Sunday, November 27, 2016

The Five Secrets You Must Discover Before You Die – John B. Izzo

Jika hidup anda tidak bahagia, sibukkan diri anda dengan membahagiakan orang lain, karena mementingkan diri sendiri tidak akan membuat anda bahagia. Kebahagiaan hanya akan datang jika anda menebar kasih sayang.

Juana (64 Tahun)

Lama sudah buku ini saya beli, baru minggu ini saya serius membacanya. Idenya unik, menggunakan 1000 lebih responden, yang diminta menunjukkan orang tua bijak (bahagia) yang mereka kenal, lalu para orang tua tersebut di seleksi ulang sampai sekitar 200 dengan rentang usia 60 sd 106 dan diperas lagi menjadi sekitar 50. Lalu intisari hidup mereka diklasifikasikan menjadi lima hal terpenting. Kelima hal ini lah yang diduga menjadi sebab kenapa mereka tetap terlihat bahagia di usia lanjut. 

Para orang tua ini ada yang berprofesi sebagai tukang cukur, sosok yang selamat dari holocaust, pebisnis, berbagai macam ras, dan juga berbagai macam agama. Izzo dan kedua orang rekannya lalu membuat kuesioner, melakukan wawancara dan merekam dalam video. Semua aktfitas ini  disajikan pula dalam serial TV, Five Things You Must Be Discovered Before You Die. 




Dalam salah satu kegiatan sebelum memulai buku ini, Izzo sebenarnya sudah menunjukkan minat besar pada rahasia hidup. Kegiatan tersebut misalnya membuat suatu rencana yang harus ditulis peserta, seandainya mereka hanya memiliki usia 6 bulan dari sekarang, apa prioritas yang harus segera mereka lakukan ?. Umumnya kelas kegiatan tersebut akan seketika menjadi hening. Salah satu yang menjadi prioritas ternyata adalah memaaafkan atau meminta maaf, cukup banyak peserta yang ternyata bermusuhan entah dengan anaknya atau malah orang tuanya dan sudah bertahun-tahun tanpa komunikasi. 

Izzo juga mengisahkan kembali kisah kakek suku Indian Navajo tentang dua serigala yang terus menerus bertarung dalam diri kita. Serigala pertama berkarakter buas, tamak, congkak, pemalas, dan banyak sikap negatif lainnya. Serigala kedua adalah sosok bahagia, penuh kedamaian, pemaaf, penuh kepedulian, dan banyak sikap baik lainnya. Cucu bertanya, “Kakek, serigala mana yang akhirnya menang ?”, “Serigala yang kau beri makan” jawab kakeknya. 

Izzo juga bercerita tentang Molly seekor anjing yang selalu menemaninya mendaki dan menuruni lereng gunung selama sekitar 40 menit, sementara Izzo serius dan fokus pada puncak pendakian, sebaliknya Molly selalu “menyapa” anjing lain dengan ramah, berhenti lama jika ada yang menarik perhatiannya, mengendus-ngendus berbagai bunga. Saat awal Izzo sering menegur Molly, lama-kelaman dia menyadari Molly lah yang lebih menikmati perjalanan tersebut. Izzo lalu berusaha bertegur sapa saat berpapasan dengan orang lain, berhenti saat pemandangan terlihat begitu menarik, dan perjalanan tersebut ternyata menjadi lebih indah. 
Orang-orang tua ini menyadarkan Izzo untuk bahagia tidak perlu tergantung dari lingkungan di sekitar kita namun cukup dengan mengubah cara kita berpikir. Lima hal yang disimpulkan Izzo adalah 


  • Jujurlah dengan diri sendiri 
  • Beranilah mengambil resiko untuk menghindari sesal kemudian hari. 
  • Tebarlah rasa kasih dan sayang ke sekelilingmu. 
  • Jalani hidup sepenuh hati (hiduplah seakan akan esok hari anda mati). 
  • Memberi lebih baik daripada menerima. 


Saat saya menceritakan isi buku ini istri langsung menyeletuk, beberapa hal yang ternyata sangat identik dengan hadis Nabi Muhammad SAW 1400 tahun lalu, ketika saya coba melakukan pengecekan maka hadis-hadis yang sesuai dengan lima hal diatas adalah sbb;


“… Kejujuran itu ketentraman, dan dusta itu keragu-raguan …” 
[HR. At-Tirmidzi]
“Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Tetapi katakanlah, ‘ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena sesungguhnya perkataan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan setan.” 
[HR. Muslim]
“Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” 
[HR. Thabrani]
“Jika engkau berada di pagi hari, jangan tunggu sampai petang hari. Jika engkau berada di petang hari, jangan tunggu sampai pagi. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Manfaatkanlah waktu hidupmu sebelum datang matimu.” 
[HR. Bukhari]
“Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” 
[HR. Hakim Bin Hizam]





Sunday, November 20, 2016

Rantau 1 Muara - Ahmad Fuadi

“Jika kau bukan anak raja dan juga bukan anak ulama besar, maka menulislah” 

Imam Al-Ghazali


Untuk meraih cita-cita maka tanamkan dalam diri sikap  "Man Jadda Wajada" (siapa yang bersungguh sungguh ia lah yang berhasil)  dan lalu , ketika semua upaya sudah dilakukan maka bersikaplah “Man Shabara Zhafira” (siapa yang bersabar akan beruntung) maka topik buku ketiga ini adalah "Man Saara Ala Darbi Washala" (siapa yang berjalan di jalan Nya akan sampai di tujuan). Dengan demikian lengkap sudah trilogi karya Ahmad Fuadi ini, dua karya sebelumnya dapat dilihat di 

http://hipohan.blogspot.co.id/2011/10/negeri-5-menara-ahmad-fuadi.html

http://hipohan.blogspot.co.id/2011/10/ranah-3-warna-ahmad-fuadi.html

Sukses dalam pertukaran pelajar, melanglang buana, tulisan mulai dipulikasikan di media dan menjadi wisudawan terbaik, namun kisah Alif tidak berhenti, dan justru dia menyadari prestasi sebelum
nya tidak menjamin kesuksesan berikutnya jika dia tidak segera bangun dari mimpi kejayaan masa lalu dan menyusun rencana baru. Kali ini kisah Alif tentang upayanya mencari kerja, fokus dalam mempelajari TOEFL dan GRE, lalu mencari beasiswa Fullbright untuk kesempatan kuliah di George Washington University serta kisah percintaan. 



Satu hal yang cukup sulit bagi saya, kisah ini terlalu dekat dengan kehidupan nyata, sehingga tidak jelas mana yang kisah sebenarnya dan mana yang cuma fiksi. Saat Alif menjadi wartawan di Majalah Derap, namun bicara tentang jarak kantor ke Bioskop Metropole, dengan mudah saya meyakini ini adalah cerita tentang Majalah Tempo. Begitu juga ketika berkisah tentang Pramoedya Ananta Toer, namun saat mengisahkan tentang Jendral Broto, tak jelas benar siapa sebenarnya yang dimaksud Ahmad Fuadi dalam dunia nyata. 

Kisah ini menjadi lebih berwarna, saat menceritakan kerusuhan Mei 1998 dan juga 9/11/2001 saat beberapa pesawat menghunjam menara kembar di New York. Kehilangan tokoh Mas Garuda mengingatkan Alif akan tujuan hidup, dari mana kita berasal dan kemana kita akan pergi, melewati dua pintu sekaligus portal kehidupan, yakni portal kelahiran dan portal kematian, lalu kembali menuju yang satu, muara dari segala muara. Kisah di bagian ini mengingatkan saya akan potongan lirik Dream Theater 

Where did we come from ?
Why are we here ?
Where do we go when we die ?

Buku ini juga mengingatkan kita betapa kehidupan seorang jurnalis sesungguhnya menjadi jendela bagi dunia untuk menyampaikan kabar kebenaran. Sementara jurnalistik sekarang ini justru menjadi sekedar alat penguasa untuk mengarahkan opini dan menjadikan fitnah sebagai bumbu penyedapnya.

Beberapa hal yang saya suka dari buku ini adalah bagaimana kita diingatkan untuk terus fokus pada profesi/minat yang kita tekuni, saingan dalam arti positif kadang diperlukan untuk menambah bahan bakar saat berlomba lomba dalam kebaikan (diperankan oleh tokoh Randai dengan sangat baik), kehidupan percintaan bisa tetap indah namun tetap islami, dan tetaplah berpegang di jalanNya dimana kita semua kelak akan kembali.  

Buku ini juga terasa akrab bagi saya, karena tokoh Dinara juga digambarkan menyukai Tintin karya Herge sementara tokoh Alif menyukai Tom Sawyer dan Huckleberry Finn karya Mark Twain. Ada sedikit koreksi mengenai karya Sting mengenai "Illegal Alien", mungkin yang dimaksud Ahmad Fuadi, adalah "Englishman in New York", sedangkan "Illegal Alien" setahu saya merupakan karya Genesis.  Akhirnya review ini saya tutup dengan quotes dari buku ini sbb; 


"Bertuanglah sejauh mata memandang.
Mengayuhlah sejauh lautan terbentang.
Bergurulah sejauh alam terkembang."


Thursday, November 17, 2016

The Similitude of a Dream – The Neal Morse Band


Awalnya saya mendapatkan informasi mengenai album ini,  dari account Portnoy di Facebook. Dalam statusnya  tanpa ragu Portnoy mengatakan album ini merupakan album terbaik dari sekitar 50 album dimana Portnoy terlibat selama karirnya. Hemm jelas saya penasaran, maklum ini sama saja dengan mengatakan Scenes From a Memory, yakni album saat Portnoy masih di Dream Theater, adalah album yang kelasnya lebih rendah.  Portnoy juga mengatakan baginya album ini lebih merupakan kombinasi dua album konsep terbaik yakni Tommy dari The Who dan The Wall dari Pink Floyd.

Album dengan 23 track ini, digawangi oleh Neal Morse (Lead Vocals, Keyboards, Guitars), Mike Portnoy (Drums, Vocals), Randy George (Bass), Eric Gillette (Guitar, Vocals) dan Bill Hubauer (Keyboards, Vocals).  Bagi saya secara umum ada nuansa Flying Colors disini, meski dengan kompleksitas lagu yang lebih tinggi. Namun untuk skill gitar rasanya cukup jelas kalau Steve Morse levelnya masih diatas Gillette.  

Bagi The Neal Morse Band, album ini bukanlah album pertama, karena tahun 2014, setelah melakukan audisi, dimana Neal Morse dan Randy George akhirnya memilih Eric Gillette dan Bill Hubauer, mereka suda merilis “The Grand Experiment”, dilanjutkan dengan album konser “Alive Again”. Untuk drummer,  Neal Morse masih nyaman dengan Portnoy dimana mereka berdua sudah terlibat dalam sekitar 18 proyek album bersama. Agak aneh sebenarnya melihat Portnoy yang menjadi tokoh kunci di Dream Theater di sini seakan sebagai bayang-bayang Neal Morse saja.

Inspirasi album ini sebenarnya hanya dari sekitar 80 halaman pertama buku “Pilgrim’s Progress” karya John Bunyan tahun 1678. Namun itu cuma judul pendeknya saja, judul panjangnya “The Pilgrim’s Progress From This World To The That Which Is To Come; Delivered Under The Similitude Of A Dream”.  Nah lima kata terakhir inilah yang digunakan sebagai judul album The Neal Morse Band. Buku ini merupakan cerita tentang perjalanan spiritual lelaki dari  “City of Destruction” menuju kebebasan.

Saya hanya menduga duga kenapa Morse tertarik dengan buku ini, mungkin karena mirip dengan kisah hidupnya sendiri mengingat Morse pernah meninggalkan Spock’s Beard dan Transatlantic, demi memuaskan dahaganya akan spritualisme yang ujung-ujungnya  melahirkan album Testimony (2003).  Meski demikian setelah beberapa album solo di 2010  Morse sempat kembali ke Transatlantic dan menelurkan The Whirlwind

Album The Similitude of Dream,  memiliki durasi sekitar 106 menit, diluar kebiasaan musik progressive yang umumnya memiliki track panjang, ternyata track panjang dalam album ini alias diatas enam menit cuma  3 track. Berikut track list dalam album ini;

01. Long Day (1:42) ****
02. Overture (5:51) *****
03. The Dream (2:28) ****
04. City of Destruction (5:10) ****
05. We Have Got to Go (2:29) ****
06. Makes No Sense (4:09) *****
07. Draw the Line (4:06) ****
08. The Slough (3:02) ****
09. Back to the City (4:18) ****
10. The Ways of a Fool (6:48) ****
11. So Far Gone (5:20) ****
12. Breath of Angels (6:48) ****
13. Slave to Your Mind (5:55) ****
14. Shortcut to Salvation (4:36) ****
15. The Man in the Iron Cage (5:16) ***
16. The Road Called Home (3:23) *****
17. Sloth More (5:47) ***
18. Freedom Song (3:58) **
19. I'm Running (3:44) ***
20. The Mask (4:28) ***
21. Confrontation (3:59) ***
22. The Battle (2:57) ***
23. Broken Sky Long Day (9:58) *****


Diawali dengan vokal sendu Morse, dengan iringan orchestra dan gitar akustik Long Day mengawali album ini. Lalu lanjut sedikit lebih cepat, dengan solo gitar indah dan bersih, ketukan berubah ubah, permainan unison antara gitar dan keyboard yang mengasikkan, dalam Overture. Lalu lanjut dengan track tenang The Dream, yang mengingatkan saya akan Pink Floyd dengan gema yang perlahan fade out. Kemudian “City of Destruction yang masih kental dengan ciri khas Spock’s Beard, dan giliran Portnoy menunjukkan ketukan rumitnya di “We Have Got To Go”, dengan sound keyboard ala Tony Banks (dalam track legendaris In The Cage) yang dimainkan Hubauer dengan manis.  

Suasana kembali menjadi tenang di “Makes No Sense”, namun gaduh kembali dengan diawali distorsi gitar Gillette dalam “Draw The Line”, namun di menit 2:50 suasana berubah menjadi jazzy yang dimainkan Gillette dengan cantik. Neal Morse memang cukup terbuka dengan berbagai aliran, bukan cuma jazz, dalam “The Light” saat masih di Spock’s Beard malah dimainkan potongan lagu latin ala Trio Los Panchos. Nuansa jazz ini ternyata masih terus berlangsung dalam “The Slough” mulai 1:30 dengan sound gitar “psychedelic” ala Alan Holdsworth, dan kali ini Gillette tanpa ragu memamerkan teknik “sweeping”nya. Lanjut ke “Back To The City”, Morse menjerit dengan serak ala Peter Gabriel di track legendaris “Back In New York City” dan lagu diakhiri dengan kombinasi gema dan lagi-lagi “fade out” ala Pink Floyd.



The “Ways of Fool” dimainkan dengan jenaka, lanjut ke “So Far Gone” dan “Breath of Angels”. Kemudian “Slave to Your Mind” dimainkan dengan cepat, dan dilanjutkan dengan permainan saxophone dalam “Shortcut to Salvation” yang agak bernuansa pop. “The Man in The Iron Cage” sepertinya akan terasa akrab bagi penggemar Led Zeppelin, ya tidak salah pembukanya sangat bernuansa “Black Dog”.

“The Road Called Home” menjadi ajang pembuktian Hubauer dengan permainan cepat dan cantik. “Sloth More” kembali membuat kita tenang dengan ritme lambat dan sound gitar bening, lanjut dengan “Freedom Song” yang menggunakan petikan ala steel guitar musik country dan nuansa banjo. “I’m Running” menjadi track berikutnya dan lanjut ke intro piano Hubauer yang indah dalam “The Mask”. Lalu Portnoy dengan gaya drum progressive metalnya memulai “Confrontation”, dan masuk ke “The Battle” yang tidak kalah cepat, hingga akhirnya diakhiri Broken Sky track terpanjang dan saya kira juga track terbaik dalam album ini yakni hampir 10 menit dan memberikan suasana relaksasi layaknya suasana pelabuhan setelah badai reda ala “Peaceful Harbor” dalam album Second Nature karya Flying Colors.

Akhir kata, meski bagi saya belum sekelas The Wall dan sejujurnya saya belum merasa nyaman dengan vokal bernuansa pop ala Neal Morse, namun album konsep ini layak masuk 100 album terbaik progressive sepanjang masa, bersanding dengan album konsep dahsyat lainnya seperti "Lamb Lies Down on Broadway" – Genesis , "Close To The Edge" - Yes, "Misplaced Childhood - Marillion, "Scene Form a Memory" – Dream Theater, "Thick as a Brick" – Jethro Tull, "Fear of Blank Planet" – Porcupine Tree, "De-Loused in the Comatorium" - The Mars Volta, "2112" – Rush dan lain-lain. Hal lain adalah kurang seriusnya penggarapan cover album, kalau saja tampilan artistiknya sekelas "Leftoverture" - Kansas atau "10.000 days" - Tool wuih pasti akan memberikan nuansa lain. 

Silahkan cek link https://youtu.be/Fbzl46CuPiM?t=216 untuk dua track awal. 




Monday, November 14, 2016

Firegate - Piramida Gunung Padang - Rizki Ridyasmara


Kalau harus memilih saya sebenarnya lebih suka karya Zaynur Ridwan dibanding Rizki Ridyasmara. Karena kedua penulis lokal ini, cenderung mengombinasikan antara fakta dan cerita, maka diperlukan keahlian khusus dalam merangkai kedua hal ini menjadi cerita yang enak dibaca, tetap terkesan realistis namun juga terangkai cantik. Dalam hal ini Ridwan terkesan memang lebih piawai, meski dalam novel 2013 "Rambut Annisa" ada kesan penurunan kualitas.   

Kembali ke Rizki Ridyasmara, setelah "The Jacatra Secret" yang membahas freemason di Jakarta lalu "The Escaped" yang membahas misteri kematian Hitler dan "Codex" yang membahas konspirasi medis , sepertinya Rizki juga mulai terlihat kesulitan di SMPdGL alias "Sukuh Misteri Portal Di Gunung Lawu". Entah kenapa Rizki mulai memasukkan peran dukun dalam dua karya terakhirnya.  Sebagaimana Ki Mahendra dalam SMPdGL, maka dalam Firegate sosok dukun ini diperankan oleh Guntur Samudra.  




Rizki juga belum menemukan ide atau acuan baru baru selain yang mengacu pada karya Juri Lina dan juga Oppenheimer. Secara umum saya menilai karya ini tidak sedalam tulisan Rizki sebelumnya. Sehingga agak membosankan dibaca, dan juga minim kejutan. 

Bisa jadi, karena pola yang biasa terjadi memang buku muncul duluan baru disusul film. Karena waktu putar yang hanya sekitar 2 jam, film memang tidak akan serinci buku. Namun dalam Firegate, yang terjadi sebaliknya, original screenplay dibuat  Robert Ronny, lalu dituangkan dalam novel oleh Rizki Ridyasmara. Itu juga mungkin yang jadi jawaban kenapa buku ini terkesan sangat biasa. FIlm yang biasa memng lebih dangkal seakan akan dipaksa menjadi acuan novel yang seharusnya lebih dalam. 

Film Firegate yang disutradarai RIzal Mantovani sendiri dibintangi sederet artis top lokal Reza Rahadian, Julie Estelle dan Dwi Sasono. Namun saya tidak tahu akan seberapa sukses film ini di pasaran, dan saya juga memang tidak berencana menontonnya.  

Akhir kata semoga dalam karya berikutnya, Rizki bisa kembali memberikan bacaan yang asik dan menambah pengetahuan pembaca, tanpa perlu terjebak dengan mistisme namun justru dengan riset menarik seperti karya yang sudah-sudah. Secara pribadi saya tetap setuju perlunya penulisan ulang sejarah seperti yang selalu diingatkan oleh Rizki dalam karya-karyanya.  




Wednesday, November 09, 2016

Unfriend and Unfollow

1000 Sahabat tidak pernah cukup
1 Musuh terlalu banyak 

anonymous


Saat ini persis seperti PILPRES 2014 lalu, seiring dengan semakin panasnya situasi, maka orang lantas beramai-ramai melakukan unfollow dan unfriend. Sebagian dengan bangga menulisnya di status, seakan akan masalahnya selesai dengan unfollow dan unfriend. Tak salah kalau pilkada DKI kali ini disebut PILKADA dengan rasa PILPRES.

Bagaimana seharusnya sikap kita menghadapi situasi ini ?, bagi saya sahabat bukanlah sosok yang pasti selalu seiring sejalan dengan kita. Dalam perjalanan hidup kadang sahabat mungkin tidak setuju dengan apa yang kita lakukan dan demikian pula sebaliknya. Namun seiring dengan berjalannya waktu jika mereka masih saja menjadi sahabat kita, maka sahabat seperti inilah yang disebut sebagai sahabat sejati.

Lantas apakah PILPRES atau PILKADA yang periodenya sangat terbatas ini, kita biarkan menghancurkan hubungan silaturahim yang sudah terjalin bertahun-tahun menjadi lenyap tak berbekas. Coba anda pikirkan baik-baik, atau coba ingat lagi kenapa seseorang menjadi sahabat anda, karena pernah saling tolong menolong ?, karena pernah satu sekolah ?, karena pernah satu kantor ? karena memiliki hobi yang sama ?, karena pernah dalam perjalanan yang sama ? dan sebagainya. Jadi ingatlah yang baik-baik dari seorang sahabat dengan demikian anda memiliki keputusan yang lebih obyektif.




Saya pernah dicemplungkan oleh salah satu sahabat ke group yang memuja-muja pilpres pilihannya, mungkin karena mengira saya pastilah memilih presiden yang sama. Namun alih-alih keluar, saya justru memiliki kesempatan untuk mempelajari presiden pilihan saya dari perspektif lain.

Jadi, saya tidak akan melakukan unfollow apalagi unfriend, apalagi pada sahabat-sahabat yang sudah saya kenal sejak lama, hanya karena pilihan politik yang berbeda.  Bagi saya persis seperti tulisan yang saya terima beberapa minggu lalu bahwa

Saat lahir kita ditolong orang lain.
Saat mandi pertama kali dimandikan orang lain.
Saat diberi nama, kita di beri nama oleh orang lain.
Saat mendapatkan rezeki, selalu melalui tangan orang lain.
Saat sekolah kita diajari orang lain.
Saat awal bekerja kita diajari orang lain.
Saat mandi terakhir, kita dimandikan orang lain.
Saat mati kita dikuburkan orang lain.

Diluar itu masih banyak kisah yang saya alami sendiri seperti; Saat masih Sekolah Dasar di Denpasar seorang pemuda tak dikenal menolong membayarkan bemo karena saya kehilangan uang. Saat saya masih SMA dan mengalami kecelakaan lalu lintas di depan stasiun Kereta Api Bandung, seorang supir taksi tak dikenal menolong mengantar saya ke RS Hasan Sadikin dan biaya rumah sakit dilunasi korban yang saya tabrak. Saat kuliah,  teman kuliah saya basah kuyup mengantar saya ke rumah di tengah hujan badai. Saat baru menikah dengan istri, seorang dokter THT  mau berpayah payah menolong saya yang sedang mengalami infeksi amandel meski sedang diluar jam praktek tanpa dibayar. Saat jalan-jalan di pantai Kijing sekitar Singkawang dan mobil mengalami slip, sekumpulan nelayan membantu saya lepas dari kubangan pasir. 

Jelaslah sudah kita tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain apalagi jika orang lain itu seorang sahabat, jadi apa cara paling baik menyiasati status sahabat yang tidak nyaman ?, jika memang  tidak bisa diberi masukan / dinasehati, ya cukup tidak usah dibaca, tidak usah ditanggapi, serta tidak usah didebat. Namun ingatlah bahwa seorang sahabat yang baik tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari perselisihan, justru mereka akan berkata apa adanya demi persahabatan. Dan dalam persahabatan sejati tak pernah ada kata “perpisahan”, jika pun kelak ada, hanya ketika salah satu salah satunya menghembuskan nafas terakhir.