Monday, May 29, 2017

Gombalnya Globalisasi – El Fisgon


Nama sebenarnya adalah Rafael Barajas Duran, namun sebagai ilustrator, beliau lebih dikenal sebagai El Fisgon. Karya beliau ini jangan dianggap sepele mentang-mentang El Fisgon mengekspresikan pemikirannya dengan media kartun, karena memang tetap terasa bobotnya, meski sekaligus terlihat kocak. Sebagai kartunis di negara dunia ketiga alias Meksiko, apa yang beliau gambarkan sedikit banyak mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia.



Komik ini bukan menceritakan cara cepat menjadi kaya, namun menjelaskan kenapa kita (Negara Dunia Ketiga) terus menerus miskin. El Fisgon menggunakan sosok pengusaha kecil diperankan oleh Charo Machorro, yang terus menerus gagal, dan akhirnya berusaha menemui sosok cerdas yang lebih mirip dukun yang diperankan Cassandra Carrera. Namun bukannya jimat untuk menjadi kaya yang dia dapatkan, Cassandra justru memberikan pelajaran sejarah ekonomi dari masa ke masa hingga ke globalisme yang terasa pahit.



Bagi El Fisgon, globalisasi sepenuhnya janggal, seperti bagaimana perusahaan multinasional berlomba-lomba menggunakan buruh murah dari China, atau sebuah firma di India mengisi formulir pajak perusahaan Amerika yang membuat Vodka di Peru, dan menjualnya ke imigran Polandia yang sedang membangun gedung di Madrid atas biaya Inggris. Secara kocak El Fisgon, saing kuatnya pengaruh Amerika di Meksiko, bahkan menganggap bahwa George Bush adalah presiden terburuk Meksiko yang pernah ada. Dimata El Fisgon, George Bush lebih mirip penguasa dan pengusaha ala mafia Meksiko (Cacique), termasuk kesukaannya akan senjata dan kekerasan, melanggar aturan hukum, tidak menyukai aktifitas intelektual, pemabuk, hidup secara mewah, pembohong namun menyatakan diri sebagai abdi Tuhan.

Bagi El Fisgon logika kapitalisme selalu bertentangan dengan prinsip etis bahkan yang paling mendasar sekalipun. Namun kapitalisme neolib bahkan tanpa etika sama sekali, yang mana dampak penerapannya lebih parah bagi negara-negara berkembang.  Sebagai contoh, negara yang menjadi korban seperti Bolivia atau Paraguay, atau bahkan benua seperti Afrika yang diasingkan dalam kemiskinan berkelanjutan, dengan korban berikutnya seperti Argentina.

Siapakah yang menikmati ? Rakyat Amerika ? ternyata bukan, karena Amerika justru memiliki angka kemiskinan tertinggi dari semua negara industri maju di tahun 2001. Sensus tahun 2001 menyebutkan 11,7% warga Amerika hidup dalam kemiskinan, dimana 40% dari angka tersebut berada dalam kemiskinan ekstrim. Seperlima rakyat Amerika menguasai kekayaan 150% lebih besar dari kekayaan nasional, sementara 20% kaum miskin hanya menguasai 3,5%.

Bagaimana dengan negara lain, kita ambil contoh Afrika, tahun 1990, 242 juta orang di sub sahara Afrika hidup dengan kurang dari 1 USD per hari. Pada 2002, terjadi peningkatan menjadi 302 juta, dan sampai dengan buku ini ditulis 78% orang di Afrika hidup dengan kurang dari 2 USD per hari. Begitu juga dengan kesehatan, angka kematian bayi di Afrika 60% lebih tinggi, dibanding rata-rata semua negara berkembang. Tingkat harapan hidup hanya 47 tahun. Tiap tahun AIDS membunuh 2,3 juta manusia, seperti di Botswana dimana 36% penduduk dewasa terinfeksi HIV, sementara di lokasi lain seperti Swaziland 25%, Zimbabwe 25% dan Afrika Selatan 20%.

Saat-saat krisis merebak, IMF meresponnya dengan memaksa negara korban memangkas anggaran belanja sosial, yang justru membuat resesi semakin parah dan gagal mendongkrak pertumbuhan. Dan hal yang harus diingat, saat dunia menjadi sangat tidak adil khususnya secara sosial, maka terorisme akan tumbuh dengan subur.

Bagi saya buku yang pertamakali dipublikasikan tahun 2002 ini, diterjemahkan dengan cerdas oleh Ronny Agustinus, adalah buku yang  menarik sekaligus menjadi panduan bagaimana globalisasi memainkan perannya yang seram, aneh dan destruktif di dunia  





Thursday, May 18, 2017

Analisa Mengenai Kasus FH dan HRS


Lama kelamaan, saya jadi terusik juga melihat soal FH ini semakin menjadi jadi pembahasannya, padahal sangat banyak kejanggalan yang dengan mudah ditemukan masyarakat awam, sebagaimana berikut;


  • Foto mesumnya hanya FH tanpa HRS. Meski polisi mengatakan bahwa 16 lekuk tubuh dan wajahnya identik, tanpa ada foto HRS maka tuduhannya menjadi sumir. 
  • Videonya tidak tepat dibilang video, melainkan monolog FH (seakan akan dengan E namun suara E nya tidak ada). 
  • Chatnya bisa dibuat anak SMK sekalipun, dengan aplikasi seperti fakeWhatsapp. 
  • Sosok E meski bukan tokoh fiktif, mengatakan pada wartawati senior,  Nanik Sudaryati, bahwa dia, meski dipanggil nyaris tidak diperiksa. Dan E mengaku tidak begitu kenal FH. 
  • Dialog dalam chat, bukan gaya bahasa sehari-hari HRS. 
  • FH memiliki kasus hukum lain dengan kepolisian, sehingga sangat rentan untuk dipaksa melakukan demoralisasi karakter HRS
  • Anonymous lewat rilis resmi  menyangkal keterlibatan mereka, yang sempat dijadikan kambing hitam oleh terduga penyebar berita ini. 
  • Secara teknis hacking seharusnya menghasilkan database conversation dengan jam dan identitas, dan bukan screen capture.
  • Belum ada publikasi resmi dari Whatsapp bahwa hacker berhasil menjebol enkripsi database mereka.
  • Polisi seharusnya memulai investigasi dengan mencari pelaku penyebaran pertama kali di internet, bukan dengan memfokuskan penyelidikan pada FH yang sebenarnya juga "korban".
Jadi memang dr sudut pandang HRS peristiwa hukumnya sama sekali tidak jelas. Jika polisi memang semangat menjerat HRS, kasus pelecehan Pancasila atau kasus lainnya lebih tepat menjadi dasar penyidikan, kecuali memang tujuan utamanya demoralisasi keulamaan beliau. 

Saya kira meneruskan kasus ini justru akan mempermalukan Polisi, sebaliknya kasus seperti pelaku penyiraman air keras dan siapa sutradaranya pada korban Novel Baswedan justru harus menjadi prioritas dan akan sangat positif bagi citra Polisi. 

Bagi yang masih yakin akan keterlibatan HRS, silahkan aminkan sumpah mubahalah beliau, dan tunggu hukum Allah SWT yang akan bekerja. 

Tulisan Nanik Sudaryati saat mewawancarai E;

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1530865750271330&id=100000437595411

Penjelasan E pada Tempo 

https://m.tempo.co/read/news/2017/05/18/064876316/kak-emma-akui-rekaman-percakapan-yang-beredar-mirip-suara-firza

Debat pengacara HRS, perhatikan mulai menit ke 43, mengenai analisa kasus ini secara hukum;

https://youtu.be/SWTN6GfatYI

Klarifikasi resmi Anonymous; 

https://youtu.be/Z-rZ4NxLSiE

Pendapat SBP soal kasus ini;

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170516161900-12-215273/sri-bintang-rizieq-tak-perlu-repot-ladeni-kasus-ecek-ecek/

Demikian catatan kecil saya, sebagai pengamat biasa yang kebetulan dulu pernah kuliah IT, di ITB :)

Wednesday, May 10, 2017

Kuala Lumpur – Penang Part #1 dari 8 : Menuju Kuala Lumpur dan The Zon Residences


Sebenarnya saya sudah tidak begitu tertarik ke KL, kebetulan setahun terakhir sempat 2x acara pelatihan kantor yakni akhir tahun 2016 dan awal 2017, dan tiga tahun yang lalu sudah pernah sekeluarga kesini dengan destinasi Istana Negara, Dataran Merdeka, Petronas Twin Tower, Beryl’s Chocolate Kingdom, Sungei Wang Plaza, Petaling dan Alor Street. 
 
Jadi saya lebih tertarik ke Penang, namun karena beberapa teman kantor kebetulan juga ada rencana ke Kuala Lumpur, maka kami menyusun rencana untuk sama-sama sekitar dua hari city sight seeing di Kuala Lumpur, lalu dua hari berikutnya saya sekeluarga lanjut ke Penang, sementara teman-teman kantor ada yang rencana lanjut ke Genting Highland dan ada juga yang memilih melanjutkan perjalanan ke Singapore.

Untuk perjalanan kali ini saya menggunakan Air Asia QZ202, untuk rute Jakarta – Kuala Lumpur di Sabtu pagi, lalu ETS alias kereta listrik Kuala Lumpur – Penang di Senin pagi, Air Asia AK6125 Penang – Kuala Lumpur di Selasa sore dan Air Asia QZ209 Kuala Lumpur – Jakarta di Selasa malam. Untuk semua tiket dibeli via internet dengan dibantu teman yang memiliki credit card, maklum sampai saat ini saya dan istri memang tidak memiliki credit card, memang karena belum tertarik. Semua pembelian tiket pesawat menggunakan via.com dan tiket.com, dan boleh dibilang tidak ada hambatan, kecuali tiket ETS yang baru bisa dibeli secara online sekitar seminggu sebelum keberangkatan. Sekitar tiga hari sebelum keberangkatan saya melakukan check in online via https://checkin.airasia.com/

Jam 03 dini hari kami berempat sudah bangun, dan langsung menggunakan taksi Bluebird menuju Soekarno Hatta terminal 2F. Setelah melewati pos imigrasi dan sebelum menuju gate, kami sarapan di Kopi Tiam, memesan Nasi Lemak dan kopi. Setelah sarapan, kami melewati pos X Ray terakhir, dan dengan sedih menyaksikan sabun cair, shampo dan deodorant AXL disita petugas. Sepertinya pemeriksaan di bandara sekarang ini semakin ketat, akan lebih aman jika anda menempatkan barang-barang seperti ini dalam bagasi.

Sesampainya di KLIA 2, saya dan istri langsung membeli nomor lokal dari provider mobile network Tune, istri menggunakan paket 1 GB sebesar 10 RM sedangkan saya paket 3 GB sebesar 30 RM. Untuk berkomunikasi ke Indonesia kami menggunakan aplikasi Whatsapp tanpa harus mengubah "settingan"  apapun di mobile phone kami. Lalu kami melewati pos imigrasi, dan setelah sampai di Gate 2 (pintu keluar) saya langsung memesan taksi online Uber. Sekitar 20 menit kemudian taksi yang kami pesan sampai.   




Kejutan buat saya, supir Uber keturunan China, yang bernama Stephen bukan cuma ramah, namun juga ringan tangan dan ikut membantu menaikkan 3 koper ke dalam Nissan Almeera. Sepanjang sepengetahuan saya, biasanya supir Uber jarang yang mau membantu penumpang untuk angkat-angkat barang. Lalu taksi meluncur ke The Zon Residences di Jalan Ampang yang berjarak sekitar 60 km dan ditempuh selama 1 jam 12 menit. Menjelang masuk ke Kuala Lumpur jalan mulai terlihat padat, akhirnya setelah sekitar satu setengah jam kami sampai juga pada jam 12:03. Biaya yang kami harus bayar 79,9 RM sudah termasuk tol.




Lokasi The Zon ini, cukup strategis karena hanya berjarak sekitar 150 meter dari halte bis Menara Atlan, dan halte ini termasuk halte yang dilintasi bis gratis bagi wisatawan yakni GOKL Bus. Meski terbilang sebagai hotel yang cukup tua namun karena lokasinya dekat sekali ke KLCC Suria, alias cukup berjalan kaki 900 meter menelusuri trotoar yang relatif lebar, maka hotel ini bisa direkomendasikan bagi anda yang tidak terlalu mementingkan kualitas hotel, namun lebih ke lokasi yang strategis.  

Kuala Lumpur – Penang Part #2 dari 8 : Suria KLCC dan Tunnel+Skywalk ke Bukit Bintang


Ada beberapa cara untuk jalan-jalan ke luar Indonesia, cara pertama menggunakan travel, namun tidak enaknya, skedulnya ditetapkan oleh pengelola travel, demikian juga hotel, pesawat, destinasi di lokasi tujuan dan akomodasi lainnya. Kalau dalam rombongan ada yang misalnya selalu terlambat, maka semua anggota rombongan akan terkena dampaknya. Seperti yang saya rasakan pada perjalanan hampir tiga tahun lalu, dimana ada tiga orang nenek pemarah yang selalu tidak tepat waktu bahkan terkadang “nyasar”. Cara kedua, beberapa komponen penting seperti hotel dan pesawat kita pesan langsung, lalu memanfaatkan guide lokal untuk mendampingi termasuk sewa kendaraan jika diperlukan. Cara terakhir atau ketiga, adalah semua kita lakukan sendiri, namun risetnya memang perlu waktu lama, dan biasanya selalu ada bumbu-bumbu “nyasar” seperti yang pernah kami alami di Shenzhen dan Macau. Bagi saya dan keluarga, cara kedua lebih nyaman, khususnya jika waktu anda terbatas, sehingga skedul destinasinya bisa diatur menjadi lebih fleksibel.




Sekitar jam 14:00 dengan langsung berjalan kaki kami akhirnya sampai di KLCC Suria dan segera menuju Little Penang di Lantai tiga, untuk makan siang. Menu-menu khas disini antara lain Char Kway Teow (lengkap dengan topping kerang kupas), Nasi Lemak, dan juga Cendol Durian yang menggunakan topping kacang.  Di lantai yang sama ternyata juga ada restoran khas Jawa Barat alias Bumbu Desa. Belakangan kami juga menemukan Bumbu Desa di KLIA 2.




Setelah puas berkeliling-keliling dan sempat kaget melihat beberapa outlet, termasuk Resto Chili’s Grill and Bar yang biasanya antri pada saat jam makan saat kunjungan saya sebelumnya, ternyata peminatnya harus gigit jari karena aliran listrik mati. Demikian juga saat kami ke mushalla di lantai bawah, lagi-lagi harus kaget melihat betapa gelapnya mushalla yang kalau di Malaysia disebut Surau.  Kejutan juga menara kebanggaan Malaysia ini bisa mengalami kondisi mati aliran listrik, meski terjadi tidak pada semua outlet.




Karena hujan cukup lebat, rencana berikutnya ke kawasan Bukit Bintang nyaris gagal, namun dengan petunjuk salah satu teman, kami menyusuri lorong dibagian bawah KLCC menuju kawasan yang terkenal dengan pusat-pusat perbelanjaan dari yang paling sederhana seperti Sungei Wang Plaza sampai dengan yang lebih mewah seperti Pavilion. Setengah jalan lorong ini berakhir dan lanjut ke skywalk.  Ah... jadi ingat teori yang mengatakan maju tidaknya budaya lalu lintas suatu bangsa terlihat dari perlakuan pada pengguna lalu lintas yang paling lemah seperti halnya pejalan kaki. Buat saya Kuala Lumpur meski belum secanggih Singapore jauh lebih ramah pada pejalan kaki dibanding Jakarta.




Namun skywalk akhirnya ada batasnya juga, setelah melewati Aquaria KLCC, akhirnya kami berempat harus berlari-lari kecil di trotoar, dan melanjutkan perjalanan dari kanopi satu ke kanopi lainnya, sementara hujan masih saja turun dengan deras. 

Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/05/kuala-lumpur-penang-part-3-dari-8.html

Kuala Lumpur – Penang Part #3 dari 8 : Kawasan Perbelanjaan Bukit Bintang


Sambil menunggu Si Sulung dan Si Bungsu berkeliling di sekitar mall, saya dan istri menikmati kopi hangat dan roti panas di salah satu cafe di Sungei Wang alias Papparoti Cafe Mocha. Nikmat juga memotong roti kecil-kecil lalu sebelum dilahap dicemplungkan dulu dalam Mocha panas. Dalam perjalanan ini saya dan istri lebih memilih menemani anak-anak daripada berbelanja.

Sungei Wang masih seperti sat saya kunjungi dahulu, mirip dengan Pasar Baru, namun lebih bersih dengan gang-gang yang lebih luas. Setelahnya kami mengeksplorasi Pavilion, Si Sulung dan Si Bungsu masing-masing ingin membeli sepatu, jadi berbagai outlet sepatu di Pavillion kami singgahi, mulai dari Vans, Puma, Nike, Adidas sampai Onitsuka Tiger yang konon menurut Si Sulung digunakan Uma Thurman dalam film Kill Bill.




Di kawasan belanja ini ada banyak bangunan bernama Pavilion, kami lebih fokus pada lokasi yang berhadap-hadapan dengan Sephora. Bagi saya mall sama sekali tidak menarik, jika anda berada dalam mall seperti ini, semua outletnya tidak akan jauh beda dengan mall-mall besar di Jakarta. Saya dan istri lebih suka wisata kuliner, tempat-tempat yang memiliki sejarah, atau yang memiliki nilai artistik secara fotografi. 




Setelah malam tiba hujan pun perlahan reda, kami lalu menuju Al Amar Express, memesan Briyani Kambing dan Roti Cane plus kombinasi irisan Kambing dan Ayam Bakar yang lezat jika dinikmati malam hari. Karena porsinya yang dahsyat, maka sisanya kami bungkus dengan tambahan porsi nasi briyani untuk sarapan keesokan harinya. Total makan disini termasuk yang kami bawa untuk makan pagi keesokan harinya sekitar 200 RM.





Kembali ke hotel kami menggunakan Taksi Toyota Innova, yang ternyata supirnya berasal dari Sumatera Barat, dan karena sudah lima belas tahun kerja di Malaysia, dia berhak menjadi warga negara Malaysia. Dengan santainya dia menolak menggunakan argo meski, di badan taksinya jelas tertulis tawar menawar harga melanggar hukum. Silahkan cari taksi lain katanya, aturan tersebut tidak berlaku saat jalan macet, tegasnya. Karena kaki sudah terasa sangat penat berjalan belasan kilometer, maka kami mengalah membayar 25 RM untuk kembali ke hotel.  

Sepanjang jalan, supir berkeluh kesah akan stagnannya ekonomi Malaysia, sementara sebaliknya kami melihat jalanan ramai dengan orang-orang yang berbelanja. Dia juga mengatakan usaha di Indonesia khususnya di Medan atau Jakarta pasti akan lebih menguntungkan ketimbang di Malaysia. Saya dan istri cuma bisa saling berpandangan keheranan, apakah ini merupakan situasi beliau secara pribadi atau memang Malaysia secara keseluruhan.  

Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/05/kuala-lumpur-penang-part-4-dari-8-klcc.html

Kuala Lumpur – Penang Part #4 dari 8 : KLCC Park, GOKL Bus, Central Market dan KL Tower


Pagi-pagi kami bangun dan langsung menyantap nasi kambing briyani yang sudah dipanaskan istri dengan microwave yang memang tersedia di unit kami di The Zon Residences. Sekitar jam 08:00 kami berjalan-jalan ke KLCC Park. Taman ini cukup luas dan asri, meski hari Minggu, untung tidak terlalu ramai, lalu kami menyusuri jembatan indah di tengah kompleks taman. Setelah puas foto sana sini kami lanjut kembali ke Bukit Bintang karena kedua anak kami masih saja belum menemukan sepatu yang mereka cari. 

Rencana awal sebenarnya jalan-jalan ke Batu Cave, namun setelah dicek ulang sepertinya lebih menarik menggunakan HOHO alias Hop On Hop Off dengan membayar sekitar 45 RM, tapi anehnya di internet review pengguna HOHO KL sepertinya lebih banyak yang kecewa termasuk karena bus yang sudah tua lalu interval menunggu bisa 30 menit sd satu jam, dan berbagai hal lainnya. Untung istri sempat baca-baca brosur GOKL Bus, yang malah gratis dengan 4 rute yang dibedakan berdasarkan empat warna yakni biru, merah, hijau dan ungu dengan frekuensi kedatangan 5 sd 15 menit.

Ungu : Pasar Seni / Central Market - Bukit Bintang 
Hijau : KLCC - Bukit Bintang 
Merah : KL Sentral - Tunku Abdul Rahman 
Biru : Medan Mara - Bukit Bintang 







Dengan menaiki GOKL Bus rute Ungu, kami pun menuju Central Market, setelah sebelumnya menyantap ayam goreng kentang di Texas Fried Chicken. Sedikit menyesal makan disini, karena lantai dua Central Market ternyata ada lebih banyak pilihan. Berbeda dengan mall di sekitar Bukit Bintang, kali ini saya dan terutama istri semangat melihat lokasi belanja yang unik ini, karena memang banyak sekali pernik-pernik karya seni.





Saya dan istri menyempatkan membeli kartu yang bisa dilipat keluar dan kedalam alias 3D pop up card, sehingga terkesan tiga dimensi, karya seniman sekaligus anak-anak muda Malaysia dengan brand “loka made” yang sengaja tinggal di Penang saat mengeksplorasi keindahan tradisi dan bangunan-bangunan tua namun cantik. Karya anak-anak muda kreatif ini bisa dilihat di http://www.lokamade.com/




Menjelang sore, kami menuju KL Tower, menara dengan tinggi kurang lebih 421 meter, namun lagi-lagi hujan turun dengan derasnya. Turun di Halte kami terpaksa berteduh sebentar, dan saat gerimis kami melanjutkan perjalanan dan kejutan buat kami, lokasi KL Tower dari halte masih cukup jauh, dengan jalan menanjak dan dikombinasikan dengan  tangga curam sampai akhirnya mencapai lantai dasar KL Tower. Sebenarnya ada shuttle ke lokasi ini untuk menghindari jalan terjal yang cukup menguras tenaga pejalan kaki, sayang kami baru tahu belakangan.

Meski ada cukup banyak atraksi di KL Tower selain Observation Deck, Sky Deck, Animal Mini Zoo, F1 Simulator, Blue Collar Aquarium, Upside Down House, dan XD Theater kami hanya bisa mengunjungi tiga pertama saja dengan tiket terusan seharga 110 RM.  Penyebabnya adalah kami tiba terlalu sore akibat hujan yang cukup lama dan deras, pula kami berharap bisa menangkap momen sunset.




Petugas menyarankan kami untuk terlebih dahulu ke mini zoo, karena sky deck masih ditutup untuk mengindari sambaran petir pada para wisatawan diakibatkan hujan sebelumnya. Setelah menikmati kebun binatang kecil yang apik sekaligus resik, sekaligus mengingatkan saya akan Featherdale Wildlife Park di pinggiran Sydney, kamipun naik ke Observation Deck, tidak puas karena banyaknya kaca, kami lanjut ke Sky Deck. Sayang Kuala Lumpur sedang diselimuti kabut dan awan tebal, Si Sulung agak kecewa dan langsung mengatakan kok mirip sekali saat kami ke The Peak di Hongkong, jauh-jauh naik eh.. awan dan kabut tebal menyelimuti kota.




Namun kepalang tanggung, saya yang memang sengaja tidak membawa tripod SLR karena ukurannya yang besar, langsung mengeluarkan tripod mini (yang biasa dipakai buat action camera) dan berusaha mengabdikan momen istimewa menjelang pergantian malam ke siang dengan shutter terbuka selama 25 detik, malangnya tripod mini ini sepertinya terlalu lemah menyangga kamera SLR saya, sehingga berulang kali tertunduk menahan beban.




Saat kembali pulang ternyata mobile phone saya mengalami situasi low batt yang cukup parah, sehingga terpaksa menunggu taksi meteran yang menurunkan penumpang di pelataran KL Tower. Akhirnya kami menaiki taksi Innova ini dan langsung ke restoran Selera Ampang, sebuah restoran yang beroperasi 24x7, dengan jarak kira-kira 450 meter dari hotel. Biaya taksinya sekitar 17 RM, dengan supir India yang sepanjang jalan berbicara seakan akan ngerap. 

Sesampai di Selera Ampang kami memesan Nasi Goreng Sapi 4 porsi, saya memesan Lychee Ice Tea dua gelas besar saking hausnya. Tak lupa sisa makanannya yang ternyata masih banyak, kami bawa pulang untuk sarapan keesokan harinya sebelum ke KL Sentral untuk menaiki ETS Train ke Penang. 

Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/05/kuala-lumpur-penang-part-5-dari-8.html

Kuala Lumpur – Penang Part #5 dari 8 : Penang, Islander Lodge, Chocolate and Coffee Museum, Rumah Api Fort Cornwallis, dan Queen Victoria Clock Tower.


Bangun di pagi hari kami langsung sarapan nasi goreng yang kami pesan malam sebelumnya dari  Selera Ampang, berkemas dan langsung ke lobby untuk memesan Uber menuju KL Sentral Train Station. Sehubungan dengan hari buruh dimana Kuala Lumpur memberlakukan libur, alhamdulillah jalan sangat lancar, hanya 10 menit kami akhirnya sampai pada jam 07:17 menempuh jarak 7,35 km dengan biaya 11,09 RM, kali ini dengan driver keturunan India yang bernama Kasinathan dan lagi-lagi pakai Nissan Almeera yang cukup populer di Malaysia. Melihat populasi Nissan di Malaysia, saya jadi ingat kata-kata Carlos Ghosn petinggi Nissan yang meresmikan pabrik baru Mitsubishi baru-baru ini (setelah sebagian sahamnya di beli Nissan), bahwa di seluruh dunia penjualan Nissan lebih tinggi dari Mitsubishi kecuali di Indonesia.   

KL Sentral terlihat resik dan megah, petunjuk-petunjuk arah terlihat jelas, dan terlihat sama modernnya dengan airport KLIA. Sambi menunggu gate yang akan dibuka 15 menit sebelum berangkatm kami sarapan di McDonald, lalu saya mengecek apakah tiket online yang saya print dengan printer rumahan, sudah bisa dipakai tanpa penukaran ulang di loket, dan alhamdulillah ternyata bisa.




Saat tiga tahun lalu jalan-jalan, kami sempat berkenalan dengan guide asal Malaysia bernama Bu Christina alias Chin Pek See, sosoknya yang keibuan dan ramah serta lincah walau sudah berusia 66 tahun, membuat kami teringat saat merencanakan perjalanan ke Penang. Kebetulan beliau memang tinggal di Penang, sehingga gayung bersambut ketika kami menyampaikan rencana kami. Akhirnya beliau bersedia menjemput kami di Butterworth, mengantar selama dua hari sudah termasuk supir, toyota Hi Ace baru, supir, toll dan parkir. Semua biayanya sekitar 850 RM.

Kereta ETS meski didesain untuk bisa mencapai kecepatan 160 km/jam, namun sepanjang perjalanan indikator menunjukkan kecepatan maksimal 140 km/jam, dan menjelang Buttterworth di Penang Daratan, semakin banyak stasiun dimana kereta harus berhenti. Keretanya bersih, dan kami sempat diberikan snack untuk sekedar penangkal perut yang keroncongan. Masuk Ipoh saya mengabari Bu Christine posisi kami dan beliau konfirmasi meeting point kami, yakni pintu depan lift kedatangan.

Bagi yang tertarik memanfaatkan jasa Bu Christine bisa mengontak beliau di +60124211081, meski sudah sepuh namun Bu Christine masih sangat lincah dan aktif menggunakan whatsapp. Beliau juga dapat dikontak melalui facebook dengan menggunakan nama Chin Pen See. 






Bu Christine bersama Pak Aheng sang driver setelah melewati jembatan buatan Korea Selatan yang menghubungkan Penang Daratan dengan Penang Island sepanjang 13,5 km, langsung membawa kami ke restoran favorit halal yang sayangnya tutup. Lalu sambil berjalan kaki di antara gerimis hujan kami menuju lokasi lainnya. Akhirnya kami menikmati masakaan Thailand di Nana Tomyam di Lebuh Dickens. Masakannya benar-benar lezat dan harum, tujuh macam masakan dengan harga sangat bersahabat, dan semua itemnya tidak ada yang mengecewakan, dengan rasa khas asamnya masakan Thailand. Tidak aneh jika dari Penang masuk 10 besar lokasi dunia untuk keistimewaan kulinernya. Dari sini hotel kami hanya berjarak 200 meteran, sehingga kami memutuskan untuk langsung check in dan menyimpan koper.









Hotel kecil ini menggunakan struktur bangunan lama lalu direnovasi namun tetap dengan ciri khas lama seperti desain lantai dan tangganya. Sempat terjadi debat hangat dengan front office,  karena saya mengira kami sudah melakukan pembayaran secara online namun ternyata memang belum. Tarif untuk family suite terbilang murah yakni 188 RM plus deposit senilai 50 RM. Kamarnya cukup lega, meski kamar mandinya agak kecil. Namun secara keseluruhan mengingat lokasi yang strategis, hotel yang bersih ini cukup menyenangkan.




Destinasi pertama kami adalah Chocolate and Coffee Museum, berlokasi di Lebuh Leith, tempat ini  adalah satu lokasi yang cukup sering dikunjungi wisatawan. Pramuniaganya sangat ramah dan menawarkan sampel untuk setiap jenis coklat. Juga tersedia berbagai sampel kopi dengan ramuan coklat yang disediakan dalam gelas-gelas kecil. Sayang kita tidak diperbolehkan memotret bagian dalam ruangan.  Buat saya dan keluarga yang sebelumnya sudah pernah ke Beryl’s Chocolate Kingdom apa yang ditawarkan tempat ini masih kurang lebih sama.




Destinasi selanjutnya, Rumah Api Fort Cornwallis, merupakan mercusuar di Lebuh Tun Syed Sheh Barakbah. Bangunan ini dibangun tahun 1882, dan ini bukan melulu mercusuar, karena memang dilengkapi meriam dibagian depannya menghadap ke laut lepas. Berbeda dengan kebanyakan mercusuar yang kita lihat di Indonesia dimana bangunannya dibuat dari bata dan semen, bangunan ini dibuat dalam konstruksi kerangka besi bercat putih setinggi 21 meter dan dapat mengamati kondisi perairan sejauh 16 mil laut.  Di bagian depan bangunan terlihat beberapa pedagang dengan mobil box yang bagian belakangnya terbuka dan menjual berbagai macam penganan khususnya irisan buah segar dan kacang kuda, demikian penduduk Penang menyebutnya.






Queen Victoria Memorial Clock Tower di Lebuh Light, menjadi landmark Penang tujuan kami berikutnya. Didirikan tahun 1897 dengan rancang bangun oleh Cheah Chen Eok setinggi 30 meter yang didedikasikan pada Ratu Victoria dari Inggris. Tak lama setelah hujan akhirnya berhenti, cuaca khas tropis dipinggir laut menyengat kami saat mengabadikan beberapa gambar di sekitar menara jam ini. 




Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/05/kuala-lumpur-penang-part-6-dari-8.html

Kuala Lumpur – Penang Part #6 dari 8 : Kampung Nelayan Chew Jetty, Street Art, Gurney Plaza dan Penang Street Food.


Kami lalu menuju Kampung Nelayan Chew Jetty, dimana perkampungan masa lalu alias abad 19 tetap dipelihara dan dikelola dengan cantik, meski dikelilingi bangunan-bangunan masa kini yang modern. Terdiri dari dua bagian dimana bagian satu sepanjang 182 meter dan bagian dua sepanjang 122 meter yang menyatu dibagian depan dan semuanya terletak diatas air. 

Perkampungan yang memiliki 75 bangunan ini dihuni perantauan dari propinsi Fujian di China. Lantainya disusun dari papan keras yang mirip dengan struktur kayu besi dari Kalimantan, dan disela-selanya terlihat riak air laut. Bagi saya perkampungan ini sangat menarik, bersih, dan ramai didatangi karena item-item yang dijual nyaris oleh setiap rumah memang menarik. Tak heran lokasi ini termasuk UNESCO World Heritage Site. Sepintas mirip dengan rumah-rumah nelayan di Kalimantan.










Arts Street alias Gat Lebuh Armenian (Gat digunakan untuk setiap jalan yang bermuara ke laut), terletak dekat Chew Jetty, jadi dengan berjalan kaki kami telusuri jalan indah dengan berbagai lukisan dinding alias mural nan ekspresif dengan salah satu "icon"nya yakni Kids on Bicycle karya Ernest Zachaveric. Nyaris setiap bangunan dibiarkan apa adanya namun tetap mengandung pesona seni yang tinggi, bahkan termasuk bangunan yang dinding-dindingnya mengelupas sana-sini. Kami menelusuri jalan ini seakan menembus lorong waktu masa lalu sampai ke ujung jalan Armenia, dimana terdapat bangunan cantik George Town World Heritage Inc.










Karena rasa haus yang semakin kuat, kami lantas menuju Gurney Plaza melihat-lihat mall yang konon kabarnya menjadi destinasi orang-orang Indonesia yang khususnya ke Penang dalam rangka berobat. Penang memang memiliki beberapa Rumah Sakit yang konon kabarnya berkualitas tinggi. Di salah satu cafe kami berhenti untuk menikmati Es Krim Kelapa ala Thailand yang pertama kali saya nikmati saat ke Hat Yai, lalu beberapa gelas Air Kelapa.  Hat Yai di Thailand Selatan, memang cuma berjarak sekitar 200 km dengan Penang, mungkin itu sebabnya buah-buahan, termasuk es krim kelapa dan rumah makan masakan ala Thailand banyak kita temui di Penang.




Sementara istri dan anak-anak berkelling, saya menemani Bu Christine di lantai bawah sambil mencoba beberapa alat kesehatan pijat elektrik. Baru saya menyadari mobile phone Samsung Note saya lenyap, untungnya setelah mengontak langsung, dan Bu Christine berbicara langsung, pemuda yang menemukan mobile phone saya, ybs langsung mengembalikannya. Salut juga pada pemuda tersebut, mungkin akan berbeda hasilnya jika saya kehilangan di Jakarta.







Dari sini kami diajak Bu Christine makan Pasembur dan Sate Sapi serta Sate Ayam di Gurney Drive Hawker Center, untuk makan malam. Suasananya agak crowded, dan dengan meja-meja yang tidak beraturan. Pasembur sendiri merupakan sejenis makanan yang terdiri dari tahu, kentang, bakwan udang (di Penang disebut sebagai Cucur Udang), udang goreng berukuran lumayan besar, yang dipotong potong ala siomay kalau di Indonesia, lalu ditaburi irisan bengkuang dan timun serta kuah yang sepintas mirip sambal Ampera. Entah karena salah memilih komponen, buat saya rasa Pasembur ini biasa saja, namun kentang dan tahunya cukup lezat. Sementara sate sapinya agak mirip Sate Maranggi, namun lebih manis. 




Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/05/kuala-lumpur-penang-part-7-dari-8.html

Kuala Lumpur – Penang Part #7 dari 8 : Penang Hills, Kek Lok Si Temple, Snake Temple, dan Penang Kopi Tiam


Hari kedua di Penang, karena langsung check out, saya yang sudah bersiap duluan menyempatkan diri, jalan-jalan sendirian mengelilingi blok di sekitar hotel, sudah ada beberapa tempat makan yang buka, termasuk Roti Canai dan Nasi Kandar. Namun karena sudah mendekati jam 08:00 dan kami sudah harus jalan ke Penang Hill, maka kami memilih Nasi Kandar di dekat hotel. Nasi Kandar ini merupakan "warteg" ala Malaysia, ada sekumpulan makanan yang kita pilih sebagai lauk nasi panas, misalnya semacam gule dengan kuah gelap dan pekat, dengan pilihan daging sapi, kambing atau ikan. Ada juga telur dadar dan semacam bakwan udang serta sayur-sayuran yang terlihat aneh karena menggunakan kari. Untuk minumannya ada teh manis atau teh tarik.  Sebagai penutup kami memesan roti bakar, yang alhamdulillah semuanya terasa lezat. Lantas kamipun bergerak meninggalkan hotel dan menuju bagian tengah dari Penang Island. Sempat juga melewati Cheong Fatt Tze - Blue Mansion yakni rumah mewah zaman dulu tepatnya abad ke 19 yang kini menjadi salah satu hotel butik ternama di Penang dengan 38 kamar.

Penang Hill juga biasa disebut sebagai Bukit Bendera, berjarak sekitar 11 km dari hotel dan ditempuh selama sekitar 40 menit. Dari pelataran parkir kita menaiki trem dengan jalur yang nyaris vertikal untuk mencapai ketinggian sekitar 800 meter. Trem yang sekarang digunakan adalah generasi ke empat dan merupakan satu-satunya trem di Malaysia, sedangkan saat awal trem diresmikan adalah pada tahun 1923. Saking paginya kami berangkat, mungkin kami turis pertama yang datang, dan otomatis trem terisi dengan sebagian besar para pekerja di bagian puncak Penang Hill. Awalnya kami berencana berangkat ke sini saat Senin, namun itinerary kami sesuai saran Bu Christine diubah menjadi Selasa, karena ternyata saat Senin, lokasi ini padat luar biasa karena banyaknya pengunjung.







Saat kami berkunjung ada banyak monyet hitam legam dengan bagian mata dikelilingi bulu putih seakan akan kebalikan dari Beruang Panda.  Bu Christine mengungkapkan keheranannya, karena beliau sangat jarang melihat kawanan monyet tersebut, dan sambil bercanda, beliau mengatakan mungkin kawanan ini ingin menyambut kedatangan kami. Kami juga naik tangga ke atas dimana terdapat kuil dan masjid, sedangkan Bu Christine menolak ikut secara halus, dan menjelaskan bahwa dia masih traumatis dengan pengalamanan buruknya dengan turis Jerman yang mendadak meninggal kecapaian beberapa tahun lalu.  Disini juga terdapat semacam jembatan cinta dengan kumpulan gembok berwarna pink, yang cocok buat mengabadikan momen bagi pasangan yang tengah dimabuk asmara.






Sayang masih belum puas mengabadikan momen disini, kami sudah harus turun kembali dan melanjutkan perjalanan ke Kek Lok Si Temple. Kuil ini berjarak 14 km dari Penang Hill, dan ditempuh dalam waktu sekitar 50 menit.  Kuil ini merupakan kompleks kuil Budha terbesar di Asia, dengan taman-taman yang terawat indah. Mengelilingi tempat ini mengingatkan saya akan setting istana Kaisar dalam film-film kungfu. Anehnya di dalam kompleks nampak beberapa pengemis yang memang sengaja dibiarkan meminta-minta pada turis. Setelah naik turun berbagai jenis tangga dengan keringat mengucur deras dibawah panas matahari Penang, kami menuju Turtle Ponds, alias kolam kura-kura di bagian luar kuil.










Perjalanan berikutnya menuju Snake Temple yang dibangun Chor Soo Kong di tahun 1850 dan berlokasi di Lebuh Sultan Azlan Shah saat perjalanan menuju Penang International Airport. Sebenarnya ini merupakan itinerary tambahan dan ide dari Pak Aheng, namun melihat bagaimana Pak Aheng begitu bersemangat, maka kami mengiyakan untuk ke lokasi ini. Di bagian tengah kuil ada semacam lokasi khusus dimana ular-ular dibiarkan beranak pinak. Sementara di sisi kiri, ada beberapa ular besar jinak yang dijadikan sebagai bagian dari atraksi dan sesi pemotretan. Si Sulung langsung beraksi dengan dua jenis ular di kepala dan di badan, satu sesi foto kami harus membayar 20 RM, sehingga total 40 RM. Buat saya agak sedikit aneh melihat atraksi berbau komersil di kuil tersebut, sebaliknya Kek Lok Si Temple tidak ada pungutan apapun.






Sebelum berangkat dengan pesawat kembali ke Kuala Lumpur, kami menikmati penganan khas terakhir Penang di Penang Kopi Tiam Restaurant and Coffee seperti Laksa, Char Kway Teow, Nasi Lemak dan Fried Beehon, juga minuman seperti teh tarik durian dan pisang. Seperti biasa setiap piring berputar dari anggota keluarga yang satu ke yang lain, sehingga setiap orang bisa mencoba masakan khas Penang ini.







Selamat tinggal Penang yang indah, keramahannya, makanannya, tempat bersejarahnya, semoga suatu waktu kami bisa kembali ke sini, seperti keinginan Si Sulung, dua hari satu malam sama sekali tidak cukup untuk menikmatinya. Masih ada destinasi lain seperti Butterfly Farm, Tanjung Bunga Beach,  Batu Ferringhi Beach, Komtar, Blue Mansion, sewa sepeda keliling sekitar Arts Street , Masjid Kapitan Keling, Masjid Jamek, atau mengunjungi ulang Penang Hill saat pergantian sore ke malam hari. 

Link berikutnya http://hipohan.blogspot.co.id/2017/05/kuala-lumpur-penang-part-8-dari-8.html