Tuesday, October 06, 2015

The Martian (2015) - Ridley Scott

Ketinggalan pesawat ? ya itu sebenarnya tema sentralnya, dan kebanyakan diri kita pernah mengalami atau hampir mengalami. Seperti yang saya rasakan saat menjadi penumpang pertama ke Bangka-Belitung dini hari. Petugas boarding salah memberikan informasi gate, lalu saya akhirnya masuk terlambat ke pesawat diiringi cemoohan nyaris seluruh penumpang. Atau seperti salah satu film perang berkesan Wild Geese, dimana Janders yang diperankan Richard Harris harus tertinggal di runway sementara teman-temannya lepas landas. 

Demikian juga dengan Mark Watney yang diperankan dengan baik oleh Matt Damon, bedanya Watney tertinggal sendirian di Planet Merah alias Mars dalam misi ARES III, yang membutuhkan misi tahunan untuk  kembali menjemputnya. Lantas apakah benar-benar cuma ketinggalan pesawat yang digambarkan dalam fim ini, tentu saja tidak, namun juga kehidupan sebagai petani kentang, ya karena hanya dengan itulah Watney akhirnya bisa bertahan untuk menunggu penjemputan. 

Fotografi indah meski terasa asing menghiasi sepanjang film, dengan landscape yang hanya bisa di tandingi film sekelas karya Dean Semler yakni Dances With Wolves. Pemilihan Wadi Rum di Yordania sebagai landscape Mars benar-benar membantu penonton merasakan keasingan yang dirasakan Watney. Juga kesendirian yang menghantui sepanjang film sebagaimana Tom Hanks di Cast Away, dan tentu saja keterampilan ala Mac Gyver. 





Beberapa adegan menarik, saat Watney dengan minta maaf menggunakan logam pada patung Yesus untuk merekayasa air bagi ladang kentang-nya yang terasa lebih mirip sindiran, perjalanan untuk menemukan ARES IV melewati pasir dan landscape berbatu-batu selama tujuh bulan, adegan saat Watney merenung dihadapan landscape Mars, dan tentu saja adegan penyelamatan yang dilakukan Melissa Lewis yang diperankan oleh Jessica Chastain dengan baik. Dan jangan lupa sepanjang film kita harus menikmati beragam musik disco tahun 80'an.   

Jangan berharap kita akan bertemu alien beraneka rupa, seperti yang digambarkan dalam bar pilot antar planet di Star Wars, atau berbagai pesawat antariksa dengan bentuk-bentuk aneh, senjata ruang angkasa, tokoh antagonis yang menyebalkan dan harus dihabisi di akhir film, atau pelengkap penderita yang harus melepas nyawa sebelum film berakhir.   The Martian adalah film scifi, dengan pesawat normal, tanpa alien, tanpa tokoh antagonis, dan dengan sendirinya tidak memerlukan senjata apapun, serta juga tanpa korban jiwa, dan satu hal yang menarik tanpa bumbu adegan mesra ala Hollywood.    

Hal menarik lainnya di film ini adalah penggambaran kekuatan teknologi China sebagai negara dengan angkatan perang nomor tiga di dunia saat ini. Menyadari misi pembekalan Watney gagal karena peluncur yang meledak, maka China membantu dengan memanfaatkan momentum saat ARES III mengelilingi bumi untuk kembali melontarkan dirinya ke kegelapan angkasa kembali menuju Mars. Pembekalan ini berhasil karena bantuan kalkulasi rumit dari seorang ilmuwan astrodinamika nyentrik Rich Purnell.

Setting luar biasa film ini memang khasnya Ridley Scott, layaknya karya beliau di Gladiator. Namun bagi saya The Martian selangkah lebih baik, dan sekaligus lebih berkesan tanpa perlu mengerutkan kening sebagaimana Interstellar, meski tetap menimbulkan pertanyaan supply oksigen Watney selama menempuh perjalan ke ARES IV, rekayasa untuk menghasilkan air agar cukup untuk menanam kentang, daya tahan peralatan yang digunakan selama bertahun tahun dalam alam dengan kondisi tidak bersahabat.  

  

Monday, October 05, 2015

Everest (2015) - Baltasar Kormakur

Minggu lalu saya dan keluarga menonton Everest karya Baltasar Kormakur. Hemm ternyata tidak seindah bayangan, mengingat teknologi kamera yang saat ini semakin hebat, harapan akan disuguhi pemandangan dahsyat ranking 1 dari 7 atap dunia, namun ternyata secara fotografi, film ini terlihat biasa-biasa saja, khususnya jika dibandingkan film dengan tema yang sama, yakni alam. 

Dari perspektif ketegangan, juga masih kalah dengan Vertical Limit yang dibuat 15 tahun lalu oleh Martin Campbell. Potensi bintang-bintang relatif sudah punya nama seperti Jake Gyllenhaal, Keira Knightley, Sam Worthington, Josh Brolin, dll, akhirnya tidak terekpsloitasi secara baik. Namun khusus Emily Watson menurut saya berhasil memerankan "ibu asrama" alias sosok yang paling bertanggung jawab di basecamp dengan sangat baik. 




Saya kira satu2nya kelebihan Everest adalah cerita nyata (Tahun 1996) yang menjadi sumber inspirasi pembuatan film ini memiliki pesan menarik yang disampaikan ke penonton. Film ini juga mengingatkan saya untuk segera menuntaskan buku Norman Edwin, juga buku Three Cup of Tea karya Greg Mortenson saat berjuang menaklukkan K2 alias Karakorum.  

Jika kita melihat sosok2 yang bermain dalam film ini, kita akan melihat beberapa karakter menarik. 

* Rob Hall sosok yang ingin menjadikan hobi mendaki gunung sebagai lahan bisnis, dan secara tak langsung "tega" meninggalkan istrinya yang tengah hamil. 
* Doug Hansen, sosok yang tak mau menyerah karena merasa dibiayai sekumpulan anak yang mengharapkannya berhasil dalam misi, sehingga bahkan membahayakan nyawanya sendiri. 
* Beck Weathers, sosok pria pembosan, meninggalkan keluarga yang mengasihinya demi tantangan baru dalam hidupnya, dan akhirnya menemukan kebahagiaan sebenarnya setelah kehilangan hidung, kedua lengan dan bahkan nyaris kehilangan nyawanya sendiri. 

Akhir film semakin mengharukan, saat pemeran dalam dunia nyata muncul satu demi satu menjawab pertanyaan penonton akan keadaan mereka saat ini. Sekali lagi cerita yang menarik namun tidak didukung visualisasi hebat. Untuk menjelaskan Everest dalam posisinya terhadap 7 atap dunia (Seven Summit), seharusnya ada sedikit background yang membantu kita, misalnya atap dunia lainnya, yakni secara keseluruhan (total ada 8 karena adanya perbedaan pendapat mengenai 7 tertinggi saja, 7 tertinggi di masing-masing benua, atau 7 tertinggi di masing-masing lempeng.  

Everest - Himalaya/Nepal/China - 8848 m
Aconcagua - Andes/Argentina - 6961 m
Denali - Alaska/USA - 6194 m
Kilimanjaro - Tanzania/Afrika - 5895 m
Elbrus - Kaukasus/Rusia - 5641 m
Vinson - Sentinel Range - 4892 m
Cartenz Pyramid - Indonesia - 4884 m
Kosciuszko - Australia - 2228 m
  


Saat pulang saya bertanya-tanya, kenapa Everest ditemukan Edmund Hillary (dan bukan Tenzing Norgay ?), atau kenapa Amerika ditemukan Colombus (dan bukan penduduk asli Indian ?) ,  atau kenapa Australia di temukan James Cook (dan bukan penduduk asli Aborigin ?), atau kenapa Afrika ditemukan Bartolomeus Diaz (dan bukan penduduk asli Afrika ?) atau kenapa Indonesia di temukan Alfonso D’Albuequerque (dan bukan penduduk Indonesia sendiri atau setidaknya Marco Polo ?).   Seakan akan Eropa lah dunia yang sebenarnya dan yang lain cuma pelengkap ?  


Thursday, October 01, 2015

Kenangan Soal Mobil Part #1 dari 10 : Melintas Sesaat di Jalan Kehidupan


Bagi saya mobil bukanlah sekedar barang mati, namun bagaikan anggota keluarga yang menemani saat mengarungi pasang surut kehidupan. Selalu ada kenangan pada setiap mobil yang pernah singgah dalam perjalanan hidup saya dan keluarga.  Secara umum sejak mulai menggunakan mobil di tahun 1990, sudah ada 26 mobil yang pernah menjadi "anggota keluarga".

Beberapa mobil berpisah dengan menyisakan airmata khususnya pada Si Bungsu, seperti saat kami melepas Mitsubishi Kuda, begitu juga saat berpisah dengan Suzuki Karimun, Si Imut merah nan lincah yang menjadi kendaraan anak-anak bertahun tahun. Salah satu yang sangat berat saat dilepas adalah All New KIA Sportage, mobil dengan desain sangat cantik menurut saya dan istri. Namun sebagian dilepas dengan penuh kelegaan, yakni Peugeot 405 SR yang “merampas” nyaris seluruh gaji saya saat menangani proyek di PT Timah, atau Picanto Cosmo yang sempat mengalami kecelakaan.

Bagi saya mahal atau murahnya mobil atau harga jual kembali, tidaklah penting, selama nyaman dikendarai, enak dilihat, mudah dirawat bagi saya cukup. Bahwa kadang-kadang saya “tertipu” dan tidak mendapatkan unit yang sesuai yang itu bagian dari perjalanan menemukan “pasangan” ideal.



Berikut data statistik dari ke 26 mobil sbb;

  • Ternyata Suzuki (6) meraih posisi jumlah terbesar, disusul KIA (4), Mitsubishi (3), VW (3), Toyota (3),  Daihatsu (2), Nissan (2), Fiat (1), Peugeot (1) dan Wuling (1).
  • Mobil tertua adalah VW Beetle (1966), sedangkan termuda adalah Wuling Confero (2018) dan Kia Rio (2018).
  • Dimensi sekaligus cc Terbesar adalah Mitsubishi Pajero dan All New Nissan X Trail dengan 2500 cc, sedangkan dimensi terkecil sekaligus cc terkecil yakni 1000 cc Suzuki Karimun.
  • Secara warna White (5) dan Red (4) meraih jumlah terbanyak lalu Black (3), Purple (3), Blue (3), Silver (2), Titanium (2), Gray (2), Green (1), dan Orange (1).
  • Mobil yang dibeli dari baru ada 12 dari total 26, yaitu Toyota Avanza, Suzuki SX4 Sedan, Daihatsu Terios Adventure,  Daihatsu Terios TX, Kia Sportage, KIA Picanto Cosmo, All New Picanto, Mitsubishi Pajero, All New Nissan X Trail, Nissan New Grand Livina X Gear, KIA Rio dan Wuling Confero. 
  • Mobil yang paling banyak peminatnya saat dijual adalah Fiat Uno II dan yang sangat sedikit peminatnya adalah Peogeot 405 SR. Namun All New Kia Sportage juga mencatat rekor penjualan 1x iklan dipasang dan langsung laku. 
  • Mobil yang paling lama dipakai adalah Toyota Avanza, KIA All New Sportage dan KIA All New Picanto yang nyaris 6 tahun, sedangkan paling singkat adalah Peugeot 405 SR, hanya 7 bulan. 
  • Mobil paling memuaskan bagi saya adalah KIA All New Sportage, KIA All New Picanto, Mitsubishi Pajero, All New Nissan X Trail, KIA All New Rio dan Suzuki SX4 Sedan, sedangkan yang paling tidak memuaskan adalah Peugeot 405 SR karena seringnya rusak, dan Suzuki Katana GX karena suspensi yang luar biasa keras. 
Apakah hanya mobil2 ini saja yang berkesan ?, sebenarnya sih tidak, saya juga memiliki kesan khusus terhadap mobil Datsun pickup (yang sempat saya pakai dan mengalami rem blong di turunan Awiligar) dan Toyota Hi Ace Diesel milik orang tua dulu, lalu Daihatsu Charade, Suzuki Carry Extra dan  Daihatsu Taft milik mertua. 



Kenangan Soal Mobil Part #2 dari 10 : Suzuki



Suzuki  Futura 1993

Sebenarnya daya dan istri lebih tertarik dengan Suzuki Futura GRV, apa daya harga 18.5 juta yang ditawarkan tak dapat kami penuhi, sehingga dengan dana 16 juta yang ada, Suzuki Futura karoseri Alexander lah yang kami boyong. Saat Si Sulung lahir, inilah kendaraan utama keluarga.

Mobil ini saya beli di Alton Jaya Motor, di bilangan jalan Macan, sesaat setelah Si Sulung lahir. pada masa itu mobil seperti ini tidak dibuat secara utuh oleh ATPM melainkan perusahaan karoseri. Mobil ini karoserinya dibuat oleh Alexander. Bagasinya agak unik, tidak bisa langsung ditutup melainkan harus menekan lengan tuas ke arah dalam. Suatu hari, saat berlibur ke TMII, salah satu anggota keluarga memaksa menutup pintu namun tak tahu bagaimana seharusnya, dan si tuas akhirnya bengkok parah.

Pengalaman menarik dengan mobil ini adalah saat saya keluar mendadak dari area RS Al Ihsan, dan menyebabkan seorang pengendara motor yang sedang asik ngebut, kaget dan membanting stang ke kanan lalu jumpalitan di got di sisi kanan jalan. Uniknya istri saya lah  yang merawat si pengendara motor sembari dia terus menerus mengumpat tentang pengemudi Suzuki Futura Alexander yang membuatnya celaka.

Pengalaman lainnya adalah saat tugas ke Jakarta, mobil saya tinggal seharian di pelataran parkir Stasiun Kereta Api Bandung, eh ketika kembali langsung mengalami susah starter, ternyata "bonggolan" CDI nya sudah lenyap. Sabtu pagi akhirnya dapat part bekasnya di bilangan Banceuy, meski perasaan saya mengatakan ini masih CDI yang sama. Serta sempat ada perselisihan dengan calo part bekas di Banceuy. 

Lalu pengalaman lain saat mobil mendadak terbatuk-batuk, karena rotax alias pompa bensin-nya tewas (sementara mobil merk lain masih mengandalkan membran) , untung saya bisa ketemu bengkel yang bisa menggulung ulang kumparan pompa elektrik bensinnya, maklum kalau beli satu bonggol lumayan mahal. Di tahun itu penggunaaan rotax dan CDi untuk mobil masih langka, salut untuk Suzuki bisa memulai lebih dahulu. 

Suzuki Futura Grand Real Van  1997

Akhirnya impian memiliki Suzuki GRV tercapai, meski harus menunggu beberapa tahun. Si pemilik aslinya seorang dosen yang tinggal di bilangan Margacinta dan kebetulan mau mengganti mobilnya dengan Toyota Kijang. Kondisi mobil ini ketika kami terima sangat baik, dan benar-benar terawat apik.




Dengan mobil inilah kami akhirnya menempuh salah satu perjalanan jauh yakni ke Batu, Jawa Timur alias rumah kakak. Belakangan kami baru menyadari, Kakak tinggal di sebuah komplek yang ternyata bertetangga dengan Noordin M. Top.




Problem yang sering muncul pada mobil ini adalah panas mesin masuk ke kabin, dan AC entah kenapa sering terjadi pembekuan, sehingga kadang mendadak tidak dingin. Selebihnya cukup oke, kecuali CDI yang memang harus diberi sangkar, karena termasuk part yang sering hilang kalau parkir sembarangan. 

Suzuki Katana GX 1998

Ini mungkin salah satu pembelian mobil bekas terburuk, kondisi mobil agak berat, penuh dengan baret disana sini, namun pada saat itu kami sangat membutuhkan mobil ke tiga khusus untuk mengantar anak-anak. Kadang Si Sulung pulang dari sekolah dengan kepala benjol. Maklum sepanjang jalan kepalanya terbentur-bentur ke jendela akibat tertidur serta dampak suspensi Katana yang terkenal keras.




Mobil ini juga memerlukan servis yang agak khusus sampai mesin-nya benar-benar nyaman, namun sampai dengan kami jual kembali rasanya mobil ini memang tidak pernah benar-benar nyaman.  




Teringat juga senior saya di ITB yang istrinya berulang kali mengalami keguguran saat menggunakan mobil setipe. Akhirnya melahirkan setelah mendengarkan nasihat sahabatnya untuk segera mengganti mobil.  

Suzuki Karimun 2004

Saat melintas di daerah Pajajaran terlihat Suzuki Karimun merah mulus dan baru berusia setahun lebih, pertama lihat dan langsung jatuh cinta, akhirnya Si Karimun kami boyong pulang. Karena sekolah anak di Sekolah Alam Dago jalanannya cukup curam, maka saya mengikuti saran Karimun Club dengan mengganti pulley AC, dan sejak itu mesin 1000 cc nya tidak pernah lagi masalah meski harus menempuh jalan menanjak sambil mendaki dengan AC menyala. Sementara awalnya AC harus dimatikan setiap kali menanjak melintasi jalan tersebut. 




Sayang kakak ipar saya, saat menggunakan mobil ini ternyata  tabrakan dengan angkot, lalu setelah di reparasi, supir baru kami bernama Yana lagi-lagi tabrakan dengan angkot, dua kali tabrakan dengan angkot akhirnya Si Karimun  terpaksa kami lepas. Karimun generasi setelahnya yang dibuat di India tidak berhasil menarik minat saya yang secara desain terlihat kalah kelas.




Sampai sekarang kalau melihat Karimun generasi ini, saya selalu berpikir seandainya saja Suzuki merilis ulang namun dengan hanya mengganti mesin, suspensi dan interior, mobil ini pasti masih sangat menarik, karena desainnya yang manis dan kompak. 

Suzuki SX4 Sedan / Baleno 1998

Ini salah satu mobil terbaik yang pernah saya miliki, kedap suara, air bag sepasang, dilengkapi dengan ABS (anti lock braking system), BA (brake assist), EBD (electronic brake distribution),  sound system jernih, posisi duduk yang nyaman, interior berkelas dan detail.




Meski penampilan sedan, namun kaki2nya mengandung gen cross over, demikian juga ground clearancenya yang mencapai 18.5 cm. Bahkan bukan cuma itu, perasaan juga menjadi lebih tenang karena timing belt-nya sudah menggunakan chain.




Namun karena sudah berusia menjelang empat tahun, akhirnya saya  melepas mobil ini, sayangnya meski harga beli lebih mahal dari SX4 hatchback, ternyata harga secondnya justru SX4 Sedan lebih murah. Sampai sekarang kalau melihat mobil ini dijalan, masih terlihat desainnya yang asik, meski tampak belakang kurang oke karena model lampu yang tidak pas.

Pengalaman menarik adalah saat "menyundul" tukang ojek yang berhenti mendadak di Jalan Ciparay, serta menyundul Toyota Rush di jalan tol, akibat texting sembarangan. Namun tidak ada kerusakan parah.    

Suzuki APV 2008

Sejak awal saya sudah suka Suzuki APV, namun entah kenapa istri tidak pernah setuju, namun pucuk dicinta ulampun tiba, karena anak2 akan mengganti kendaraan andalan mereka, maka saya mengusulkan APV sebagai pengganti.  Setelah bolak balik ke showroom dan cek di Pikiran Rakyat, akhirnya saya memutuskan untuk membeli Suzuki APV di salah sebuah showroom di bilangan Suniaraja.




Selain ukurannya yang besar APV SGX yang saya beli juga memiliki Captain Seat, sehingga memudahkan penumpang untuk bolak balik ke belakang. Sayangnya istri tetap tidak suka dan mengeluh mual setiap kali memakai ini, bisa jadi karena ground clearance yang tinggi sehingga lebih terasa mengayun.




Namun saat supir saya ditabrak motor dan mengalami patah tulang tibia dan fibula serta sendi telapak terputar, Si Sulung yang masih SMA terpaksa menggunakan APV ini untuk pertama kali, selama tiga bulan, dan akhirnya sempat mengalami copot bemper belakang setelah papasan paksa dengan angkot di bilangan jalan Ciparay. Lalu menyusul rusaknya bemper depan akibat insiden triplek terbang di jalan tol, karena Si Supir tak bisa menghindar ketika muatan truk di depan melayang di terpa angin. Setelah itu saya melepas APV meski saya masih merasa untuk mobil “cape” ini salah satu pilihan terbaik. 

Jika anda sosok yang peduli dengan mobil, memiliki mobil kedua seperti ini bisa memudahkan keluarga besar jika sesekali memerlukan pinjaman kendaraan tanpa anda merasa harus kuatir berlebihan. Sementara mobil pertama tetap menjadi privilege anda. Terbukti ketika beberapa kali keluarga besar datang, mobil ini memang jadi andalan atau seperti saat abang saya pindah rumah.  

Silahkan lanjut ke artikel berikutnya http://hipohan.blogspot.co.id/2015/10/kenangan-soal-mobil-part-3-dari-8-vw.html

Kenangan Soal Mobil Part #3 dari 10 : VW



VW Variant 1968

Awalnya ini adalah punya almarhum Uwa alias abang ayah yang juga seorang purnawirawan ABRI dan mobil ini merupakan bawaan beliau dari  USA setelah kembali dari misi ke Congo.  Setelah Uwa meninggal, Ayah membeli mobil ini dari istri Uwa. Ayah juga lah yang pertama kali berhasrat bisa mengendarai mobil ini, namun suatu hari setelah beberapa hari berlatih, beliau mengajak saya ikut, dan pulangnya sudah langsung saya kendarai ke rumah, menelusuri jalan ke arah Awiligar yang sempit dan curam. Saat itu saya berlatih di tol Pasteur yang masih baru dibuat, seingat saya sekitar tahun 1991.




Sehari hari saya service di Padasuka motor, bengkel khusus VW. Kalau tidak salah nama montirnya Pak Aja. Ketika utak atik sendiri, suatu waktu karburatornya bocor, tidak berhasil menyelesaikannya sendiri, saya bawa ke Padasuka Motor, dan dengan tenang Pak Aja membuat motif packing karburator menggunakan kertas kardus bekas sepatu, lalu digunting dan Jrenggg ! VW Variant kesayangan kembali meluncur di jalan.




Saat itu khusus mobil Eropa, packing tidak bisa dibeli secara satuan, melainkan harus satu set. Jadi kotak sepatu ini  serta keahlian Pak Aja, menyelamatkan isi dompet saya di bulan itu. Saya juga berburu spion, logo depan, emblem belakang, lalu melengkapi asesoris lain, seperti radio tape, melapis seluruh jok, dll. Karena sayangnya pada mobil ini, saya rela jalan kaki kemana-mana meski hujan deras asalkan VW kesayangan mengkilap. Namun akhirnya karena istri kurang nyaman, Si Putih dijual 10.000.000 tahun 1995 ke abang saya, dan beberapa tahun kemudian dijual oleh abang saya 30.000.000 ke seorang kolektor mobil antik.

Mobil ini saya bangun kembali dengan gaya orisinal, mungkin itu sebabnya beberapa kali orang meminta saya berhenti dan bertanya berapa harganya. Namun saat itu saya belum mau menjualnya. Beberapa pengalaman saya, pernah saat hujan deras seorang Enci, mengetok kaca jendela minta dijual, atau saat menambal ban, seorang pria bermobil mewah berhenti dan minta agar dijual. 

Pengalaman menarik selain ditawar orang ketika sedang dipakai, adalah menyundul pelan jip di lampu merah, karena salah memperkirakan jarak. Namun yang lebih parah saat menyundul becak di jalur tengah Jalan Pahlawan kala hujan lebat, meski Tukang Becak sempat terlempar mendahului becaknya dan ban belakang becak terlipat, namun syukur tidak ada korban jiwa. Lalu komponen transimisi patah, karena saya sempat parkir di jalan curam hanya dengan mengunci gigi di posisi satu. 

VW Golf  1978

Ketika merasa sudah perlu dua mobil, saya memutuskan untuk mencari mobil antik saja, sehingga saya dan istri dapat tetap menjalankan aktifitas dengan kendaraan masing-masing. Saya memilih VW Golf, setelah berburu berminggu-minggu akhirnya dapatlah sebuah VW Golf berwarna hijau yang sudah bertahun-tahun tidak digunakan.




Akhirnya saya boyong pulang Si Golf ini, harus diakui bentuknya masih manis dan baunya khas mobil-mobil Eropa. Untuk servis saya menggunakan jasa bengkel VW kakak beradik di terusan Buah Batu.. Namun suatu hari, moil ini mogok setelah terdengar suara krek di bagian transmisi, setelah bengkel VW kakak beradik  menarik mobil ke bengkel, akhirnya bisa kembali jalan.


 

Suatu hari, saat melihat ke bagian bawah di tengah diantara dua kursi depan, saya melihat dudukan transmisinya sudah berkarat, hemm karena duit terbatas sepertinya lebih baik Si Golf dilepas  pada pemilik yang lebih mampu dibanding saya. Setelah memasang iklan beberapa kali akhirnya seorang pemuda yang ternyata putra seorang pelukis ternama di Bandung tertarik. Sayangnya sebelum mengantar Si Golf inisiatif saya mencuci Si Golf pagi-pagi berbuah sial, karena relaynya basah dan akhirnya membuat kipas cadangan gagal berputar, alhasil mobil sampai dalam keadaan panas, dan nyaris menggagalkan transaksi.  

Pengalaman lain adalah saat mogok di terusan buah batu, ternyata salah satu komponen transimisi ada yang patah. Mesin tidak dapat menyalurkan tenaga ke roda, untung ada sepasang kakak adik pemilik bengkel VW di daerah tersebut, mobil akhirnya ditarik dan di servis di bengkel mereka.   

VW Beetle 1967

Sejarah awalnya mirip dengan Si Golf, mobil ini saya beli di daerah kompleks perumahan dosen di Dago atas. Sayangnya dimodifikasi habis dengan suspensi keras luar biasa, lalu demikian juga dengan over fendernya dibuat lebih lebar, sehingga saat melintasi polisi tidur berulang kali terkena ban. Perlahan-lahan saya kembalikan mobil ini ke model orisinilnya, termasuk memotong over fender, lalu mengganti shock breaker depan. 



Catnya sangat bagus, menggunakan Sikkens oranye, dengan velg keren, sayang suatu saat istri rebutan jalan dengan angkot di daerah Pasar Kordon, si angkot yang memiliki bemper besi tambahan menyeret over fender ban kiri sampai penyok terlipat. Meski memberikan KTP-nya namun si supir, yang bernama Suhaya akhirnya kabur dari kewajibannya.




Karena istri memang kurang sreg dengan Si Beetle, akhirnya saya harus merelakannya lepas pada tetangga yang berkerja di Jiwasraya, dan beliau langsung memboyong Si Beetle untuk digunakan putra bos-nya di Yogyakarta. 


Silahkan lanjut ke artikel berikutnya http://hipohan.blogspot.co.id/2015/10/kenangan-soal-mobil-part-4-dari-8-toyota.html

Kenangan Soal Mobil Part #4 dari 10 : Toyota



Toyota Kijang SX 1996

Setelah menggunakan Suzuki Futura untuk beberapa lama, kini saatnya membeli Toyota Kijang 1800, idaman keluarga Indonesia. Pertama kali melihat di iklan sekitar tahun 1994,   rasanya ingin sekali memiliki Kijang, namun baru kesampaian beli bekasnya tahun 2000. Dalam iklan yang belakangan diprotes tersebut digambarkan sebuah Kijang diisi penuh dengan keluarga namun tanpa dinding mobil, alias mirip dengan truk-truk telanjang yang sering kita lihat di Tol Cikampek dengan supir berhelm. 

Namun ada kisah aneh saat mobil ini dibeli di salah satu showroom bersuasana gelap di bilangan jalan Buah Batu. Saat saya melihat  odometernya masih puluhan ribu, dan interior dalam keadaan mulus. Sesampainya di rumah ternyata odometer sudah 200.000 sekian dan dashboard pecah. Saya yang biasanya teliti seakan-akan kehilangan ketelitian saya selama ini, sampai saat ini saya merasa ada faktor lain yang membuat saya “tertipu”.

Toyota Kijang SGX 1994

Tak lama menggunakan Kijang SX, setiap kali lewat dijalan saya malah mulai tertarik dengan SGX, tampilan dengan dashboard yang lebih lengkap fiturnya, velg yang lebih gagah, fitur2 lain seperti power windows, footstep aluminium serta tentu saja over fender hitamnya yang memikat membuat saya memutuskan membeli Kijang SGX. Kali ini saya peroleh dari pemilik showroom keturunan Arab di bilangan Karawitan.




Meski justru lebih tua dua tahun akhirnya cita-cita memiliki Kijang 1800 SGX tercapai juga , meski lagi-lagi tertipu karena terlihat kalau mobil ini pernah tabrakan frontal yang cukup parah. Seingat saya saat membeli hujan memang turun dengan derasnya, moral of storynya jangan pernah memutuskan membeli sesuatu dengan terburu-buru, pikirkanlah dengan matang dan tetap cermat. Tak apa sedikit terlambat ambil keputusan namun tiada penyesalan di belakang hari. 




Toyota Avanza G 2004

Setelah bertahun tahun selalu membeli used car, mobil inilah untuk pertama kali menjadi mobil pertama yang saya beli dari baru, memang beda rasanya bisa memilih warna mobil yang biasanya sulit kita lakukan dengan used car.  Yang membuat saya kagum dengan mobil ini adalah kaki-kakinya yang kuat, mesin bandel, dan harga jual kembali tinggi, bayangkan saya beli dengan Rp. 110 juta di tahun 2004, dan dijual kembali dengan Rp. 105 juta di tahun 2009. Namun harga sebenarnya adalah Rp 100 juta, karena indent enam bulan, saya memutuskan untuk menambah dana Rp 10 Juta, agar bisa langsung dapat kurang dari seminggu. Sayang meski tadinya ingin warna hijau, akhirnya karena butuh cepat,  saya memutuskan setuju dengan warna biru.

Mobil ini kami beli di Tunas Toyota, bilangan Jalan Gatot Subroto, tadinya saya pikir ini merupakan group yang sama dengan Astra, ternyata Tunas merupakan Partner Reseller, itu sebabnya layanan servicenya tidak menggunakan jaringan Auto2000, dan salesnya membuka kemungkinan untuk membeli secara "nakal" alias tanpa indent dengan memanfaatkan pemodal yang mau membeli duluan. 





Salah satu pengalaman unik dengan mobil ini adalah, saya termasuk pemakai pertama Avanza, dan langsung diboyong ke Denpasar, menempuh perjalanan yang berkesan hingga kini. Mobil ini saat itu banyak memancing perhatian karena memang masih sangat sedikit ditemui di jalanan, apalagi warnyanya yang memang tidak umum alias biru, sementara saat itu warna mobil yang paling umum adalah hitam dan silver. 




Silahkan lanjut ke artikel berikutnya http://hipohan.blogspot.co.id/2015/10/kenangan-soal-mobil-part-5-dari-8.html

Kenangan Soal Mobil Part #5 dari 10 : Mitsubishi


Mitsubishi Kuda Super Exceed 2000

Saat ingin membeli Daihatsu Taruna, saya dan istri penasaran dengan sebuah Mitsubishi yang baru berusia dua tahun, berwarna ungu dengan over fender silver. Saat masuk setelah test drive dengan Taruna, dan dibandingkan, saya lebih kagum lagi dengan interior Kuda yang jauh lebih mewah, fitur yang lebih lengkap, sound system yang jernih dan sangat kedap.  Maklum ini merupakan varian tertinggi dari keluarga Mitsubishi Kuda generasi satu. Kira2 setara dengan Kijang Krista, melihat harganya yang beda tipis, saya memutuskan untuk langsung memboyong Si Kuda kerumah.




Selama tiga tahun Si Kuda menjadi mobil andalan yang menyenangkan bagi saya  sekeluarga. Namun di masa itu saya lebih suka menggunakan Kereta Api, jadi dua tahun pertama istri yang lebih banyak pakai. Di tahun ketiga gantian istri menggunakan Toyota Avanza dan saya yang memakai Si Kuda. Dengan mobil ini saya pernah nyaris tewas di tabrak truk, untung di detik2 terakhir saya masih sempat banting setir ke kiri, dan hanya bagian  belakang kanan serta lampu rem yang mengalami kerusakan bahkan sampai copot dan tergantung.  Setelah diperbaiki di bengkel langganan Si Kuda kembali mulus.

Harus diakui, ini merupakan salah satu mobil kesayangan, dan tak aneh ketika akhirnya dijual  Si Bungsu menangis sedih. Beberapa bulan setelahnya, sempat saya  bertemu kembali di jalan dan Si Bungsu kembali berkaca-kaca melihatnya.

Sempat akan saya jual pada seorang teman yang tinggal di Bogor, lalu saya pinjamkan untuk dibawa semalam ke Bogor, sayangnya istri teman salah set terhadap instrumen AC, sehingga disetel dengan mode sirkulasi udara luar saat hujan lebat, dengan cepat air membanjiri belakang dashboard dan tergenang di sepertiga bagian depan lantai mobil. Keesokan harinya ybs mengembalikan mobil dengan air yang masih menetes2 dari dashboard dan urung membelinya.

Mitsubishi Kuda Grandia 2003

Puas dengan Si Kuda, kembali saya membeli Kuda generasi dua, kali ini tetap varian tertinggi alias Kuda Grandia. Mobil ini saya dapatkan dari penjual di bilangan Cimahi, kondisinya benar-benar mulus meski sudah berusia dua tahun, dan nyaris seperti baru. Setelah tiga tahun berbarengan dengan pembelian SX4 Sedan, Si Kuda kedua ini akhirnya saya lepas di Mobil 88.



Seorang teman kantor yang suka meledek Kuda dengan julukan satu-satunya mobil yang memiliki fasilitas tempat wudhu alias washtafel di dashboardnya, malah akhirnya ikut membeli juga setelah test drive keliling halaman kantor customer perusahaan kami, di DirJen Bea dan Cukai saat itu.  



Mitsubishi Pajero Sport Exceed 2012

Akhir tahun 2012, saya tertarik dengan Pajero, setelah melepas Daihatsu Terios, akhirnya istri setuju dengan syarat, istri yang memilih warnanya. Demi memiliki Pajero saya mengalah memilih warna merah, dan nyaris empat tahun, lagi-lagi ini salah satu mobil terbaik yang pernah saya miliki. Memakai Pajero, karena posturnya yang bongsor dan tinggi sangat membuat kita percaya diri di jalanan. Jarak pandang relatif bebas, dan sangat menyenangkan mendengar turbonya aktif mendesing, meski yang saya beli adalah Exceed dan tidak menggunakan VGT, tetap saja desingan kipasnya sedap terdengar.

Pajero juga terkenal hemat, meski 2500 cc, dalam kondisi normal dengan gaya eco drive, mobil ini bisa menempuh 1 liter untuk 15 km. Bagi pemakai diesel pertama kali pasti merasa mobil ini terkesan tidak responsif, memang perlu waktu untuk mengaktifkan turbo, saat kita membutuhkan respon cepat. Namun soal torsi,  seperti saat mendaki di Cangar sekitar Pujon, mesin ini bolehlah, dan jangan lupa untuk daerah pertambangan dengan kondisi jalan off road, ini adalah satu pilihan terbaik. 

Si Bungsu merasa ini adalah mobil yang menjawab kerinduan dia pada Si Kuda yang dulu sempat sangat dia sukai. Posisi duduk di baris kedua dan pertama relatif enak, meski baris ketiga masih terasa sempit. 





Dengan Pajero inilah saya dan keluarga adik mengelilingi Jawa dari Bandung menuju Batu, pergi lewat pantai utara dan kembali melewati pantai selatan nyaris dengan tanpa hambatan. Melewati berbagai situasi jalan, mendaki terjal seperti di Pujon atau jalanan yang hancur seperti sekitar Majenang juga jalanan super macet saat masuk ke Semarang. Lalu lanjut dengan petualangan berikutnya mengunjungi Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Sumatera Barat dan Bengkulu. 






Silahkan lanjut ke artikel berikutnya http://hipohan.blogspot.co.id/2015/10/kenangan-soal-mobil-part-6-dari-8.html

Kenangan Soal Mobil Part #6 dari 10 : Daihatsu


Daihatsu Terios Adventure 2009

Kejutan saat pertama kali pakai, sama sekali tidak menyangka Daihatsu bisa membuat mobil serapi ini, interiornya mengesankan meski mudah kotor. Dan kemudinya kurang akurat karena cenderung ke kiri. Suspensi sangat tidak nyaman alias mengayun kalau penumpang penuh. Namun mesin memuaskan, serta cukup bertenaga.




Sayang over fender berbeda dengan kembarannya alias Toyota Rush, Daihatsu Terios tidak dilengkapi karet, sehingga kotoran mudah terselip diantara over fender dan bodi, lalu lebar ban tidak pas dengan lebar over fender.  Bagi  saya meski ini merupakan varian tertinggi Terios, kualitas asesorisnya kurang bagus, selain karet over fender, karet foot step nya juga gampang copot, dan pemasangan asesoris pintu serta bagian dalam terlihat kurang rapi.




Warna hitam juga ternyata sangat merepotkan, gampang terlihat berdebu dan saat hujan gerimis tanggung, kotoran yang muncul karena air yang mengering sulit untuk hilang. Sejak saat itu saya tidak lagi pernah tertarik dengan mobil hitam. 

Daihatsu Terios TX 2010

Merasa salah pilih dengan Terios yang pertama, saya memutuskan menjualnya lalu membeli Terios TX, mobil ini merupakan mobil dengan transmisi matik pertama yang saya beli. Sebelumnya saya selalu ragu membeli matik, karena bahan bakar lebih boros dan perawatannya perlu skill lebih tinggi.

Namun saat ke Yogyakarta, dengan penumpang penuh sd tiga baris, saya merasa suspensinya terlalu mengayun, sehingga membuat penumpang belakang mual. Saat itu saya merasa kurang puas, meski tenaganya cukup bagus. Setelah dua tahun, akhirnya mobil ini saya lepas dan diganti dengan Pajero. 

Pengalaman menarik dengan mobil ini adalah saat Si Sulung di sundul angkot di jalan tol, terpaksa kami harus mengganti utuh satu pintu belakang. 

Kenangan Soal Mobil Part #7 dari 10 : KIA


KIA Picanto Cosmo 2011

Mobil ini merupakan mobil Korea pertama saya, setelah sebelumnya selalu under estimate pada produk Korea, akhirnya saya memutuskan menjual Suzuki APV. Meski modelnya nyaris tidak berubah selama beberapa tahun, namun Picanto benar-benar memikat saya, harganya murah, mesinnya responsif, dan interiornya lega. Pada awalnya setelah sempat tidak jadi beli, saya sering melihat Picanto Cosmo berwarna putih plat D di seputaran parkiran Wisma Metropolitan. Dari situlah muncul ketertarikan dan akhirnya berujung pada pembelian.




Sayang cuma setahun dipakai, akhir 2011 Si Sulung mengalami kecelakaan dengan mobil ini, dan lalu setelah perbaikan yang menghabiskan puluhan juta, terpaksa si putih saya  jual. Sebenarnya perbaikannya sangat rapi, mulai dari radiator, kaca depan, kap, grill, lampu semua diganti baru, namun secara psikologis tidak lagi nyaman bagi saya menggunakan mobil ini. Biaya perbaikan, penggantian parts menghabiskan biaya sekitar 30 juta.





Seorang teman yang sempat ikut dengan saya menggunakan mobil ini ke Anyer, akhirmya juga membeli KIA tipe yang sama, karena merasa nyaman. 

KIA All New Sportage 2011

Setelah nyaman dengan Picanto Cosmo, pada tahun yang sama, saya dan istri jalan-jalan ke PVJ, dan langsung test drive KIA Sportage,  yang memang telah saya lihat videonya beberapa kali di Youtube. Ini benar-benar mobil yang desainnya luar biasa, dan langsung membuat jatuh cinta pada pandangan pertama.




Interiornya pun tidak kalah luar biasa, jelas Peter Schreyer dan team telah memberikan yang terbaik saat mendesain mobil ini. Meski tidak persis dengan KIA Kue, model prototipenya, namun tetap saja desainnya memikat hingga kini, dan merupakan revolusi dari Gen #1 dan Gen #2. Sampai kini memandang garis-garis desain mobil ini tetap memberikan kenikmatan. Tahun 2011 hanya mobil dengan kelas2 khusus yang memiliki DRL, namun Sportage telah menjadi pionir di kelasnya.




Mesinnya sangat responsif dan bertenaga, sayang ornamen indah di kursinya tidak tahan lama, sehingga saya terpaksa membungkus-nya dengan kulit sintetis, agar tetap terlihat indah. Saat awal saya sempat tertarik dengan warna oranye, sayang di saat-saat akhir saya mengubahnya menjadi Titanium Silver.

Strukturnya lumayan kekar, saya pernah diseruduk Toyota Kijang di jalan tol, namun meski Kijang mengalami bemper copot, Sportage nyaris tidak mengalami cacat apapun, kecuali dua garis kecil sepanjang sekitar 1 cm.

KIA All New Picanto 2012

Sebagai pengganti Picanto Cosmo, saya memutuskan untuk mengambil program COP dari kantor (car ownership program) , yang memang diberikan untuk level khusus di Metrodata Group. Sudah “kadung” jatuh cinta dengan Picanto, maka saya memilih All New Picanto, dan lagi-lagi surprise dengan desain Peter Schreyer.  




Pertama kali melihat ANP di Auto Bild saat sedang ujicoba di Turki sudah bikin tidak sabar untuk bisa memboyongnya ke rumah. Ketika akhirnya Si All New Picanto tiba, masih tetap kagum dengan garis desain Peter Schreyer, benar-benar strategi yang pas bagi KIA membajak ahli sekelas beliau.




Sampai dengan artikel ini ditulis, tak terasa sudah 5 tahun Si All New Picanto mendampingi saya dan keluarga , menempuh jarak sejauh 100.000 km, dan tetap saja asik dikendarai. Tambahan terhadap artikel ini, akhirnya Januari 2018, Picanto saya lepas. 

KIA All New Rio 2017


Tahun 2018 tepatnya pada akhir Januari saya membeli KIA Rio. Modelnya agak sedikit berbeda dengan Rio sebelumnya yang cenderung membulat. KIA Indonesia menerapkan strategi pemasaran yang unik untuk tampil berbeda dengan Toyota YAris, Suzuki Baleno Hatchback atau Honda Jazz yang menjadi pesaingnya. Apa strateginya ? yakni dengan menambahkan fitur sunroof yang menjadikan KIA Rio satu2nya mobil dikelasnya yang memiliki ini.  



Sayangnya KIA mengebiri ABS,EBD dan BA dari mobil ini. Suatu pilihan kontroversial sebenarnya, untung saja masih ada sepasang airbag. Hal positif lainnya adalah DRL yang berbentuk huruf U, seperti yang dimiliki VW Golf, terlihat unik dan tampil beda. 



Karena harga KIA saat ini bahkan sudah menyamai produk Jepang, tak seperti RIO generasi sebelumnya,  cukup sulit menemukan model ini di jalanan. Secara umum, bagi orang Indonesia pasti lebih memberikan rasa aman jika menebus Honda Jazz, yang secara spesifikasi mesin juga lebih unggul ketimbang KIA Rio. Hanya orang-orang tertentu saja sepertinya yang berminat pada mobil ini.  




Silahkan lanjut ke artikel berikutnya http://hipohan.blogspot.co.id/2017/04/kenangan-soal-mobil-part-8-dari-9-nissan.html