Wednesday, July 29, 2015

Inspirasi dari Singapore, Malaysia dan Thailand Part #1 of 9 : Persiapan


Setelah sempat mengetatkan ikat pinggang selama dua tahun dalam rangka transformasi menjadi enterpreneur,  dan hanya melakukan perjalanan skala nasional seperti Pulau Seribu (Mei 2014), Keliling Jawa (Desember 2014) dan Pangandaran (Maret 2015), maka tahun ini, setelah survey sana-sini, kami sekeluarga memutuskan untuk mengulangi kisah perjalanan Tiga Negara saat mengunjungi Hongkong, Shenzhen dan Macau (Mei 2013). 

Masalahnya libur kami semua hanya bisa diset sekitar lebaran saja, sehingga kami harus berhadapan dengan peak season. Sepertinya dalam kondisi peak seperti ini, akan sangat sulit kalau diatur dengan backpacker style. Lalu kami memutuskan untuk surfing dan menemukan sebuah nama travel yang memfasilitasi perjalanan ke Singapore, Malaysia dan Thailand. 

Setelah melakukan pengecekan itinerary, kami memutuskan untuk memilih Angkasa Travel, dengan skedul berangkat tanggal 17 Juli dan kembali 23 Juli, dengan total 7D6N, dengan detail sebagai berikut.

17 Juli Jumat : Jakarta – Batam – Singapore – Johor Bahru,
18 Juli Sabtu : Johor Bahru – Kuala Lumpur,
19 Juli Minggu : Kuala Lumpur – Hat Yai, 
20 Juli Senin : Hat Yai dan sekitarnya,
21 Juli Selasa : Hat Yai  - Genting Highlands – Kuala Lumpur 
22 Juli Rabu : Singapore – Batam 
23 Juli Kamis : Batam - Jakarta

Dari travel, informasi mengenai biaya yang harus kami siapkan adalah sekitar 7.5 juta IDR per orang, dengan demikian total biaya perjalanan untuk empat orang adalah 30 juta IDR. Untuk kebutuhan lain saya menukarkan 3 jt IDR ke SGD, 3 jt IDR ke THB, 4 juta IDR ke USD dan 5 jt ke MYR, dengan asumsi belanja terbanyak akan dilakukan di Malaysia. Kalau dulu kami masih bisa menghemat hotel dengan sekamar berempat (plus extra bed), namun seriring dengan semakin besarnya anak-anak, maka kami butuh dua kamar.




Istri juga menyiapkan rendang, sambal teri kentang kacang, bubur instan, coffee sachet, dll sebagai bekal perjalanan jika tidak menemukan makanan yang sesuai. Secara bersamaan saya kontak mas Emuh, kenalan di Travel Khalifah untuk mengurus passport kami berempat yang kebetulan sudah habis. 

Sebelum berangkat saya minta izin ke nenek-nya anak-anak, agar acara maaf-maafan Iedul Fitri yang biasa kami lakukan setelah sholat Ied dipercepat menjadi saat malam takbiran saja, alhamdulillah beliau dan sudara-saudara saya tidak keberatan. Saat malam takbiran sekitar pukul 21:00 kamipun meninggalkan Bandung menuju Jakarta. 

Berbeda dengan backpacker, dalam rombongan travel sebesar ini (42 traveller)  mau tak mau kami harus berhadapan dengan komunitas yang masing-masing sangat berbeda adat dan kebiasaannya. Mulai dari sepasang istri kakak adik dengan suami (importir alat2 photography) masing-masing, suami istri distributor bihun dan anak perempuannya yang juga atlit renang, seorang ibu suku Batak bermarga Sinaga yang sering-sering justru lebih vokal dibanding Tour Guide,  dua gadis Bali yang suka pakai busana “kain tak cukup”, pasangan dokter ginekolog lulusan Undip dan dokter gigi lulusan UI, dan yang paling sulit satu Opa (yang perlu sering ke toilet) beserta enam Oma  yang nantinya beberapa kali terlambat masuk Bis dan bahkan sempat hilang dan nyaris menggagalkan acara Wings of Time serta sesi pemotretan di Universal Studios di Sentosa Island

Opa, bahkan sempat tertahan karena boarding pass-nya dibawa Oma, lalu Opa mengalami beberapa masalah lain seperti dokumen imigrasinya hilang, ingin buang air kecil di Harbour Front namun toilet terletak jauh di  lantai dasar atau memaksa petugas penjual minuman di Tol Rest Area menerima rupiah. 

Catatan Perjalanan


  • Idealnya, bagi traveller berusia lanjut akan lebih baik didampingi putra-putri beliau, karena perjalanan seperti ini tidak mudah, skedul yang ketat, toilet management, serta dokumen-dokumen penting. 
  • Kurs 1 THB = 385 IDR, 
  • Kurs 1 SGD 9800 IDR, 
  • Kurs 1  MYR = 3.500 IDR, dan 
  • Kurs 1 USD = 13.300 IDR 


Inspirasi dari Singapore, Malaysia dan Thailand Part #2 of 9 : Menuju Batam


Pagi-pagi begitu bangun, saya dan istri langsung memanaskan ketupat lemak, rendang dan ayam gule bakar, hidangan lebaran titipan nenek-nya anak-anak. Setelah shalat Ied disekitar tempat tinggal saya di Grogol (masuk lokasi masjid lewat gang sebelah Hotel B Fashion) , kamipun langsung meluncur dengan taksi yang sudah dipesan saat malam takbiran. Tak terasa akhirnya kami sampai di Soekarno Hatta, dan langsung bergegas menuju meeting point yang disepakati, tepatnya di depan outlet Lion Air terminal keberangkatan. Di sana kami langsung bertemu Bu Ita, Tour Guide yang ditunjuk Angkasa Travel. 






Sesampainya di Hang Nadim Airport dan pesawat mendarat dengan brutal karena sempat memantul 1x dan terkesan sulit direm, lalu kami makan siang dulu di Kopitiam Selera Resto dengan menu Ayam Penyet dan softdrink. Lalu menaiki Bis menuju Batam Center. Di Batam Center, jika bagasi anda kebetulan banyak , bisa dititipkan ke petugas bagasi di Batam Center dengan biaya 10.000 per tas, lalu tinggal diambil di Harbour Front, Singapore.  

Saya sampaikan ke anak saya, “Nanti lihat deh di Batam, mobil nya beda dengan yang biasa kita lihat di Indonesia”, namun saya kecele, ternyata mobil di Batam saat ini sama saja dengan daerah lain di Indonesia. Dari Bu Sinaga yang memang penduduk Batam saya mendapat informasi bahwa saat ini tidak lagi diperkenankan impor mobil bekas ke Batam seperti dulu, namun di lain pihak mobil ATPM yang dijual, tak perlu membayar pajak. Meski harga mobil lebih murah di Batam, namun jika dibawa keluar Batam, maka pajak tetap harus dibayar. Namun satu dua masih terlihat mobil-mobil dari masa regulasi masih berlaku, biasanya dengan ciri khas huruf setelah angka menggunakan awalan “V”. Bu Sinaga sendiri mengatakan saat itu mobil mereka adalah Harrier yang dibeli dengan harga sangat murah.




Sedikit bingung ketika melihat nama ferry agak berbeda dengan yang sebenarnya, setahu saya kami seharusnya menaiki Ferry Sindo namun sepertinya kapal tersebut juga memiliki nama lain alias Queen Star 2. Saya sempat santai saja ketika gate untuk kapal kami terbuka, karena nama nya berbeda antara Tiket dengan display diatas gate. Namun ternyata itu adalah Ferry yang seharusnya kami naiki, untung istri saya teliti. 




Menjejakkan kaki di Harbour Front Singapore, kami langsung disambut antrian imigrasi yang sangat panjang. Namun khusus penduduk Singapore atau Pelajar dan Pekerja yang mendapat izin bekerja di Singapore bisa langsung masuk antrian khusus. Petugas imigrasi yang inspeksi keliling mendadak meminta saya keluar barisan, karena merasa tidak melakukan kesalahan, saya bertanya “Why ?”. namun petugas dengan ketus dan nada tinggi menjelaskan bahwa dia sengaja membuka loket baru untuk mengurangi padatnya antrian. Hemm sepertinya di negara-negara dimana Indonesia mengirim TKI, selalu ada perasaan bahwa bangsa kita diperlakukan “berbeda”. 

Selepas dari pos imigrasi, saya menunggu anak2 sementara istri berjalan duluan. Lalu kami bertiga keluar,.... lah istri kemana ya ? group whatsapp kami berempat yang biasa dipakai berkomunikasi paket datanya sudah saya intsruksikan untuk di matikan. Sementara tidak semua handphone dalam keadaan aktif. Kebetulan saya sama sekali tidak mendengar saat istri mencoba call. Cemas menunggu lama dan kuatir istri bersama rombongan keluar dari gate lain, saya berusaha tanya sana sini.  Petugas pertama menyarankan saya ke lantai 2, namun kami tidak menemukan bagasi atau group atau istri saya disana. Petugas kedua di bagian informasi menyarankan saya kembali masuk lewat gate untuk keluar, dan pada saat yang sama di loket informasi nampak sepasang kakek nenek member travel kami yang juga terpisah dari rombongan. Kakek dan nenek nampak begitu lega melihat saya, padahal saya sendiri juga masih sama tersasar. 

Akhirnya saya kembali ke gate keluar diikuti pasangan kakek dan nenek yang tersesat dan kedua anak saya, namun petugas pria berparas India dengan tegas dan galak melarang kami semua masuk dan mengambil bagasi, melainkan hanya saya sendiri. Barulah akhirnya saya bertemu istri di area pengambilan bagasi. Nantinya sepasang kakek dan nenek ini juga sempat mengalami masalah lain, yakni diare dan kehilangan passport

Karena travel perlu waktu memasukkan barang ke Bis, kami diminta untuk makan dulu malam dulu di Harbour Front. Kami langsung memesan berbagai minuman dengan merk Yeo’s rasa susu kedelai dan coconut (Yeo’s juga menyediakan rasa lain seperti Buah Kundur/Ketimun) , juga nasi lemak serta yamien baso. 




Cerita lucu disini adalah, tanpa sengaja karena mengira salah satu koper adalah milik Opa (Sekaligus anggota tertua dengan usia 74 thn),  Bu Ita lalu membawa tas tersebut ke Johor Bahru, padahal ternyata milik penumpang Ferry lain alias Batam Fast. Untung saja tidak ada isi yang aneh-aneh dan membuat kami harus berurusan dengan imigrasi Singapore. Belakangan koper dititipkan ke petugas dari Angkasa Travel untuk dikembalikan ke Harbour Front

Catatan Perjalanan

  • Sepertinya, lebih baik menggunakan provider di negara tujuan, jika tujuannya menghemat pulsa, maklum biaya komunikasi paket data bisa sekitar 150 ribu IDR per hari. Atasan saya di Singapore bahkan memiliki berbagai kartu provider sekitar asia tenggara, sehingga dia selalu menggunakan nomor lokal di negara tujuan. 
  • Setiap traveller dalam group harus bertanggung jawab atas barang masing-masing, dengan demikian resiko kehilangan atau tanggung jawab terhadap barang-barang terlarang bisa diperkecil. 


Inspirasi dari Singapore, Malaysia dan Thailand Part #3 of 9 : Singapore – Johor Bahru - Legoland


Bu Christine Tour Guide Malaysia, aslinya bernama Chin Pek See menjemput kami di Harbour Front bersama driver yang bernama pak Aseng (Ley Chee Seng), dan keduanya berasal dari Penang. Pada awalnya kami mengira Pak Aseng hanya sekedar driver, namun belakangan kami baru tahu Pak Aseng adalah pemilik Bis tersebut yang dalam prakteknya memang meminjam nama sebuah perusahaan travel di Penang. 




Dengan Tas Hitam Besar nan Misterius yang terus menerus dibawa Bu Ita, kami meluncur meninggalkan Singapore menuju Johor Bahru. Sepanjang jalan  Si Sulung diledekin oleh Bu Christine karena kemiripannya dengan Pangeran Ismail, putra mahkota Johor Darul Takzim. Bu Christine yang sudah  berusia 61 tahun ternyata sudah berkecimpung di bisnis travel selama 32 tahun. Sosoknya selalu ceria dan melontarkan joke-joke unik sepanjang jalan. Suaminya yang berprofesi sebagai pekerja hotel, sudah meninggal 13 tahun yang lalu. Putra pertamanya bekerja di Sentosa Island sementara yang kedua bekerja di sebuah hotel di Penang. 




Lalu kami menuju Pos Imigrasi Singapore di sekitar Woodland sebelum menyebrang via jembatan second link, untuk menjalani pemeriksaan. Petugas Imigrasi Singapore keheranan melihat Si Bungsu baru masuk maghrib namun sudah langsung meninggalkan Singapore beberapa jam setelahnya. 







Tak lama kemudian kami meluncur melewati jembatan yang menghubungkan Singapore dan Malaysia menyebrangi selat Johor. Bu Christine menenangkan kami yang sempat tidak nyaman dengan sikap imigrasi Singapore, bahwa kami akan menemukan hal yang berbeda dengan Imigrasi Malaysia, orang Singapore memang dikenal sombong dan kaku oleh kebanyakan orang  Malaysia katanya. Sesampai di Malaysia, di imigrasi semua bagasi kembali diturunkan dan dibawa satu persatu, dan akhirnya kami masuk ke wilayah Malaysia secara resmi. Nampak Bu Ita, terhuyung huyung menggotong Tas Hitam Besar nan Misterius dan menolak ketika saya tawarkan bantuan. Meski beberapa tahun lalu sempat singgah di Malaysia, karena cuma transit rasanya kurang afdol, namun kini bisa dikatakan kami sudah secara resmi berkunjung ke Malaysia. 




Meski banyak yang mengatakan Malaysia tertinggal dari Singapore, namun Johor sebenarnya tak kalah jauh, bahkan Bu Christine mengatakan saat ini selain Singapore, Rumah Sakit di Johor sekarang mulai memanen pasien dari Indonesia, dan Johor memiliki beberapa keuntungan misalnya, lebih murah, makanan yang lebih sesuai dengan lidah melayu, layanan kesehatan yang kompetitif dan kemudahan akses karena merupakan propinsi paling selatan dari Malaysia, alias paling dekat ke Singapore. 




Tak lama kami pun sampai di Selesa Hotel, lalu sambil menunggu pembagian kamar saya mendokumentasikan lobby dan cafe di sekitar lobby. Semua Hotel dalam perjalanan kali ini adalah sekelas bintang tiga, namun secara lokasi boleh di bilang rata-rata strategis karena dekat kemana-mana. Sayang karena sampai terlalu malam, kami tak sempat ke Mall Pelangi di Johor, padahal sudah penasaran merasakan kuliner Malaysia. 




Paginya setelah breakfast yang cukup nikmat kamipun langsung menuju Legoland.  Lokasi Legoland terletak di Johor tepatnya di daerah Nusajaya sekitar 20 km dari hotel. Lokasinya berbukit bukit dan sepintas tampak gersang.  Selain gersang juga terkesan Legoland masih dalam proses pembangunan, terlihat dari lokasi parkir Bis yang masih belum benar-benar selesai. Karena sangat sedikit anak2 dalam rombongan sedangkan Legoland terkesan lebih cocok buat anak2, maka setelah sesi foto kamipun langsung menuju Kuala Lumpur. Sayang Si Bungsu belum mendapat kesempatan untuk membeli produk-produk lego yang dia inginkan. 




Catatan Perjalanan 


  • Dalam perjalanan seperti ini, karena umumnya tidur dalam keadaan letih sebenarnya kita tidak memerlukan hotel mewah sama sekali, fasilitas lain seperti kolam renang juga sama sekali tidak sempat digunakan. So jadikanlah strategis tidaknya lokasi sebagai prioritas. Saat di Hongkong misalnya meski hotelnya jelek, namun keluar hotel sudah langsung masuk terminal subway, dan ini sangat memudahkan kami dalam mengeksplorasi lokasi tujuan. 

Inspirasi dari Singapore, Malaysia dan Thailand Part #4 of 9 : Menuju Kuala Lumpur


Menuju Kuala Lumpur,  Bis sempat berhenti sebentar, dan kami segera menuntaskan panggilan alam, lalu berkerumun mengelilingi dua pickup penuh jajanan khas Malaysia. Berbagai minuman dan buah-buahan dalam kantong plastik yang dimasukkan dalam peti kaca bersuhu dingin, nikmat sekali disantap saat cuaca panas terik.  Pasangan Suami-istri yang melayani kami sangat ramah, dan ternyata keduanya TKI asli Cirebon yang bekerja sebagai karyawan pemilik pickup jajanan. Kami sempat bercanda dan bertanya kenapa tidak menjual nasi jamblang dan tahu gejrot. 



Dalam perjalanan, Bu Ita menyalakan karaoke dan karena bergiliran, maka saya yang sehari-harinya penggemar progressive metal terpaksa menyanyikan Ayah nya The Mercys, Kisah Seorang Pramurianya, Hati Selembut Saljunya Jamal Mirdad dan juga Angin Malam nya Broery Pesulima. Koleksi Pak Aseng bahkan meliputi Endang S. Taurina, Tetty Kadi, Chrisye, Panbers, Tommy J. Pisa, Jamal Mirdad, Diana Nasution dan sejumlah koleksi jadul lainnya. Hemm lagu-lagu Indonesia sepertinya laris di Malaysia. Malah tak ketinggalan koleksi dangdut oplosan dengan musik berdentam-dentam, yang dengan semangatnya dinyanyikan oleh Sang Ginekolog dalam rombongan kami. 





Sesampai di Kuala Lumpur sekitar jam 12:30 kami langsung menuju Cisco Thai Bistro Resto. Entah karena lapar rasanya makan di sini nikmat sekali terutama ayam goreng-nya. Masakan datang satu persatu, dan karena merupakan Resto Thailand, bumbunya terasa asam dan pedas. Namun jangan salah, resto ini tidak ada hubungan dengan Cisco, produsen alat-alat komunikasi. 




Dari sini kami menuju Istana Negara, sayang tempatnya sangat gersang dan panas. Istananya terlihat di kejauhan, sementara di bagian depan dibangun Gapura Raksasa. Bu Christine mengatakan bahwa Sultan dipilih dari semua kandidat Negara Bagian, lalu akan menetap di Istana Negara. Selama masa pemerintahan beliau, diberikan gelar Yang Di Pertuan Agung. Ada tidaknya beliau bisa dilihat dari Bendera Kuning yang ditempatkan di halaman, jika Bendera Kuning berkibar maka artinya Sultan sedang berada di Istana.  Di bagian depan nampak prajurit tampan berkuda yang selalu sadar dalam mengarahkan wajahnya ke arah para wisatawan yang tertarik mengabadikan momen. Sangat berbecda dengan prajurit di Istana Ratu Inggris yang justru lebih terlihat seperti patung. 







Lalu kami menuju Dataran Merdeka, suasananya mengingatkan saya akan Senado Square di Macau, dimana banyak bangunan-bangunan kuno terawat dan benar-benar lokasi pemotretan yang asyik bagi wisatawan. Para wisatawan nampak antri di huruf raksasa “I Love KL” sementara saya memilih membeli es krim roti dengan penjual India bersurban dan berkumis ekstra besar. Ada banyak bangunan disini termasuk salah satu menara bendera tertinggi di dunia. 






Tujuan berikutnya adalah menuju menara kembar Petronas di KL City Center, untuk sesi foto sana sini dengan segala pose, dan setelah kehabisan gaya, saya memilih untuk memotret beberapa pencakar langit di sekitarnya. Saat ini sebagaimana Monas di Jakarta, Tugu di Yogya, Gedung Sate di Bandung, Merlion Statue di Singapore, menara kembar adalah lambang kedatangan kita di Malaysia. Namun udara sangatlah panas, sehingga tidak tahan rasanya berlama-lama di sini 





Dari menara kembar kami menuju Beryl's Chocolate Kingdom, di sini kita bisa menemukan coklat berbagai rasa, mulai dari jeruk, kacang, pisang, durian, dark chocolate, bahkan sampai coklat khusus dewasa alias Tongkat Ali. Namun harganya cukup tinggi, sekotak kecil saja sudah sekitar 150 ribu IDR. Enaknya di tempat ini  selalu tersedia tester, jadi dengan bolak balik beberapa potong coklat gratis bisa masuk ke perut. Setelah membeli beberapa kotak coklat durian untuk oleh-oleh maka kami pun pergi meninggalkan tempat ini. Tidak melihat larangan berfoto saya sibuk foto kian kemari, untung si sulung mengingatkan larangan tsb. 





Lalu kami meneruskan perjalanan ke Sungei Wang Plaza di kawasan Bukit Bintang. Keliling mal dan naik turun, secara keseluruhan malnya bersih meski tidak mewah, gang-gangnya lebar dan bersih. Anak-anak yang sudah mulai kelaparan makan sashimi di salah satu warung Jepang, sedang saya dan istri menyantap buah-buahan. Saat kembali ke Bis, gerombolan Oma menghilang, untung kami sempat mencegah Opa yang ingin mencari istrinya, dan setelah dijemput Tour Guide baru gerombolan Oma masuk kembali ke Bis. 




Akhirnya kami sampai di Mandarin Pacific Hotel di Jalan Sultan, lokasinya persis disamping Petaling Street, alias China Town. Bau masakan China yang harum dan sedap tercium  sepanjang jalan Sultan yang sejajar dengan Petaling. Berbagai barang yang bisa kita beli di Petaling Street, mulai dari sepatu, berbagai macam pisau/senter, jaket, kaos, gantungan kunci, sampai pijat ada di Petaling Street. Namun Tour Guide mengingatkan untuk tidak membawa barang-barang berharga, karena Petaling cukup tersohor copet-nya, dan dianjurkan untuk bepergian dalam rombongan serta tas di selempangkan di depan tubuh. 




Kami bergegas menelusuri Petaling dan lalu jalan Sultan, sayang sama sekali tidak ada tulisan halal di resto-resto sepanjang jalan Sultan, padahal suasananya asik sekali. Mengingatkan saya akan Kia Kia awal-awal dibuka pertama kali di Surabaya. Hotel-hotel dan bangunan di sepanjang jalan Sultan memiliki dua gerbang masuk, yang satu menghadap Jalan Petaling dan yang lain yang menghadap ke Jalan Sultan. Karena KFC tutup maka kami langsung menyebrangi jalan Pudu untuk makan di McDonald. 





Catatan Perjalanan 

  • Seandainya saja salah satu dari Restoran sepanjang jalan Sultan ada yang berjualan Halal Chinesse Food, mertinya akan bisa sangat menguntungkan bagi si penjual.
  • Sembilan negara bagian Malaysia memiliki penguasa yang dikenal sebagai Sultan, Raja atau Yang di-Pertuan Besar. Penguasa Johor, Kedah, Kelantan, Pahang, Perak, Selangor dan Terengganu dikenal sebagai Sultan. Penguasa Negeri Sembilan memiliki jabatan Yang Dipertuan Besar. Perlis ialah satu-satunya negara bagian Malaysia di mana penguasanya bergelar Raja. Mantan koloni emas Inggris di Penang, Melaka, Sabah dan Sarawak memiliki gelar Gubernur.

Inspirasi dari Singapore, Malaysia dan Thailand Part #5 of 9 : Perjalanan ke Thailand


Hotel Mandarin ini terlihat tua sekali, begitu juga sebagian besar pegawainya. Uniknya hotel ini menyediakan gayung dan toilet, hemm ajaib juga. Menjelang tengah malam, mendadak warna air keran berubah coklat lumpur, sempat mengingatkan saya akan film Dark Water. Namun setelah dikeluarkan terus, lama-lama airnya menjadi jernih. 




Pagi hari ternyata breakfast harus antri layaknya imigrasi Singapore di hari pertama, bahkan nasi goreng sempat habis persis giliran saya, sehingga kami terlambat berangkat. Saat masuk bis, saya mendengar gerombolan Oma mengeluh panjang lebar mengenai hotel ini. Namun akhirnya perjalanan ke Hat Yai pun dimulai, sebagian besar melewati jalan tol yang mulus. Di sepanjang tol, Bu Christine cerita bahwa lahan di pinggir jalan tol ini dimanfaatkan untuk tanaman-tanaman seperti cacao. Namun untuk kebutuhan produksi coklat Malaysia, sejujurnya perkebunan Malaysia tidak mampu memenuhinya, karena itu Malaysia mengimpor cacao dari Indonesia, lalu dijual lagi ke turis Indonesia, jelas Bu Christine sambil menyengir.  




Saat melintas di Perak, Bu Christine cerita daerah ini sering sekali berhasil menjuarai Miss Malaysia. Salah satu contoh paling terkenal adalah Michelle Yeoh yang menjuarai Miss Malaysia di tahun 1983. Yeoh juga pernah berperan sebagai salah satu gadis Bond dalam film Tomorrow Never Dies, dan juga salah satu film legendaris Crouching Tiger Hidden Dragon besutan Ang Lee. Karena perannya yang signifikan, beliau di beri gelar Tan Sri Michelle Yeoh. 

Bagi Bu Christine yang orang tuanya pernah merantau ke Indonesia, sesungguhnya kekerabatan antara dua bangsa ini sangat dekat, terutama dengan banyaknya penduduk di Kedah dan Perak yang sejatinya berasal dari Aceh dan Sumatera Barat. 

Menjelang siang kami sampai di Penang, propinsi ini terdiri dari dua bagian yakni Penang Pulau dan Penang Daratan, terlihat jembatan panjang yang menghubungkan kedua pulau, sayang saya tidak sempat mengabadikannya. Di Penang kami berhenti makan di Kun Thai Restaurant, hemm makanannya lebih nikmat dibanding Cisco Thai Bistro. Makan di sini mengingatkan saya akan acara Bondan “Mak Nyus” Winarno saat beliau sedang mencoba kuliner Penang. Dan masakannya adalah yang terpedas selama perjalanan kami. Di bagian depan resto, tersedia mushalla rumah kayu yang mengingatkan saya akan rumah almarhum kakek di Padang Sidempuan. 





Akhirnya sampailah kami di Bukit Kayu Hitam yang merupakan perbatasan Thailand dan Malaysia, setelah keluar dari Pos Imigrasi Malaysia, saya ke toilet dan kaget alangkah bau dan kotornya toilet di imigrasi Malaysia.  Tak lama kami menuju pos Imigrasi Thailand, suasananya lebih kumuh di banding Malaysia, dan lebih mirip Indonesia. Dimana mana terlihat sepeda motor layaknya di Indonesia. Jika pelat nomornya berwarna putih maka sudah milik sendiri, namun kalau merah berarti masih dicicil. Pemakaian helm bagi pengendara motor hanya diwajibkan bagi yang membawa kendaraan, sementara penumpang tidak perlu. Banyak mobil-mobil bagus dan baru berseliweran di Thailand. 




Lalu Tour Guide Thailand pun masuk, namanya Pak Fauzi dan memang merupakan muslim Thailand Selatan, orangnya pendiam dan sedikit kaku. Namun dia memiliki kemampuan berbahasa Melayu, sehingga memudahkan kami menangkap apa yang ingin dia sampaikan. Kadang dia bernyanyi dalam Bahasa Thailand yang suku katanya pendek-pendek dan agak sengau. Lalu Pak Fauzi menjelaskan arti nama Hat (Pulau) dan Yai (Besar).  

Pak Fauzi juga sempat menyanyikan lagu kebangsaan Thailand meski agak fals sbb;

Pra thet thai ruam luead nu'a chat chu'a thai
Pen pra cha rat pha thai kho'ng thai thuk suan
Yu dam rong khong wai dai thang muan
Duay thai luan mai rak sa mak khi
Thai ni rak sa ngop tae thu'ng rop mai khlat
Ek ka raj ja mai hai khrai khom khi
Sa la luead thuk yat pen chat p'hli

Tha loeng pra thet chat thai tha wi mi chai ch'yo

Lokasi Hat Yai sendiri 14 jam atau sekitar 1.100 km dari Bangkok. Pak Fauzi juga bercerita beberapa atraksi menarik bagi turis seperti naik Gajah masuk hutan dengan biaya 200 baht untuk 30 menit. Menjelaskan banyaknya kendaraan baru di Hat Yai, menurut Pak Fauzi karena masyarakatnya cenderung hedonis dan konsumtif.

Cara mengucapkan Hat Yai, tiidak seperti yang tertulis, pada awalnya saya mendengarnya seakan akan Cap Cay, namun sepertinya lebih tepat Hat Nyai. Memang tidak mudah mendengar orang Thailand berbicara, karena suku katanya yang pendek pendek dan diucapkan dengan agak sengau. Belum lagi tulisannya, di beberapa tempat bahkan saya sama sekali tidak bisa baca kecuali angka yang memang masih ditulis dengan cara latin. 

Saat nantinya kembali ke Malaysia, kami diingatkan untuk tidak membawa beras dan buah-buahan segar, juga benda-benda tajam karena Imigrasi Malaysia sangat ketat dalam mensortir item-item ini. Harus diakui buah-buahan  produksi Thailand memang super, duriannya, nenasnya yang seratnya lebih mirip melon, pepayanya, melon oranye, dan beberapa jagung bibit unggul dengan warna krem dengan bercak-bercak ungu.  Jika tetap nekat membawa buah-buahan segar, kami diingatkan agar buahnya sudah dikupas, jika dikupas petugas imigrasi umumnya mengizinkan barang tsb masuk wilayah Malaysia. 

Konon kabarnya keunggulan Thailand adalah berkat Raja-nya yang sangat suka riset soal tanaman. Beliau sudah menjabat sebagai Raja sejak usia 18 tahun dan skr masih menjadi Raja dalam usia sekitar 87 tahun. Sepertinya Malaysia ingin memastikan kekayaan tanaman mereka tidak terganggu dengan penetrasi tanaman Thailand.




Dimana mana terlihat foto Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit, tetapi sepertinya foto saat mereka berdua masih muda, karena masih terlihat berusia 40 tahunan. Jika di Indonesia yang kita lihat adalah foto kandidat pimpinan daerah, maka di Thailand sepertinya di dominasi kedua tokoh ini saja. Raja Bhumibol adalah salah satu Raja terkaya di dunia, dengan total kekayaan 30 Milliar USD. 




Selain foto Raja dan Ratu, di Thailand juga banyak kita temukan berbagai patung, seperti di Bali, patung-patung disini diperlakukan khusus, biasanya dikalungi bunga berwarna kuning. Teknik ukirannya tidak sebagus Bali, namun mempunyai ciri khas. Salah satu patung favorit adalah patung biksu yang sedang duduk, tadinya saya mengira ini adalah patung biksu yang sama namun ternyata tidak. Belakangan patung biksu duduk juga saya temui di Samila Beach, Sleeping Budha dan toko-toko souvenir. Di tengah kota bahkan ada patung biksu duduk setinggi bangunan enam tingkat.

Suasana di Thailand mengingatkan saya akan suasana di Shenzhen dimana kami nyaris tidak bisa membaca satu huruf sekalipun. Namun tulisan menyangkut angka, sepertinya tetap lebih sering menggunakan simbol latin. Kami langsung menuju pusat kota untuk mencari makan.. Saya dan keluarga memilih sebuah restoran bernama Rocky Muslim Restaurant. Kami memesan nasi goreng dan nasi ayam, sambil menikmati wifi yang cukup kencang di restoran ini. Di sini gerombolan Oma membuat ulah dengan berjalan jauh dari lokasi yang disepakati, dan terlambat kembali ke Bus, sehingga para traveller yang mau menonton Cabaret akhirnya turut telat. Untuk pertama kali Bu Ita terlihat gusar, karena sebelumnya hal yang sama sudah terjadi di Sungei Wang Plaza. 







Dari sini kami ke Cabaret, untuk para traveller yang mau menonton saja. Saya dan keluarga memilih menyusuri jalan sambil mencari bekal kalau-kalau saat malam hari kami kelaparan. Di sebuah mart saya lihat mie Thailand namun dengan ingridient Dried Pork. Saat kembali ke lokasi Cabaret, telihat Pak Aseng mengepel seluruh lantai Bis, sementara supir travel lain memilih untuk mojok, sambil menyeruput kopi dan rokok. 




Ketika masuk kamar, istri langsung beraksi dengan sandalnya, dan empat kecoa mungil penduduk asli Thailand langsung tewas di tempat di sekitar toilet. Saat peak season kadang memang kebersihan hotel menjadi kurang terjaga, dan saya ingat dua plastik kresek berisi entah apa peninggalan tamu sebelumnya, dalam kulkas kami di Mandarin Pacific, Kuala Lumpur. 

Saat malam hari, kami berjalan-jalan di depan hotel, alias Jalan Sanehanusorn melihat-lihat makanan khas. Untuk memudahkan kami mencari makan, Tour Guide menyarankan kami untuk memilih penjual berjilbab. Soal makanan lebih seru Thailand dibanding Malaysia, mulai dari Ketan Mangga, Ketan Duren, Udang-udang besar, Cumi Kering dan berbagai gorengan Ayam, Kwetiaw Ayam, Sticky Rice, Nasi Briyani, Nasi Goreng bertebaran di sepanjang jalan. Minuman yang dijual juga unik diantaranya Bubor Chacha, yakni es campur dengan potongan-potongan ubi. Wanita penjual berjilbab disini cantik-cantik, ibarat Jihan Fahiran dan Nabila Syakieb jualan kwetiaw, anehnya mereka hanya berjualan dibantu anak perempuannya atau anak lelaki, tanpa adanya sosok ayah. Istri sambil bercanda bilang, mungkin suaminya pada jadi driver Tuk-Tuk. Nampak juga tuk-tuk dengan sound system full berdentam dentam serta layar besar, sepertinya mirip dengan kebiasaan beberapa daerah di Indonesia. 













Catatan Perjalanan


  • Hati-hati kalau makan KFC dan McDonald di Thailand, karena juga menjual makanan haram. Jadi meski restorannya sama, namun halal dan haramnya adalah hal yang berbeda di tiap-tiap negara. 
  • Salut buat Pak Aseng, sosok inspiratif yang kalem, rendah hati, baik hati, rajin serta tanpa mengeluh mengangkat dan menurunkan bagasi 42 traveller setiap kali dibutuhkan. 



Inspirasi dari Singapore, Malaysia dan Thailand Part #6 of 9 : Hat Yai


Pagi harinya kami tidak breakfast di restoran hotel sebagaimana kebiasaan, namun diantar langsung ke kamar, sepertinya hotel sedang sangat penuh. Namun nasi gorengnya cukup sedap, dan memesan nasi goreng apapun di Thailand selalu sama, warnanya keputihan, cenderung asin (tanpa kecap manis), dengan potongan udang dan cumi.


Lalu kami langsung ke Nora Plaza, untuk membeli pernik-pernik khas Thailand. Disini ada berbagai barang kerajinan seperti sepatu kulit Gajah, Dompet Kulit Pari dan Kulit Buaya (tidak tanggung-tanggung dompet kulit buayanya bahkan dengan asesoris bagian ekornya sekalian). Di sisi kiri ada penjual sarang burung beku, kami sempat beli segelas untuk dinikmati di Bus setelah menunggu cair. 







Beres dari Nora, sekarang saatnya mencari makanan khas Thailand, lalu kami ke Thai Lee Seng Product. Tokonya dibagi menjadi dua sisi, sisi kiri semuanya hewani sedangkan sisi kanan nabati. Kami membeli Kerupuk Lengkeng, Kerupuk Duren, sementara di sisi kiri ternyata ada dendeng buaya, dan juga dendeng pari. Sebelum pulang kami menikmati Coconut Ice Cream yang sangat sedap. Namun Bu Ita bilang di Samila Beach, Coconut Ice Creamnya lebih lengkap. Belanja disini harus agak hati-hati selain tanpa struk, cara menghitungnya cepat sekali, sebaiknya tetap minta cek satu per satu, apalagi cukup banyak traveller merasa kembaliannya salah. 






Dari sini kami menuju Thai Honey, dan membeli produk madu satu-satunya di dunia, karena terbuat dari sari bunga Poppy yang sering sekali menjadi bahan pembuatan marijuana / heroin dan ditanam di daerah pegunungan oleh orang-orang Myanmar. Sama seperti wanita penjual berjilbab di depan hotel, gadis yang mendemokan produk madu juga layaknya artis. Gadis tersebut mengingatkan madu yang asli jika diteteskan tidak putus, dan jika disiram air dan lalu digoyang akan menyisakan motif sarang lebah dan langsung mendemokannya di depan kami. Setiap anggota rombongan diberi satu gelas air putih campur madu yang diminum dalam keadaan dingin. 




Lalu kami menuju Renau Restaurant, yang juga menyediakan berbagai produk makanan di sisi depan, sementara disisi belakang terdapat restoran dengan hamparan danau. Renau mungkin menjadi salah satu tempat makan terenak selain Kun Thai Restauran di Penang. Kami yang kelaparan langsung menyantap hidangan disini dengan bersemangat. 








Dari Renau, kami menuju Sleeping Budha, namun saya rasa lebih spektakuler yang pernah kami lihat saat travelling keliling Jawa tempo hari, baik ukuran maupun keindahan detailnya. Di sisi kanan patung nampak berbagai patung biksu tua yang sedang bersemedhi. Dasar patung hanya terdiri dari ukiran sederhana, jadi memang Sleeping Budha di Hat Yai yang kira kira sepanjang 20m dan tinggi sekitar 5m saya kira kalah kelas dengan Sleeping Budha di Desa Bejijong, Vihara Majapahit Trowulan. Sedangkan ukuran Sleeping Budha di Trowulan yang konon kabarnya nomor tiga terbesar di dunia, yakni pxlxt 22mx6mx4,5m.








Perjalanan kami lanjutkan ke Pantai Samila, yang terkenal dengan pemandangan pulau-pulau kecil, pantainya yang bersih, patung Putri Duyung serta Coconut Ice Cream yang asli. Ice Cream ini dilengkapi  dengan potongan buah, remukan kacang, coklat, potongan2 kelapa muda mini, kolang kaling,  dan roti, benar-benar Ice Cream yang lezat. Sambil meninggalkan Pantai Samila, kami diajak Pak Fauzi mengamati patung lengkungan ekor naga yang kepalanya akhirnya di temukan beberapa ratus meter di depan kami, tak kalah dengan Merlion, patung kepala naga ini pun menyemburkan air.  











Lalu kami menuju ketinggian alias Tang Kuan Hill, untuk berkunjung ke kuil Dewi Kwan Im yang dihiasi patung seribu Buddha. Perjalanan mendaki cukup terjal dan Bis sempat terasa sangat sulit untuk melaju. Sempat surprise melihat patung Guan Gong salah satu tokoh yang saya kagumi dalam Sam Kok berdiri dengan wajah garang menatap semua pengunjung yang masuk.  Naik beberapa puluh tangga keatas kita akan menemukan Patung Kwan Im, dan di latar belakangnya nampak bukit dengan patung kuning emas di kejauhan. Saat kembali ke Bis salah satu Oma kembali membuat ulah dengan datang belakangan karena memaksakan diri naik ke tangga teratas meski dilarang Tour Guide. 

Kembali dari Kuil Devi Kwan Im, karena hari terakhir di Hat Yai, maka Pak Fauzi mengajak kami sekali lagi ke Kaysorn, dimana dijual oleh-oleh namun dengan kualitas yang lebih tinggi. 





Catatan Perjalanan 

  • Di Thailand semua transaksi nyaris tanpa struk, sehingga menyulitkan kita untuk cek biaya yang sudah dikeluarkan. 
  • Silahkan cek link  http://hipohan.blogspot.com/2014/12/petualangan-mengelilingi-jawa-part-7-of.html, untuk informasi Sleeping Budha di Desa Bejijong, Trowulan. 
  • Thailand lebih seru untuk urusan oleh-oleh, sehingga kami kehabisan Baht, dan persediaan kami terbesar justru Ringgit. 
Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2015/07/inspirasi-dari-singapore-malaysia-dan_38.html