penampilan serius-nya.

Hal unik lainnya adalah, hobi Hoegeng untuk tidak menulis nama Iman Santoso. Bagi beliau, dirinya masih dalam proses untuk menjadi Iman Santoso, dan dia merasa tidak pantas menyandang nama itu. Namun saat beliau akhirnya berpulang ke rahmatullah 14/7/2004, Didit putra beliau menyatakan "Kini, setelah ayah saya mampu menjaga iman-nya, tetap teguh sampai akhir hayatnya, saya nyatakan bahwa nama lengkap ayah saya adalah Hoegeng Iman Santoso". Sebagian besar pelayat terharu dan meneteskan air mata saat saat menghadiri peristiwa itu.

Buku ini juga membahas keluarga beliau, istrinya Meriyati Roeslani dan ketiga anak2nya. Beberapa pendapat anak beliau juga dikutip untuk memperkaya pemahaman kita akan karakter sederhana beliau. Bagaimana Didit putra Hoegeng harus jualan koran, lalu Reni yang berjualan kue kue seperti lemper di Cikini. Begitu juga saat Hoegeng menolak membuat surat pengantar / persetujuan ke Angkatan Udara saat Didit melamar sebagai taruna. Atau beliau menolak membuat katebelece bagi Reni untuk masuk ke ITB. Sungguh seorang tokoh panutan yang sangat layak menjadi inspirasi kita. 

Thursday, January 16, 2014

Sedekah Pemancing Rezeki #1

Saat melihat acara Ustadz Sedekah, alias Yusuf Mansyur (UYM) saya sempat terkaget-kaget melihat bagaimana beliau berdialog dengan umat, kalau saya tidak salah ingat dialog-nya sbb;

Umat : Ustadz, saya ingin sekali memiliki motor, namun setiap kali tabungan saya mulai mendekati harga motor yang saya incar, selalu ada saja kepentingan yang sifatnya mendesak, sehingga tabungan saya tidak pernah cukup.
UYM : Berapa sekarang tabungan ente ?
Umat : sekitar 2 juta ustadz.
UYM : Segera sedekahkan semuanya ke orang2 yang membutuhkan, soal motor biarkan Allah yang urus untuk ente.
Umat : * menunjukkan ekspresi bingung membayangkan tabungan-nya kembali harus lenyap.


Lalu kalau kita membaca karya Muhammad Assad, yang juga merupakan pengagum Yusuf Mansyur, dan kebetulan pernah saya review karya2nya, sbb;

http://hipohan.blogspot.com/2012/08/sedekah-super-stories-nya-muhammad-assad.html atau
http://hipohan.blogspot.com/2012/02/notes-from-qatar-nya-muhammad-assad.html dan
http://hipohan.blogspot.com/2012/02/notes-from-qatar-2-nya-muhammad-assad.html,

hal yang sama juga diulas lewat berbagai cerita unik dan sulit dipercaya. Sama seperti anda saya juga sulit untuk percaya.

Pada tahun tertentu, salah satu KPI (Key Performance Indicator) saya yakni New Sales hanya nyaris berhasil mencapai target, meski beda tipis namun hal ini membuat saya bertekad ditahun berikutnya saya dan team harus mencapai hasil yang lebih baik.

Akhirnya saya dan team pun sampailah ke tahun berikutnya, namun dalam perjalanan-nya selalu ada saja kegagalan dalam tender. Saya menjadi berdebar-debar apakah target tahun ini dapat tercapai. Saat Q4, saya katakan pada team, bahwa saya mau mencoba terapi sedekah UYM. Sejak itu jika kebetulan berpapasan dengan orang2 tertentu, apakah pemulung, nenek penjual jajanan pasar, tukang beca, tukang pijat, dll selalu saya upayakan untuk memberi sedekah, sambil minta didoakan agar saya dan team sukses mencapai target. Namun tentu saja, tetap harus diimbangi dengan kerja keras. Saat 2014, setelah dilakukan perhitungan, alhamdulillah, ternyata team saya dapat mencapai 110%.

Hemm masih belum yakin kan ?, awal tahun 2013, sebagaimana kebiasaan awal tahun, umumnya merupakan momen yang pas bagi profesional IT, untuk update curriculum vitae di LinkedIn. Saat itu saya baru menyadari rekomendasi dari rekan2 saya sepertinya masih kurang. Lalu saya mengontak beberapa orang diantaranya untuk memberikan rekomendasi. Tunggu punya tunggu dan hampir sebulan sepertinya progres pemberian rekomendasi ini berjalan dengan lambat. Kembali saya ingat UYM, lalu saya putuskan untuk balik memberikan rekomendasi pada orang2 yang saya harapkan rekomendasinya, dan Jreng... ! tak sampai seminggu LinkedIn saya sudah penuh dengan rekomendasi teman-teman yang tadinya  tidak berhasil saya dapatkan rekomendasinya meski dengan terus menerus meminta.

Masih belum percaya ? sering sekali saya harus mengeluarkan sedikit rezeki pada orang2 yang membutuhkan, namun beberapa hari kemudian, entah dari mana ada saja rezeki yang masuk dan malah sampai berlipat kali. Bahkan kadang balasan tersebut terjadi dihari yang sama. Ternyata istri saya juga mengalami hal yang sama, seperti ketika dia mendadak mendapat warisan, sementara kita mengira sudah tidak ada lagi warisan yang dapat dibagi. Marilah berprasangka baik pada Allah, dan ubahlah motto take and give menjadi give and take.

Monday, January 13, 2014

Escape - EndahNResa

Setelah pertama kali melihat penampilan mereka di TV, saya sudah cukup lama berburu album EndahNResa, sampai akhirnya di TSM dapat juga kedua albumnya, yakni Look What We've Found (2010) dan Escape (2013). Menganggap bahwa EndahNRhesa, selalu bas dan gitar ternyata tidak selalu benar. Pada album Escape, justru track awal Hypergalaxy Intro dibuka dengan sampling digital yang agak berbau petualangan ruang angkasa. Album ini juga unik karena artwork yang ditangani langsung oleh Resa.



Escape merupakan bagian terakhir dari trilogi album EndahNResa, yang dimulai dari Nowhere To Go (kebetulan yang ini saya belum punya) di mana, muncul sosok karakter bernama Shane Harden yang hidup di Silence Island. Kemudian di album Look What We’ve Found, dimana Shane Harden tersebut kembali ke masa lalu dengan menggunakan mesin waktu dan menemukan hal baru. Nah di album Escape, Shane Harden tersebut kembali masanya lagi.

Secara lengkap track-track-nya adalah sbb (saya berikan bintang * sd ***** untuk penilaian dari yang biasa saja sampai yang terbaik); 

Hypergalaxy Intro (*)
Track full digital ini mengagetkan, meski secara kualitas musik biasa-biasa saja, kenapa ? karena EndahNResa memang lebih dikenal dengan karya bas dan gitar saja. Di album ini saya jadi ingat saat Rush di album Signal mulai memanfaatkan peranan synthesizer, jadi memang terdengar tidak biasa bagi yang sudah merasa akrab dengan karya duo ini.


Silence Island (***)
Temanya adalah kekacauan yang terjadi di sebuah tempat akibat penggunaan teknologi berlebihan. Tema ini mengingatkan saya akan komik Arad dan Maya, dimana disatu pulau, komunitas robot mengambil alih peranan manusia. Perubahan beat di track ini sangat khas progressive dan memberikan kenikmatan saat mendengarnya. Sound bass yang digunakan Resa membantu memberikan efek perkusi pada track ini. 


Someday (****)Dibuka dengan intro lembut dan bercerita tentang harapan manusia di masa depan.Tak terdengar jelas permainan  bass Resa disini, mungkin disengaja hanya menggunakan gitar. Suara Endah terdengar aneh disini, dan mengingatkan saya akan Six Pence None The Richer dengan track Kiss Me nya yang melegenda.

Spacybilly (***)Sepertinya digunakan kocokan dengan teknik mute disini, karena suara gitar-nya terdengar mendem atau memang pakai ukulele ? Lalu diselingi dengan petikan solo yang agak nge-jazz. Sepertinya Endah punya potensi solo gitar yang bagus, namun selama ini tidak terlalu dieksploitasi. Background vocal membuat lagu ini terasa kaya dan ramai sekaligus nge-beat.

Just Tonight (***)Diawali dengan ketukan perkusi minimalis ala cajon dan bass, lagu Just Tonight salah satu lagu menarik dalam album ini, dan mengingatkan saya akan gaya mellow ala Cold Play.

Somewhere In Between (***)Lagi2 gaya ceria dengan beat cepat ala Spacybilly terulang di album ini. Sepertinya ada dua track gitar dalam album ini, karena saat solo aktif, ritem gitar tetap berperan. Backing vokal lagi2 berperan dengan cantik dalam track ini dan memperkaya bunyi2an minimalis ala EndahNResa.

No Tears From My Eyes (****)Entah kenapa lagu ini mengingatkan saya akan lagu Dewa Aku Di Sini Untuk Mu.  Lagu ini agak murung, dan sayup2 terdengar sampling digital. Disini Endah yang memang secara power vokal keteteran, memainkan teknik falsetto dengan manis. Ini salah satu track favorit saya dalam album ini.

Alone In The Loneliness (****)Track yang mengaduk emosi kita, dan dari judulnya sudah bikin mellow, apalagi kalau didengar saat musim hujan seperti ini. Secara emosi, lagu ini mirip dengan No Tears From My Eyes.

Gone Forever (****) Tentang harapan dan juga keinginan, lagi2 bass Resa tak menonjol disini, dan secara emosi kembali melanjutkan petualangan mellow dua track sebelumnya.

Sun Goes Down (***)
Track yang cocok menjadi penutup dan memberikan kembali semangat kita setelah dihantam tiga lagu mellow secara berturutan.


Hemm bagi saya album ini adalah bukti betapa berkualitasnya musik Indonesia, dan setelah Discuss, Gugun, Anane, Nerv, bagi saya ini salah satu group yang memiliki prospek mendunia. Semoga EndahNResa terus berkarya dan menghasilkan musik-musik berkualitas yang memberikan santapan bagi jiwa kita-kita yang haus.

Sunday, January 12, 2014

Stolen Innocence - Elissa Wall

Akhirnya tamat juga buku setebal nyaris 400 halaman ini. Karya Elissa Wall ini bercerita tentang kaum Mormon yang melakukan berbagai praktek unik dan dalam lingkungan sangat tertutup. Elissa yang tadinya merupakan salah satu dari pengikut kaum ini pelan-pelan akhirnya berusaha untuk lepas meski mengalami sangat banyak kesulitan. Komunitas yang sempat diikuti Elissa sejatinya merupakan salah satu pecahan dari Mormon dan menamakan dirinya sebagai FLDS (Fundamentalist Church of Later Day Saints) .

Buku ini diterbitkan tahun 2008, tahun dimana Elissa sudah keluar dari komunitas Mormon dan berhasil melawan ketakutan-nya untuk memperkarakan Warren Jeffs, salah satu Nabi palsu dalam komunitas tersebut.

Warren akhirnya terbukti bersalah, karena membiarkan terjadinya kekerasan seksual pada anak dibawah umur. Terbuka juga praktek Warren dalam menikahi mantan istri ayah-nya sendiri Rulon Jeffs, indoktrinasi, penghancuran entitas keluarga  komunitas yang dianggapnya sebagai haknya secara penuh, juga ramalan gagalnya mengenai kiamat di tahun 2000. Warren juga menggunakan harta kaum Mormon untuk berbagai kepentingan pribadi-nya. Cara berpakaian kaum ini dengan rambut dikepang dan gaun tertutup serta panjang mengingatkan saya akan film Little House On The Prairie karya Michael Landon . Namun mereka tidak benar benar menutup diri seperti halnya kaum Badui kalau di Indonesia, karena mereka masih terbuka pada penggunaan telepon genggam, mobil, dan lain-lain.


Namun meski Elissa menang dan Warren dipenjara, komunitas ini terus aktif, dan berhasil memutuskan hubungan Elissa dengan kedua adik dan ibu-nya.  Membaca cerita ini mengingatkan saya akan salah satu kisah legendaris Sir Arthur Conan Doyle, yang akhirnya sempat memunculkan tuntutan kaum Mormon, dan bisa selesai setelah adanya permintaan maaf dari pewaris Doyle.

Elissa yang lahir di Salt Lake City, Utah ini akhirnya hidup bahagia dengan Lamont, suaminya yang juga kabur dari FLDS (atau kadang dikenal sebagai "The Work"). Namun akhir cerita ini tidak sama bahagianya bagi sebelas saudara lelaki dan dua belas saudara perempuan-nya.

Saya akhiri review ini dengan nasihat Ibu Elissa yakni Sharon bahwa "Setan bertambah kuat, saat orang baik tidak bertindak". Nasihat yang ironisnya membuat Elissa berani bertindak, namun justru sebaliknya dengan ibu-nya.

Monday, January 06, 2014

Laskar Pelangi 2 Edensor (2013) - Benni Setiawan

Sepertinya momen munculnya film ini terlalu jauh dengan film pertama (Laskar Pelangi 2008), sehingga pemeran Ikal, Lintang, Arai saat remaja terlihat jauh lebih tua dalam film ini. Selain itu pemilihan Lukman Sardi sebagai Ikal dewasa yang sepertinya didasari ada kemiripan dengan Ikal remaja, namun bagi saya justru menjadi blunder karena Lukman terlihat jauh lebih tua dibanding usia tokoh Ikal yang sebenarnya.

Film yang sepertinya menggabungkan Sang Pemimpi dengan Edensor ini juga seakan akan tidak memiliki klimaks, dan terasa agak membosankan. Untung saja ada sedikit konflik antara Arai (yang diperankan Abimana Aryasatya) dan Ikal, sehingga setidaknya dapat memberi warna dalam film ini. Abimana bermain sangat baik dalam film ini, meski nyaris tidak ada kemiripan dengan wajah Arai remaja. Namun patut dipuji untuk keputusan yang sangat baik terkait penggantian aktor pemeran Arai menjelang dewasa (yang akhirnya tersangkut kasus video tak senonoh) dengan Abimana Aryasatya, sehingga menolong image pendidikan dan Mizan dalam film ini.



Adegan awal juga secara setting bisa dikatakan mengecewakan, sangat terasa suasana studio yang jauh dari natural, saat Ikal dan Arai diusir dari sebuah penginapan milik Simon Van Der Wall. Tak jelas kenapa dipilih adegan pembuka yang tidak natural ini. Begitu juga dengan kematian Weh yang lebih terlihat sebagai boneka saat terayun ayun di tiang kapal. Tak juga terlihat megahnya Sorbonne, yang menjadi obesi Ikal sejak dulu, melainkan cuma setting ruang kelas yang terasa sangat biasa. Aura Sorbonne yang melahirkan Montesquieu, Voltaire, Pascal, Pasteur, Descartes, Derrida dan Beaudelaire terasa lenyap. Uniknya makam Jim Douglas Morisson, vokalis The Doors justru  mendapatkan porsi lebih dari cukup.

Juga tak terlihat upaya team kreatif  membuat Ikal terlihat lebih muda, misalnya dengan rambut yang lebih lebat dan ikal, rambut Lukman Sardi justru sering sekali terlihat tipis dan jauh dari ikal. Tim kreatif juga sepertinya melakukan blunder dengan eksperimen Arai yang terlihat lebih mirip dengan eksperimen kimia dibanding biologi dalam tempat tinggal mereka.

Namun beberapa adegan saat tokoh Ayah (Mathias Mucus) dan Ikal sedang memancing, menampilkan pemandangan yang indah, begitu juga saat Ayah dan Ikal menaiki sepeda melewati pasir2 dengan batu-batu besar yang menjadi ciri khas di Belitung. Juga adegan kejar-kejaran antara Ikal dan Aling (diperankan oleh Syalvinne Chang) di Paris juga cukup menarik meski masih kurang dramatis.

Film ini juga menjadi serba tanggung, untuk konsumsi anak terasa tidak pas, namun untuk konsumsi dewasa, hanya cocok bagi yang sudah menonton film pertama-nya agar ada kesinambungan. Namun untuk anda yang memang sudah membaca tetralogi karya Andrea Hirata ini, hal ini tak terlalu menjadi masalah. Selain kualitas film, OST Laskar Pelangi 2 Edensor juga terasa kalah kelas, sepertinya justru blunder memunculkan Coboy Junior sebagai pengganti Nidji, Netral, dll yang sangat sukses di Laskar Pelangi 1. Tokoh papan atas yang bertaburan di Laskar Pelangi 1, juga berkurang drastis di Laskar Pelangi 2. Untung masih ada suara asli Rhoma Irama, sehingga masih terkesan adanya upaya yang cukup serius dari team kreatif.

Adegan di akhir cerita, cukup menarik saat menampilkan Andrea Hirata seakan akan selesai bercerita bagi semua penonton, dengan langsung menampilkan suasana Belitung dan rumah Andrea saat ini. Bagi Mizan merupakan sebuah keberanian menggusur team Mira Lesmana - Riri Riza (Miles Production) dengan Putut Wijanarko - Benni Setiawan (Falcon Pictures) meski bagi saya terasa kurang sukses. 

Saturday, January 04, 2014

Robohnya Surau Kami - A.A. Navis

Buku terbitan Gramedia yang sudah dicetak sampai 18 kali sangat layak untuk dibaca. Terlihat bagaimana kritisnya Navis sastrawan kelahiran 1924 ini,  terhadap kehidupan di sekitarnya. Topiknya sangat beragam, dan sarat dengan dialog dan konflik. Buku ini juga menawarkan cermin untuk melihat diri kita sendiri.

Terdiri dari  sekitar 130 halaman dengan 10 cerita pendek dan ditulis dengan kata bernas penuh makna. Karya pembuka berjudul sama dengan judul buku, yakni Robohnya Surau Kami. Lalu dilanjutkan dengan Anak Kebanggaan, Nasihat-nasihat, Topi Helm, Datangnya dan Perginya,
Pada Pembotakan Terakhir, Angin dari Gunung, Menanti Kelahiran, Penolong, dan Dari Masa ke Masa.


Dalam karya pertama yang bercerita tentang sindiran seseorang pada Haji yang merasa semua aktivitasnya dijalan Allah namun akhirnya bunuh diri karena disindir seseorang pembual. Navis menulis dialog imajiner sebagai Tuhan pada Sang Haji dengan "Kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain yang mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas".



Cerita kedua mengenai anak kebanggaan Sang Ayah,  yang tak pernah pulang, dan mengirim kabar berita. Lalu cerita berakhir dengan telegram tragis mengenai meninggalnya Sang Anak di perantauan, namun tak sempat dibaca Sang Ayah yang meninggal karena gembiranya menerima telegram tsb dan mengira semua harapan-nya pada Sang Anak terlaksana.

Cerita ketiga, mengenai seorang tua yang merasa bangga dengan pengalaman hidup-nya. Dan menasehati seorang pemuda untuk menghindar dari wanita yang satu serta memilih yang lain tanpa menyadari kalau itu adalah wanita yang sama. Tulisan menarik dalam cerita ini adalah saat Navis menulis bahwa buaya (penipu lawan jenis) itu tidak semuanya jantan namun ada juga yang betina.

Langsung cerita kelima, kali ini Navis menulis tentang pernikahan sedarah yang bahagia dan Sang Ayah yang tahu namun mengalami konflik batin jika harus membuka aib tsb. Sang Ayah yang dipenuhi perasaan akan dosa2 dimasa lalu, akhirnya tak jadi mengungkap rahasia tsb, dan memilih pergi meninggalkan anak-anaknya melanjutkan pernikahan bermasalah tsb.

Namun rasanya tidak seru kalau semua cerita dalam buku ini di bahas. Navis bagaimanapun mewariskan karya bermutu yang tak lekang oleh zaman, dan tetap memberikan inspirasi pada generasi kini. Navis juga membuktikan untuk berprestasi tak harus di Ibu Kota.

Friday, January 03, 2014

The Odessa File - Frederick Forsyth

Sudah lama sekali saya tidak membaca karya Frederick Forsyth, salah satu master dalam novel dengan detail tingkat tinggi. Jadi ingat sosok beliau yang sering muncul dalam iklan Rolex di majalah Tempo, perusahaan jam yang juga menjunjung tinggi hal2 detail dalam produk mereka.

Kali ini Forsyth, menulis tentang sebuah novel yang diterbitkan pertama kali ditahun 1971 ini dengan adegan bunuh diri seorang Yahudi tua bernama Salomon Tauber.  Tauber lolos dari kamp pembantaian Nazi di Riga dan merupakan satu dari sedikit korban yang lolos. Namun semangat Tauber yang selama ini bertahan hidup  malah memutuskan mengakhiri hidupnya karena kecewa melihat sang jagal dari Riga Eduard Roschmann ternyata tetap hidup dan berhasil menyamar sebagai orang baik-baik. Tauber lantas meninggalkan catatan harian, yang menginspirasi seorang wartawan bernama Peter Miller.

Catatan Tauber khususnya saat harus menjebloskan istrinya sendiri dalam pusaran maut cukup membuat pembaca sesak nafas. Tauber yang berupaya bertahan hidup dengan segala cara termasuk menjadi musuh bagi kaumnya sendiri demi janjinya pada seorang wanita tua, suatu hari harus mengantarkan isterinya, belahan jiwanya menuju gerbong tempat eksekusi. Selama dua puluh tahun ia mencoba mengartikan arti tatapan mata terakhir Esther istrinya. Apakah cinta, kebencian, penghinaan atau rasa kasihan, kebingungan, bahkan mungkin pengertian? Saat itu tanggal 29 Agustus 1942. Hari itu jiwa di dalam tubuhnya telah mati.



Miller memutuskan untuk menggunakan catatan itu, melacak jejak Roschmann. Namun kelompok Odessa yang selama ini berkepentingan melindungi mantan penjahat SS berusaha menghalangi. Berkali kali Miller berhasil lolos dari jebakan Odessa dan akhirnya membawanya pada sebuah kelompok kecil Yahudi fanatik yang bekerjasama dengan Mossad.

Kelompok fanatik ini lantas menggunakan Miller sebagai penyusup ke jaringan Odessa setelah dua agen mereka sebelumnya lenyap dan tewas. Kelompok ini lantas melatih Miller dan memberikan-nya identitas baru. Modus pemberian identitas baru ini mengingatkan saya akan The Forth Protocol, novel Forsyth yang lain dan pernah difilmkan dengan Pierce Brosnan sebagai pemeran utama. Jika kita mengira kelompok ini menggunakan Miller, maka kita wajar kecewa dan kaget, karena kejutan di akhir novel ini. Sayang sekali kematian Tauber tidak terbalas, dan Roschmann melarikan diri ke Buenos Aries, yang memang menjadi tempat perlindungan eks pasukan SS.

Sepanjang novel, kita menjadi tegang dengan style Miller yang ceroboh, alih2 menggunakan transportasi massal sesuai petunjuk agen intelijen Israel, Miller malah menggunakan Jaguar menyolok sepanjang cerita, dan memudahkan algojo Odessa melacaknya.  Sayang Forsyth sepertinya masih terprovokasi jumlah korban 6 juta  Yahudi yang tewas saat itu, dan melupakan korban2 dari ras lain-nya. Kita perlu membaca karya Donny Rickyanto http://hipohan.blogspot.com/2012/05/yahudi-dalang-pd-i-dan-pd-ii-nya-donny.html untuk dapat melihat secara berimbang bahwa "Jumlah total yang tewas di kamp Auschwitz, Bergenbelsen sd Abteilung adalah 271.301 jiwa sesuai laporan ICRC, sementara laporan lain dari Sonderstandesamt berkisar antara 282.077 sd 373.468. Lantas kenapa sangat banyak yang akhirnya mati dalam kamp ? kematian dalam kamp terjadi karena pada masa itu Jerman mengalami kesulitan bahan pangan yang luar biasa akibat pengepungan oleh tentara sekutu".

Sebagai mana karya Forsyth yang lain dalam The Day of The Jackal saat sang pembunuh bayaran meracik peluru khusus untuk membunuh presiden Perancis, pengarang kelahiran 25/8/1938 ini kembali pamer kemampuan menulis detail-nya, saat algojo Odessa Mackensen merancang bom untuk meledakkan Jaguar Miller. Hemm benar-benar teknik menulis yang luar biasa dan banyak menginspirasi generasi penulis setelahnya.

Kaburnya Roschmann yang menggunakan nama sandi Vulkan, akhirnya sekaligus menggagalkan proyek pembuatan roket roket Mesir, yang belum dapat diluncurkan ke Israel karena memerlukan teknologi radio control yang dikembangkan Vulkan. Buku ini membahas secara singkat  mengenai konflik di internal pasukan Jerman, khususnya antara Wehrmacht dan SS. Berbeda dengan cerita silat yang penjahatnya terbunuh di akhir cerita, "kemenangan" kecil Miller hanya berupa gagalnya proyek roket Mesir tersebut, dan keberhasilan melacak identitas palsu Roschmann.