Friday, August 22, 2014

Ronggeng Dukuh Paruk - Ahmad Tohari

Novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) ini pertama kali saya baca saat dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Kompas, 17 Juli sd 21 Agustus 1982. Hemm masih SMP sudah baca novel seperti ini, mestinya sih belum pantas. Namun selera membaca saya sejak kecil terhitung memang berlebihan, bahkan bungkus bekas belanja Ibu saya saja, sepulangnya beliau pasar ikut saya sikat, meski kadang cuma baca judul-nya saja atau bahkan sedihnya bersambung ke bungkus belanjaan yang lain eh maksud saya halaman yang lain. 

Kembali ke RDP, selain ceritanya yang memang menarik, harus diakui keunggulan Tohari dalam "melukis" alam hanya dengan kata-kata. "Lukisan alam" tersebut benar-benar terasa nyata saat menggambarkan suasana sekitar Dukuh Paruk, Ahmad Tohari bisa menggali tema-tema unik, seperti anak ayam yang disambar burung elang, burung pipit yang dikejar alap-alap,tupai yang memangsa kaki seribu, pasangan burung madu yang jantannya dimangsa ular hijau persis setelah tuntas mengawini sang betina, atau burung celepuk yang memburu katak lalu menjerit bagaikan hantu. Entah kenapa pada beberapa "lukisan" ini tergambar "keras"nya kehidupan, sekaligus memberikan gambaran kehidupan keras Srintil di masa mendatang.  




Dukuh Paruk sendiri, adalah potret masyarakat jahiliah, dimana kuburan (Ki Secamanggala) masih disembah, dimana kesurupan menjadi tradisi untuk berbicara dengan arwah leluhur, dimana makian menjadi bahasa sehari hari, dimana pendidikan dianggap tidak penting, dimana minuman keras dianggap sebagai tradisi, dimana perselingkuhan dianggap hal yang biasa, dan bahkan dimana Ronggeng adalah pahlawan bagi komunitas dukuh. Mungkin kita mentertawakan kejahiliahan Dukuh Paruk ini, namun  bahkan kota-kota besar di Indonesia pun sama jahiliahnya. 

Alur cerita dalam RDP fokusnya memang mengenai Srintil Sang Ronggeng dan Rasus Si Pemuda Desa yang memilih meninggalkan Dukuh Paruk, untuk menjadi tentara.  RDP juga menggambarkan kompleksitas "bahagia" yang mana di suatu masa Srintil dianggap sebagai warga kelas khusus, yang memiliki kekayaan, kecantikan, komunitas penggemar, namun justru mendambakan menjadi warga biasa, seorang istri tentara berpangkat rendah, dan tentu saja bayi, sebagai pelengkap harkat kewanitaannya. Bayi yang tak bisa mampir dalam kehidupannya, karena sebagai ronggeng, indung telurnya telah diremas hancur oleh sang mucikari sebagaimana kelak hancurnya kehidupan-nya kelak.  

Jelas karya Ahmad Tohari ini bukan karya sembarangan, dan diterjemahkan dalam beberapa bahasa seperti Jepang 1986, Belanda 1991, dan juga Jerman dll. Novel ini juga menjadi sumber penulisan skripsi dan bahkan tesis. Untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh dari karya ini, sebaiknya RDP dibaca sebagai trilogi, yakni sampai Lintang Kemukus Dini Hari (LKDH) dan Jentera Biang Lala (JBL). Meski topik ronggeng cukup sensitif, namun pendapat kritikus justru cukup positif sehingga bahkan RDP dianggap memiliki muatan dakwah. Beberapa resensi sempat menganggap RDP terlalu vulgar namun berubah pikiran setelah membaca LKDH dan JBL. 

RDP juga memberikan pemahaman tradisi dan budaya lokal, mulai dari Tempe Bongkrek sampai dengan Bukak Klambu. Sayang Rasus, dalam akhir RDP, sang tokoh utama yang meski memiliki kesempatan menjadi "pahlawan" Dukuh Paruk, justru secara mentah-mentah menolak tawaran Srintil menjadi istrinya. Namun sebagian novel memang tidak harus berakhir dengan bahagia,layaknya Raumanen karya Marianne Katoppo, salah satu legenda karya sastra klasik kesusasteraan Indonesia. 

Review bagian kedua dari trilogi ini dapat dilihat di link 
http://hipohan.blogspot.com/2014/09/lintang-kemukus-dini-hari-nya-ahmad.html


Wednesday, August 20, 2014

Rampokan Java dan Rampokan Celebes - Peter Van Dongen

Membaca komentar atas karya Peter Van Dongen di komunitas Tintin ID, membuat saya langsung beraksi di Gramedia MTA, ehh sayangnya masih belum dijual. namun saat ke Bandung dan mampir di Toga Mas jalan Supratman, 17/8/2014, ternyata komik ini tersedia dan langsung saya sambar komik 168 halaman dengan 4 bab ini, tanpa berpikir panjang, hemm lumayan juga ada potongan harga 10%. 

Komik ini terdiri dari dua karya yang berselisih 6 tahun, yakni Rampokan Java (1998) dan Rampokan Celebes (2004), lalu digabung menjadi satu. Benar-benar kejutan melihat kualitas grafis Van Dongen, sepertinya ybs benar-benar terobsesi dengan coretan Herge. Teknik yang digunakan yakni Ligne Claire, dengan garis-garis kuat bersih namun tetap menggunakan ketebalan yang sama, serta tentu saja tanpa arsiran. Hanya saja agak aneh kenapa Van Dongen tidak menerapkan pewarnaan secara menyeluruh, namun hanya warna hitam, putih dan sephia pucat, Catatan saja, saya tidak merekomendasikan komik ini bagi anak-anak, maklum meski tidak eksplisit tetapi ada muatan kekerasan dan perselingkuhan. 




Balik ke teknik, tidak tanggung-tanggung karya Van Dongen ini tingkat kualitas-nya nyaris sekelas dengan Penerbangan 714 karya Herge meski masih sedikit dibawah kerumitan Perjalanan/Penjelajahan ke/di Bulan. Bagi saya pribadi, sesuai periode berkarya, Herge memiliki beberapa perbedaan level secara teknis. Berbeda dengan petualangan Tintin di Amerika yang masih terkesan sederhana, lalu meningkat di Rahasia Kapal Unicorn, Herge menunjukkan kualitas gambar yang meningkat secara drastis di Penerbangan 714 dan Perjalanan/Penjelajahan ke/di Bulan.

Secara riset, terlihat juga bagaimana telitinya Van Dongen menggambarkan alam Celebes dan Java dengan indah, termasuk jenis-jenis mobil yang digunakan (yang juga merupakan salah satu keunggulan Herge), pakaian penduduk tradisional, sampai dengan tradisi mistik. Sayangnya Van Dongen masih kedodoran di skenario, lalu karakter tokoh yang kurang kuat, serta klimaks cerita yang kurang mengigit. Juga raut wajah pribumi Indonesia sepertinya masih terlihat mendekati Thailand, khususnya mata yang digambarkan lebih dekat ke sipit. 




Kenapa Van Dongen terkesan dengan Indonesia ?, Ibu Van Dongen lahir di Manado, komikus kelahiran 1966 ini kerap mendengar cerita mengenai Indonesia dari ibu-nya. Ibunya bahkan terlibat langsung sebagai saksi hidup dalam peristiwa pemboman Makassar tahun 1950. Hemm banyak juga ternyata tokoh dunia yang memiliki kedekatan dengan Indonesia, layaknya Eddie Van Halen, gitaris papan atas yang ternyata memiliki Ibu (Eugenia Van Beers) yang berasal dari Rangkasbitung. 

Harapan saya kedepan, semoga saja Van Dongen dapat menelurkan karya-karya yang lebih baik lagi. Misalnya saja ada skenario petualangan Tintin di Indonesia, bisa sebagai wartawan saat huru hara G30S, atau memecahkan rahasia terdamparnya kapal selam Jerman di Karimun Jawa, atau digambarkan terlibat dalam mengungkap penemuan candi Borobudur, pasti-nya bakal seru sekali. 

Kalau ternyata penggambaran episode Tintin versi Van Dongen terhambat masalah copy right, bisa juga misalnya membuat komik grafis dari karya Pramoedya Ananta Toer, seperti empat karya dahsyat Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak  Langkah dan Rumah Kaca, maka karya Van Dongen ini bisa menjadi sesuatu yang luar biasa. Kombinasi Van Dongen dan Toer, akan menjadi sumbangan dahsyat bagi dunia komik.   

Monday, August 11, 2014

Kisah Burung dan Semut

Bagi yang senang mengamati sekitarnya, kita sering melihat burung yang ketika hidup memakan semut, namun ketika mati, justru burung lah yang dimakan semut. Karena waktu yang terus berputar sepanjang zaman, akan terus memutar siklus hidup setiap orang. Itu sebabnya janganlah merendahkan seseorang, karena waktu dan takdir bisa membalik situasi sedemikian rupa. Berikut ini sebuah cerita yang dapat menjadi inspirasi bagi kita semua;

Bertahun tahun yang lalu seorang sepupu saya, sukses meneruskan bisnis orang tuanya dalam bidang ekspedisi. Dengan agresif mereka membuka berbagai cabang di berbagai daerah. Beberapa perusahaan besar pun menjadikan mereka sebagai partner tetap ekspedisi, termasuk salah satu Bank besar dan salah satu stasiun Televisi Swasta terbesar.

Dengan agresif, seiring dengan besarnya perusahaan, semakin banyak pegawai yang mereka rekrut. Salah satu diantaranya adalah sepasang suami istri, yang mana suaminya menjadi salah satu supir ekspedisi, sementara istrinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dalam keluarga mereka. Si Istri yang memang memiliki kemampuan memasak dengan mudah diterima sebagai bagian dari keluarga besar perusahaan sepupu. 

Namun semakin besar usaha, maka badai yang menerpa pun semakin besar, malang tak dapat ditolak, ketika salah satu Bank yang merupakan pelanggan tetap memberikan order pengiriman server seharga miliaran rupiah, ternyata mengalami musibah alias raib entah kemana. Procurement Bank segera memasukkan mereka dalam daftar hitam, sementara nyaris separuh order mereka berasal dari Bank tersebut. 

Lalu menyusul tuntutan ganti rugi yang bukan main-main, kombinasi dengan beberapa tekanan lain membuat perusahaan mereka pelan-pelan kolaps. Cabang-cabang di daerah mulai memisahkan diri sedangkan pegawai di kantor pusat pelan-pelan mulai dilepas satu persatu. Suami istri tersebut dengan seluruh tabungan yang mereka miliki akhirnya keluar dan membuka warung makan yang ternyata dengan cepat sukses. Sementara sepupu saya yang tadinya majikan, malah bekerja sebagai pencuci piring di warung mantan pembantu rumah tangganya. 

Hemm cerita diatas, mirip seperti cerita tentang seorang Dokter Spesialis bernama Howard Kelly saat dia masih menjadi gelandangan cilik dan diberi segelas susu oleh seorang wanita muda. Segelas susu itu sangat berkesan bagi Kelly, karena menyelamatkan dirinya dari haus dan lapar. Namun bertahun tahun kemudian dialah yang justru menjadi Dokter penyelamat nyawa si wanita tersebut saat tuanya. Dokter Kelly menuliskan di lampiran tagihan yang tak akan sanggup dibayar oleh si wanita tua dengan kalimat "Telah dibayar dengan segelas susu". Apa sih moral of the story dari inspirasi ini ? Jangan lah berputus asa saat kita dibawah, namun jangan pula bermegah megah saat kita diatas, sesungguhnya kita lahir ke dunia tanpa membawa apa-apa dan akan kembali kelak tanpa membawa apa-apa kecuali amal baik semata.

Friday, August 08, 2014

The Theory of Everything - Ayreon

Lama tak merilis album, Ayreon tiba tiba merilis album dahsyat dengan jumlah track tak tanggung-tanggung. Bayangkan 42 track dan masih dengan gaya album  konsep dimana setiap tracknya saling berhubungan membentuk satu cerita utuh. Namun meski 42 track, durasi totalnya cukup satu jam saja padahal seharusnya sesuai tradisi progressive, 42 track seharusnya bisa paling tidak mencapai durasi dua jam he he. Album ini juga sekaligus sebagai album kedelapan sang maestro Arjen Anthony Lucassen. 

Dalam album ini Lucassen membaginya menjadi empat phase yakni, Singularity (11 sub track), Symmetry (11 sub track), Entangelement (9 sub track), dan Unification (11 sub track). Seperti biasa ada banyak vokalis dalam album ini, dan setiap vokalis memiliki peran yang dimainkan layaknya opera. Lucassen sendiri sering mengingatkan saya akan Dave Mustaine tokoh kunci Megadeth, atau Ricthie Blacmore di Rainbow, semua personil boleh diganti kecuali mereka bertiga, karena sebagaimana Rainbow, Megadeth ataupun Ayreon, karya-karya mereka lebih terlihat sebagai proyek solo meski menggunakan nama group. Namun khusus untuk lirik, jika tujuh album sebelumnya penulisan lirik, dan aransemen diborong habis oleh Lucassen kali ini khusus buat lirik dia mau berbagi dengan Lori Linstruth.

Setelah Human Equation, rasanya baru kali ini ada album Ayreaon, yang bisa dibilang sekelas kalau tidak bisa dibilang lebih. Maklumlah Human Equation bahkan sempat mendapat julukan album progressive rock terbaik dari salah satu komunitas bergengsi di tahun 2004. Judul album kali ini juga cukup menarik, yakni Theory of Everything (TToE). Jika dulu Lucassen menulis tentang tata surya dan planet, kali ini beliau lebih tertarik dengan alam pikiran. Lirik "heboh" Lucassen seperti sosok yang terjebak di Mars dan hanya bisa menikmati planet biru alias Bumi tercinta dari kejauhan tidak lagi kita temukan dalam album ini.  

Vokalis yang diborong untuk memberikan warna dalam album ini, tidak tanggung-tanggung, mulai dari pentolan progressive John Wetton, Marco Hietala-Nightwish/Tarot, Christina Scabbia-Lacuna Coil, Janne Christofferson-Grand Magus, Tommy Karevik-Kamelot/Seventh Wonder. Juga jangan heran kalau and mendengar sebagian dari partitur khas-nya Keith Emerson (ex ELP) dan Rick Wakeman (ex Yes), dan bahkan Rudess (Dream Theater), serta tak lupa penemu teknik tapping Steve Hackett (ex Genesis). Entah untuk memudahkan para vokalis tamu yang masing-masing beru kali bekerja dengan Lucassen, album ini sempat dirilis dalam versi gratisan dimana semua vokal diisi oleh Wilmer Waarbroek, vokalis latar yang memang pernah bekerja sama dengan Lucassen sebelumnya. 

Senang sekali melihat bagaimana album ini mempertemukan legenda  antar generasi, persis seperti yang dilakukan Derek Sherinian saat mengundang Al Di Meola, Steve Lukather dan Yngwie Malmsteen dalam  album yang sangat saya sukai Black Utopia. Balik ke TToE, Seperti Yes yang setia degan Roger Dean, Lucassen juga setia dengan artwork yang masih di tangani oleh Jef Bertels.  Jangan lupa meski di era digital ini, artwork adalah bagian yang sulit dipisahkan dengan album progressive. 




Setelah dibuka dengan deburan ombak dan suara burung camar, lalu dentuman bas, bisikan, dan akhirnya dentingan gitar lembut yang mengiringi suara berat pria yang saling sahut-sahutan suara lembut sang vokalis wanita. Lalu masuk ke track dua dengan nuansa ala Jethro Tull, ditingkahi dengan suara organ ala Hammond 1970 an, dan lalu kita terjebak dalam keindahan puluhan komposisi Lucassen berikutnya. Oh ya di track tiga bagi yang merindukan violin ala Robbie Steinhard bisa menikmati komposisi ala Kansas di sini dan bahkan beberapa track sesudahnya. Memasuki track 42 atau yang terakhir kita masuk dalam kondisi gelap dan suram, dengan diiringi violin sember, serta vokalis pria di track pembuka, dan ditutup dengan bisikan serak yang menghembuskan kata "Help Me".   

Phase I: Singularity (23:29)

1. "Prologue: The Blackboard" 1:55
2. "The Theory of Everything Part 1" 3:01
3. "Patterns" 1:03
4. "The Prodigy's World" 1:31
5. "The Teacher's Discovery" 2:58
6. "Love and Envy" 2:39
7. "Progressive Waves" 3:16
8. "The Gift" 2:38
9. "The Eleventh Dimension" 1:46
10. "Inertia" 0:45
11. "The Theory of Everything Part 2" 1:50


Phase II: Symmetry (21:31)
12. "The Consultation" 3:49
13. "Diagnosis" 2:48
14. "The Argument 1" 0:24
15. "The Rival's Dilemma" 2:22
16. "Surface Tension" 0:57
17. "A Reason to Live" 0:45
18. "Potential" 3:14
19. "Quantum Chaos" 2:09
20. "Dark Medicine" 1:23
21. "Alive!" 2:29
22. "The Prediction" 1:05

Phase III: Entanglement (22:34)
1. "Fluctuations" 1:01
2. "Transformation" 3:13
3. "Collision" 3:26
4. "Side Effects" 2:59
5. "Frequency Modulation" 1:44
6. "Magnetism" 3:54
7. "Quid Pro Quo" 3:09
8. "String Theory" 1:29
9. "Fortune?" 1:36

Phase IV: Unification (22:20)
10. "Mirror of Dreams" 2:30
11. "The Lighthouse" 3:16
12. "The Argument 2" 0:49
13. "The Parting" 3:27
14. "The Visitation" 3:27
15. "The Breakthrough" 2:00
16. "The Note" 1:11
17. "The Uncertainty Principle" 2:09
18. "Dark Energy" 0:44
19. "The Theory of Everything Part 3" 1:29
20. "The Blackboard (Reprise)" 1:13

Akhir kata, bagi saya ini album dahsyat, tak percuma Lucassen "bertapa" lima tahun setelah album 01011001, yang sempat menuai kritik karena dianggap tidak membawa sesuatu yang baru. Istilah yang paling tepat saat menikmati album ini meminjam istilah seorang rekan senior penggemar proggressive rock adalah "menderita kenikmatan". Mungkin Tidak aneh juga kalau Jordan Rudess memasukkan album ini sebagai rangking 2 dari album favoritnya di 2013 dengan Haken - The Mountain di posisi 9. Hemm bersama-sama Haken - The Mountain, album TToT ini membuat saya menjadi lebih bersemangat dalam mengeksplorasi dunia progressive yang ternyata masih terus mampu memberikan kejutan nan indah.


Tuesday, August 05, 2014

The Mountain - Haken

Beberapa bulan lalu, seorang teman yang memang selama ini kerap saling meracuni dengan konten-konten progressive menyarankan saya untuk eksplorasi Haken via link Youtube di Facebook. Sepintas dengar, sepertinya cukup menarik, khususnya warna suara vokalisnya yang terasa akrab. Lantas setelah dapat sourcenya dari rekan yang lain, saya pasang dalam USB 16 GB, playlist di stereo set di mobil yang biasa dipakai bolak balik Bandung - Jakarta. 



Rasanya saya sudah cukup lama tidak membuat review album progressive, dan Haken ini sangat pantas untuk di review. Album ini terdiri dari 9 track (plus dua track bonus yang merupakan versi lain dari track 1 dan 9) dengan cover pegunungan curam yang sosoknya mengingatkan saya akan K2 alias Karakorum, salah satu gunung terterjal di dunia. Bagi Haken sendiri, cover gunung melambangkan pencarian mereka dalam musik. Siapa Haken ? grup asal Inggris ini terdiri dari 

Ross Jennings – Vocals
Richard "Hen" Henshall – Guitar, Keyboards
Charlie Griffiths – Guitar
Tom MacLean – Bass guitar
Diego Tejeida – Keyboards, Sound Design
Raymond Hearne – Drums

Ok, mari kita mulai saja reviewnya sbb;


1.The Path 2:46 (***)

Track pembuka ini membuat kita teringat akan Jon Anderson legenda super group Yes, suara lirih namun kesahduan komposisi nada-nya mengingatkan saya akan karya Michael Kamen dalam OST Band of Brothers. Suasana sendu dan sahdu sangat terasa dalam lagu ini. Sebuah lagu yang manis untuk kontemplasi mengakhiri hariyang meletihkan.

2. Atlas Stone 7:32 (****)

Diawali dentingan bening piano, Haken mulai menunjukkan sisi kompleksitas dari musik mereka. Secara skill untuk kelasnya progressive tidak ada permainan teknik individu yang menonjol di band ini, namun karya mereka dalam dan indah. Penggunaan synthesizer menggantikan fungsi koor terasa megah, Diego Tejeida yang kadang dibantu Richard Hensall bermain apik di sektor keyboard. Tejeida bahkan juga menunjukkan bakatnya memainkan improvisasi ala jazz. Berturut turut kita diajak dalam perubahan perubahan beat yang mereka mainkan dengan iringin suara bening dan lirih Ross Jennings.  

3. Cockroach King 8:14 (*****)

Bagi yang merindukan koor poliritem ala Gentle Giants, meski Spock's Beard kadang dapat mengobati kerinduan, namun kali ini Haken via track berjudul aneh ini, menunjukkan mereka memiliki kapabilitas yang sama. Pada track ini suara Ross Jennings seakan akan berubah dari dua track sebelumnnya, namun di bagian tengah kembali kita mendengar teriakan ala Jon Anderson. Lagi-lagi ditengah lagu Tejeida pamer skill jazz-nya, setelah sebelumnya di awali dengan solo thrill ala Charlie Griffits. Oh ya jangan mengaharapkan adanya solo-solo gitar indah ala Petrucci ataupun Gilmour. Setelah 4/5 track, mendadak sisi metal Haken muncul dengan ritem berat, dan lalu kembali memulai koor poliritem. Sementara Raymond Hearne meski menabuh drum dengan bermain biasa saja, namun semuanya serba terukur dan terasa pas. Akhirnya koor yang sama dengan pembuka lagu menutup track ini dengan cantik. Track ini juga mengingatkan kita akan gaya repetisi-nya King Crimson, satu dari dua track terbaik dalam album ini. 

4. In Memoriam 4:17 (****)

Setelah terjebak dalam labirin Cockroach King, kali ini kita serasa mendengar Porcupine Tree, dengan musik rapi dan sekali2 distorsi. Lagu ini sekalian media unjuk skill Jennings untuk nada-nada tinggi. Lagi-lagi dibagian akhir diantara ejeg-ejeg metal super bersih, diselipkan gaya Gentle Giant, maestro poliritem.  


5. Because It's There 4.23 (***)

Track ini lebih mirip variasi dari Track 1, namun dinyanyikan dengan cara yang agak berbeda, kali ini menyerupai gaya choir. Rasanya akan sangat indah jika dinyanyikan dalam konser.Lalu disusul dengan akustik gitar yang dimainkan dengan cita rasa jazz. Dalam album ini, mulai digunakan drum sampling. Bagi saya nada-nada dalam track ini menghanyutkan perasaan. Di bagian tengah Jennings menggunakan teknik yang berbeda dan terkesan berbisik, dan lalu track ini berakhir dengan cantik, dan lalu hening. 

6. Falling Back To Earth 11.50 (*****)

Track ini sekaligus merupakan track terpanjang dalam album ini, dan terdiri dari dua bagian, yakni I. Rise dan II. Fall. Jika didengar sepotong pertama, track ini mengingatkan akan Dream Theater, namun mendadak setelah pembukaan, Jennings berbisik. Lalu bernyanyi dengan teknik falsetto ala MUSE, lirih, terkesan fals dan melengking. Track ini membuka ruang improvisasi yang sangat luas bagi Tejeida. Terlihat juga kapasitas sound engineer sekelas karya Steven Wilson, karena jernihnya suara yang dihasilkan. Bagi saya ini mungkin track yang terbaik bersama sama dengan Cockroach King, sekaligus mistis dan gelap. karakter suara Jennings sangat dinamis dalam track ini. Lalu track ini diakhiri dengan nada sendu yang dikemas secara megah. 

7. As Death Embraces 3.13 (***)

Track ini mengingatkan saya akan Zeke and The Popo, band lokal yang beberapa tahun lalu manggung dalam acara progressive di Jakarta. Meski idenya tidak orisinal-orisinal amat dan berbau Radiohead

8. Pareidolia 10:50 (****)

Track kedua terpanjang ini,lagi2 membuktikan betapa album ini disusun secara serius sebagai bagian yang terkait satu sama lain. Track ini mungkin yang paling dekat ke metal scene, sekaligus
terkesan lebih muram. Di tengah lagu, Tejeida dan Griffiths bermain dengan gaya unison yang biasa dimainkan Petrucci dan Rudess atau mungkin Jon Lord dan Blackmore. Dan lalu tanya jawab musikal Jennings dengan member lain, yang mengingatkan saya akan Pink Floyd. Hemm kalau saja unsur suara luar dimasukkan, seperti suara hujan, kicauan burung, bisikan angin, pasti album ini akan lebih asik. 

9. Somebody 09:00 (****)

Lagi-lagi track ini mengigatkan kita akan Jon Anderson, harus diakui Jennings benar-benar memiliki kemampuan menirukan suara Jon Anderson. Dalam track ini Jennings seakan menjeritkan seluruh luka perasaan-nya, dengan suara bening melengking. Lalu dipertengahan lapisan multi layer vokal Jennings menghiasi track ini dengan indah dan diakhiri dengan petikan gitar. 

Bonus dalam album ini yakni The Pasth Unbeaten tidak menawarkan sesuatu yang baru, namun sepenuhnya ilstrasi musik dari The Path, sepertinya cocok untuk alarm bangun pagi karena kelembutannya. Begitu juga Nobody yang merupakan plesetan track 9 alias Somebody

Akhir kata album Haken ini merupakan pencapaian yang sangat baik bagi group yang sudah merilis tiga album ini, dan memberikan harapan besar kalau aliran progressive masih terus menghasilkan karya-karya berkelas. Tak aneh kalau Metal Underground memberikan bintang 5 dari 5, dan juga sambutan yang bagus dari The Monolith 4,5 dari maksimal 5 , serta Sea of Tranquility 9,5 dari maksimal 10. Bagi saya album ini seakan akan sharing pengalaman yang sangat personal dari member Haken, layaknya catatan harian yang dipublikasikan, benar-benar dari hati. Tak aneh jika Portnoy ( http://www.mikeportnoy.com/forum/tm.aspx?high=&m=2872620&mpage=1#2872620 ) dan Rudess ( http://top2013.roadrunnerrecords.com/topten/jordan-rudess/#.U-Bor_l_s1Y ) menandai album ini sebagai salah satu dari 10 album yang terbaik di 2013.   



   

Mengenang Sahabat Saya Oedoeth

Pagi ini di group whatsapp teman SMA, sempat dibahas radio YG (Young Generation) yang kelak berganti nama jadi GMR (Generasi Muda Radio - Rock Station). Gara-gara topik tersebut saya jadi terkenang misteri kematian Samuel Marudut, putra pemilik radio berdarah Batak, yang juga usaha konveksi dengan merk YeeGee saat itu.

Dimasa itu, jasa radio ini bagi perkembangan musik rock di Bandung sangat lah besar khususnya tahun 1990-an. Banyak acara seperti publikasi album baru, penjualan poster, dll yang dipusatkan distribusinya melalui radio ini.  Namun tahun 2000 an, menurut Ridwan Hutagalung salah satu penyiarnya di masa itu, banyak terjadi pergantian penyiar, dan karena ketidak mampuan radio ini mengikuti trend, pelan-pelan pamor radio ini semakin memudar. Penyiar lalu datang hanya pada jam-nya saja, sehingga suasana menjadi semakin sepi. Bahkan kadang menurut Suryo salah satu penggemar musik progressive, yang pernah datang berkunjung sekitar jam 21:00 saat kehidupan radio mulai kembang kempis, di area seluas itu yang biasanya ramai, hanya ada satu orang saja yang siaran. 



Bagi saya Samuel adalah sahabat, diantara komunitas penggemar musik progressive rock,yang biasa mangkal di Cihapit kala itu, kami biasa memanggil nya Oedoeth. Saat itu, seingat saya dia mahasiswa UNPAD tingkat akhir, tapi saya tidak ingat persis jurusan apa yang beliau ambil. 

Oedoeth merupakan sosok yang cerdas melebihi kebanyakan orang. Namun kecerdasannya itu juga menyebabkan dia seperti hidup sendiri dalam dunianya. Minat-nya adalah koleksi musik-musik aneh, menjadi penyiar dan bermain keyboard. Bagi kami kaum minoritas penggemar musik progressive, siaran Oedoeth adalah salah satu referensi terbaik saat itu. 

Banyak orang mungkin mengenal PAS Band, sebagai salah satu pelopor band indie, namun tak banyak yang tahu kalau di era GMR, Oedoeth lah sebagai salah satu tokoh kunci yang turut mendorong album pertama Four Through The SAP (1993/1995) lahir. Tidak tanggung-tanggung Oedoeth juga lah yang membiayai distribusi album yang bisa dikatakan sukses ini. Namun saat PAS akhirnya diterima oleh Major Label, Oedoeth telah berpulang ke hadiratNya. Yuki, vokalis PAS dalam sebuah wawancara juga mengatakan, bahwa Oedoeth lah otak di balik perlawanan Indie Label terhadap Major Label, dengan posisinya di GMR dia berhasil memaksakan band-band yang didukungnya memilki ruang-nya sendiri, dia melakukannya dengan mengimplementasikan konsep Do It By Yourself.  Oedoeth sendiri secara bercanda pernah mengatakan kenapa dinamakan PAS band, karena segalanya serba ngepas alias paspasan. 

Kalau kami diskusi, dia sering bilang kalau dia merasa salah jurusan dalam perkuliahan, namun sekaligus merasa tak ada jalan keluar baginya. Dilain waktu saya juga sempat tukar menukar koleksi musik dengannya. King Crimson album Discipline produksi perekam Yess asal Bandung milik saya akhirnya saya relakan menjadi bagian dari koleksinya. Oedoeth juga yang mengenalkan saya dengan musik Enya, salah satu musik aneh saat itu yang sekarang masih sering diputar sebagai musik pengiring di televisi swasta.   

Tak jelas pula apakah sebenarnya Oedoeth merasa dunia seharusnya di musik, karena dengan bakat musik sehebat dia tidak aneh rasanya kalau dia suka meledek permainan maestro keyboard sekelas Jockie Suryoprayogo, pentolan God Bless. Soalnya partitur sekelas Tony Banks dan Keith Emerson bisa dia mainkan dengan santai nyaris tanpa dahi berkerut.

Pengalaman hidupnya juga kadang ajaib, suatu hari Oedoeth yang kemana-mana lebih suka jalan kaki dan pakai angkutan kota, ketemu dengan saya di Cihapit seperti biasa. Namun kali itu kepalanya berlumuran darah dan dan hanya diikat sapu tangan. Anehnya dia cuek saja sambil seperti biasa diskusi musik dan membolak balik koleksi Jon Sitanggang (dan abang-nya Hendrix Sitanggang) , si gondrong pedagang lapak. Ketika kita bertanya dengan tenangnya dia bilang lewat proyek bangunan, tukangnya salah lempar, entah genteng entah batu bata, pas dia kebetulan lewat dibawahnya.

Saya juga pernah main ke rumah almarhum, di pinggir jalan kereta api, daerah jalan Sunda. Saya ingat ruang tamunya penuh dengan berbagai macam kemeja, hasil produksi konveksi perusahaan keluarga. Saat itu umum bagi kolektor musik untuk saling meninjau koleksi masing-masing, sambil mencari peluang untuk saling tukar menukar koleksi. Begitu juga saat saya datang ke kantor radio, ketika beliau siaran di jalan DR Hatta 15, yang langsung disambut dengan hangat, dan bahkan diminta jadi nara sumber dadakan. 

Misterinya berpulang-nya Oedoeth sampai kini tidak terungkap, karena sebab yang tak jelas, beliau diduga mengakhiri hidupnya begitu saja, ada juga kabar lain yakni karena kecelakaan lalu lintas, namun kabar lainnya mengatakan almarhum meninggal di rumah Krisna "Sucker Head" di daerah Kalibata tanggal 15/10/1994 pada usia 24 tahun. Kalaupun ini terjadi karena almarhum berpikiran pendek, bisa jadi karena mungkin, saat itu karena dia merasa tak ada orang yang mengerti dia dan didorong kegelisahan jiwa yang memang umum menimpa orang-orang eksentrik. Konon kabarnya Krisna mengakui kejadian ini, dan mengatakan lagu terakhir yang diputar almarhum adalah The End dari The Doors. Beberapa tahun tidak ketemu, saya sangat kaget mendengar berita berpulang-nya beliau, dan sampai sekarang masih merasa kehilangan. 

Kadang kalau melihat salah satu koleksi saya, super group Genesis album Foxtrot hasil tukar-menukar dengan beliau dan tulisan Oedoeth disampulnya, saya ingat betapa baiknya dia sebagai sahabat, semoga beliau tenang di alam sana, meski mungkin buat sebagian orang caranya mengakhiri hidup adalah kesalahan.

Bagi yang ingin mengetahui sejarah YG dan GMR, juga peran almarhum dalam lahirnya PAS silahkan ke link sbb; 

http://addicuz.blogspot.com/2010/10/sejarah-gmr-fm-rock-radio-bandung-in.html
http://www.uncluster.com/IN/interviews/yukie-arifin-di-balik-skill-apapun-yang-utama-adalah-soul/
http://radiobandung.wordpress.com/2010/10/23/gmr-rock-station-1044-fm-lahirkan-banyak-bintang/
http://rockabilia.blogspot.com/2009_11_29_archive.html