Tuesday, July 26, 2016

Riwayat Baginda Karapatan Part #1 dari 8 : Masa kecil dan Membuka Sialaman


Tulisan ini dipicu oleh pembuatan group whatsapp keturunan Baginda Karapatan. Setelah menyusun kepingan puzzle riwayat sedikit demi sedikit dari semua keturunan beliau termasuk foto-foto masa lalu beliau, akhirnya tersusunlah gambaran yang lebih jelas mengenai beliau. Pada beberapa bagian mungkin ada hal yang menyinggung perasaan peran-peran tertentu, namun perlu dijelaskan penulis sama sekali tidak bermaksud membuka luka lama, namun hanya mencoba menulis ulang sejarah agar menjadi tambahan pengetahuan bagi anak cucu. Semoga semua dosa leluhur kita diampuni, diterima amal baiknya dan ditempatkan pada tempat terbaik di sisiNya.

Saat kami masih tinggal di Sibolga, almarhum Ayah membuat papan nama logam yang saat itu memang menjadi trend. Tulisannya adalah Saiful P. Pohan’s. Ketika aku bertanya apa maksud huruf “s” setelah marga Pohan tersebut, Ayah mengatakan artinya adalah Simandjuntak. Artinya marga Ayah adalah Pohan Simandjuntak. Hikayat dimasa lalu yang diceritakan secara turun temurun ada seorang Raja, yakni Raja Simandjuntak yang memiliki dua istri, dari istri pertama beliau memiliki banyak anak, sedangkan istri kedua hanya empat. Keempat anak ini bernama Mardaup (lelaki), Bonabulu (lelaki, namun kadang disebut Hutabulu) dan Sitombuk, sedangkan anak terakhir seorang wanita, yang sampai tulisan ini dibuat belum ada informasi mengenai namanya.

Suatu hari terjadi perselisihan, dan terjadilah penculikan keturunan istri pertama Boru Hasibuan (Kelompok Parsuratan) terhadap Si Bungsu dari istri kedua Boru Sihotang. Malang tak dapat ditolak, Si Bungsu akhirnya tewas terbunuh, dan terciptalah permusuhan yang akhirnya diselesaikan secara adat. Ketika Raja Simandjuntak wafat beliau berwasiat agar antara kedua garis keturunan ini terlarang untuk berhubungan, lalu semua harta beliau dibagi.

Namun setelah pembagian, ada seekor kerbau betina yang masing-masing pihak berdebat cara membaginya, karena kebetulan Sang Kerbau sedang bunting dan mereka memilih untuk menunggu Sang Kerbau melahirkan.  Dengan setengah menghina keluarga istri pertama mengatakan bahwa bagian buntut kerbaulah  (Horbo Pudi) yang menjadi hak keluarga istri kedua (karena menganggap bagian buntut adalah tempat keluarnya kotoran), sedangkan bagian kepala (Horbo Jolo) menjadi hak keluarga istri kedua. Sebelum menyembelih Sang Kerbau, lahirlah anak kerbau yang ternyata keluar dari bagian belakang kerbau, sehingga otomatis diklaim oleh  keluarga istri kedua, dan semakin menambah panas perselisihan diantara keduanya.


Baginda Karapatan Pohan


Kapan semua ini bermula ?, jika setiap generasi memiliki kisaran usia 30 tahun, maka selang antara generasi saat ini atau generasi ke lima belas dengan generasi pertama adalah 450 tahun. Dengan demikian sejarah Simandjuntak berawal di tahun 1500-an. Namun hal ini bisa juga dicross-check dengan sejarah suku-suku bangsa di Indonesia atau misalnya penyebaran Islam di tanah Batak.  

Baginda Karapatan sendiri konon anak bungsu dua bersaudara keturunan ke 13 dari Raja Simandjuntak yang merupakan anak dari Jakumaren (keturunan ke 12) Nama lain Baginda Karapatan adalah  Panyahang, sedangkan abang beliau dikenal sebagai Baginda Parhimpunan (Lela). Adapun Jakumaren merupakan anak sulung dari 5 bersaudara, dengan adik-adik beliau antara lain, Jatimur,  Jalinda, Jarittop dan Sutan Kalijunjung.

Silsilah lengkapnya sbb;

1.Simandjuntak
2.Mardaup
3.Tuan Sibadogil/Onan Runggu
4.Namora Tinukkun
5.Mulia Tandang
6.Ompung Bulus
7.Datu Manggaga
8.Batara Uluan
9.Ompung Songit
10.Sotarupon
11.Ompung Poring
12.Jakumaren
13.Baginda Karapatan

Kapan sebenarnya beliau lahir, tidak ada yang persis tahu, namun jika Ayah adalah anak kelima dan lahir pada 1932, maka ada kemungkinan beliau lahir di tahun 1900 an. Zaman itu kelahiran biasanya dikaitkan dengan peristiwa besar yang mendahului kelahiran misalnya letusan gunung berapi, musibah seperti banjir bandang, atau peristiwa bersejarah sepertinya datangnya Jepang atau kembalinya Belanda. Menurut Ayah, semua tanggal kelahiran Ayah bersaudara, dituliskan di salah satu dinding rumah, yang kemudian ditinggal beliau di Sialaman.

Kenapa ada begitu banyak Raja dalam silsilah keluarga Batak, berbeda dengan Raja-Raja di Jawa yang terkesan hanya dimonopoli keturunan ningrat, dalam masyarakat Batak, merintis dan membuka hutan dan lalu membuat perkampungan, sudah bisa digelari sebagai Raja. Dimasa itu, jarak rumah yang satu ke yang lain cukup jauh karena halaman yang luas. Itu sebabnya antara rumah komunikasi sering dilakukan dengan cara berteriak, sekaligus menjawab kenapa suara orang Batak terkenal keras.


Rumah Peninggalan Beliau Saat Difoto Tahun 2012, 
terlihat sisi kiri bangunan sudah hilang. 
Konon kabarnya ini rumah pertama di Sialaman 
yang menggunakan adukan batu dan semen, 


Jadi demikianlah, sejak beliau membuka Sialaman, dengan demikan beliau juga mendapatkan gelar Raja. Di lokasi yang bisa ditempuh dengan jarak 47 km dari  Padang Sidempuan (dengan melewati Sipirok) ini lah kehidupan beliau dimulai. Meski buta huruf, namun jiwa beliau lebih pas sebagai pedagang, dan dengan armada pedati beliau mengangkut berbagai hasil bumi ke Padang Sidempuan serta Sipirok dan sebaliknya membawa berbagai kebutuhan penduduk Sialaman.  Selain berdagang, beliau juga membuat kolam ikan yang sangat luas untuk beternak ikan air tawar. Beliau juga membuat sekolah bagi anak-anak di Sialaman. Saat ini meski jalannya relatif kecil, namun bisa dilewati mobil dengan perjalanan kira-kira satu jam.

Sialaman terletak di dataran tinggi dan berhawa sejuk/dingin, karena terletak di lembah gunung Sibualbuali yang masih aktif. Bahasa Batak yang digunakan adalah bahasa Batak Angkola sebagaimana sebutan bagi masyarakat disini sebagai komunitas Batak Angkola, namun Masyarakat Sialaman masih mengerti bahasa Toba dan Mandailing.

Sumber daya alam di Sialaman, Sipirok dan sekitarnya bisa di katakan baik. Air pegunungan yang bersih dan sejuk mengalir untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dan tidak pernah habis. Gunung Sibualbuali yang masih aktif juga mengalirkan air panas alami yang dikenal dengan "aek milas" di Padang Bujur dan "aek milas" di Sosopan, sebagai objek wisata.

Saat ini Sialaman merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Indonesia. Desa ini dibentuk pada tahun 2008 dari penggabungan Desa Gunung Tinggi Sialaman, Labuhan Rasoki, Sialaman Julu, dan Sihulambu. Sialaman merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan, Kecamatan Sipirok dengan Kodepos 22742, yang luasnya kurang lebih 28,3 km2 dan dengan jumlah penduduk 385 jiwa pada 2012, dengan kepadatan 14 jiwa/km2.

Makanan khas yang terkenal dari daerah ini adalah Lomang (makanan yang dimasak dalam bambu panjang dari beras ketan dan santan) serta dimakan dengan gula atau dengan bumbu rendang. Makanan ini biasa di masak menjelang hari Raya Idul Fitri atau Lebaran atau biasa juga di jual di pasar besar. Makanan lainnya yaitu Panggelong dan Golang Golang yang terbuat dari tepung beras.

Makanan khas lainnya yang terkenal adalah Ikan Arsik (Ikan Mas yang di masak dengan cara arsik) yakni dengan menggunakan rempah rahasia Sinyarnyar. Ikan Arsik ini juga sering disuguhkan dalam acara adat. Karena daerah Sialaman berhawa dingin, maka makanan yang diminati kebanyakan masyarakatnya kebanyakan cukup pedas, seperti Sambal Gaor, keripik singkong yang di goreng kemudian di"gaor" (diaduk) dengan sambal cabe yang di masak terpisah (kadang ditambahkan Udang Rebon alias udang-udang kecil agar gurih).  Ada juga jenis keripik sambal lain yang di kenal dengan Sambal Taruma.

Makanan lain yang tak kalah menarik adalah Dodol atau Alame, terbuat dari tepung terigu dicampur gula plus santan. Dimasak sampai 8 sd 9 jam menggunakan wajan berukuran raksasa dengan tungku kayu bakar. Biasanya makanan ini dimasak saat Hari Raya Idul Fitri. Saking beratnya proses memasak dodol ini, maka diperlukan lebih dari satu keluarga yang membentuk panitia kecil terdiri dari dua sampai dengan tiga  keluarga untuk masak bersama.

Ada keluarga memasok kelapa sekaligus memarutnya jadi santan, keluarga lainnya menyumbang gula dan sisanya menyumbang tepung. Adonannya memang harus terus menerus diaduk dengan sendok berukuran panjang ekstra supaya kaki pengaduk tidak terkena panasnya api. Proses pengadukan dari sejak adonan encer sampai tanak dan kental menjadi dodol. Khusus yang ditugaskan mengaduk biasanya adalah muda mudi. 

Hampir setiap rumah daerah ini menjadikan peristiwa memasak dodol ini layaknya ritual pokok Hari Raya Idul Fitri. Sampai-sampai mereka kalau bertanya kapan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri, menggunakan kalimat ganti "Andigan do hita mangalame ?" yang artinya kapan kita masak alame. Setelah masak, adonan dituangkan ke dalam bungkusan tikar pandan seukuran kamus Inggris - Indonesia karya Hassan Shadily. Lambat laun Alame makin mengeras dan semakin lezat lalu dihidangkan sebagai salah satu penganan Hari Raya Idul Fitri. Alame ini relatif tahan lama, kadang saat disimpan, memang muncul semacam jamur putih dibagian permukaan, namun dengan mengiris bagian yang berjamur, Alame tetap dapat dimakan. 

Ciri khas kerajinan asal daerah ini adalah Tenun Ulos dan Tenun Silungkang serta berbagai kerajinan yang terbuat dari manik-manik.

*Beberapa informasi dikutip dari Wikipedia
*Silsilah dan perkiraan awal generasi sesuai informasi dan analisa dari Anwar Syafri Pohan 
*Proses memasak Dodol Alame dari Rudi Ramon Pohan dengan sedikit catatan dari Soheh Pohan. 

Riwayat Baginda Karapatan Part #2 dari 8 : Menikah dengan Nursiti Siregar

Istri Baginda Karapatan berasal dari Desa Huta Padang atau sebagian orang menyebutnya Desa Ujung Padang. Berjarak kurang lebih 20 km dari Pasar Sipirok. Untuk menuju kesini harus melintasi antara lain Desa Bunga Bondar, Arse, dan Simpang Rocitan.

Konon kabarnya beliau saat harus menuju rumah pujaan hati harus menggunakan kuda menempuh jarak yang cukup jauh apalagi jika diukur dari Desa Sialaman (7 km dari Sipirok arah Pal Sabolas). Kegigihan beliau akhirnya tidak sia-sia dan berbalas, dengan jatuh hatinya Sang Gadis yakni Nursiti Siregar.


Nursiti Siregar


Pernikahan ini juga sekaligus menandai bersatunya Desa Sialaman dengan Desa Huta Padang. Penyatuan kedua remaja dari kedua desa tersebut sepertinya dinilai sukses, agaknya menjadi inspirasi untuk diulangi kembali yakni saat anak kempat beliau alias Oloan Pohan, menikahkan anak sulungnya Ahmad Amru Pohan yang kembali mempersunting gadis dari Huta Padang dan dirayakan 2 hari 2 malam. Tradisi ini dikenal juga dengan Manyunduti alias Mangulaki Pangkal (kembali ke asal). 

Nursiti Siregar, merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara sekaligus satu-satunya perempuan. Hubungan beliau sangat dekat terutama dengan abang ketiganya. Seringkali, jika tengah berada di sawah, dan beliau merasa rindu pada abangnya, entah darimana tiba-tiba muncullah sang abang menjenguk adiknya, karena kuatnya persaudaraan diantara mereka.

Abang ke tiganya ini lebih banyak di perantauan. Suatu ketika dia datang berkunjung ke rumah abang kedua, dimana Nursiti Siregar tinggal. Di situ dia melihat betapa adiknya bekerja keras di rumah tersebut, mengurus keponakan-keponakannya. Dan kakak iparnya yang berwatak sedikit kaku, setiap selesai makan, kakak iparnya mengumpulkan sisa-sisa makanan anaknya untuk disatukan ke piring menjadi makanan bagi Nursiti Siregar.  

Tidak senang melihat hal tersebut, abang ketiga yang sangat sayang dengan adiknya yang selalu dia katakan dengan 

"Mukona na sumanan dohot inanta" 

yang artinya 

"Wajahnya sangat mirip dengan muka mendiang ibu".

Agar adiknya memiliki tempat bernaung hidup, maka di usia nya yang ke 17, abang ketiga memutuskan menikah agar sekaligus dapat mengasuh Nursiti Siregar. Abang pertamanya sendiri sempat lenyap di perantauan selama bertahun-tahun, Lalu saat usia senja, datang seorang kakek yang ingin bertemu dengan Nursiti Siregar, ternyata beliaulah abang pertama yang selama ini menghilang. Kelak cucu beliau sempat dibantu Ayah bekerja di kantor Ayah dan pensiun beberapa tahun yang lalu sebagai salah satu pegawai berprestasi. 

Saat remaja Nursiti Siregar, memiliki tubuh langsing, namun sejak meninggalnya anaknya yang bernama Zen atau Zaini Pohan, beliau banyak larut dalam duka, lalu melampiaskan rasa sedihnya dengan banyak makan. Mungkin itu sebabnya kami para cucunya kadang memanggilnya Ompung Gendut. 

Kehidupan Nursiti Siregar memang penuh cobaan. Ditinggal ibunya saat sekitar empat tahun dan lalu Ayahnya menikah lagi, sehingga beliau memiliki sejumlah saudara tiri. Diantaranya, yang memiliki anak bernama Pangeran (yang anak perempuannya pernah dijadikan Baginda Karapatan sebagai kandidat calon mantu bagi Ayahku).  

Kembali ke belakang, suatu ketika, Baginda Karapatan pergi ke suatu kampung, ingin mencari istri. Syarat beliau yang memang  sangat jelas, yakni, istri yang orangtuanya lengkap. Beliau tidak mau mendekati calon yang orangtuanya tidak dikenalnya. Saat memasuki kampung, Baginda Karapatan sedang asik memantau, tampaklah di depan sebuah rumah, seorang gadis yang tengah asyik menggendong dan menjaga keponakannya. Sempat saling berpandangan dan masing-masing saling membatin. 

Tidak jelas apa yang ada di batin Baginda Karapatan, tapi apa yang ada di batin Nursiti Siregar dijelaskannya sekian puluh tahun kemudian ke Ibuku. Demikian cerita beliau 

"Jadi maen, dompak I jolo bagas I ma au, adong huida sada bayo mangaligi au. 
Ama na lomlom bayo inang .. 
Dungi au pe lupa ma. 
Apengani inda sadia lolot ro ma bayo I dohot koum nia, get mangalap au .."  

dengan terjemahan sbb

"Jadi maen (panggilan ke mantu perempuan, singkatan dari kata parmaen), sewaktu aku tengah di depan rumah, aku lihat ada seorang lelaki memperhatikan aku.. luar biasa hitamnya lelaki itu maen .. Ee.. tidak taunya, beberapa saat kemudian, lelaki itu dengan didampingi kerabatnya datang untuk melamar aku". 

Baginda Karapatan, memang tersohor karena kekontrasannya. Kulit badan yang gelap mengkilat, lalu giginya luar biasa bersih (kemana2 beliau selalu mengantongi sikat gigi) serta saat tua rambut yang putih seluruhya bagaikan perak. Dan kemana pun beliau jalan selalu memakai piyama.  Mengingat Nursiti Siregar yang saat itu adalah yatim piatu, sepertinya Baginda Karapatan jatuh cinta pada pandangan pertama dan langsung lupa persyaratan yang dia buat sendiri. 

Demikianlah, saat Nursiti Siregar atas saran abangnya menerima pinangan Baginda Karapatan. Maka berangkatlah sang calon pengantin ini diantar abang ketiga ke Sialaman. Kampung Sialaman, saat itu masih merupakan daerah yang semi hutan (Ayahku saat sekolah rakyat atau disingkat SR/SD, bahkan sempat bersua dengan beruang).

Nursiti Siregar remaja pun berjalan menyusuri hutan dengan abang ketiganya. Di beberapa bagian perjalanan yang penuh pendakian, karena tak lagi kuat berjalan Nursiti Siregar kadang digendong abang ketiganya. Menurut Ibuku, saat itu Nursiti Siregar masih berusia sekitar 14 tahun, dan belum mendapatkan tanda-tanda kedewasaan seperti menstruasi. 


Karena kelembutannya,  Baginda Karapatan sangat mencintai Nursiti Siregar, bahkan kepada semua anak lelakinya (setengah mengultimatum dan setengah memaksa), beliau menugaskan anaknya untuk menikahi dengan boru bermarga Siregar, 

"Songon umak mu !!"  

yang artinya 

"Seperti ibu kalian .. !!". 

Demikian kata beliau.

Dalam acara pernikahan umumnya selalu dilakukan Upa-upa, alias prosesi dengan semacam tumpeng, namun tidak asal tumpeng saja, tetapi harus memiliki berbagai pelengkap dan makna sebagai berikut;


  • Tampah : Untuk memilah yang baik dan buruk, namun sebaiknya tampah yang dipakai adalah yang berbentu persegi empat, dimana posisi telur ayam sengaja didekatkan pada sasaran yang akan di upa-upa. 
  • Daun Pisang : Pisang hanya berbuah sekali lalu mati, demikian pula hendaknya pasangan, hanya dipisahkan kematian.
  • Ayam : Selalu bangun di pagi hari, memanggil anak2nya untuk berbagi makanan.
  • Tiga Telur Ayam : Menggambarkan Dalihan Na Tolu (kahanggi alias saudara semarga, anak boru alias semua marga yang menikahi wanita marga kita dan mora alias semua marga wanita yang dinikahi marga kita) dan putih/bersih nya bagian putih telur serta keindahan kuning emas di bagian dalam.
  • Garam : Menjadi sosok seperti garam memberi rasa pada setiap masakan dan diperlukan oleh setiap orang.
  • Udang : Jika bertabrakan salah satu mundur, menggambarkan konflik hanya akan dapat selesai dengan mengalah dan sabar.
  • Daun sirih dengan berbagai isi seperti kapur, dll : Meski dalam rumah tangga ada banyak rasa, namun keluar tetap dibungkus dengan daun untuk menutupi aib masing-masing pasangan.
  • Ikan Mera: Hanya hidup dilingkungan berair bersih dan mengalir. Namun karena sulitnya mendapatkan ikan ini, tidak mudah dibudidayakan dan harganya yang mahal, maka dalam banyak prosesi digantikan dengan Ikan Mas.  


*Sesuai cerita Rudi Ramon Pohan mengenai kisah kasih Baginda Karapatan
*Khusus mengenai makna prosesi upa-upa seusai cerita Soheh Pohan, sedangkan bentuk nampan dan Ikan Mera sesuai masukan Anwar Syafri Pohan. 

Riwayat Baginda Karapatan Part #3 dari 8 : Lahirnya 9 anak


Sebagaimana kebiasaan manusia zaman dahulu, memang sangat umum memiliki banyak anak. Sehingga Nursiti Siregar setelah pengalaman melahirkan beberapa kali dengan bantuan dukun beranak, akhirnya memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk melakukan persalinan seorang diri. Salah satunya adalah anak bungsu beliau yakni Nurlena Pohan,  proses persalinannya dilakukan  tanpa bantuan siapapun, termasuk memotong tali pusar dan membersihkan bayinya sendiri.

Karena Nursiti Siregar tidak pernah mengenal dengan jelas ibunya. Satu-satunya kenangan yang diingatnya adalah saat ibunya dibaringkan di tengah ruangan dan banyak sekali orang di rumah (yakni peristiwa dimana ibunya meninggal). Dengan demikian, saat beliau melahirkan anaknya yang pertama (Djaunar Pohan), dan beliau memanggilnya dengan inang (inang adalah panggilan yang sama digunakan , baik untuk ibu maupun anak perempuan. Demikian pula panggilan amang (untuk ayah) diberlakukan sama pula untuk panggilan amang (untuk anak lelaki). Itulah sebabnya dalam tradisi Batak seorang kakek atau nenek terkadang memanggil adik atau anggi kepada cucunya. 

Demikian terharunya Nursiti Siregar dan dia berkata; 

"Dompak menek na jungada au sompat mamio inang. 
Ohh Tuhan .. ya Allah marsyukur au sannari I lehenKo au kesempatan mamio inang". 

yang artinya 

"Sewaktu aku kecil, tak pernah aku berkesempatan memanggil Inang .. ya Allah,,  aku bersyukur padaMu ,.. Kau beri aku kesempatan untuk memanggil Inang".

Demikian pula saat beliau melahirkan anaknya yang pertama laki-laki. Sebagai yatim piatu, rasa syukur beliau semakin dalam. Betapa akhirnya dalam hidupnya beliau akhirnya berkesempatan memanggil amang kepada anak lelakinya (seperti diuraikan di atas, amang dapat pula berarti panggilan untuk ayah).

Banyak kisah-kisah Nursiti Siregar yang terekam oleh Ibuku. Sebabnya adalah karena pada waktu tahun 1970, saat kami pindah ke Sibolga, Ayah terlebih dahulu berangkat ke Sibolga. Sementara kami tinggal di Padang Sidempuan (di rumah Ompung). Selama kurang lebih satu bulan, untuk kemudian Ayahpun menjemput kami. Namun karena belum mendapatkan rumah dinas, kami untuk sementara mengontrak rumah di Jalan Katamso, Sibolga, dekat tempat yang dinamakan dengan Tangga 100. 

Nah, saat di Padang Sidempuan itulah, Ibuku tidur satu tempat tidur dengan Nursiti Siregar. Disitulah kemudian beliau dan Ibuku banyak bercerita ngalor ngidulDi depan rumah beliau terdapat sebuah warung nasi (atau Lopo,  kadang disebut dengan Lepau atau Lapo). Nah, di warung makan itu, ayahku sering menunaikan hobinya yang terutama yakni bermain catur. Begitu bermain, ayah sudah lupa segala-galanya, kecuali posisi kuda, gajah, benteng dan pion.

Suatu ketika saat sudah jam makan, dan ayah masih belum juga beranjak dari medan pertarungan catur. Nursiti Siregar mengajak Ibu makan bersama Ayah. Namun mendengar dari menantunya bahwa Ayah masih berkutat dengan bidak2nya di lopo seberang. Maka beliau langsung masuk ke lopo tersebut (kalau tidak salah pemiliknya bernama Salim).  

Beliau langsung menuju ke meja catur yang tengah khusuk ditekuni oleh sang anak lalu beliau mengembangkan selendangnya  (busaen atau basaen bahasa daerahnya). Layaknya jaring ikan, basaen itu beliau tutupkan ke medan pertempuran catur, dan dengan sekali hentakan lembut, seluruh bidak terguling berhamburan meninggalkan posisinya masing2.  Dengan wajah dan suara yang tenang tanpa rasa bersalah, beliau lalu berkata .. 

"Keta amang .. mangan kita". 

Yang artinya 

"Ayo amang, makan kita".

Ayahku pun dengan tidak berdaya digiring ibunya dan digandeng beliau ke rumah untuk makan bersama. 


Berikut nama-nama putra dan putri Baginda Karapatan dengan pasangan dari yang sulung sampai dengan bungsu.

Anak #1 : Djaunar Pohan (menikah dengan Ismail Harahap)
Anak #2 : Salbiah Pohan (menikah dengan Paramean Siregar)
Anak #3 : Marajo Pohan gelar Sutan Nauli (menikah dengan Djamilah Pulungan)
Anak #4 : Oloan Pohan gelar Sutan Oloan (menikah dengan Dahlia Matondang)
Anak #5 : Syaiful Parmuhunan Pohan gelar Sutan Endar Muda (menikah dengan Siti Hajar Lubis)
Anak #6 : Mayurida Pohan (menikah dengan Tunggal Siregar)
Anak #7 : Nurdia Pohan (menikah dengan Tarmizi Partaonan Dalimunthe)
Anak #8 : Nurmina Pohan (menikah dengan Zulkifli Daulay)
Anak #9 : Nurlena Pohan (menikah dengan Muchtaruddin)


Putra Putri Beliau Mulai dr Sulung sd Bungsu
saat pernikahan Ahmad Amru Pohan

Konon kabarnya diantara Syaiful Parmuhunan Pohan dan Mayurida Pohan, ada seorang anak lelaki lainnya yakni Zaini Pohan yang meninggal saat berumur sekitar 10 tahun.  Nursiti Siregar sempat menceritakan meninggalnya Zaini Pohan pada ibuku.

Karena terobsesi dengan pendidikan, memiliki banyak anak dan jauhnya sekolah terdekat ke Sialaman, maka Baginda Karapatan membangun sekolah. Awalnya hanya sampai dengan kelas 3 SD. Sebagaimana di kampung, murid-murdi juga kebanyakan mengasuh adiknya. Jadi konon, Mayurida Pohan (dan kawan-kawannya yang lain), masuk ke sekolah dengan menggendong adik-adiknya masing2 masuk kelas. Begitu juga Mayurida masuk kelas sambil menggendong adiknya yang bernama Nurlena Pohan. 

Pada saat itu, Sialaman terkenal sebagai penghasil gula aren. Ayah bercerita, sewaktu kecil, setiap jalan ke luar rumah, Baginda dan Karapatan selalu membekali diri dengan keranjang berisi bibit pohon aren. Sepanjang perjalanan, mereka melempar-lemparkan bibit aren atersebut ke ladang dan tanah kosong di sekitar. Jadilah setelah beberapa masa, Sialaman diliputi oleh pohon Aren. Dan ternyata Aren inilah yang menjadi salah satu penunjang perekonomian daerah. 

Jadi program yang dilakukan beliau adalah program kemandirian daerah. Mirip otonomi daerah zaman sekarang. Bedanya otonomi daerah sebatas pungutan seperti perparkiran dan retribusi lainnya, dan bukan membantu meningkatkan pendapatan asli daerah. Sayangnya generasi berikut lupa atau lalai melakukan regenerasi aren tersebut, sehingga saat ini di Sialaman gula aren malah sempat langka. 

Cara memasak aren, adalah dimasak dengan waktu yang cukup lama di atas kuali, dengan menggunakan bahan bakar dari batang-batang kayu. Tentunya setelah beberapa saat kayu pun memendek, maka harus digeser ke bawah kuali agar tetap tepat nyalanya, atau diganti dengan kayu yang baru. Demikianlah saat sekolah selain menjaga adik, adalah hal yang lazim bila umpamanya Mayurida Pohan dan kawan-kawannya pamit ke pak Guru. 

"Parmisi angku get mangaligi api ni guloo … ". 

yang artinya 


"Angkuuu… saya pulang dulu, mau mengontrol api nya gula .." 

dan guru pun – dengan memeprtimbangkan kondisi setempat (alias kebijakan lokal) – biasanya akan menjawab. 

"Hmm… jadi ma .." 

yang artinya 

"Hmmm baiklah" 

Keinginan yang kuat dari pemuda Sialaman untuk sekolah akhirnya berhasil dituntaskan, dengan lulusan S1 pertama, yang tidak salah diraih Batas Pohan, yang akhirnya lulus dari IPB. Tentu untuk generasi keempat masih ada peluang memecahkan rekor yakni memecahkan lulusan pertama S3.   


Nurlena Pohan, Muchtaruddin,
Nurdia Pohan, Partaonan Dalimunthe,
Mayurida, Tunggal Siregar,
Salbiah Poha dan Paramean Siregar


Kini saat blog ini ditulis semua keturunan langsung Baginda Karapatan telah dipanggil olehNya, dan hanya tersisi dua menantu Baginda Karapatan, yakni Muchtaruddin yakni suami Almarhum Nurlena Pohan, dan Siti Hajar Lubis alias istri Syaiful Parmuhunan Pohan.

Klik http://hipohan.blogspot.my/2016/07/riwayat-baginda-karapatan-4.html untuk bagian keempat

*Seusai dokumen peninggalan Syaiful Parmuhunan Pohan
*Foto-foto sebagian besar menggunakan koleksi Amazon Dalimunthe 

Riwayat Baginda Karapatan Part #4 dari 8 : Meninggalkan Sialaman

Ketika Jepang datang, kehidupan menjadi sulit lalu terjadi pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang akhirnya memaksa Jepang meninggalkan Indonesia. Namun meski saat perang, Baginda Karapatan tetap berusaha menjalankan armada ekspedisi pedati dagangannya.  Saat dalam salah satu perjalanan pulang, ternyata kedatangan beliau dihubung-hubungkan dengan kedatangan kembalinya Belanda. Lalu muncul tuduhan seakan akan beliau terlibat dibalik kedatangan tersebut. 

Karena adanya pengaduan sosok Mr. X (yang juga diduga tidak begitu menyukai kesuksesan bisnis Baginda Karapatan dan posisi Baginda Karapatan yang juga menjabat semacam camat di lingkungan Sialaman) maka kelompok gerilyawan menyandera beliau bersama seorang bangsawan lainnya. Di tempat sepi di pinggiran hutan, mereka berdua diminta menggali kuburnya sendiri, dengan todongan senjata. Dan lalu terdengar suara tembakan saat Sang Bangsawan menyelesaikan galiannya dan tibalah giliran Baginda Karapatan, namun beliau memohon agar dapat mengabulkan permintaan terakhirnya.

Melihat kesungguhan beliau, maka para gerilyawan menyetujui permintaan tersebut, lalu beliau pun mengajukan agar dapat bertemu dengan Salbiah Pohan putri kedua beliau, mendengar nama tersebut para gerilyawan pucat, karena Salbiah Pohan merupakan istri dari ketua kelompok gerilyawan yakni Paramean Siregar (yang belakangan mendapatkan Bintang Gerilya dari Pemerintah RI), mendadak sontak mereka minta maaf dan lalu melepas beliau dari proses eksekusi.


Nurlena Pohan, Nurdia Pohan, Mayurida Pohan dan Salbiah Pohan


Mengetahui Mr. X berada di balik peristiwa tsb, maka para tetua adat mengumpulkan keluarga Baginda Karapatan dan keluarga Mr. X.  Lalu dilakukan perjamuan di kediaman Mr. X agar antara kedua kelompok keluarga dapat dicapai perdamaian secepatnya.   Entah kenapa dalam perjamuan tersebut, Baginda Karapatan mencium ada ketidak beresan, maka beliau mengatakan perdamaian hanya bisa dilakukan jika memakan hidangan yang sama dan dari piring yang sama. Dengan demikian beliau sama sekali tidak menyentuh hidangan di piring beliau. Maka jamuan makan terus berlangsung.  Setelah selesainya acara, Nurdia Pohan, putri  ke tujuh beliau, menyaksikan sekumpulan bebek peliharaan di pinggir sungai di belakang rumah mendadak tewas saat memakan makanan dari piring yang seharusnya dimakan Baginda Karapatan.

Mendengar informasi dari putrinya, dini hari jam 02:00 pagi, tanpa berpikir panjang, beliau meninggalkan Sialaman dengan bekal ala kadarnya. Sesampainya di Padang Sidempuan, beliau pelan-pelan menyusun rencana untuk memboyong anak dan istrinya setahap demi setahap serta harta yang  masih bisa dibawa. Lalu beberapa masa setelah itu aset yang sifatnya seperti tanah, kolam ikan dan rumah dijual oleh Baginda Karapatan. Sejak kejadian tersebut, beliau tidak pernah lagi kembali menginjak Sialaman sampai beliau menutup mata. 


Konon Salah Satu Makam Ini adalah Makam Ibunda Baginda Karapatan


Kolam ikan yang dibangun Baginda Karapatan, masih ada hingga kini meski sudah dibeli oleh kerluarga lainnya. Begitu luasnya sehingga bisa dipakai untuk berperahu. Sebenarnya kolam ini dibuat dengan membendung sisi-sisinya. Jika sisi bendungan ini rusak, maka kampung sekitar bisa terendam. Konon untuk mengeringkan kolam ini dibutuhkan waktu empat hari, dan dikeringkan secara bertahap. Penduduk kampung sekitar akan berbondong-bondong datang membantu. Baginda Karapatan hanya mengambil ikan masnya saja, sedangkan ikan-ikan lainnya diberikan secara cuma-cuma untuk penduduk sekitar. Konon kolam ini juga berhubungan dengan cerita sedih karena salah satu anak kerabat (Junjung Pohan) yang berusia sekitar 10 tahun, tewas tenggelam .

Pada tahun 1970 an, saat kami di Sibolga, almarhum Ayah berkunjung kerumah ibunya Nursiti Siregar di Padang Sidempuan, karena tidak ada kayu bakar, dengan santainya ibunya berniat menggunakan satu set kursi tua di gudang. Melihat kursi itu, Ayah kaget sekali dan memohon pada ibunya agar memberikan kursi itu padanya. Ayah teringat kursi ini merupakan salah satu yang dibawa rombongan saat mengungsi dari Sialaman ke Padang Sidempuan karena  peristiwa percobaan pembunuhan diatas. Empat buah kursi antik dan meja marmer yang didapat Baginda Karapatan dari hasil lelang peninggalan barang Belanda pun akhirnya selamat, bahkan turut bersama kami pindah ke Denpasar dan lalu ke Bandung, sempat menjadi kursi tamu pertama di rumah ku serta terakhir menjadi bagian dari kursi di rumah abangku di sekitar Bintaro. Ayahku masing ingat setiap orang membawa satu kursi diatas kepala dengan berjalan kaki.


Seperti inilah kira-kira Kursi Belanda tersebut

Cerita abangku saat itu dia terheran-heran saat melihat Ayah membawa seperangkat kursi tua dan jelek, ke rumah kami. "Kursi apa Pa ?"  tanyanya. "Ohh.. ini kursi ompungmu ini .. waktu papa masih kecil , kursi ini sudah ada .. !" dengan bangganya Ayahku bercerita. Beberapa hari kemudian Ayah pun sibuk berkonsultasi dengan tukang kayu, untuk memelitur, dan mengganti jok anyaman rotan kursi2 tersbut. Kemudian Ayah menempatkannya di ruang baca (perpustakaan mini kami) di rumah dinas Pos dan Giro (sekarang PT Pos INdonesia) di Sibolga.

Ayahku dan abangnya Oloan Pohan saat di Yogyakarta, sempat bertemu dengan keturunan Mr. X yang juga meneruskan kuliah di Yogyakarta, dan lalu berusaha bertemu untuk saling memaafkan, bagi mereka urusan orang tua tetap tidak harus dikaitkan dengan urusan keturunan. Demikianlah sikap sportifitas yang ditunjukkan oleh keturunan kedua belah pihak yang menjadi pelajaran sangat baik bagi generasi setelahnya. 

Beberapa masa kemudian, Mr. X sendiri dan putra sulungnyanya meninggal karena kecelakaan lalu lintas saat dalam perjalanan ke kantor pos di kota terdekat untuk mengambil kiriman uang dari salah satu putranya yang sukses di Jawa.  Dengan demikian semoga berakhirlah perselisihan di masa lalu, dan setiap keturunan kembali membuka lembaran putih yang baru dalam kemasan persaudaraan.

Klik http://hipohan.blogspot.my/2016/07/riwayat-baginda-karapatan-part-5-dari-8.html untuk bagian ke 5



*Sesuai cerita Nursiti Siregar kepada Siti Hajar Lubis  
*Cerita mengenai kursi, diceritakan sesuai dengan penuturan Anwar Syafri Pohan.   

Riwayat Baginda Karapatan Part #5 dari 8 : Kehidupan sebagai Pengusaha


Meski Baginda Karapatan tidak memiliki pendidikan tinggi dan bahkan buta huruf, ternyata beliau memiliki pandangan jauh kedepan khususnya dalam dunia wiraswasta. Selain ekspedisi berbagai pedati dengan hasil bumi ke arah Sipirok dan ke Padang Sidempuan juga arah sebaliknya mengirim kebutuhan masyarakat ke Sialaman.

Beliau juga memiliiki bisnis Bioskop di Batang Toru, membangun sekolah di Sialaman, bisnis perdagangan ikan dengan kolam besar yang beliau buat (dan masih ada hingga kini). Saat perjalanan ke Jawa dan melihat industri batu bata, beliau membeli mesinnya, dan melatih para pekerja, lalu tak lama kemudian berdirilah industri batu bata di Padang Sidempuan.

Beliau juga jeli melihat peluang, saat RS Umum Padang Sidempuan berdiri, beliau menawarkan diri sebagai pemasok hasil ternak dan hasil bumi bagi RS tersebut. Dan usaha ini dijalankan beliau dengan dukungan armada pedati miliknya.

Sewaktu Baginda Karapatan ke Yogya mengunjungi anaknya Oloan Pohan, dia takjub melihat berbagai kursi dan perabotan lain yang terbuat dari bambu. Di Sialaman maupun di Padang Sidempuan dia tidak pernah lihat bambu secantik dan sebesar itu. Sekembalinya ke Padang Sidempuan, beliau membawa bibit bambunya dengan jumlah banyak. Kelak menurutnya bibit bambu itu akan ditanam di kampung dan diberi nama Bambu "BK" alias inisial nama Baginda Karapatan, dan mirip dengan inisial Bung Karno, senyumnya bangga.


Kolam Ikan Peninggalan Baginda Karapatan


Karena kedekatannya dengan berbagai lingkungan, dalam jaringan bisnis Baginda Karapatan juga termasuk hubungan bisnis dengan orang-orang Belanda. Kadang beliau pergi menemani mereka berburu. Dari hubungan seperti itu, akhirnya beliau bisa mendapat info terkini, misalnya apabila ada Belanda yang pindah. Dalam kesempatan itu, biasanya beliau langsung bertindak sebagai pemborong untuk membeli semua barang-barang peninggalan si Belanda. Sehingga, menurut penuturan ibuku, pada saat ibu bermain ke rumah ayah (ibuku adalah teman sekelas Mayurida Pohan, dan termasuk sosok yang  mendukung pernikahan mereka), barang-barang yang termasuk aneh banyak di rumah mereka. Misalnya bantal2 yang berisikan bulu angsa. Lampu2 kristal. 

Baginda Karapatan juga menyediakan semacam tempat peristirahatan bagi orang-orang yang pergi berburu. Tempat ini dia berikan alas tidur yang tebal dengan banyak bantal dan guling. Dengan demikian Baginda Karapatan banyak membina relasi yang memudahkannya menjalankan bisnis. Ayah saat kecil senang sekali berloncatan di alas tidur ini dan tidur dikelilingi banyak bantal dan guling. Saat dewasa, Ayah masih mempertahankan kebiasaan tidurnya dengan banyak bantal dan guling. 

Kata ibuku, koleksi rumah Bagidna Karapatan termasuk gantungan / hiasan lampu yang terdiri dari pipa2 yang melingkar bergantungan. Namun oleh Nursiti Siregar, yang berfikiran sederhana, pipa itu dia lepas untuk meniup perapian. Satu demi satu pipa2 itu pun hilang untuk aktifitas meniup api di dapur. Demikianlah nasib sebagian barang-barang antik tersebut. 

Karya terakhir beliau yakni Hotel di depan Kantor Polisi Padang Sidempuan, namun tidak sempat berdiri karena beliau keburu dipanggil Sang Maha Pencipta. Sayangnya putra dan putri beliau juga tidak meneruskan karya terakhir beliau, dan ternyata tak satupun putra ataupun putri beliau yang meneruskan profesi sebagai wiraswasta tersebut.  

Nah bagaimana dengan naluri pengusaha istri beliau yakni Nursiti Siregar ? Sebagai pebisnis, Baginda Karapatan sering meminta istrinya Nursiti Siregar membantu usaha beliau menjualkan dagangan Baginda Karapatan. Misalnya suatu ketika Baginda Karapatan membuat kolam ikan di Padang Sidempuan. 

Suatu ketika datanglah seorang pembeli, membeli ikan 1 kg. 

"Berapa inang ?" demikian tanya si pembeli, dan 
"Sekian.. " dijawab Nursiti Siregar. 
"Sudah berkeluarga nak ? dan berapa cucu di rumah" tanya Nursiti dengan ramah. 
"Sudah inang, anakku 5", jawab si pembeli. 
"Aduuhh.. dikit kali lah ikan kau beli .. tambahlah nak, barang 3 ekor lagi …" balas Nursiti 
"Tapi aku nggak punya uang lagi inang .." jawab si pembeli
"Nggak apa2, nggak usah bayar .." pungkas Nursiti. 


Demikianlah sistem dagang Nursiti Siregar, dimana bisa-bisa harga bonusnya lebih besar dari harga dagangannya. Tidak heran, tak berapa lama pun usaha jual beli ikan ini pun tutup. 


Klik http://hipohan.blogspot.my/2016/07/riwayat-baginda-karapatan-part-6-dari-8.html untuk bagian keenam 

*Sesuai cerita Nursiti Siregar kepada Siti Hajar Lubis
*Mengenai bambu sesuai cerita Rudi Ramon Pohan   

Riwayat Baginda Karapatan Part #6 dari 8 : Karakter, Masa Tua dan Wafatnya Beliau


Kehidupan sulit membentuk Baginda Karapatan menjadi sosok berkarakter keras pada anak dan pasangan. Tidak segan-segan beliau menerapkan hukuman fisik seperti memukuli Ayahku dengan rotan sambil digantung dengan kepala dibawah didalam karung.  Darah Ayah yang merembes dan menetes menyebabkan istri beliau Nursiti Siregar pingsan. Sedangkan adik-adik Ayah, melihat kejadian tersebut menangis histeris.

Bukan cuma anak lelaki, Salbiah Pohan, karena menolak pergi sekolah, pernah dipukul oleh Baginda Karapatan dengan semacam tumbuhan menjalar sampai-sampai kupingnya mengeluarkan darah. Sejak saat itu Salbiah Pohan sempat mengalami masalah pendengaran di salah satu kupingnya. 

Saat aku masih kecil aku sempat heran melihat gigi depan ompung Nursiti Siregar tidak lengkap, ternyata ini juga akibat dihajar oleh Baginda Karapatan. Namun demikian permikahan mereka hanya dipisahkan oleh maut, dan keduanya setia sampai akhir. Kombinasi karakter mereka memang saling melengkapi, Baginda Karapatan yang keras dan berani serta kelembutan Nursiti Siregar yang mendamaikan. 

Cerita saat mereka berdua kecopetan dalam peristiwa yang berbeda, menggambarkan perbedaan kedua karakter dengan baik. Saat di Jakarta, Baginda Karapatan kecopetan di bis, maka beliau marah dan mengomel panjang lebar dengan Bahasa Batak. Tak lama seorang pemuda menghampiri beliau, mengembalikan dompet yang dicopet dan meminta maaf dalam.......Bahasa Batak juga. 

Sebaliknya ketika Nursiti Siregar yang sedang berbelanja menjelang Hari Raya Idul Fitri ke Pasar Sentral, Medan dengan putrinya Mayurida Pohan lalu menyadari tas sandangnya disilet pencopet, eh beliau malah tersenyum. Melihat uang kertas dalam tasnya terbagi menjadi dua, Beliau lalu mengatakan, kasihan copetnya, dia tidak bisa memakai uang tersebut, akan lebih baik kalau dikembalikan dan beliau dengan rela mau membagi dua uang tersebut dengan si pencopet, daripada si pencopet dan beliau sama-sama tidak bisa menggunakannya. 

Selain keras, sosok Baginda Karapatan juga terkenal berani, saat di Padang Sidempuan listrik kadang mati, dengan tak gentar Baginda Karapatan mendatangi kantor PLN, dan lalu menghardik para petugas disana. Sekembalinya beliau, tak lama listrikpun mengalir kembali. 

Selain hukuman fisik, Baginda Karapatan juga tidak ingin membiarkan anak-anaknya khususnya ketiga anak lelakinya besar dengan fasilitas yang dia miliki, Sehingga beliau menitipkan ketiga putranya ke salah satu saudara untuk dipekerjakan di sawah. Menurut cerita Ayah, belakangan abangnya Marajo Pohan dan Oloan Pohan sempat menyimpan perasaan tidak enak atas hal tersebut, meski belakangan mereka menyadari bahwa hal tersebut merupakan cara Baginda Karapatan mendidik anak lelakinya menjadi sosok berhasil. Faktanya Baginda Karapatan sebenarnya tetap memberikan uang untuk makan ketiga anaknya namun tidak secara langsung melainkan pada saudara pemilik sawah tersebut. Terbukti ketiga anaknya sukses menjadi prajurit TNI, Dosen dan Pegawai Negeri Sipil. 

Suatu waktu Baginda Karapatan datang ke lokasi dimana ketiga anak lelakinya dititipkan, Ternyata beliau pun kaget, melihat ketiga anaknya terkesan kurang makan. Ayahku saat itu harus mencangkul sawah setiap hari dengan perut lapar dan celana yang terus menerus melorot setiap kali mengayunkan cangkulnya. Hari itu juga beliau menarik kembali ketiga putranya, lalu membeli satu rumah di Sipirok serta memerintahkan Salbiah Pohan yang saat itu masih pelajar di semacam Sekolah Kepandaian Puteri, menjaga ketiga adiknya tersebut. 

Cerita Nursiti Siregar pada Ibuku,  ternyata betapa sakit hatinya sebagai ibu kandung kala itu, dipisahkan dengan ketiga anak lelaki kesayangannya, sedangkan saat itu mereka masih SD dan SMP. Namun Baginda Karapatan tidak bergeming, dan tetap memaksa ketiga anak lelakinya berpisah dengan ibu mereka, tinggal menumpang dirumah orang, makan seadanya dan bekerja kasar di sawah. Sakit hati Nursiti Siregar berulang saat Baginda Karapatan memerintahkan ketiga anaknya ke Jawa. Sejak itu Nursiti Siregar selalu teringat ketiga anak-nya di perantauan khususnya jika melihat Bis Sibual Buali yang dianggapnya menjadi salah satu penyebab terpisahnya mereka. 



Oloan Pohan, Parmuhunan Pohan,
Maradjo Pohan dan Baginda Karapatan Pohan


Saat Ayahku sudah bekerja dan ingin meminang istri sebelum melanjutkan kuliah di Akademi PTT di Bandung, Baginda Karapatan menyarankan agar mencari wanita bermarga Siregar karena jauh di dalam hatinya meski keras terhadap Nursiti Siregar, beliau mengakui bahwa istrinya adalah sosok setia dan ideal dalam mendampingi kehidupannya.

Sebelum wafat, beliau sempat melakukan perjalanan ke Bandung menemui putranya Marajo Pohan dan Saiful Parmuhunan Pohan. Sesaat sebelum meninggal beliau membuat Surat Wasiat, khusus bagi ketiga putranya tentang susunan kerabat (kahanggi) yang dijelaskan dalam Surat Wasiat itu. Dalam surat itu juga beliau meminta ketiga putranya untuk mengenal dan berkunjung pada semua keluarga Baginda Karapatan. Bagi beliau peristiwa di masa lalu tidak menjadi hambatan untuk silaturahim. 

Saat Baginda Karapatan  jatuh sakit, dia lalu memanggil ketiga anak lelaki-nya dari Pulau Jawa untuk membicarakan masalah warisan harta dan keinginannya untuk meneruskan proyek hotel. Namun kedua abang Ayah yang sudah berubah menjadi sosok mandiri karena sudah terpisah sejak kecil dan sukes meniti karir di perantauan, menyampaikan bahwa mereka tidak membutuhkan warisan itu sama sekali, karena mereka sudah menemukan hidupnya sendiri meski tanpa bantuan Ayah mereka Baginda Karapatan.  Tak terasa air mata beliau mengalir, terkejut karena tidak menyangka dampak dari hasil pendidikannya yang keras . Berusaha menetralisir, Ayah lalu memeluk beliau dan berkata, meski yang diwariskan hanya sepasang sepatu butut, Ayah akan menerima-nya dengan bangga dan dan menjaga-nya dengan senang hati.  Tak lama setelah itu wajah beliau terlihat lebih lega, dan akhirnya meninggal kemudian.

Saat Baginda Karapatan sakit beliau sempat dirawat di rumah putri bungsunya Nurlena Pohan. Setiap pagi beliau berjemur di teras rumah. Febrina cucu perempuannya menyuapi beliau dengan bubur. Cukup lama beliau tinggal di rumah Nurlena Pohan,  saat kondisinya sedikit membaik, biasanya beliau bergegas ke pasar dan kerap membawa oleh-oleh buah-buahan sebecak penuh. Sementara cucunya menyambut dengan bergelayutan di becak tersebut. Pada akhirnya beliau memang meninggal di rumah menantunya tersebut, meski saat awal beliau sangat tidak setuju pernikahan putri bungsunya. 


Klik http://hipohan.blogspot.my/2016/07/riwayat-baginda-karapatan-part-7-dari-8.html untuk bagian ke tujuh

*Sesuai cerita Nursiti Siregar kepada Siti Hajar Lubis 
*Mengenai Nursiti Siregar kecopetan sesuai cerita Erwin Siregar.  

Riwayat Baginda Karapatan Part #7 dari 8 : Wafatnya Nursiti Siregar


Perkenalan ku secara mendalam dengan Nursiti Siregar adalah saat beliau akan Naik Haji, lalu mengunjungi rumah kami beberapa saat ketika kami masih di Sibolga. Aku menemani beliau mencari berbagai batu putih yang banyak terdapat di halaman Kejaksaan Sibolga, sebagai bekal beliau untuk prosesi melempar jumrah. Setiapkali ibu bertanya mengenai kesiapan beliau, selalu dengan tenang beliau mengatakan bahwa dia pergi bersama seorang kerabat yang kebetulan mahasiswa, yang beliau yakini akan banyak membantu beliau saat ibadah. Namun beliau ternyata sempat terlunta lunta dan mengalami berbagai kejadian tidak mengenakkan karena terlantar termasuk saat jatuh terlentang di kamar mandi.  Meski Si Mahasiswa akhirnya kembali dan meminta maaf, namun saat kembali ke tanah air, beliau menangis dan bercerita pada Ibu, bahwa salah besar jika menggantungkan harapan pada manusia, Allahlah sebaik-baiknya tempat bergantung.

Saat di Mekah, Nursiti Siregar yang buta huruf ini selalu menyodorkan dompetnya beserta seluruhnya isi-isinya, karena dia tidak tahu cara menghitungnya. Sang penjual akan mengambil sesukanya, dan mengembalikan dompetnya kembali. Sedangkan Nursiti Siregar, pada dasarnya sangat boros, khususnya karena beliau gampang sekali lapar. Bila lapar, badannya keringatan dan berdirinya pun goyah. Maka setiap 2 atau 3 jam , beliau akan jajan, macam-macam mulai dari buah2an sampai penganan lainnya. Belum termasuk membelikan oleh-oleh untuk segenap anak dan cucu-cucunya. Sesampai di tanah  air, setelah semua oleh-oleh dibagikan, dompet dikeluarkan dan isinya dihitung. Ternyata isinya masih lebih banyak dibanding isi dompet sewaktu berangkat.

Hal-hal yang aku ingat mengenai beliau adalah karakternya yang  lembut, penyayang, ramah dan juga sangat pemurah. Setiapkali kami datang maka beliau langsung memotong bebek yang dipelihara di sungai kecil yang melintasi halaman belakang rumah beliau. Tak lama kemudian setelah beras merah matang, kamipun makan gule bebek dengan sekumpulan piring kaleng yang pinggirnya kadang-kadang sudah berkarat, piring yang memang merupakan kelaziman di masa itu. Kadang beliau mengeluarkan hidangan andalan yakni dendeng rusa goreng dengan rasa rempah yang manis.


Nursiti Siregar dan anak-anaknya, Nurmina Pohan,
Syaiful Parmuhunan Pohan dan Mayurida Pohan


Beliau juga mengumpulkan berbagai uang receh yang nantinya akan diberikan pada setiap cucu yang datang berkunjung. Saat beliau di Sibolga bersama kami, aku pernah dibentak Ibu karena menerima uang pemberian beliau. Tak mau disalahkan, maka tepat saat aku berangkat sekolah, beliau dengan diam-diam sudah menanti dekat gerbang keluar rumah, dan menyelipkan duit receh untuk jajanku di sekolah. Alasan beliau saat memberikan uang jajan, karena dia ingin dikenang cucunya. Jika dirumah kami beliau kesulitan mengeluarkan receh, sebaliknya saat menjenguk cucu-cucu di kota lain, beliau cerita malah kehabisan receh. 

Beliau juga seorang yang sangat tegar dan mandiri meski sudah ditinggal oleh Baginda Karapatan, tinggal di rumah berukuran besar dan bertingkat di masa tua bersama salah satu sepupuku yakni Edrina Pohan (tidak hanya Edrina, beberapa cucunya lainnya sempat tinggal bersama beliau). Rumah tersebut dibangun dengan keringat beliau saat pembangunannya,  bahkan termasuk terlibat dalam proses pengecoran lantai dua. Almarhum Ayah, cerita saat besi untuk kerangka cor kurang, beliau menggunakan berbagai benda termasuk kayu bekas, untuk turut ditanam dalam coran beton tersebut.

Di tahun 1970, saat kami sekeluarga pindah ke Sibolga (atas permintaan Ayah kepada kantornya agar lebih dekat dengan Ibu nya Nursiti Siregar). Saat itulah abangku pertama kali bertemu dengan beliau. Seingat abangku, beliau memakai baju atasan semacam kutang (yang pada masa itu umum dipakai orang-orang tua dan dijahit sendiri). Beliau meraung keras sambil mendekap aku ke dadanya yang dipenuhi keringat dan air mata.

Itulah awal episode dalam hidup abangku, dimana abangku mulai berkenalan dengan raungan dan teriakan khas Batak yang sering muncul pada saat berbagai acara – baik suka maupun duka. Rata-rata Bou (alias saudara perempuan Ayah), adalah mereka-mereka yang mahir melantunkan raungan isak tangis dalam setiap pertemuan keluarga. Dan sehabis menangis keras-keras, dan air mata pun kering, merekapun saling berbicara;

"Aha do panganon . . ? Male urasa"

yang artinya; 

"Ada makanan apa ? Lapar kurasa" 

Namun berbeda dengan aku yang menganggap Nurmina Pohan adalah pemegang rekor tangis-tangisan, maka dimata abangku juaranya adalah Salbiah Pohan. Kata abang, tangisannya begitu ekspresif dan dapat dilakukan sambil berdiri, dengan mata terpejam dan air mata mengalir deras tanpa melihat jelas lagi suasana sekitar. Saking khusuknya dalam tangis tersebut, pernah suatu ketika dalam acara salam-salaman, Salbiah Pohan meraung menyalami dan memeluki setiap orang (kalau tidak salah waktu itu karena akan tiba saatnya berpisah karena akan berangkat pulang ). Ternyata salah satu orang yang beliau peluk dalam deraian tangis tersebut, menanggapi dengan perkataan;

"Au do I … " yang artinya "Aku nya itu.. !"
"Boh .. ho do I" yang artinya "Oh .. kau nya itu.."


Ternyata dalam tangis hendak pamitan itu Salbiah Pohan telah berpamitan pada Paramean Siregar yang notabene adalah suaminya sendiri.   

Di rumah beliau, ada beberapa pasang tanduk rusa yang dipasang di dinding dan sering membuatku bertanya tanya rusa seperti dan sebesar apa kira-kira Si Pemilik Tanduk ini. Aku ingat beliau tertawa terkekeh kekeh saat aku bertanya “ Apa tu pung ? (sambil berusaha membentuk tanduk dengan tangan-tangan kecilku diatas kepala)”. Bisa jadi itu adalah salah satu dari hasil berburu Baginda Karapatan.

Hal menarik lainnya adalah, cara mendidik kontradiktif, seperti saat Ayah ku menolak untuk sekolah, alih-alih memarahi Ayah, beliau malah mengajak Ayah ke sawah. Lalu sepanjang perjalanan beliau mengatakan tidak keberatan atas putusan Ayah tidak bersekolah, karena kelak abang-abangnya akan membutuhkan kuli angkut di sawah mereka, tentu mereka akan memilih adiknya sendiri untuk itu. Dan mereka berhasil menjadi pemilik sawah karena mereka pintar akibat rajin bersekolah.  Keesokan paginya Ayah kembali sekolah tanpa perlu disuruh sama sekali.

Begitu juga saat Edrina Pohan dan salah satu sepupuku yang sempat tinggal bersama beliau, saat berlama lama bermain air di kamar mandi meski sudah disuruh keluar berkali kali, alih-alih tetap menyuruh mereka keluar, beliau memilih mengatakan “Rina, awas ya kalau kau keluar dan berhenti mandi”, lalu Edrina Pohan dengan segera langsung keluar.

Kali lainnya, seingatku beliau pernah minta Edrina Pohan cuci piring kaleng masing-masing setelah makan, tapi Edrina menolak. Beliau sama sekali tidak marah, namun saat makan berikutnya beliau menyodorkan piring bekas tadi pagi lengkap dengan asesoris nasi kering dan bumbu yang masih menempel. Tapi anehnya, Edrina santai saja, sehabis makan, piring dia tangkupkan, dan saat mau makan piring dibalikkannya kembali lalu diisinya kembali dengan nasi. 

Hal lain yang diingat abangku adalah baju favoritnya Edrina Pohan, yakni sebuah baju berbahan sederhana (bahan cita), dengan motif kembang2 hijau dan kuning. Tak perduli bahwa baju tersebut berbahan murah, namun merupakan baju favoritnya. Setelah dipakai beberapa hari, dicuci, tanpa menunggu disetrika, begitu kering dari jemuran, langsung disambar dan dipakai lagi. 

Nursiti Siregar jadi jengkel dan menyuruh Edrina Pohan memakai baju yang lain. Namun tawaran tersebut ditolak mentah-mentah. Baju kembang-kembang hijau kuning berbahan cita itu,  tetap memuncaki klasemen pemakaian baju-baju. Akhirnya suatu masa, baju itu pun lenyap. Dicari kemana-mana, namun tidak jua ketemu, sehingga Edrina terpaksa memakai koleksi baju lainnya yang ada di lemari. Sebulan kemudian, baju tersebut ditemukan telah menjadi "bangkai" dalam salah satu tong air di lantai dua. (rumah yang ditempati beliau merupakan bangunan dua lantai, yang memang direncanakan menjadi hotel, namun lantai dua nya belum selesai seluruhnya).  Terdakwa tentu saja hanya ada dua , Edrina Pohan atau Nursiti Siregar, karena pembaca dapat menebaknya, dengan demikian misteri ini dinyatakan selesai. 

Nursiti Siregar adalah sosok yang berpembawaan tenang dan terkesan lambat, namun walau demikian beliau sangat telaten. Misalnya saat anak2nya bangun pagi untuk ke sekolah, di dekat dapur telah tergantung sejumlah hadangan (tas tradisional yang terbuat dari anyaman pandan), yang masing2 telah diperuntukkan untuk anak2nya (sebagai bekal makan siang). Sedangkan beliau sendiri telah berlalu ke ladang. Bisa dibayangkan kapan beliau menyiapkan semua itu. Jika akan lebaran, atau pun persiapan perjalanan jauh, beliau sudah jauh hari secara bertahap melakukan persiapan. 

Meski tidak bisa baca tulis, namun dengan tenangnya saat ada program pemberantasan buta huruf dari rumah ke rumah, beliau selalu lolos. Kepada setiap petugas yang datang, beliau selalu mengatakan; 

"Alahh.. amang .. salangkon anak dohot borukku ginjang2 sude sikkola na .." 

yang artinya 

"Yahh.. nak . sedangkan anak2ku sekolahnya tinggi2 semua .." 

Dengan demikian, petugas penyuluhan mengambil asumsi yang salah, yakni seorang ibu yang anak2nya berpendidikan tinggi, tentunya adalah seorang ibu yang pasti bisa baca tulis. Demikanlah beliau selalu lolos dari terkaman angka statistik buta huruf.


Suatu ketika, waktu di Sibolga, abangku membeli mainan kodok yang memiliki pegas yang dapat diputar. Iseng abang ke dapur saat beliau  sedang ikut memasak (karena antara tahun 1970 – 1976 kami tinggal di Sibolga, Tapanuli Tengah, maka pertemuan dengan kaum kerabat yang ada di Sumatera cukup intens, termasuk dengan beliau yang berdomisili di Padang Sidimpuan, kl. 50km dari Sibolga). Lantas abangku teriak, "Ompung ! pung ! ada kodok ! ..", beliau membungkuk melihat sang kodok mainan yang mendekati kakinya. Kemudian dengan sedikit terengah dia menunduk dan mengayunkan pisau lipat kecilnya (yang kala itu digunakan untuk mengupas bawang), dan dia mengayunkan pisau nya itu berkali-kali ke punggung sang kodok. Sementara si kodok, masih terus berputar putar menunggu putaran pegasnya habis. Dengan cepat abangku menyelamatkan kodok (yang baru dia beli tersebut).  

Memiliki banyak cucu tak lantas membuat beliau melupakan cucu lainnya, saat menggendong Zulfan di punggungnya, yakni cucu bungsu dari putri keenamnya alias Mayurida Pohan, beliau melakukannya seakan menggendong seluruh cucunya. Lalu beliau bersenandung

Upan, Upan Poco (panggilan untuk Zulfan)
Ku Hoppa do pahoppuku sude (ku gendong semua cucuku)


Sedikit cerita menarik tentang sepupu kami Zulfan, diwaktu remaja, pernah bercita2 menjadi petinju. Namun dilarang ayahnya (Tunggul Siregar ). Ayahnya mengatakan sbb;

"Tak apa kau jadi petinju ..
Namun yang ayah takutkan, pas kau dipukul lawanmu ..
Malah Ibumu yang menonton yang KO."

Beberapa lama setelah Baginda Karapatan meninggal, ketiga anak lelaki beliau berembuk, dan lantas meminta Nursiti Siregar memilih diantara sembilan anaknya dimana dia yg paling berkenan dan cocok untuk tinggal. Beliau mengunjungi semua anaknya dan pilihannya jatuh pada Mayurida Pohan, yang biasa dipanggil beliau dengan Si Butet. Mendengar pilihan beliau, ketiga anak lelaki agak kaget, karena rumah Mayurida Pohan  saat itu kecil sekali. Namun karena di belakang rumah mereka ada rumah yang mau dijual, akhirnya diputuskan untuk membeli rumah tersebut bagi Nursiti Siregar.

Oloan Pohan memutuskan untuk mengurus pembelian dan pembangunan mewakili ketiga anak lelaki lainnya. Sedangkan biaya pembelian rumah itu berasal dari uang pembagian warisan penjualan rumah Baginda Karapatan di Padang Sidempuan. Ketiga anak lelaki tidak mau menerima warisan penjualan rumah tersebut, karena mereka bertiga telah sukses di perantauan. Mereka menyerahkan warisan tersebut dibagi diantara saudara perempuan mereka saja. 

Beliau akhirnya meninggalkan kami semua beberapa saat setelah pulang dari Ibadah Haji. Sebelumnya beliau demam merasa lemas, meski sudah dibawa menantu dari anak bungsunya Nurlena Pohan, yakni Muchtaruddin ke dokter. Malam harinya beliau masih minta dibelikan sate lalu saat subuh beliau akhirnya berpulang. Keduanya dimakamkan di Gg.Sado, dibelakang Masjid Al Fallah, Medan.  

Tatkala Nursiti Siregar wafat, saat itu banyak sekali orang datang ikut berbelangsungkawa dan melayat atas wafatnya beliau. Anehnya bukan hanya kaum kerabat terdekat, bahkan tetangga jauh, termasuk pemeluk agama lain juga terlihat ikut datang melayat. Jejeran mobil dan motor para pelayat mengular panjang puluhan meter di sisi kanan kiri jalan. Demikian banyaknya pelayat yg datang sampai banyak orang yang kebetulan lewat, mengira bahwa yang meninggal dunia adalah tokoh masyarakat atau pejabat.

Bagi kami para keturunannya, hal itu bisa jadi karena semasa hidupnya beliau memang ramah pada siapa saja, bahkan termasuk pada pengemis yang datang ke rumahnya. Tanpa sungkan diajak beliau berbincang bincang dan dijamunya makan dan minum selayaknya saudara. Banyak kesaksian ,saat beliau wafat wajahnya memang  terlihat seperti orang tersenyum, lembut dan damai, seperti hatinya. Hingga kini nyaris semua cucunya mengenang kesabaran, kelembutan yang sifat penyayang beliau.



*Mengenai beliau menggendong Zulfan Siregar, sesuai cerita Erwin Siregar
*Mengenai kisah lain termasuk Edrina Pohan, sesuai cerita Nursiti Siregar pada Siti Hajar Lubis 
*Mengenai meninggalnya Nursiti Siregar sesuai cerita Febrina Natalie 
*Suasana saat meninggal dan soal warisan rumah di Padang Sidempuan sesuai cerita Erwin Siregar. 
*Soal kodok, pemberantasan buta huruf sesuai cerita Anwar Syafri Pohan.