Friday, December 30, 2016

Jelajah Banda Aceh dan Sumatera Utara : Part #1 dari 14 : Persiapan dan Budget


Setelah menjelajahi Sumatera tempo hari, dan menyisakan dua propinsi lagi, sepertinya sudah waktunya saya dan keluarga menuntaskan Banda Aceh dan Sumatera Utara. Tidak berarti saya belum pernah sebelumnya ke Sumatera Utara, tentu saja pernah, namun saya sekeluarga memang belum pernah ke Danau Toba. Hanya pernah lewat di sekitar Balige awal tahun 2000 saat menggunakan travel menuju Padang Sidempuan.



Lalu saya dan istri serta anak-anak mencoba memulai menyusun tanggal keberangkatan, dan mencoba menyesuaikan dengan khususnya skedul Si Bungsu yang harus ujian, serta Si Sulung yang punya rencana dengan teman-teman bikersnya ke Lombok di awal Januari 2017. Dan terpilihlah tanggal 23 Desember 2016 serta kembali tanggal 28 Desember 2016.




Setelah mendapatkan tanggal pasti,  maka saya dan istri mulai mencari informasi harga tiket pesawat pada tanggal-tanggal tersebut dengan menggunakan situs traveloka serta disesuaikan dengan budget, lalu langsung eksekusi pembelian tiket pesawat lewat TX Travel di Buah Batu sehingga rencana akhir adalah sbb;
  • Halim Perdana Kusuma (Jakarta) – Sultan Iskandar Muda (Banda Aceh) : Batik Air jam 05:25 Flight ID7171 @1.800.000 IDR
  • Sultan Iskandar Muda (Banda Aceh) - Kuala Namu (Medan) : Lion Air jam 16:35 Flight JT305 @480.000 IDR
  • Kuala Namu (Medan) – Soekarno Hatta (Jakarta) : Lion Air jam 15:50 Flight JT383 @1.380.000 IDR
Dengan demikian hanya untuk tiket saja sudah menghabiskan 14.640.000 IDR, kalau dipikir-pikir mahal juga, karena angka sebesar itu cukup untuk jalan-jalan via darat (termasuk penginapan, bahan bakar dan makan) saat berkunjung ke Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Sumatera Barat dan Bengkulu dalam perjalanan 8 malam 9 hari saat petualangan sebelumnya akhir tahun 2015 lalu.  

Namun proposal saya untuk menggunakan jalan darat tidak disetujui oleh istri dan anak-anak yang merasa antar kota di Sumatera terlalu jauh dan lama jika harus di eksplorasi via jalan darat. Hemm terpaksa sekali ini saya harus mengalah. Setelah urusan tiket selesai, istri mulai mengontak travel lokal dan dapatlah dua kandidat yakni PW-Indonesia (wisataSabang.com) untuk Banda Aceh dan sekitarnya serta Aulia Tour Travel  (tobamuslimtour.co.id) untuk Medan dan sekitarnya.

Untuk paket Banda Aceh dengan peserta empat orang, biaya totalnya adalah 11.800.000 IDR (dengan uang muka 3.640.000 IDR, lalu sisanya dilunasi pada hari terakhir). Biaya ini termasuk penginapan 2 malam di Anoi Itam Resort, Ferry Express ke dan dari Pulau Weh serta perahu glass bottom boat ke Pulau Rubiah, perlengkapan snorkling, underwater camera, tiket masuk obyek2 wisata, 2x paket makan siang, travel guide, snorkling guide, supir, Sertifikat Kilometer 0, rental kendaraan Toyota Innova di Banda Aceh dan juga Pulau Weh.

Untuk paket Medan dan sekitarnya dengan peserta empat orang biaya totalnya  9.800.000 IDR (dengan uang muka 500.000 IDR sedangkan sisanya dibayar pada hari terakhir). Biaya ini termasuk penginapan 2 malam di Grand Angkasa Medan  dan 1 malam di Atsari Hotel Parapat, rental kendaraan Toyota Avanza serta supir merangkap guide, semua biaya makan selama perjalanan ditanggung oleh Aulia Tour Travel (kecuali kalau ada jajan tambahan seperti Durian Ucok, oleh-oleh dll), ferry ke dan dari Samosir, serta tiket masuk obyek2 wisata. 

Total biaya keseluruhan menjadi 36.240.000 IDR dengan rata-rata per peserta memerlukan biaya 9.060.000 IDR. Atau 1.510.000 IDR per orang per hari. 

Jelajah Banda Aceh dan Sumatera Utara : Part #2 dari 14 : Banda Aceh, Pelabuhan Ulee Lheue, Pelabuhan Balohan dan Kencana Cafe.


Di Bandara kami dijemput mbak Reny Nasutri guide yang aslinya berasal dari Pulau Simeulue dan driver Bang Faizal Nasution, orang Batak yang tidak bisa bahasa Batak karena sudah sangat lama di Banda Aceh. Dalam perjalanan Bang Faizal cerita sempat kehilangan adik kandungnya saat musibah tsunami tepat 12 tahun lalu.  



Dari sini kami langsung ke Pelabuhan Ulee Lheue yang berjarak 20 km atau sekitar 40 menit, mengejar kapal Ferry Express skedul jam 09:30 menuju Pelabuhan Balohan di Pulau Weh. Kapal Ferry yang membutuhkan waktu 45 menit untuk jarak sekitar 30 km ke Pelabuhan Balohan ini hanya memiliki jadwal 2x sehari, dan Bang Faizal memutuskan melintasi pinggiran Banda Aceh untuk mempercepat waktu.




Kami melewati pemakaman massal korban tsunami Siron tempat 46.718 korban tsunami dimakamkan, lalu jembatan besar untuk ke dan dari Pelabuhan Ulee Lheue dimana menurut mbak Reny  sempat menjadi tempat penampungan sementara ribuan jenazah sebelum dibawa oleh eskavator raksasa ke  Siron. Di tempat ini petugas masih memberikan kesempatan pada penduduk untuk mencari jenazah sanak saudaranya, terbayang tumpukan jenazah yang begitu banyak dan sanak saudara yang mencari jenazah kerabatnya. Tak terasa bulu kuduk saya meremang mendengar cerita mbak Reny.

Tiket Ferry Express Bahari untuk VIP sekitar 105.000 IDR per orang, jika ingin menghemat bisa menggunakan kapal biasa namun lebih lambat sekitar dua kalinya, Tetapi jika ingin melihat lumba-lumba, disarankan untuk menggunakan kapal yang lebih lambat ini. Meski tidak selalu, namun menurut guide kami, lumba-lumba senang mengikuti kapal menuju Pulu Weh. 

Meski sudah berusaha cepat dan tiba pada waktunya namun ferry tidak kunjung berangkat, usut punya usut, ternyata sedang menunggu pejabat kepolisian yang terlambat tiba. Begitulah di kota-kota kecil seperti ini, kadang skedul harus mengalah demi kepentingan pejabat. Jadi ingat kisah menteri yang sempat ribut karena ditinggalkan pesawat beberapa saat  lalu.

Di ferry yang sangat dingin dan membuat saya beberapa kali keluar ruangan karena tidak tahan, diputar lagu-lagu karaoke dengan volume kencang, mulai dari Wali, Ungu, dan bahkan Pance Pondaag. Tak terasa kamipun tiba di Pelabuhan Balohan, karena Bang Romi yang ditunjuk menjadi guide kami sempat tidak terlihat, maka kami sempat celingak celinguk beberapa saat dan langsung di”teror” sejumlah supir rental. Namun syukurlah Bang Romi datang membantu mengangkut tas ke pinggir jalan dan langsung mengambil Toyota Innova putih andalannya. Sambil menunggu Bang Romi menjemput, mata saya melirik sekumpulan udang goreng berukuran besar dan terlihat sangat lezat, di warung di depan jalan.




Luas Pulau Weh sekitar 153 km2 (alias seperempat Pulau Samosir atau Singapore) , terdiri dari 18 kampung dan 2 kecamatan. Tak banyak sekolah disini, antara lain 3 SMP, 3 SMA, dan tanpa perguruan tinggi. Topografi alamnya lengkap, ada banyak jenis pantai, gunung dan bukit. Jumlah penduduk sekitar 30 sd 40 ribu jiwa. 

Kami segera menuju Kencana Cafe, karena perut yang sudah kelaparan saya langsung mengambil gulai udang, udang goreng, terong, tempe, dan cumi, masih ingin mengambil kakap merah goreng, eh istri mengingatkan saya untuk menjaga asupan. Dengan badan sebesar saat ini, tidak mudah memang menikmati kuliner dengan didampingi polisi eh maksud saya istri. 

Untuk minuman khas Sabang disini disediakan dua macam, yakni Jus Timun Cincau dan Jus Pepaya Cincau. Masakan salah satu restoran ala warteg ternama di Sabang ini memang sedap, tak salah di depan kasir nampak foto Jokowi yang sempat makan disini tahun 2015 lalu bersama sang pemilik Kencana Cafe. Total biaya di Kencana Cafe menghabiskan sekitar 175.000 IDR, termasuk murah untuk makanan selezat itu. 

Jelajah Banda Aceh dan Sumatera Utara : Part #3 dari 14 : Pantai Anoi Itam, Anoi Itam Resort, Puncak Balohan View dan Sea Food Murah Raya Cafe.


Karena memang sudah mendekati waktu saatnya Shalat Jumat, kami berhenti di salah satu Masjid di Pantai Anoi Itam. Disebut Anoi Itam, karena pasirnya memang kehitaman. Pantai Anoi  Itam ini berhadapan dengan Malacca Strait alias Selat Malaka.  Istri dan Si Bungsu menunggu di bangku panjang kayu, dan langsung dikerumuni ayam-ayam peliharaan penduduk, sementara saya dan Si Sulung shalat bersama Bang Romi.






Di dalam mobil, Bang Romi menyiapkan empat botol air mineral berbagai jajanan termasuk Pia Kacang Hijau yang menurut Bang Romi, merupakan kue khas Sabang. Entah kenapa Si Sulung suka sekali dengan kue pia ala Sabang ini. 

Selesai shalat kami langsung menuju Anoi Itam Resort, menyimpan barang bawaan pada dua dari empat kamar suite di depan kolam renang. Cukup kaget setelah tahu harga resmi perkamar adalah 1.200.000 IDR, sehingga total dua malam x dua kamar jika tidak melalui travel, maka kami harus membayar 4.800.000.  Dari sini kami menuju salah satu spot terbaik dengan pemandangan ke teluk dan pelabuhan Balohan.










Dari sini kami menuju salah satu view lain yakni di jalan Cut Nyak Dien alias Bukit Pulau Klah, melalui rute yang biasa dipakai menuju menuju Pantai Iboih. Setelah menanjak melalu perbukitan, lalu kami sampai di sebuah tempat dimana kami bisa melihat Pulau Klah, dibagian depan, dan nun jauh disana Pulau Rondo yang sebenarnya secara geografis pulau yang lebih ujung dibanding Pulau Weh. Lalu di sisi kanan terlihat Pelabuhan Bebas Sabang yang sempat dikunjungi Jokowi 2015 lalu dalam rangka deklarasi Freeport Zone layaknya Batam, namun entah kenapa menurut Bang Romi masih sepi-sepi saja.




Kami memesan rujak khas Sabang dengan kuah kental gula merah dan berbagai potongan buah yang didominasi Nanas. Lalu beberapa butir kelapa muda. Sambil menikmati pemandangan, yang sayangnya terhalang dua batang besar pohon kelapa, sehingga agak sedikit menyulitkan untuk diabadikan dengan kamera digital. Untungnya saat kembali menuruni bukit, saya meminta berhenti di sebuah bangunan yang belum selesai namun memiliki pelataran beton menghadap ke lokasi yang sama tetapi tanpa pohon kelapa seperti lokasi sebelumnya.






Lalu kami kembali ke Sabang untuk shalat di Masjid Babussalam, lanjut dengan mencari souvenir di Indatoe, Pasar Sabang, dan langsung menuju Murah Raya Cafe di sekitar tugu "I Love Sabang". Menurut Bang Romi tempat ini terkenal dengan ikan dan udang segarnya. Kita bisa memilih ikan atau udang yang akan dimasak sayang sekali saat itu tidak ada kepiting. Kami memutuskan memilih seekor ikan Kerapu Macan seberat 1,7 kg dengan harga 22.000 IDR per ons, sehingga harga totalnya 374.000 IDR, lalu seporsi kangkung, seporsi semangka potong, 4 jus jeruk, 5 aqua, dan 5 nasi putih. Total makan disini menghabiskan 481.000 IDR. 

Karena ikannya sangat besar, maka dipotong memanjang, sebagian di goreng dan sisanya dibakar. Masakan Murah Raya ini sangat nikmat meski cukup kaget ketika harus membayar. Maksud hati ingin juga menikmati Udang Galah, namun harganya yang mengerikan membuat kami urung menjajalnya.




Selesai makan kami kembali ke hotel untuk beristirahat, karena kebetulan dua kamar di samping kami kosong, kami sekeluarga memutuskan berenang sepuasnya layaknya kolam pribadi keluarga. Anak-anak yang masih lapar memesan Kentang Goreng panas dari restoran Anoi Itam Resort untuk dinikmati. 

Jelajah Banda Aceh dan Sumatera Utara : Part #4 dari 14 : Pantai Iboih, Pulau Rubiah, Sate Gurita, Snorkling, Kilometer 0 dan Pantai Gapang.


Hari kedua, pagi hari kami langsung sarapan, sempat berfoto foto sebentar di gazebo Anoi Itam Resort yang menghadap Selat Malaka. Selanjutnya kami langsung menuju Pantai Iboih kira-kira berjarak 30 km dari Anoi Itam Resort atau bisa ditempuh dalam waktu 50 menit. Pantai Iboih terlihat sangat tenang dengan air yang jernih. Lalu kami mengganti baju di kamar kecil Masjid di pinggir pantai, dan segera memilih satu set perlengkapan snorkling seperti pelampung, kaki katak, masker dan selang napas. Lokasi penyewaan ini juga menyediakan masker khusus bagi yang berkacamata minus empat seperti saya. Bang Awi yang ditunjuk sebagai snorkling guide menyiapkan kamera saku Nikon bawah air.





Setelah berjalan kaki menuju pelabuhan kami menuju perahu Bang Zul, yang biasa mengendalikan mesin sekaligus arah perahu ala catamaran dengan dua perahu yang disambungkan satu landasan, hanya dengan kaki kiri. Di bagian tengah perahu nampak peti dengan dasar kaca setinggi sekitar satu meter dengan pegangan ala gerobak dorong di bagian depan dan belakang. Lalu kami pun langsung menuju Pulau Rubiah dengan melambung menyusuri sisi Pulau Rubiah yang berhadapan dengan Pulau Weh , laju perahu pun melambat. Bang Romi dan Bang Zul menurunkan peti tsb ke bawah sehingga kami bisa melihat fauna dan flora dasar laut yang menakjubkan. Bintang Laut, ikan berwarna warni layaknya film Nemo dan karang-karang dengan motif batik yang cantik.


Bang Awi dengan mata kebiruan nan samar dan khas keturunan Lamno yang memang dulu kala diduga keturunan pelaut Portugis yang menikah dengan wanita setempat terlihat ganteng dalam pakaian selam terusan. Bang Awi menyiapkan dua plastik mie rebus, yang digunakan sebagai makanan ikan untuk menghasilkan foto-foto bagus bawah laut.










Setelah berenang sekitar dua jam, saya, istri dan Si Sulung yang disengat ubur-ubur memutuskan berhenti. Si Bungsu masih terus berenang ke lokasi yang lebih dalam untuk mencari sarang Nemo, ular laut serta bangkai mobil dan motor di dasar laut. Kami lalu beristirahat di Warung Alfatin sambil menunggu makan siang dengan menikmati suguhan travel yakni Es Kelapa, Sate Gurita (dengan bumbu saus kacang, padahal menurut istri lebih pas bumbu Sate Padang), dan 12 potong Pisang Goreng yang kami beli sendiri (@2500 per potong).

Makan siangnya Ikan Kerapu Bakar, Udang Goreng, Cah Kangkung dan minuman Es Teh Manis. Meski Cah Kangkungnya terasa  kurang mantap, namun Ikan Kerapu dan Udang Goreng Tepungnya terasa sedap sekali dimakan, sambil menikmati angin laut sepoi-sepoi di Pulau Rubiah.  Untuk makan siang kami harus mengeluarkan 286.000 IDR.  Sepulang dari sini, lokasi penyewaan peralatan snorkling dan diving  tersebut juga menyiapkan jasa penyalinan data kamera bawah air ke memory card atau USB wisatawan.




Menunggu istri dan Si Bungsu yang cukup lama berganti pakaian namun ternyata sudah keburu hujan, kami bergegas kembali ke mobil dan langsung menuju Kilometer 0, saya yang belum sempat berganti celana terpaksa menggunakan celana dan pakaian dalam basah ke lokasi Kilometer 0. Sebenarnya kilometer 0 lebih pantas dinobatkan bagi Pulau Rondo, namun karena tidak berpenghuni dan masih berjarak  16 km dari Sabang, maka entah kenapa Kilometer 0 malah disandang oleh Pulau Weh di lokasi Ujung Bau. Dari lokasi Kilometer 0 ini kita bisa melihat  berturut turut dari kanan ke kiri Pulau Breueh, Pulau Nasi, dan Pulau Sumatera.  
Saat kembali ke Anoi Itam Resort kami mampir ke Pantai Gapang, yang sempat terkenal karena digunakan beberapa kali sebagai tempat upacara proklamasi di dasar laut kedalaman 10 sd 15 meter dengan sekitar 100 peserta.




Karena memang zona bebas perdagangan jangan kaget melihat mobil-mobil eks Singapore berkeliaran, kadang entah karena tidak ada spare part saya bahkan sempat melihat sebuah sedan Jaguar hitam yang masih mulus “terdampar” di tengah alang-alang. Saat tiba di  resort, cukup kaget karena semua suite penuh, untung sehari sebelumnya kami sudah puas berenang.  Kami langsung mandi dan beristirahat, serta minta Bang Romi menjemput kami untuk makan malam setelah Maghrib.




Kali ini kami kembali makan malam di Kencana Cafe, untuk mencoba hidangan yang pada kunjungan pertama belum sempat dicoba, kali ini selain tempe saya mencoba Teri Basah bumbu ala Pepes dan Kerapu Macan Goreng, namun entah karena dimasak pagi hari, rasanya lebih sedap saat kami pertama kali makan disini.  Untuk biayanya masih sama seperti makan sebelumnya yakni sekitar 175.000 IDR.



Sekitar jam 20:30 kami kembali ke lokasi ke Jalan Cut Nyak Dien untuk melakukan pemotretan malam kearah Pelabuhan Bebas Sabang, sayang langit gelap berawan, dan menyesal sekali tidak membawa lensa 70-300. Meski shutter sudah saya set di 30 detik, diafragma dan ISO diset dalam mode auto, kualitas gambar tetap tidak jelas.  Kami masih mencoba peruntungan dengan menuju lokasi di pinggi Pelabuhan Bebas Sabang, namun masih saja hasil pemotretan tidak menolong. 

Jelajah Banda Aceh dan Sumatera Utara : Part #5 dari 14 : Selamat Jalan Pulau Weh dan Selamat Datang Banda Aceh


Sebelum ke Anoi Itam Resort, Bang Romi minta waktu menyiapkan sertifikat Kilometer 0 bagi kami berempat, dan sambil menunggu di salah satu persimpangan di Kota Sabang, anak-anak yang sudah kangen dengan Bandung, saya belikan Roti Bakar Bandung yang ternyata memang dikelola seorang perantauan asal Cibiru.  Senang juga berbicara dengan bahasa Sunda dengan para perantau tangguh ini.

Setelah Subuh saya bergegas kembali ke gazebo dipinggir laut, sayang matahari pagi tidak muncul karena tebalnya awan, namun saya sempat menangkap momen pagi ini dengan menjadikan pagar sebagai pengganti tripod.




Sekitar Jam 08:00 pagi tepat kami langsung menuju Pelabuhan Balohan, menempuh sekitar 16 km dengan jalan memutar. Nampak sapi berkeliaran di jalan, seperti biasanya sapi-sapi disini memang dibiarkan berkeliaran, kadang tidak hanya satu, bahkan satu keluarga sapi bisa saja berdiri di tengah jalan di malam hari dengan tampang tanpa dosa. Bang Romi mengatakan, seandainya tertabrak pun, pemilik sapi biasanya tidak akan menuntut, karena kuatir harus mengganti kerusakan mobil akibat membiarkan sapi berkeliaran.  


Sebagai kenang-kenangan Bang Romi membantu kami mengurus sertifikat "Kilometer 0 Indonesia", dengan di tanda tangani Walikota Sabang, yakni Zulkifli H. Adam. Hemm menarik juga cara yang dilakukan Sabang dalam melayani wisatawan sudah jauh-jauh datang. 



Apakah sudah semua obyek wisata di Pulau Weh kami kunjungi ? jelas tidak, berikut ini destinasi wisata yang sempat kami kunjungi di sekitar Pulau Weh

Rubiah Sea Garden.
Balohan Port.
Tugu Kilometer 0.
Rubiah Island.
Iboih Beach.
Gapang Beach.
Anoi Itam Beach.
Aneuk Laot Lake.
Sumur Tiga Beach.
Bukit Pulau Klah. 
Monumen Sabang Merauke.
Monumen I Love Sabang.
Kencana Cafe – Aneka Hidangan Sabang.
Murah Raya Cafe – Ikan Bakar Sabang.

Dan berikut yang tidak sempat dikunjungi

Japanesse Fortress, Hidro Termal, Monkey Area, Pasir Putih Beach, Pria Laot Waterfall, Keunekai Hot Spring, Jaboi Volcano, dan Pulau Rondo. 

Jelajah Banda Aceh dan Sumatera Utara : Part #6 dari 14 : Kapal PLTD Apung dan Museum Tsunami.


Sampai di Pelabuhan Ulee Lheue, kami langsung dijemput Mbak Reny dan Bang Faizal, destinasi pertama adalah Kapal PLTD Apung. Jarak kapal ini dengan pelabuhan sekitar 5 km, yang sekaligus menggambarkan betapa dahsyatnya tsunami yang menggeser posisi kapal sepanjang 63 meter dan berat 2.600 ton ini ke tempat sekarang dan akhirnya diubah menjadi museum peringatan tsunami.




Di bagian depan nampak sebuah monumen peringatan yang berisi nama-nama korban di di Desa Punge, Blancut, Banda Aceh tersebut. Kapal ini konon tersapu gelombang setinggi 9 meter, dan menyisakan satu-satunya awak yang selamat. Saat kami kesana, lokasi kapal nampak ramai dan terlihat pameran foto-foto seputar tsunami dalam rangka peringatan 12 tahun tsunami yang akan diselenggarakan keesokan harinya, yakni 26 Desember. Menurut mbak Reny, di bagian bawah kapal diduga masih banyak jenazah yang terkubur selamanya. Dibagian dalam kapal dilengkapi dengan berbagai poster dan visualisasi grafik mengenai tsunami yang pernah terjadi.









Dari sini kami langsung menuju Museum Tsunami yang rancangannya dibuat oleh Ridwan Kamil, ternyata situasi disini malah lebih ramai. Ada acara orasi dan puisi dalam rangka peringatan. Di bagian depan museum yang idenya mengambil bentuk kapal, nampak helikopter yang tak sempat terbang lantas rusak tersapu tsunami. 

Lorong masuk ke dalam museum disertai peringatan khususnya yang memiliki ketakutan pada tempat gelap. Si Bungsu langsung mengintil gemetaran di belakang saya, ketika kami memasuki lorong gelap (space of fear) dengan dua sisi dinding basah yang mengalirkan air. Setelahnya kami memasuki ruang kenangan (space of memory), dimana kita disediakan banyak display yang memutar gambar-gambar masa lalu. Selanjutnya di ruang sumur doa yang berisi nama-nama sebagian dari korban dengan bagian plafon dihiasi kaligrafi Allah (space of sorrow).  Kemudian mengelilingi lorong cerobong yang berputar putar (space of confuse), dan akhirnya merasa lega di jembatan menuju masa depan (space of hope) dimana bagian langit-langitnya  dihiasi 54 bendera dari negara-negara yang memberikan bantuan kemanusiaan di masa itu.  






Tak heran rancangan ini menyabet penghargaan kelas dunia, sayangnya saat kami kesana display mulai terlihat tidak cerah, beberapa alat peraga terlihat berdebu, dinding mulai kusam. Sepertinya Pemerintah daerah harus segara berbenah melakukan perbaikan di museum keren ini.





  




Jelajah Banda Aceh dan Sumatera Utara : Part #7 dari 14 : Kapal Lampulo, Mie Aceh Razali, Masjid Baiturrahman, Es Campur Afuk, dan Rumoh Aceh.


Lalu kami menuju Kapal Nelayan di Lampulo yang berdasarkan keterangan di plakat berbunyi demikian “Kapal ini dihempas oleh gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 hingga tersangkut di rumah ini. Kapal ini menjadi bukti penting betapa dahsyatnya musibah tsunami tersebut. Berkat kapal ini 59 orang terselamatkan pada kejadian itu”. Kalau ditarik garis lurus lokasi kapal dengan berat 20 ton ini, memang dengan bibir pantai terdekat jaraknya cuma sekitar 1 km.




Mbak Reny berkisah, salah seorang korban selamat sebenarnya sudah mendapatkan mimpi akan mendapatkan pertolongan Allah melalui kapal ini, lalu beliau mengajak tetangganya, sayang hanya sedikit yang percaya padanya. Kejutan bagi saya, kalau kisah Nabi Nuh ternyata seakan akan bisa terjadi kembali lewat kapal sepanjang 25 meter dan lebar 5,5 meter ini.

Sayangnya karena tidak dalam ruangan tertutup, kondisi kapal sudah sedikit kusam, sepertinya memerlukan perhatian pemerintah juga untuk melakukan rehabilitasi kapal ini sebelum lapuk dimakan usia. Saat meninggalkan kapal saya berhenti sebentar di pelabuhan tradisional untuk mengabadikan beberapa gambar.




Karena sudah lapar, maka kami langsung menuju jalan Panglima Polem 83-84 di daerah Peunayong untuk menikmati Mie Aceh Razali. Saya memesan Mie Kepiting dengan kepiting berukuran cukup besar berkuah kental yang rasanya lebih enak di banding Mie Aceh di Bandung. Sama seperti Kencana Cafe di Sabang, Mie Razali juga memajang foto Jokowi saat berkunjung ke Banda Aceh.  Untuk minum kami memesan Teh Tarik yang disiapkan langsung oleh “barista” Razali dengan cara yang unik. Makan di Razali menghabiskan sekitar 269.000 IDR, seporsi Mie Kepiting Aceh kira2 40.000 IDR, sedangkan segelas Es Teh Tarik 12.000 IDR. 




Berikutnya adalah Pusaka Souvenir di jalan Sri Ratu Syafiatuddin untuk membeli beberapa pernik-pernik dan makanan khas. Secara umum makanan tradisional Aceh mirip dengan kota-kota lain, misalnya sale pisang, krupuk pisang, emping melinjo, berbagai jenis kacang. Jika anda menginginkan yang unik, sepertinya memang cuma Kopi Aceh, Rencong dan berbagai tas rajutan yang memenuhi syarat.






Karena sudah memasuki waktu shalat, kami bersegera menuju Masjid Baiturrahman, Si Bungsu yang bercelana panjang tidak diperkenankan masuk sebelum menggunakan sarung. Sayang sekali masjid ini tengah direnovasi, saya yang berusaha mencari sudut terbaik, ditegur pengawas bangunan karena terlalu dekat dengan area perbaikan. Lantai di bagian depan diganti dengan marmer putih berukuran besar yang mengingatkan saya akan marmer Masjidil Haram. Selain marmer ala Masjidil Haram, masjid ini juga sedang melakukan penambahan beberapa payung raksasa seperti di Madinah.







Entah kenapa ada cukup banyak pengemis di area nyaris sekitar empat hektar yang dapat menampung sekitar 9.000 jamaah ini. Saya yang tertarik memotret salah satu wajah pengemis yang kerutan wajahnya sangat ekspresif dan rasanya layak masuk kontes foto dunia, sayang beliau segera kabur dan menolak untuk saya foto.




Cuaca yang semakin panas membuat kami kehausan dan segera berkunjung ke Es Campur Afuk jalan Pocut Baren di depan Methodist Kampung Mulia. Minum Es ini rasanya menyegarkan, diracik sendiri oleh pemilik resep, langsung membasahi tenggorokan kami yang kering. 

Jelajah Banda Aceh dan Sumatera Utara : Part #8 dari 14 : Rumoh Aceh dan Pemakaman Massal Saron.


Perjalanan lanjut ke Rumoh Aceh, yakni rumah yang dibangun dengan filosofi budaya Aceh.  Menggunakan kayu berkualitas terbaik dan dirangkai dengan pasak. Atap dibuat dari rumbia, kayu dihias dengan ornamen tertentu. Sedangkan komposisi ruangan di antaranya Seuramou-keu (serambi depan), Seuramou-Likoot (serambi belakang), Rumoh-Dapu (dapur), Rumoh-Inong (rumah induk), Seulasa (teras), Keupaleh (gerbang), Kroong-padee (lumbung padi), dan Tamee (tiang).




Dari sini kami lalu langsung menuju Bandara Sultan Iskandar Muda dan mampir sebentar untuk berziarah di Pemakaman Saron, mendoakan saudara sebangsa dalam musibah tsunami 12 tahun lalu. Suasana terasa mengharukan melihat seorang pemuda peziarah melantunkan ayat-ayat Al Quran dengan lirih. Di pemakaman tanpa nama, tanpa nisan, tanpa memandang usia, agama maupun suku, lidah terasa kelu saat berusaha membacakan doa. 

Namun menurut mbak Reny dan Bang Faizal, berkah tersembunyi dari musibah ini adalah rakyat Aceh yang tersisa bahu membahu dalam menghadapi musibah ini, dan sejak itu aktifitas GAM (Gerakan Aceh Merdeka) bisa dikatakan lenyap tak bersisa. Apalagi pemerintah mengakomodir keinginan Aceh untuk menggunakan syariat Islam serta dimungkinkannya dibentuk partai khusus seperti Partai Aceh yang memang benderanya banyak terlihat di jalan-jalan.  




Berikut lokasi-lokasi yang sempat kami kunjungi;

Museum Tsunami.
Kapal Lampulo.
Pelabuhan Ulee Lheue.
Kapal PLTD Apung.
Es Campur Afuk.
Mie Aceh Razali.
Masjid Baiturrahman.
Pusaka Souvenir.
Makam Korban Massal Tsunami Saron.

Sayangnya masih ada lokasi-lokasi yang belum sempat kami kunjungi, seperti Ayam Tangkap, Rumah Cut Nyak Dien, Pantai Lampuuk dan Pantai Lhoknga.