Friday, September 30, 2016

Pertolongan Tak Terduga

Apakah anda pernah ditinggalkan pesawat, saya sih belum, namun saya pernah menjadi penumpang terakhir masuk ke pesawat dan disambut dengan cemoohan "Huuuu !!!" nyaris dari seluruh penumpang. Saat itu saya menuju ke Bangka dalam rangka proyek di PT Timah, Karena dari Bandung saya sengaja berangkat pagi, maka saya boleh dibilang penumpang pertama yang check in. Ternyata systemnya belum siap, petugas check in menuliskan secara manual seat yang harus saya tempati dan gate dimana saya harus menunggu. 

Entah kenapa sampai dengan jam keberangkatan tetap saja tidak ada panggilan sesuai dengan maskapai dan tujuan penerbangan saya. Tiba-tiba, nampak dua orang berseragam petugas darat yang berlari lari sambil memanggil nama saya, ketika saya mengiyakan, mereka langsung menyuruh saya berlari secepat yang saya bisa dengan menjinjing koper dan memanggul ransel.  Menurut petugas tersebut, semua penumpang sudah menunggu sejak tadi. Saya sempat menjelaskan bahwa saya diminta menunggu di gate tertulis di boarding pass, namun petugas menjelaskan kalau informasi itu salah. Rasanya cukup jauh berlari, disusul turun tangga, lalu berlari lagi dengan terengah, engah, dan terakhir menaiki tangga pesawat dalam keadaan basah kuyup dengan keringat. Kalau mengingat cemoohan penumpang rasanya saya masih malu hingga kini. Nah saya tidak pernah menyangka akan mengalami kembali hal tersebut untuk kedua kalinya.

Seperti biasa menjelang akhir tahun keuangan, kantor saya mengadakan acara FY17 planning, dan kali ini Courtyard Marriot Hotel, Seminyak di Bali menjadi pilihan. Sebelum berangkat saya mencoba menghubungi sekretaris Presdir yang kebetulan menjadi panitia untuk mengupayakan tiket berangkat dari Bandung tujuan Denpasar dan sebaliknya dari Denpasar ke Bandung. Dengan cara ini saya yang selama 15 tahun terakhir bekerja di Jakarta (namun rumah di Bandung) berharap tidak terlalu banyak waktu weekend keluarga yang terpakai.

Sayang entah ada hubungannya dengan menjelang selesainya PON atau tidak, ternyata sulit sekali mendapatkan tiket dari Bandung tujuan Denpasar. Sehingga tiket berangkat tetap dari Jakarta dengan menggunakan Air Asia jam 08:05 pagi Kamis 29/9/2016 sedangkan tiket pulang ke Bandung menggunakan Lion Air jam 15:25 Sabtu 1/10/2016.

Istri yang berkonsultasi dengan pihak Prima Jasa akhirnya memutuskan untuk beli tiket berangkat dengan bis jam 02:00 pagi dari Bandung ke Soekarno Hatta. Sebetulnya saya sempat protes kenapa terlalu pagi, namun ya sudahlah, mungkin lebih cepat justru lebih baik.

Setelah menyelesaikan materi presentasi tengah malam, lalu tidur sekenanya, jam 00:30 saya sudah bangun lagi, dan langsung mandi air panas. Lalu istri mengantar jam 01:00 ke terminal Prima Jasa di Batununggal. Jam 02:00 bis pun berjalan. Menjelang Krawang hujan lebat turun dengan derasnya. Mencoba untuk tidur ternyata susah sekali, karena dua orang gadis berjilbab di depan saya ributnya luar biasa, dan yang persis di depan saya gadis berjilbab biru merebahkan korsinya hingga nyaris menyentuh dada saya. Sementara jilbab hitam sepertinya lebih senang mengomentari sesekali. Gadis berjilbab biru, bercerita terus menerus dengan semangat sekali kadang menggerak gerakkan tangannya dengan ekpresif, kadang menirukan suara mobil, intonasi lawan bicara, dll.

Kesal sekali rasanya pada kedua gadis brisik ini, sementara saya harus istirahat cukup mengingat dalam skedul saya memiliki slot presentasi di depan Presdir lama dan Presdir baru yang akan menggantikan Presdir lama, satu bulan kedepan.

Ternyata malang tdak dapat ditolak, bis terjebak dan nyaris berhenti sangat lama di Krawang, karena perbaikan jalan, ketika jam menunjukkan 05:30, penumpang bis yang skedul jam 06:00 nampak pucat pasi menerima kenyataan,  bergantian mereka ke depan dan konsultasi dengan supir mengingat tiket mereka hangus. Saat masuk tol dalam kota, kemacetan semakin menggila, lalu giliran penumpang pesawat jam 07:00 yang gantian "melolong". Waduh saya semakin cemas, sepertinya saya yang sebentar  lagi meraung, maklum penerbangan hari itu cukup padat, dan saya sepertinya akan sulit mencari tiket pengganti. 

Iseng sambil menyembunyikan rasa kesal, saya tanya kedua gadis tersebut hendak kemana, ternyata kami memiliki tujuan yang sama. Mereka dengan aktif mencoba menghubungi call center Air Asia menjajaki kemungkinan reskedul. Gagal, namun tetap tidak kehabisan akal mereka mengontak rekan mereka yang menunggu di Bandara untuk mengurus proses check in. Lalu dengan ramahnya mereka menawarkan saya kalau-kalau mau ikut check in, dan memotret KTP saya, lalu memotret tiket saya  lalu mengirimkannya ke rekan mereka via whatsapp. 

Si jilbab biru, lalu mengajukan ide lain untuk naik taksi bertiga ke Bandara, yang langsung saja iyakan, apalagi karena bis kami terlihat tidak bergerak sama sekali, Namun supir melarang karena kuatir ditangkap polisi. Tak berapa lama barulah terlihat sebuah truk terguling yang menjadi penyebab, jalur tol dalam kota macet luar biasa.


Saat Kemacetan Mulai Terurai Terlihat
Penyebab Kemacetan Tol Dalam Kota

Lalu Bis meluncur kembali dan masuk area Bandara pada jam 07:15, di terminal 3, salah satu bule penumpang bis nampak kecewa sekali menyadari pesawatnya ke Eropa sudah terbang, dan kembali masuk bis dengan wajah muram. Menit demi menit berlalu saya sudah pasrah, dan Bis masih harus mengunjungi terminal 1a, 1b, 1c dst sampai akhirnya baru berhenti di terminal 2F pada jam 07:30, hiks tinggal 35 menit sebelum berangkat dan masih tanpa boarding pass di tangan. Kedua gadis dengan cepat menuju gate, sementara saya masih berusaha mengakses boarding pass saya dengan mesin khusus Air Asia. Sialnya nama yang keluar selalu nama lain, dan kedua gadis sudah tak terlihat.

Karena sudah tidak mungkin antri check in, nekat saya putuskan masuk area tunggu tanpa boarding pass ditangan, waduh saya ditahan petugas karena tidak bisa menunjukkan boarding pass, asal saja saya katakan boarding pass nya dibawa teman sambil menunjuk kedua gadis kira-kira 100 meter di depan saya yang sedang memasuki gate. Lagi-lagi saya terhambat karena membawa victorinox, pisau lipat dan akhirnya saya masuk gate, pada jam 08:00. Hemm 5 menit lagi dan tanpa boarding pass, lagi-lagi saya ditahan petugas gate, alhamdulillah ternyata sudah check in dengan bantuan rekan dari kedua gadis berjilbab tersebut, dan setelah dijelaskan dan mengecek nama saya, mereka membuat boarding pass manual, lalu akhirnya saya diperbolehkan menuju pesawat, yang langsung saya respon dengan berlari cepat, lalu turun tangga, dan langsung naik mobil Avanza yang memang sengaja tinggal menunggu saya.

Singkat kata saya kembali mengalami Deja Vu, masuk ke pesawat sebagai orang terakhir dan selamat dapat mengikuti penerbangan karena dua gadis yang tadinya saya anggap menyebalkan namun justru malah menjadi penyelamat saya hari itu. Moral of The Storynya adalah berprasangka baiklah pada semua orang, karena bisa saja dari sosok menyebalkan tersebut pertolonganNya tiba.  Maaf ya kedua gadis berjilbab, tanpa pertolongan anda berdua,  saya bisa saja kehilangan hari pertama acara penting tersebut.




Wednesday, September 21, 2016

Riwayat Baginda Karapatan #13 dari 17 Anak ke #5 : Saiful Parmuhunan Pohan (Sutan Endar Muda)


Menikah dengan : Siti Hajar Lubis

Putra dan Putri sbb
  • Rossa Yuliati Pohan / Eli (1962)
  • Anwar Syafri Pohan / Ucok (1964)
  • Husni Iskandar Pohan / Ade / Lukman (1968)
  • Hanna Evawati Pohan / Butet (1974)
Karakter dan Merantau

Ayah, alias Saiful Parmuhunan Pohan dikenal sebagai sosok paling humoris diantara anak-anak Baginda Karapatan. Beliau juga termasuk yang ringan tangan dalam membantu berbagai sanak saudara yang datang ke rumah untuk meminta pertolongan seperti mencari pekerjaan.  Misalnya Hasan Siregar, Nunung Daulay, Maraonom Siregar, Arfan Pohan, Ahmad Syafei Pohan, selain itu juga berbagai sanak saudara khususnya keponakan yang pernah tinggal bersama kami seperti Tini Harahap, Ahmad Amru Pohan,  Marahalam Harahap atau bahkan seperti cucu alias Ichwan Siregar dll.



Kembali ke masa kecil, setelah masa-masa sulit bekerja di sawah, beberapa saat kemudian, ayah menyusul abangnya Oloan Pohan ke Yogya untuk mengambil ijazah SMP dan melanjutkan ke SMA. Saat itu Ayah memang sedang galau, seluruh siswa sekelas di SMP beliau,  ternyata tidak ada yang lulus. Setelah melanjutkan sekolah SMA, beliaupun bekerja di PT POS dan Giro (sekarang PT Pos Indonesia).

Horja Saiful Parmuhunan Pohan

Jika putra-putra Baginda Karapatan seperti Marajo Pohan menikah dengan Boru Pulungan di Bandung, lalu Oloan Pohan dengan Boru Matondang di Yogyakarta, maka giliran Ayah menikah dengan Boru Lubis pilihan Nursiti Siregar. Sayangnya tidak ada yang akhirnya menikah dengan Boru Siregar, sebagaimana keinginan Baginda Karapatan.




Tahun 1960, ayahlah satu-satunya anak laki-laki Baginda Karapatan yang dibuatkan horja (pesta) besar saat menikah adalah Ayahku. Untuk memeriahkan acara maka disembelihlah satu ekor kerbau besar. Upa-upa  juga menggunung berisi ikan mas goreng besar, telur rebus,  ayam utuh, daun ubi dalam keadaan tersimpul, udang, dan berbagai pelengkap yang seakan akan saling pandang dengan Ayah selama acara berlangsung, seakan akan berkata makanlah aku, makanlah aku.

Ditengah pidato-pidato adat yang saling sambung menyambung tak henti henti, Ayah lebih tertarik melihat upa-upa itu saja, yang tambah lama tambah menggiurkan dan membuat Ayah semakin lapar.  Belum lagi kepala Ayah semakin pusing akibat ulah topi adat alias Bulang  yang terkenal berat itu. Suasana tambah menjemukan, karena pidato-pidato tersebut terdengar layaknya pengulangan-pengulangan saja, sebagaimana kalimat berikut;

“On pe di jolomunu amang-inang, ma hami baen upa-upa munu.
Ajar-ajari hamu ma borukon.
Pamatang nia do na godang, anggo pamikiran na danak-danak dope".

Sialnya selesai acara, setelah Ayah dan ibu mencubit sedikit telur ayam rebus lalu dicocol ke garam,  lalu memakannya secara saling bersilang. Maka rangkaian horja pun sekesai tanpa Ayah dan ibu  kebagian upa-upa itu sama sekali.  Karena begitu pengarah acara menyatakan acara selesai, maka menu upa-upa yang diyakini bertuah langsung habis diserbu hadirin.
Horja di masa itu juga dilengkapi dengan tradisi musik alias margondang yang di gelar di daerah Sitamiang kota Padang Sidempuan. Semua kahanggi hadir dari semua huta dan diluar Sialaman yg paling banyak hadir adalah kahanggi dari Sibangkua.

Dalam adat Tapanuli, apabila yang menyelenggarakan acara adalah pihak lelaki, maka keluarga dari pihak perempuan tidak diundang dan tidak muncul. (meski saat ini sudah tidak seperti itu lagi). Sehingga merupakan kejutan bagi Ibu ketika dalam suasana pesta / acara tersebut tahu2 adik ibu yang bungsu (yang biasa kami panggil Tulang Nawawi) tahu-tahu menyelusup dan menyapa ibu.

Menuju Pulau Jawa

Ayah dan Ibu menikah pada hari Rabu di Bulan September 1960,  Pesta berlangsung meriah selama tiga hari tiga malam.  Saat hendak berangkat ke Bandung. Ayah Ibuku alias Sutan Mulia Radja, membekali Ibu dengan sangu untuk berjaga-jaga, apabila dalam keadaan darurat Ibu perlu kembali pulang ke Padang Sidempuan.

Hari keempat Ayah dan Ibu bertolak naik bis Sibual- buali , yakni angkutan dengan armada bis paling top saat itu yang juga merupakan nama salah satu gunung di sekitar Sipirok dan Padang Sidempuan menuju ke Medan. Menginap sekitar sehari di Medan (tempat ipar nya amangboru Parramean, yang anaknya bernama abang Riswan sempat tinggal bersama2 kami di jalan Nilem Bandung, beberapa waktu kemudian).

Perjalanan dilanjutkan naik kapal ke Tanjung Priok lewat Belawan via Kapal Laut. Dan kemudian dari dari Tanjung Priok naik Kereta Api ke Bandung. Perjalan kereta api yang pertama bagi Ibu sempat membuatnya dag dig dug, terutama saart kereta api melintasi jurang-jurang  di pegunungan mendekati Bandung.

Sesampainya di Bandung, ayah dan ibu menginap sekitar tiga  atau empat hari di tempat abangnya Maradjo. Pohan, yang saat itu tinggal di jalan Riau. Kemudian baru ke tempat rumah kontrakan ayah di jalan Kerang.

Kegusaran Pada Baginda Karapatan

Hari-hari pun berlalu, dimana ayah yang masih mahasiswa akademi PTT ( Pendidikan Tinggi Pos dan Telegraf) didampingi ibu yang mantan guru (meski Ibu adalah guru, namun Ayah meminta Ibu konsentrasi ke rumah tangga saja, sehingga ibu berhenti bekerja, keputusan mana yang banyak mewarnai kehidupan mereka selanjutnya), dan mereka melalui hari-hari mereka secara sederhana.
Hidup yang sulit membuat Ayah banyak merenung, dan mencurahkan isi hatinya kepada Baginda Karapatan melaui surat yang isinya kira2 sbb. ..

Ayah, terimakasih,
Ayah telah memestakan kami tiga hari tiga malam ..
Berbahagialah ayah karena ayah telah memuaskan diri ayah sendiri,
(Memamerkan kehebatan ayah dengan anak ayah sebagai pemerannya ..
Ayah akan terkenal dan dikenang hebat ..
Namun  tega melepas anaknya kembali ke rantau tanpa serupiah pun bekal ..

Apa tanggapan Baginda Karapatan, mendengar berita itu (mengingat beliau buta huruf, sepertinya ada yang membacakan isi surat tersebut kepada beliau.. ). Dan Baguinda Karapatann marah besar dan berseru ..

“Aha nimmu .. ?? Huting .. !!!”
(apa katamu .. ? Kucing .. !!!)

Kalau marah Baginda Karapatan selaku mengeluarkan makian Huting !. Entah pernah ada masalah apa antara Baginda Karapatan dengan kaum minoritas kucing di zaman dahulu.. sehingga kalau marah selalu melontarkan kata itu.

Bekal yang Menipis

Akhirnya bekal pun menipis, pelan pelan harta ibu berikut jam tangan (berbentuk gelang, merek Titus, yang ibu titip beli ke abang ipar Ibu yang bertiugas sebagai petugas Bea Cukai di Medan), berikut  simpanan dari penghasilan sebagai guru plus biaya cadangan dari Ayahnya), telah lama melayang untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari.

Cerita Lain : Teknik Panggil Tukang Jagung

Suatu malam saaat ayah menginap di rumah abangnya Oloan Pohan. Seperti biasa, sekitar 2 jam setelah makan malam yang selalu heboh itu, ayah terlibat percakapan meriah dengan abangnya. Tak berapa lama kemudian lewat di depan rumah kami tukang jagung rebus.

"Jagung..! jagung..! jagung..! jagung..! jagung..! jagung..! jagung..! ", 

demikian teriaknya berkali-kali nyaris tenpa jeda sambil berjalan mendorong gerobaknya. mendadak ayah pun berteriak pula,

"Bang jagung..! bang jagung.. ! bang jagung..! bang jagung.. !bang jagung..!" 

dengan mulutnya maju mengarah ke luar pintu yang terbuka

"Kok memanggilnya begitu uda ?" 

tanya para keponakannya.

"Iya lah..terpaksa kita panggil berulang-ulang mencari sela-sela diantara teriakan tukang jagung itu" jelas ayah. “Masalahnya suara dia lebih keras nyaris tanpa jeda, bisa-bisa suara panggilan kita tidak didengarnya amang...", 

jelas ayah kembali.

Benar saja, ternyata tidak sia-sia jurus panggilan anti jeda tersebut diluncurkan,. Tukang jagung rebus akhirnya mendengar teriakan dan lalu berbalik menuju gerbang rumah. "Jagung pak..?" tanyanya, dan ayah  pun mengangguk senang.

Cerita Lain : Pohan diganti dengan Marporan

Kali berikutnya ayah dan beberapa saudaranya berangkat dengan Bus Sampagul dari Medan menuju Padang Sidempuan. Seperti biasa, sepanjang perjalanan ayah selalu membuat sensasi lucu dimana-mana. Gairahnya "mangarsak" (mengganggu -menggoda) orang lain semakin menantang karena mayoritas penumpang adalah orang Tapanuli Selatan yang satu bahasa dengannya.

Ada-ada saja yang dikomentarinya, kadang dia bercerita hal-hal lucu yang membuat seisi bus ikut tertawa terbahak-bahak. Suasana gembira dan meriah . Ada satu penumpang dipojok kursi yang tidak pernah ikut tertawa. Mulutnya selalu ditutupinya dengan baju kaus sementara tangan yang satunya memegang plastik yang terlihat penuh. Ternyata orang ini sedang mabuk berat, berulangkali dia muntahkan seisi perutnya dan ditampung di plastik itu. Mukanya terlihat pucat menahan sakit dan mual. Melihat orang itu kontan ayah berkomentar;

"A' naporan ma bayo on.., munta marsitutu dongan...!"
(Ah parah sekali orang ini, muntah bertubi-tubi kawan...!)

Orang itu melirik sebentar melihat ayah, lalu kembali konsentrasi dengan urusan menahan mualnya lagi.

"Saigodang pamatangmui..Aha dehe margamu lakna..?"
(Begitu besar badanmu itu. Apa margamu rupanya?)

Tanpa ekspresi dia menjawab;
"Pohan..!"

Sontak seluruh penumpang bus tertawa terbahak-bahak, merasa mendapat momentum karena mereka tahu dari tadi ayah gembar-gembor soal kehebatan marga Pohan. Tanpa berpikir panjang dan tidak langsung menyerah yang memang jadi ciri khas ayah, dia pun membalas;

"Anggo songoni gonti ma margamui.."
(Kalau begitu ganti saja margamu itu)

"Murporan.."
(Makin parah)

Pungkasnya enteng, yang disambut gemuruh tawa seisi bus, dan ayah terpingkal-pingkal sampai keluar airmata.


Anwar, Rosa, Husni dan Siti Hajar Lubis
saat di Jalan Nilem Bandung



Link lain soal Saiful Pohan sbb
*Mengenai jalannya acara pernikahan, sesuai cerita Rudi Ramon Pohan yang mendengar langsung dari Ayahnya, Oloan Pohan.
*Mengenai kisah Tukang Jagung dan Marporan, sesuai cerita Rudi Ramon Pohan.
*Soal margondang, lokasi acara dan tamu undangan seusai cerita Soheh Pohan
*Mengenai kehidupan pernihakan setelahnya diceritakan oleh Anwar Syafri Pohan sesuai penuturan istri beliau Siti Hajar Lubis.






Sunday, September 18, 2016

Riwayat Baginda Karapatan #9 dari 17 Anak ke #1 : Djaunar Pohan


Menikah dengan : Ismail Harahap (Alm)

Putra dan Putri sbb;
  • Marahalam Harahap (Alm)
  • Ros Harahap (Alm)
  • Sahdan Harahap (Alm)
  • Zekie Zulkarnaen Harahap
  • Teta Harahap
  • Titi Harahap
  • Tini Harahap
  • Andy Harahap
  • Mena Harahap
  • Deka Harahap (Abang)
  • Deki Harahap (Adek)
  • Novarida Harahap
Tak banyak yang dapat diceritakan mengenai sosok putri sulung Baginda Karapatan ini, namun untungnya Erwin Siregar berhasil mewawancarai Tini Harahap sehingga dapat terkumpul sedikit cerita.  Penulis sendiri sudah coba menginvestigasi Siti Hadjar Lubis, sebagai satu diantara dua generasi beliau yang masih tersisa, namun Siti Hadjar Lubis mengatakan jarak usia mereka pun terpaut cukup jauh. Baiklah mari kita nikmati saja data yang terkumpul sejauh ini.

Pernikahan Dini

Konon kabarnya Djaunar Pohan menikah di usia 14 tahun sementara suami beliau, yakni Ismail Harahap sekitar 15 tahun. Jadi lebih muda dibanding putra KH Arifin Ilham yang baru-baru ini mengegerkan dunia sosial media karena menikah di usia 17 tahun.  Pernikahan muda usia tersebut dianggap wajar, karena dimasa itu sekolah sangat jarang. Karena situasi itulah,  boleh dikatakan berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain Djaunar Pohan mungkin satu-satunya yang tidak bersekolah.

Djaunar Pohan Saat Tua 

Perkenalan Djaunar Pohan dan Ismail Harahap

Dimasa itu, Ismail Harahap meski kedua orang tuanya merupakan orang terkaya dan terpandang di dearah Nagasaribu, Padang Bolak ternyata memilih untuk hidup berkesenian dengan menjadi anggota group teater yang dikenal dengan istilah tonil. Karena mengembara dari satu tempat ke tempat lain, maka wajarlah kiranya dimasa itu wanita jarang yang menjadi anggota group ini. Untuk memerankan wanita biasanya dipilih pemuda yang berbadan ramping, tinggi, putih, berhidung mancung serta berparas rupawan, sehingga tetap dapat memerankan peran wanita secara baik. Dan Ismail Harahap sehari-harinya diposisikan untuk memerankan sosok wanita. 

Djaunar Pohan
Saat Usia Setengah Baya
Karena memiliki banyak tanah dan hewan ternak juga terpandang, keluarga Ismail Harahap dianggap memiliki trah darah biru, walau sebenarnya adat istiadat Batak, untuk menjadi Raja cukup mudah, alias setiap membuka lahan maka otomatis dapat menyandang gelar Raja.

Karena ayah Ismail Harahap merupakan mitra bisnis dengan Baginda Karapatan, maka mereka berdua yang cukup dekat secara bisnis tertarik menjodohkan kedua putra dan putri mereka secara paksa. Dan dilaksanakanlah pesat tiga hari tiga malam dengan memotong tiga ekor kerbau.

Konflik Dengan Baginda Karapatan

Sosok Baginda Karapatan yang sangat maskulin merasa tidak nyaman dengan menantunya yang sering berperan sebagai wanita dalam setiap pertunjukan tonil. Dan karena Ismail Harahap masih terus menjalankan profesinya itu, maka Baginda Karapatan bahkan sempat memerintahkan Djaunar Pohan agar bercerai saja dengan suaminya.

Kebencian Baginda Karapatan mencapai puncaknya ketika cucu ke empatnya Zekkie Zulkarnaen lahir dan ternyata lebih mirip bayi Bule di banding bayi Batak, alias sangat berbeda dengan Djaunar Pohan yang kebetulan berkulit agak gelap dan berhidung pesek sebagaimana umumnya suku Batak. Sangat sulit meyakinkan Baginda Karapatan bahwa itu adalah benar cucunya sendiri. Namun lambat laun Djaunar Pohan berhasil meyakinkan ayahnya bahwa Zekkie adlah benar putra kandungnya, apalagi ternyata bukan hanya Zekkie yang memiliki ciri-ciri unik tersebut, melainkan beberapa adiknya juga. 

Meninggalkan Kehidupan Teater

Tak tahan terus menerus diserang mertuanya, maka Ismail Harahap melamar kerja di KPN alias Kantor Perbendaharaan Negara dan tetap disana sampai dengan masa pensiun.

Keluarga Bertampang Artis

Sebagian dari putra putri Djaunar Pohan lebih terlihat sebagai artis, berkulit putih, rambut agak kepirangan seperti suaminya Ismail Harahap, namun sebagian lain mengikuti paras Djaunar Pohan. Jika saat mudik ke kampung tiba, para penduduk kampung seperti Sialaman terheran heran melihat sekumpulan artis ibukota tiba, dan kadang pakaian mereka menjadi rebutan saat berpamitan pulang meski hanya mendapatkan piyama. Padahal yang membuat mereka terlihat berbeda bukan pakaiannya.

Berpulangnya Djaunar Pohan

Setelah menderita diare selama seminggu dan sempat bertanya apakah sudah adzan untuk menunaikan shalat Jumat (mungkin karena beliau ingin melaksanakan shalat lohor untuk terakhir kalinya), beliau yang memang rajin berpuasa akhirnya berpulang.  

Selama sakit tersebut, putranya Zekkie Zulkarnaen lah yang memandikan, merawat, menggunting kuku dan termasuk soal kebersihan saat harus berurusan dengan buang hajat. Bagi Zekkie ibunya adalah segala-galanya dan beliaulah yang mengurus dan membesarkan mereka dua belas bersaudara.


Beliau akhirnya dimakamkan di dekat rumah Zekkie dan bersamaan dengan itu kuburan Ismail Harahap yang tadinya berlokasi di Pemakaman Panti ikut dipindahkan dalam satu lokasi dengan makam Djaunar Pohan.

Cerita Lain : Layaknya The Beauty and The Beast

Salah satu yang menarik dari pasangan Djaunar Pohan dan Ismail Harahap adalah penampilan mereka yang kontras, namun dengan cinta yang melekat erat. Siti Hadjar Lubis mengatakan bahwa sesuai cerita Mayurida Pohan, bahwa kakaknya Djaunar Pohan sangat memuja suaminya, bahkan beberapa kali saat Ismail Harahap pindah tugas, Djaunar Pohan memilih mengikuti suaminya ke tempat tugas baru sementara anak-anak tetap menempati rumah lama dengan ditemani kerabat.

Sebaliknya Ismail Harahap ketika digoda adik iparnya Mayurida Pohan dengan pertanyaan kenapa memilih kakak mereka yang penampilannya begitu kontras,  beliau menjawab “Duh dik, masakan kakakmu itulah masakan yang paling enak kurasa, kemanapun aku pergi, masakannya itulah yang selalu teringat, itu juga yang membuat aku susah melupakannya dan mencintainya seumur hidupku.  Rudi Ramon Pohan pernah mengatakan bahwa salah satu yang paling enak sekaligus nadalan Djaunar Pohan, adalah masakan Gule Bebek beliau.

Lanjut ke Anak Ke #2 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/riwayat-baginda-karapatan-10-dari-17.html

*Sesuai cerita Tini Harahap kepada Erwin Siregar
*Beberapa tambahan kecil dari Rudi Ramon Pohan dan Siti Hadjar Lubis

Riwayat Baginda Karapatan #10 dari 17 Anak ke #2 : Salbiah Pohan


Menikah dengan : Paramean Siregar

Putra dan Putri sbb;
  • Ruslan Siregar (Alm)
  • Dahrun Siregar
  • Tati Siregar
  • Tita Siregar
  • Pian Siregar
  • Sarpin Siregar
  • Ispi Siregar

Pasir Halus Sebagai Pemutih Kulit

Tak banyak cerita mengenai Salbiah Pohan, salah satunya adalah pada zaman saat pemutih kulit seperti Ponds belum dikenal. Suatu hari Nursiti Siregar mendapati anak lelaki bungsunya (alias ayah) menangis merintih kesakitan, dengan sekujur badan kemerah2an.

Maua do anggi mon inang (kenapa adikmu ini nak ?)

Tanya beliau kepada Salbiah Pohan yang ditugaskan untuk mengasuh Sang Adik.

Ama na lom2 ia umak jadi ke au tu aek u gosok sibuk nia gogo-gogo dohot pasir halu I …. anso bottar ia (Hitam kali dia mak, jadi aku bawa di ake sungai dan aku gosok keras2 dengan pasir halus di sungai .. biar putih dia ,.. !)  

jawab Salbiah Pohan

Alaa.. inang, sannari do na lom lom anggi mon.. tokkin nai ama ma bottar do on Inang ...(Lahh… nak, sekarang memang dia hitam .. nanti lihat kalo sudah besar .. dia akan menjadi putih ..)


Salbiah Pohan Saat Tua

Pemusnahan Baju-Baju Jelek

Jika sedang ada panen, biasanya sebagai anak boru, maka suami Salbiah Pohan yakni Paramean Siregar ikut bekerja dengan penuh semangat di sawah mertuanya. Jika Paramean Siregar sosok pekerja keras, maka istrinya Salbiah Pohan terkenal rapi. Demikian rapinya sehingga jauh-jauh hari sebelum Salbiah Pohan berkunjung ke rumah Nursiti Siregar, ibunya, maka Nursiti Siregar akan menyembunyikan baju jelek yang biasa dipakai ke sawah, agar tidak dibakar oleh Salbiah Pohan seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya.


Salbiah Pohan Saat Muda


Menggantikan Peran Orang Tua di Sipirok.

Saat mengetahui ketiga anak lelakinya menderita, seperti yang pernah diceritakan sebelumnya, Baginda Karapatan, langsung menuju rumah sanak saudara tempat beliau menitipkan ketiga anak lelakinya. Pada hari itu juga beliau membeli rumah di Sipirok, lantas memindahkan ketiga anak lelakinya segera. Untuk memastikan ketiga anaknya dalam keadaan baik-baik saja, maka beliau memerintahkan putri keduanya alias Salbiah Pohan yang saat itu sekolah Kepandaian Putri untuk menjaga ketiga adiknya. 

Lalu beliau mengirimkan dana operasional setiap bulan yang dipercayakan pada Salbiah Pohan. Saat itu sedang banyak pertujukan Opera Keliling yang biasanya dibawakan oleh komunitas Batak Toba. Dan sebagai remaja putri, Salbiah Pohan selalu menyempatkan diri mengunjungi Opera Keliling tersebut, dan kadang melupakan ketiga adik-adiknya.

Nasi Campur Padi

Seperti yang pernah ditulis sebelumnya nyaris semua anak perempuan Baginda Karapatan kerap sekali menangis jika bertemu saudara-saudaranya, khususnya setelah masing-masing berumah tangga. Analisa ku barangkali hal ini terjadi karena

  • Kenangan masa kecil.
  • Kerinduan akan sosok masing, apalagi saudara lelaki mereka sudah dipisahkan oleh Baginda Karapatan sejak masih remaja tanggung.
  • Rasa penyesalan akan peristiwa masa lampau.
  • Perasaan entah kapan mereka akan bertemu kembali.

Hal ini juga terjadi pada Salbiah Pohan, beliau kerap menangis dahsyat kala bertemu adiknya alias papa, selain karena upayanya “mengampelas” adiknya dengan pasir halus, juga karena teringat saat Salbiah Pohan kerap kali sebelum menonton Opera, adik lelaki bungsunya yang kelaparan diminta untuk masak sendiri saja.

Ketika pulang dari pertunjukkan Opera alangkah kaget dan sedihnya dia ketika melihat adiknya memasak sendiri beras dengan begitu banyak campuran padi, dan tertidur kelelahan disamping piring nasi campur padi  yang tak sanggup dihabiskan oleh Sang Adik. Tak aneh bertahun tahun kemudian, dia sering meraung sambil menjeritkan penyesalannya akan masa lalu tersebut khususnya jika bertemu ayah.


Salbiah Pohan dan Paramean Siregar


Kuping Dihajar Baginda

Suatu hari saat Baginda Karapatan berkunjung ke rumah tersebut, ternyata dia menilai Salbiah Pohan kurang bersungguh-sungguh sekolah, sementara beliau menyadari kekurangan dirinya sendiri yang buta huruf dan pentingnya sekolah. Tak sabar beliau lalu mengambil tanaman merambat dihalaman dan langsung mencambuk kepala putri keduanya. Salbiah Pohan menangis meraung sambil memegang kupingnya yang berlumuran darah. Belakangan Salbiah Pohan mengalami masalah pendengaran di salah satu kupingnya sejak itu.

Tak aneh, bila salah satu sepupuku mengatakan, kalau saja itu terjadi di masa kini, barangkali Baginda Karapatan sudah dipanggil oleh KomNas ANak.  Demikianlah orang tua zaman dulu mendidik anak, komunikasi kerap kurang dan sering-sering disertai aksi kekerasan, namun demikian maksud mereka baik, setidaknya Sang Anak harus memiliki kualitas yang lebih baik dibanding mereka.

Lanjut ke Anak Ke #3 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/riwayat-baginda-karapatan-11-dari-17.html

*Soal baju yang dibakar, kuping dihajar Baginda, dan menggantikan perang orang tua di Sipirok sesuai cerita Siti Hajar Lubis pada ku.
*Cerita lainnya sesuai catatan Anwar Syafri Pohan, saat mendengar cerita langsung dari Siti Hajar Lubis dan beberapa pengamatan langsung pada Salbiah Pohan. 


Riwayat Baginda Karapatan #11 dari 17 Anak ke #3 : Maradjo Pohan (Sutan Nauli)


Menikah dengan istri pertama : Djamilah Pulungan.
Menikah dengan istri kedua  Siti Khadijah.
Menikah dengan istri ketiga : Seorang Wanita Manado bermarga Mohede (nama masih belum diketahui).

Putra dan Putri sbb;
  • Idris Baginda Pohan (dari istri pertama)
  • Ida Farida Pohan (dari istri kedua)
  • Desi Yanti Pohan (dari istri kedua)
  • Yani Pohan (dari istri kedua)
Asal usul Rumah di Jalan Gandapura 8


Saat  Belanda gagal dalam clash kedua, dan terusirnya mereka beberapa masa setelah proklamasi, Bandung sebagaimana kota-kota lain rusuh tidak terkendali. Aset-aset Belanda seperti rumah dengan segera diduduki massa.  Termasuk sebuah rumah besar di jalan Riau sempat diduduki Ayah. Namun yang berhasil Ayah duduki hanya lantai dua saja, karena Ayah masih sendiri dan melihat abang ayah alias Maradjo Pohan lebih membutuhkan, maka Ayah memberikan rumah tersebut pada abangnya. Konon kabarnya Maradjo Pohan setelah beberapa saat  menjual rumah tersebut dan menggunakan dana pembeliannya membeli sebuah rumah di daerah elite yakni Gandapura No 8.


Maradjo Pohan


Sambutan Hangat

Saat kami pertama kali pindah kembali ke Bandung dari Denpasar sekitar tahun 1980, dengan menaiki kereta api jurusan Surabaya - Bandung. Di Stasiun Bandung, Maradjo Pohan yang biasa kami panggil Uwa Gandapura, , dengan wajah gembira menyambut kami, bersama VW Variant  1968 berwarna krem kesayangan beliau. Bukannya langsung menuju Jln Gandapura 8, Uwa malah mengajak kami keliling Bandung.

Terkesan sekali melihat kota kelahiran 12 tahun sebelumnya,  yang selalu ada dalam mimpiku, jalan yang turun naik, rumah-rumah bekas Belanda yang asri, pohon2 yang rindang, udara sejuk akhirnya kami melewati Jalan Dipati Ukur, lalu Uwa menunjuk Universitas Padjadjaran, dan mengatakan "Ucok, nanti kau kuliah disitu ya amang". Lalu lanjut ke Jalan Ganesha, dan menunjuk kampus Institut Teknologi Bandung, dan berkata "Ade nanti kau kuliah disitu ya amang". Kami diam saja mendengar kata2 Uwa yang rasanya tidak mungkin kami capai itu.

1982, Bang Ucok ternyata masuk ke Universitas Padjadjaran jurusan Manajemen, dan meski sedikit terlambat aku menyusul kuliah di Paska Sarjana, Institut Teknologi Bandung tahun 1996 jurusan Software Engineering. Entah kata2 Uwa adalah doa, atau kami menjadi terobsesi karenanya, namun setiap hal itu teringat kami terus termotivasi hingga kini.

Belakangan VW Variant Double Barrel Made in USA yang dibawa beliau saat pulang dari ekspedisi perdamaian Pasukan Garuda di Kongo, dijual oleh istri ketiga Maradjo Pohan, lalu aku beli dari papa,  dan akhirnya menjadi milikku. Namun saat menikah karena istri tidak terbiasa menggunakan stir kiri, maka aku jual kembali ke abangku. Sayang tape aslinya sudah hilang akibat di reparasi oleh sepupuku Royce Arnold Pohan, dan menurut Maradjo Pohan, tape tersebut lalu tak jelas dimana keberadaannya.

Tidak Semua Tentara Berperang

Saat aku masih SMA, suatu saat beliau mampir ke rumah kami di Awiligar. Tahu aku mau pergi cukuran, beliau malah menawarkan diri untuk mencukur aku. Saat itu aku selalu berpikir yang namanya veteran perang kemerdekaan pasti ikut bertempur. Jadi pas dicukur dengan penasaran aku bertanya berapa banyak Belanda yang ditembak mati oleh beliau.

Eh beliau senyum-senyum dan lalu berkata bahwa sebenarnya tidak pernah menembak Belanda, lantas beliau bercerita tidak semua tentara pergi perang, sebagian di departemen logistik, zeni konstruksi, dan kebetulan beliau memang di garis belakang. Saat itu, salah satu tugas beliau adalah mencukur rambut gerilyawan yang sering-sering  gondrong dan bahkan gimbal serta tentu saja kutuan.

Saat perang usai, maka TNI dibentuk dan setiap gerilyawan diminta bergabung, namun pangkat boleh memilih sendiri sendiri, ada yang pilih jendral dan beliau memilih pangkat lain. Alhasil beliau pensiun dengan pangkat terakhir Kapten Infanteri

Surat Sakti Maradjo Pohan

Menjelang lulus SMA, aku bimbingan di Saut Santosa, salah satu bimbingan kelas malam paling top di Bandung. Saat itu sekitar tahun 1987, seperti biasa dengan mengendarai motor butut Suzuki A100 eks Pos dan Giro yang suara khasnya sangat dinantikan remaja yang merindukan surat dr kekasihnya akupun meluncur.

Namun malang tak dapat ditolak, mendadak ada razia diujung jalan. Tak membawa STNK, dan juga tak memiliki SIM, akupun memutar balik dan memutar gas sekencang-kencangnya. Tak mau kehilangan aku, pickup polisi dengan bak terbuka, langsung memotong jalur motor, disusul dengan terhempasnya aku ke aspal.

Lalu serombongan polisi turun, yang satu merampas motor, yang lain memaksa aku menyandar di pickup dengan membelakanginya, lalu menggeledah aku dari ujung kepala sd ujung kaki, sementara yang lain memeriksa tas diktat bimbingan. Singkat kata motor kesayangan ditahan, dan dengan lunglai aku berjalan kaki kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, Bang Ucok abangku, menghiburku dan lalu atas nasihat papa, malam itu juga kami menuju rumah Maradjo Pohan. Saat itu aku merasa heran, dengan saran papa, kira2 apa yang akan dilakukan beliau,  bukankah beliau tentara pensiunan yang sudah berusia 60 sekian.

Dengan tenang beliau, mengeluarkan secarik kertas, lalu menulis dengan mantap, kira2 isinya, tolong jangan diperpanjang dan segera lepaskan motor keponakan saya, dst, lalu dibagian bawah tertulis Kapten Infanteri Marajo Pohan dan serangkaian nomor yang mungkin merupakan nomor registrasi tentara beliau.

Kira-kira menjelang jam sepuluh malam kami pun memasuki Kantor Polisi sektor Cihapit, menjelaskan maksud kami, menyerahkan surat Uwa. Polisi jaga yang bertugas, terdiam, dan lalu tanpa banyak kata2, beliau melepaskan kami membawa kembali motor tersebut.

Rahasia Bagiku Namun Bukan Rahasia Bagi Orang Lain

Di Medan, selesai prosesi pemakaman, beliau dibisiki kakaknya Salbiah Pohan, ada satu rahasia yang disimpan Nursiti SIregar selama ini tentang anak lelaki pertamanya Maradjo Pohan yang beliau pasti belum tahu. Dengan penasaran beliaupun bertanya apa itu, tapi Salbiah Pohan menahannya, "Nanti setelah ketiga hari kita acarah yasinan, akan aku beri tahu" demikian Salbiah Pohan.

Tiba malam ketiga, acara yasinan telah selesai, beliaupun bergegas mendekati kakaknya. Karena beliau terus mendesak akhirnya kakaknya menceritakan rahasia yang terpendam selama ini dari. Maradjo Pohan terharu dan menangis sesunggukan, meski sehari-hari bersikap lembut dan tenang, hari itu dia menjeritkan tangis.

Selesai rangkaian acara di Medan, beliau mampir di Jakarta di rumah adiknya yakni Oloan Pohan, sebelum meneruskan perjalanan ke Bandung. Maka berkumpullah semua kerabat di rumah Oloan Pohan. Setelah menunggu cukup lama dan memastikan semua hadir maka beliau mengatakan akan menyampaikannya sesuatu diluar masalah warisan dan sangat serius, ungkapnya.

Lalu beliau pun cerita, sebenarnya Nursiti Siregar seperti kebanyakan masyarakat Batak yang patrilineal,  dahulu amat sangat mendambakan kelahiran seorang anak laki-laki, apalagi karena selama ini anak pertama dan kedua perempuan semua. Sedangkan dalam adat batak, anak laki-laki adalah penerus marga dan gelar-gelar lainnya. Jika belum punya anak laki-laki maka belum sempurnalah keluarga itu.

Saking inginnya Nursiti Siregar membahagiakan suaminya Baginda Karapatan dengan memiliki anak laki-laki, maka Nursiti Siregar bernazar jika Allah memberikan anak laki-laki, maka beliau berjanji tidak akan pernah melewatkan sholat lima waktu sekalipun juga.

Akhir kata doa Nursiti Siregar pun terkabul, cuma masalahnya jika beliau lupa atau alpa tidak sholat satu kali saja, maka kontan jatuh sakit pulalah Maradjo Pohan. Hal ini terjadi sejak Maradjo Pohan dilahirkan dan terus berlanjut sampai saat itu. Sambil berurai airmata Maradjo Pohan bertutur kepada semua yang hadir. Tapi seluruh keluarga malah tertawa terbahak-bahak. ternyata cerita itu sudah bukan rahasia lagi bagi mereka. Nursiti Siregar kerap atau bahkan terlalu sering menceritakan peristiwa itu pada semua orang kecuali ke anaknya sendiri Maradjo Pohan, lalu pertemuan pun bubar begitu saja dengan antiklimaks.

Lanjut ke Anak Ke #4 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/riwayat-baginda-karapatan-12-dari-17.html

*Mengenai “Rahasia Bagiku Namun Bukan Rahasia Bagi Orang Lain” sesuai cerita Rudi Ramon Pohan.
*Asal usul rumah di Gandapura 8  sesuai cerita Siti Hajar Lubis.
*Selebihnya pengalaman penulis langsung saat berinteraksi dengan almarhum.