Tuesday, July 25, 2017

Jalan-jalan ke Garut Part #1 dari 3 : Alun-Alun Garut, Masjid Agung, Warung Senggol dan Kampung Muara Sunda.


Saat anak-anak masih kecil, Garut termasuk favorit kami sekeluarga, khsusnya kawasan Cipanas. Kami paling sering menginap di Sumber Alam, pernah sekali di Sabda Alam, lalu sekali di Danau Dariza dan pernah juga sekali di Tirta Alam 2. Untuk kuliner dulu, kami biasanya memilih Restoran Pujasega Jalan Otto Iskandar Dinata. Saat mertua masih ada, ternyata Garut juga merupakan destinasi favorit keluarga mertua.

Saya sendiri lebih suka Sumber Alam, karena kita bisa menikmati air panas secara private, sementara lokasi lain cenderung menyediakan kolam bersama. Namun semakin menjauhi Gunung Guntur, suplai air panasnya pun semakin terbatas. Sebagian yang benar-benar ingin nuansa yang lebih alami tanpa tv, tanpa listrik dan menggunakan perahu, akan memilih Kampung Sampireun, sekitar 13 km dari Cipanas.

Bagi saya sekeluarga karena pernah beberapa kali terjebak di kemacetan luar biasa di Nagreg, istri lebih suka mencoret Garut dari alternatif destinasi wisata kami. Meski secara jarak hanya butuh 1 jam, asalkan tidak bentrok dengan hari gajian atau bubaran shift karyawan Kahatex. Sepanjang jalan kita bisa menikmati Ubi Cilembu dan Tahu Sumedang yang banyak tersedia persis sebelum masuk Nagrek. Selain itu banyak rumah makan tradisional seperti Restoran Asep Stroberi yang terkenal dengan Nasi Liwetnya.

Sabtu lalu, terkait acara Bakti Sosial FK Unpad 87 sekaligus reuni 30 tahun, istri minta saya untuk mendampinginya, karena kebetulan dia diminta menjadi salah satu panitia. Alhasil kami berangkat Sabtu 22/7/2017 dini hari dengan enam kardus berat berisi obat yang nyaris memenuhi bagasi, untung saja Dahon (Dan tentu saja helm berikut sepatu) saya masih bisa diselipkan, sehingga saya bisa menjalankan agenda pribadi sambil menunggu istri. Setelah sempat terjebak di dua lokasi Kahatex yang menjadikan Sabtu sebagai hari gajian, kami akhirnya sarapan di Resto Laksana, semangkok Sop Iga dan semangkok Sop Buntut panas serta Teh Hangat , berhasil meredam situasi psikologis akibat macet Kahatex.

Acara FK Unpad sendiri berlangsung di Pendopo Kabupaten Garut, begitu parkir mobil, lalu saya mulai hunting, dan yang terdekat tentu saja adalah Masjid Agung Garut yang berdiri sejak 1809. Renovasi terakhir dilakukan 1994 dan selesai pada 1998. Penampakan masjid ini terlihat akrab, karena memang jadi cover buku laris Garut Kota Illuminati. Saat ini saya kira julukan yang lebih pas bukan Kota Illuminati melainkan Kota Kapau, nyaris di setiap keramaian ada Rumah Makan Kapau alias Padang. Bahkan kita bisa melihat rumah gadangnya sekalian di Resort Danau Dariza. Kembali ke Masjid, saat renovasi ini, ada sedikit penyesuaian arah kiblat yang melibatkan ahli geodesi dari ITB.




Saat menjelang siang  istri keluar sebentar, lalu kami berdua cek Tripadvisor, dan mulai memilih destinasi kuliner,  sayangnya Sate Maranggi Pak Nur terlalu jauh dari lokasi pendopo, dan Mie Baso Parahyangan juga ternyata tutup, sehingga kami memilih Warung Senggol jalan Ciledug 176. Ternyata masakannya memang enak dan tidak mengecewakan. Ada tiga jenis nasi disini, Nasi Putih, Nasi Liwet dan Nasi Jeruk. Tanpa ragu saya memilih Nasi Jeruk, lalu sepotong dada ayam goreng dengan lumuran sambal cabai hijau, satu tusuk sate “ati ampela”, sepiring kecil jamur goreng dan semangkok Es Cikapayang.  Berdua dengan istri total biaya sekitar 80 ribuan.






Kami lalu kembali ke Pendopo, di bagian depan pendopo terdapat taman, lalu di depan taman nampak sebuah bangunan berpanggung atau berkolong setinggi dua meteran, yang biasa disebut babancong, dan berguna bagi pembesar zaman dulu untuk menyaksikan keramaian atau lokasi pidato.  





Akhirnya menjelang jam 13:00, para alumni bergerak ke Kampung Muara Sunda untuk makan siang. Saya dan istri yang sudah makan hanya mencicipi sedikit demi sedikit, termasuk Tumis Iga yang menjadi menu andalannya, namun buat saya masih belum cocok di lidah. Suasana makan disini cukup enak, mushallanya bersih, ditengah-tengah ada kolam ikan, dan jejeran lokasi lesehan di bagian belakang langsung berhadapan dengan sawah, bisa dibayangkan bagaimana mengantuknya kita ditiup angin sepoi-sepoi setelah makan ikan bakar.  





Lanjut ke link http://hipohan.blogspot.co.id/2017/07/jalan-jalan-ke-garut-part-2-dari-3.html

Jalan-jalan ke Garut Part #2 dari 3 : Pesantren Al Mahfudz Limbangan


Dari sini kami langsung tancap gas ke Pesantren Al Mahfudz, Limbangan, sebelum gelap tiba,  kira-kira 30 kilometer dari Kota Garut. Tujuan kami adalah adalah cek persiapan panitia lokal, kesiapan pesantren, dan menurunkan obat-obatan. Kami menggunakan tiga mobil, pemimpin rombongan yang memang berasal dari Limbangan, sebagai Road Captain yakni dr. Iwan SpA, lalu ditengah Direktur RS Pindad dr. Lia Yuliani MM, dan ahli Patologi Klinik dan Mikrobiologi Unisba dr. Yani Triyani SpPK di tengah, terakhir saya dan istri beserta kardus obat2an sebagai sweeper rombongan.

Mobil melintasi semacam danau kecil dengan rumah kayu ditengahnya, hamparan sawah dan gunung-gunung indah sebagai latar belakangnya juga sungai kecil dan bersih di sisi kiri jalan. Namun kami tak sempat berhenti karena harus berkejaran dengan waktu.  Kami berhenti sejenak di alun-alun Limbangan, lalu masuk ke jalan sempit menuju Pesantren Al Mahfudz.

Kami menelusuri sungai kecil, jembatan gantung melintasi sungai yang lebih besar dan pematang sawah. Di depan saya rombongan santri beriring-iringan membawa kardus obat dan berbagai perlengkapan lainnya, mengingatkan saya akan masa kecil saat melihat iringan-iringan penduduk desa di Bali membawa persembahan ke Pura, mereka tampak bagaikan silhuet ditimpa sinar miring matahari.










Pemandangan di sekitar pesantren ini sangat indah, mirip lukisan-lukisan ala Kampung Seniman Jelekong namun terlihat nyata. Iring-iringan bebek yang berenang di sawah, kerbau yang dimandikan di sungai, keluarga kambing yang menelusuri pematang seraya menikmati berbagai dedaunan. Suara anak-anak desa sedang bermain di sawah dan lamat-lamat suara anak-anak tengah belajar mengaji dari Masjid.

Istri dan para rekannya lalu memeriksa kesiapan untuk rangkaian acara khitanan massal, pengobatan gratis, pembangunan MCK, dan pembuatan sumur / sumber air.  Nampak para petugas dari pesantren sibuk memasang tenda. Kebetulan Bupati Garut yang juga alumnus Unpad (Fakultas Hukum) akan ikut bergabung dalam acara ini. Tak lama kamipun berpamitan pada pimpinan pesantren yang melepas kami dengan senyum ramah.  

Sebelum gelap turun kami lagi-lagi memacu kendaraan menuju Garut, untuk beristirahat di Fave Hotel di jalan Cimanuk.  Di pinggir jalan banyak terlihat penjual durian, wah saya langsung niatkan untuk menyempatkan diri ke sana. Setelah adzan subuh istri bersiap kembali ke Limbangan, sementara saya mengeluarkan Dahon dari mobil, memakai helm untuk kemudian berkeliling Garut. 




Lanjut ke link http://hipohan.blogspot.co.id/2017/07/jalan-jalan-ke-garut-part-3-dari-3.html

Jalan-jalan ke Garut Part #3 dari 3 : Bersepeda di Sekitar Garut dan Menikmati Durian.


Saya memulai perjalanan di sekitar hotel, setelah mulai keringatan, mampir ke Warung Bubur Ayam di Jalan Pembangunan sekitar bunderan yang ternyata memang enak. Satu porsi Bubur Ayam, serta Telur Rebus dan Ati Ampela serta Teh Hangat cukup ditebus dengan Rp. 15.000, dan dimakan panas-panas.  




Jalanan di Garut relatif turun naik, setelah puas di sekitar kota, saya menuju kawasan resort dan hotel di jalan Raya Cipanas, melewati Hotel Agusta, Danau Dariza, memutar sebentar di Sumber Alam, lalu tancap gas kearah persimpangan Jalan Rancaekek Garut, jalan yang turun naik memungkinkan saya memacu sepeda sampai 36,5 km / jam saat turunan.









Setelah berkeliling-keliling Garut kurang lebih menempuh jarak 24 kilometer, saya kembali ke Hotel Fave, melipat sepeda, menyantap bubur kacang hijau di lokasi breakfast di depan kolam renang. Lalu istirahat sejenak di kamar, sayang AC kamar sepertinya bermasalah sejak semalam, dan menjadi lebih panas saat siang. Lalu saya pun check out menjelang jam 11 siang. Kunjungan ke Garut saya akhiri dengan menyantap durian di sekitar Alfamart Otista. Karena cuma sendirian durian seharga 65 ribu, sudah cukup buat saya. Kejutan buat saya ternyata durian ini berasal dari Bengkulu. 




Saat menuju Limbangan, kali ini tidak saya sia-siakan untuk merekam rumah kayu di tengah danau, dan sempat berhenti lagi untuk merekam perbukitan yang indah dan mengingatkan saya akan pemandangan di jalur menuju Istana Pagaruyung, Sumatera Barat. Sayang menjelang siang, cahaya matahari yang cenderung tegak lurus tidak mendukung hasil foto yang baik.





Sambil menunggu istri,  saya memesan 10 potong Tahu Sumedang, 1 Botol Freshtea Melati dan Es Campur di Warung Tahu Raos depan Masjid Alun-Alun Limbangam, yang terasa segar saat panas terik. Lalu kamipun kembali ke Bandung dan sampai menjelang jam 15:00 sore. Ah ingin rasanya kembali ke Garut, dan menyusun itinerary yang lebih lengkap bersama keluarga, tentu saja termasuk Candi Cangkuang, Situ Bagendit, Puncak Darajat dan tentu saja Gunung Papandayan.  

Juga masih ada kuliner lain yang terlewat, yakni Es Goyobod Alun-Alun, sayang baru dapat info justru setelah kembali ke Bandung. Bagi yang suka wisata ala enterpreneur, yang umum dikunjungi saat di Garut antara lain Pabrik Dodol, Pabrik Kerajinan Kulit dan tentu saja Pabrik Kerupuk Kulit. 

Thursday, July 20, 2017

Indeks Perjalanan

Mengingat catatan perjalanan seperti ini akan berguna bagi yang akan ke lokasi tertentu, saya berusaha membuat semacam indeks perjalanan. Pembuatan indeks ini juga karena saya pribadi sering merasa sulit mencari informasi mengenai lokasi tertentu. Namun tentu ini hanya untuk lokasi-lokasi yang pernah saya kunjungi.




Namun tulisan perjalanan ini tidak mencatat semua yang pernah saya jalani, karena saya tidak punya catatan lengkap saat perjalanan ke Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Belitung, ataupun saat perjalanan darat ke Batu sekitar tahun 1999 atau saat perjalanan darat ke Denpasar tahun 2004. Begitu juga saat ke Sumbawa, Flores, Lombok dan juga Timor tahun 2001. 

Saya juga cek ulang link dari satu artikel ke artikel lanjutannya, karena ternyata ada sekitar lima perjalanan yang tidak menyediakan link dimaksud.  Sebagai tambahan untuk melihat hasil fotografi dalam perjalanan, bisa cek di IG (Instagram) @husnipohan. Berikut list link perjalanan sementara yang akan diupdate jika ada perjalanan tambahan. 




Seminar Baca Kilat - Juni Anton

Sabtu kemarin 15/7/2017 saya menemani Si Bungsu mengikuti seminar Baca Kilat. Untuk mengikuti acara ini setiap keluarga boleh hadir dengan maksimal sepasang suami istri dan dua anak alias empat orang. Peserta dipungut biaya Rp, 180.000 untuk acara selama 3 jam. Acara ini diadakan di Aston Cihampelas, sayang saya tak sempat jalan2 ke Teras Cihampelas, destinasi wisata baru yang belum lama di resmikan walikota Bandung a.k.a. Ridwan Kamil.  
Saat pendaftaran ulang, setiap keluarga diberikan sebuah buku tentang Baca Kilat karya Agus Setiawan dan Juni Anton. Setelah semua peserta berkumpul, maka acara langsung dimulai oleh Juni Anton, alumnus Psikologi Binus yang berasal dari Tanjung Pinang.

Mirip dengan gaya Tukul yang sering “mengejek” dirinya sendiri, bukannya berusaha membuat peserta kagum dengan sosoknya, Juni Anton malah secara terus terang mengatakan bahwa sejak SD hingga SMA nilai-nilai baik yang dia peroleh adalah benar-benar dari hasil menyontek. Tidak main-main, dari hasil contekan tersebut Juni Anton bahkan berhasil meraih rangking tiga (karena duduk di samping ranking kesatu) , dan akhirnya memperoleh beasiswa di jurusan Psikologi, Binus.

Namun saat perjalanan menuju Jakarta, Juni Anton akhirnya merenung dan sadar bahwa hal buruk tersebut tidak bisa diteruskan, sehingga dia bertekad untuk berusaha dengan sekuat tenaga. Sayangnya text book di Psikologi tebal-tebalnya luar biasa, sebagian besar menggunakan bahasa asing pula. Juni Anton akhirnya cuma bisa meraih 3,5 lalu 3,5 dan malah turun menjadi 3,3 di semester ketiga

Sampai suatu saat Juni Anton bertemu Agus Setiawan yang membantunya memahami bagaimana menggunakan otak, dan bahwa selama ini kita lebih sering mengabaikan alam bawah sadar saat merekam informasi, sehingga sangat sulit buat kita untuk mempelajari sesuatu. Ibarat fenomena gunung es, potensi 90% alam bawah sadar, ternyata selama ini sering kita abaikan. Segera setelah belajar Baca Kilat, Juni Anton berhasil meraih IP 4, selama empat semester berikutnya. Lalu Juni Anton lulus hanya dalam 3,5 tahun.

Sampai dengan 2 jam acara berlangsung Juni Anton masih belum menceritakan teknik yang digunakan untuk aktifasi alam bawah sadar. Saya dan istri saling berpandangan dan agak sulit memrediksi bagaimana acara ini bisa meyakinkan kami sekeluarga akan teknik yang digunakan. Sampai akhirnya sampailah kebagian yang paling saya tunggu.

Teknik yang diperkenalkan pertama adalah studi kasus mengenai hewan air dari famili Spongilidae, dan peserta ditantang untuk menghapal karakteristik dalam waktu yang sangat singkat. Juni Anton lalu menjelaskan teknik “Main Mapping”, yang pertama kali saya kenal justru dari buku karya Toni Buzan hanya saja dengan nama yang berbeda alias “Mind Mapping”. Informasi dikirim ke bawah sadar dengan menggunakan lingkaran, lalu digambar percabangannya serta dilengkapi dengan gambar-gambar ikon kecil. Akan lebih bagus jika menggunakan warna-warni, sehingga pesannya yang disampaikan benar-benar melekat di bawah sadar. Jadi saya masih belum menemukan sesuatu yang baru sampai di titik ini.



Teknik kedua adalah bagaimana menghapal dalam waktu terbatas sebanyak 20 item saat harus berbelanja misalnya 1. Sabun, 2. Minyak dst, dan peserta hanya sanggup menghapal 11 item, itupun tidak berurutan. Sebagai jawaban Juni Anton memberikan “Jembatan Keledai” berupa angka 1 sd 20, misal 1. Unicorn (karena bertanduk satu), 2. Colokan listrik (karena berkaki dua), lalu kita diminta merangkai Unicorn dengan Sabun dalam satu kalimat, misalnya Unicorn mandi dengan menggunakan sabun, atau Colokan listri dibersihkan dengan minyak, semakin lucu akan semakin bagus karena lebih mudah diingat dll. Teknik ini akan langsung masuk ke bawah sadar, dan terbukti kemudian seminggu setelah seminar saya masih bisa menyebutkan urutan 20 item yang harus dibeli saat belanja.

Hal lain adalah menjelaskan bagaimana otak bekerja misalnya membaca paragraph yang terdiri dari kata-kata dimana, yang benar hanya huruf pertama dan huruf terakhir. Akibat pengetahuan yang dihimpun di bawah sadar, kita dapat membacanya sejauh menggunakan bahasa yang kita ketahui. Namun saat menggunakan bahasa asing, pikiran bawah sadar mengalami kesulitan untuk memahaminya. Hal ini juga tidak terlalu asing bagi saya, mengingat sempat viral di sosmed.

Sayang rasa penasaran saya mengenai bagaimana membaca satu halaman hanya dalam satu detik dan mengerti apa yang dibaca, tidak dibahas, namun malah disarankan untuk  mengikuti workshop selama dua hari dengan biaya 3,950.000 per orang. Secara logika, saya menduga teknik yang dipakai adalah kombinasi hypnotherapy, karena sesuai penelitian, sebenanrnya bawah sadar mampu menyimpan informasi yang sangat banyak, namun dibutuhkan teknik khusus untuk mengeluarkannya.  Karena Si Bungsu belum berhasil kami bujuk untuk ikut workshop, maka kami sudahi acara Baca Kilat sampai disini saja. Namun saya berencana akan membaca buku tersebut dan lanjut untuk mencari buku Agus Setiawan mengenai membaca 1 halaman per detik. 





Wednesday, July 19, 2017

Tuhan Maha Asyik - Sujiwo Tejo dan M.N. Kamba

Sejujurnya ini bukan buku yang mudah dibaca meski menggunakan bahasa sehari-hari, kisah-kisah singkat lalu berbagai analogi. Membacanya membuat saya teringat kesulitan saat memahami majalah Prisma yang biasa dibaca guru kursus matematika saya saat Sekolah Dasar di Denpasar Bali. Selama ini saya hanya tahu Sujiwo Tejo adalah alumni ITB, lalu sempat terkesima melihat beliau membawakan lagu sambil menggumam, dalam acara ILC diiringi Angelica Liviana pada piano dan Eya Grimonia pada violin.

Namun sejak terkoneksi di twitter saya jadi ikut mengamati publikasi salah satu karya tulis beliau berjudul Tuhan Maha Asyik. Buku ini tidak dibuat sendirian, namun bersama-sama H.M Nur Samad Kamba, seorang doktor dan juga pendidik. Setiap babnya yang berjumlah 29 bab, saling lepas, dan bercerita mengenai berbagai sudut pandang yang berbeda mengenai keasyikan Tuhan. Disatu bab kita temukan narasi wayang, di bab lain menyinggung marhaen, cacing, zat, gincu, nyawa, ketombe, komat-kamit, tersesat, diri, dan lain lain.



Secara garis besar, kedua penulis ini mengajak kita melihat tindakan menyekutukan Tuhan itu tidak melulu karena menyembah yang selainNya, namun juga jika kita tidak yakin besok akan mendapatkan rezeki, tidak yakin akan apakah esok kita masih sehat, dan banyak keraguan lain mengenai kebaikan Tuhan. Maka hadapilah kehidupan dengan doa, kesabaran, setelah sebelumnya berikhtiar.

Selain itu buku ini juga mengeritik bagaimana sering sekali kita mengklaim Tuhan adalah seperti yang kita pikirkan sehingga membatasi Tuhan yang justru Maha Tidak Terbatas. Saat makna Tuhan kita sekat dalam kotak-kota konsep, maka Tuhan akan semakin jauh dari kita. Jadi temukan lah Tuhan melalui beragam ciptaannya, dan itu lah keasyikan dalam memaknai Tuhan.  

Berikut salah satu kutipan dalam buku ini “Ketika manusia memandang cermin, bukan kaca yang dilihat, namun dirinya. Ketika manusia berbuat baik pada orang lain, sejatinya dia berbuat baik untuk diri sendiri. Demikian juga ketika dia menyakiti sesama, justru menyakiti diri sendiri. Jadi, wajar saja jika orang menyakiti diri sendiri dianggap gila. Namun, lebih gila lagi jika agama dan atas nama Tuhan menjadi alasan untuk membenci dan menyakiti”.

Uniknya Sujiwo berpesan agar buku ini dibaca untuk dilupakan, dan dibaca hanya untuk sekedar latihan dalam berpikir.  Saya tutup review buku ini dengan komentar Emha Ainun Nadjib (yang sering dengan meledek dianggap Sujiwo Tejo sebagai muridnya) terhadap karya ini sbb

"Asyik itu yang mengasyiki, masyuk itu yang diasyiki. Jadi buku ini menyeret kita untuk mentawafi pengalaman Tuhan yang mengasyiki hamba-hamba-Nya. Kita menyangka kita juga mengasyiki-Nya, padahal aslinya yang asyik maupun yang masyuk adalah Ia sendiri."

Tuesday, July 11, 2017

Jelajah Nusa Tenggara Timur Part #1 dari 12 : Rencana


Sebenarnya sudah hampir 10 tahun yang lalu saya ingin pergi ke Pulau Komodo namun saat itu rute yang biasa ditempuh adalah via Bali atau Lombok menggunakan jalur laut. Karena terlalu jauh dan lama, rencana ini selalu urung. Selain itu juga karena  istri masih ragu, mengira destinasi ke Pulau Komodo tidak menarik, gersang, dan hanya terfokus pada seputar reptil. Namun setelah Labuan Bajo memiliki bandara udara sendiri, maka destinasi ke NTT menjadi semakin populer.

Setahun lalu, Facebook salah satu teman kantor saat ke Pulau Padar membuat keinginan saya yang sudah lama terpendam kembali menyala, setelah menunjukkan foto-foto menarik pada istri, dan khususnya snorkling di sekitar Labuan Bajo, istri yang memang menggemari kehidupan bawah laut sejak snorkling pertama kali di sekitar Gili Trawangan bertahun tahun lalu, mulai menunjukkan minat. Begitu juga Si Bungsu yang sempat menggemari band lokal Barasuara juga semakin tertarik setelah melihat vokalisnya juga berkunjung ke kawasan yang sama, meski sebelumnya dia lebih memilih ke Bali.  Sedangkan Si Sulung, yang sejak dulu memang lebih menyukai destinasi lokal ketimbang luar negeri, hanya perlu koordinasi soal waktu yang pas agar tidak menggganggu skedul magangnya di salah satu media bisnis milik Kompas.




Karena ternyata membutuhkan fisik yang prima, akibat banyaknya aktifitas snorkling dan trekking, istri mensyaratkan hal lain yakni, saya harus mengurangi berat badan minimal 10 kg.  Maka sejak Januari 2017, saya sengaja melakukan aktifitas tambahan, yakni sepeda, jalan cepat dan sesekali lari, dengan target 200 km per bulan. Syukur akhirnya satu minggu sebelum Bulan Ramadhan 2017 berakhir saya berhasil menurunkan berat sekitar 10 kg dari 98 kg ke 88 kg.

Setelah mempelajari peta, saya baru menyadari Kelimutu yang biasa kita lihat di uang Rp. 5000 an, dan Labuan Bajo juga berada di propinsi yang sama alias NTT bahkan juga pulau yang sama alias Flores.  Karena kami sekeluarga sudah mengunjungi tempat eksotis seperti Danau Toba, Bromo, Merapi, tentu saja melengkapinya dengan Kelimutu akan membuat cakupan petualangan kami di Indonesia menjadi semakin luas.  



Bahkan bukan cuma di uang Rp. 5000 an lama, di uang Rp. 50.000 an baru, kita bisa melihat penampakan Pulau Padar. Pada uang baru memang ada beberapa destinasi wisata yang dianggap mewakili Indonesia, selain Pulau Padar, kita juga bisa melihat Raja Ampat (Papua) , Derawan (Kalimantan Timur), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Bromo (Jawa Timur) , Ngarai Sianok (Sumatera Barat) dan Banda Neira (Maluku)




Sedikit cerita mengenai NTT, propinsi ini memiliki total sekitar 550 pulau, dan tiga pulau terbesarnya adalah Flores, Sumba dan sebagian Timor atau Timor Barat, karena bagian timurnya sudah merupakan bagian dari Timor Leste yang memisahkan diri pada 2002. Jumlah penduduknya hanya sekitar 5 juta jiwa dan terdiri dari 8 etnis. Secara keyakinan, 55 % beragama Katolik, 35 % beragama Kristen, sekitar 10% Islam, dan sisanya memeluk agama lain. NTT dipecah menjadi 21 Kabupaten/Kota, dimana salah satunya adalah Manggarai Barat, yang menjadi lokasi tujuan utama saya dan keluarga selain Ende dan Kupang, karena disinilah terletak Taman Nasional Komodo. 

Setelah mencari tanggal yang pas dimana semua anggota keluarga bisa hadir. Semua tiket saya pesan awal April 2017 melalui Tiket.Com, tentunya setelah berkali kali menyesuaikan jam terbang, harga tiket serta maskapai untuk mencari kombinasi paling pas. Untuk perjalanan 5D4N, maka berikut ini perincian dari tiket tersebut, sbb;   

Senin 26/6/2017 Jakarta – Ende (Pulau Flores Timur)
  • Garuda - GA 456 jam 04:55 Jakarta - Kupang (Timor) 2 jam 55 menit
  • Transit 4 jam 15 menit.
  • Garuda - GA 7027 jam 1305 Kupang (Timor) - Ende (Flores Timur) 1 jam 5 menit. 
Selasa 27/6/2017 Ende (Flores Timur) – Labuan Bajo (Flores Barat)
  • Garuda - GA 7027 jam 14:40 Ende (Pulau Flores Timur) - Labuan Bajo (Flores Barat) 50 menit.
Jumat 30/6/2017
  • Wings Air - IW 1899 jam 16:00 Labuan Bajo (Flores Barat) – Denpasar (Bali) selama 1 jam 20 menit
  • Lion Air- JT 33 jam 18:15 Denpasar (Bali) – Jakarta

Catatan
Jangan lupa waktu di NTT dibanding Jakarta dan Bandung sejam lebih cepat, hal ini perlu diingat baik-baik agar jangan sampai estimasi waktu terbang menjadi tidak akurat. Akan lebih mudah jika gadget anda diset untuk menyesuaikan secara otomatis dengan waktu setempat. 

silahkan lanjut ke link berikutnya di  http://hipohan.blogspot.co.id/2017/07/jelajah-nusa-tenggara-timur-part-2-dari.html

Jelajah Nusa Tenggara Timur Part #2 dari 12 : Itinerary


Lalu kami mencoba mencari informasi beberapa travel lokal, setelah melihat kecepatan dalam merespon pertanyaan, lalu mereview testimoni wisatawan, akhirnya pilihan kami jatuh pada LTA Tour dengan website www.paketwisatakomodo.com. Sayangnya untuk NTT, LTA Tour hanya mengkhususkan diri pada Labuan Bajo dan tidak termasuk Kelimutu.

Tidak putus asa, lalu kami mencoba diskusi panjang lebar, karena sayang sekali jika tiket pesawat ke NTT yang begitu mahal, namun tidak melingkupi Kelimutu. Akhirnya Bli Wayan demikian kami menyebutnya mencoba untuk kontak jaringan beliau sana sini, dan menyanggupi untuk menambah destinasi kami termasuk dengan Kelimutu, namun dengan demikian itinerary di Labuan Bajo dan sekitarnya terpaksa dikurangi, karena kami hanya memiliki 5 hari 4 malam yang sekarang harus dibagi dua, sementara biaya justru bertambah. Salah satu yang dikurangi adalah Taman Laut 17 Pulau Riung, yang merupakan gugus pulau-pulau kecil hingga Pulau Pangsar. 




Sebenarnya dibanding beberapa travel lain, harga yang ditawarkan LTA relatif lebih tinggi, namun melihat testimoni dan penjelasan Bli Wayan bahwa LTA selalu berusaha memberikan yang terbaik, baik hotel, kapal, dan crew, kami akhirnya memutuskan menggunakan jasa Bli Wayan. Namun saya berusaha meminta diskon tambahan, dan memberikan sampel blog perjalanan sebelumnya, seraya menjanjikan akan menuliskan hal yang sama, yang membantu promosi LTA Tour khusus destinasi NTT. Berikut itinerary awal;

  • 26/6/2017 : Ende – Moni – menginap di Eco Lodge
  • 27/6/2017 : Moni – Kelimutu – Ende – Labuhan Bajo – Batu Cermin – Souvenir – menginap di Hotel Bintang Flores
  • 28/6/2017 : Labuhan Bajo – Pulau Kanawa (Snorkling) – Manta Point (Snorkling) – Pulau Gili Lawa (Trekking Sunset) – Menginap di Kapal
  • 29/6/2017 : Gili Lawa – Pulau Komodo (Trekking) – Pink Beach (Snorkling) – Pulau Padar (Trekking Sunset) – Menginap di Kapal.
  • 30/6/2017 – Pulau Padar – Pulau Rinca (Trekking Sunrise) – Pulau Kelor (Snorkling) – Labuhan Bajo – Airport. 
Namun kenyataannya, karena ada beberapa penyesuaian sesuai kondisi di lapangan termasuk kreatifitas saya dan keluarga ketika memanfaatkan masa transit di Kupang, juga inisiatif guide lokal seperti saat snorkling, menjadi sbb;

  • 26/6/2017 : Airport - Kupang (Kantor “Sansando” Gubernur, Rumah Dinas Gubernur, Pusat Oleh2 C&A, Pusat Oleh2 Mitra Agung Utama, makan Siang di Raja Laut) - Ende (Rumah Pengungsian Bung Karno, Pertapaan Bung Karno, dan Teater Bung Karno) – Moni – menginap di Kelimutu Moni Resto and Lodge.
  • 27/6/2017 : Moni – Kelimutu – Moni – Air Terjun/Muru Keba – Desa Adat Wologai Tengah - Ende – Wisata Kuliner di  Cipta Rasa Resto – Air Port - Labuan Bajo – Gua Batu Cermin – Bukit Sylvia – Jembatan Putih – Wisata Kuliner Kampung Ujung (Warung Sasa) - menginap di Hotel Bintang Flores
  • 28/6/2017 : Labuhan Bajo – Pulau Kanawa (Snorkling) – Makan Siang di Kanawa - Pulau Gili Lawa Darat (Trekking Sunset) – Menginap di Kapal di teluk Gili Lawa Darat
  • 29/6/2017 : Gili Lawa Darat – Manta Point (seharusnya snorkling namun tidak jadi karena tidak ditemukan) - Pulau Komodo (Trekking) – Pink Beach (Snorkling) - Pulau Padar (Trekking Sunset) – Menginap di Kapal.
  • 30/6/2017 – Pulau Padar – Pulau Rinca (Trekking Sunrise) –Manjarite (Snorkling) – Pulau Kelor (Snorkling) – Labuhan Bajo – Airport. 
LTA menanggung 4 malam biaya menginap, terdiri dari 1 malam di Moni, 1 malam di Labuan Bajo dan 2 malam di kapal, guide, biaya masuk ke semua lokasi, mobil dengan AC, air minum, semua biaya makan kecuali, 1x makan malam di Moni dan 1x makan siang di Ende, dan 1 x makan malam di Labuan Bajo, Travel juga menyediakan private boat dengan dengan dua kamar dengan masing-masing satu bunk bed (setiap bunk bed bisa untuk 2 orang), perlengkapan snorkling termasuk masker, kaki katak dan fin.

Sehingga yang menjadi tanggungan wisatawan adalah pesawat, makan ekstra, minuman ekstra, mini bar di hotel, laundry, atau jika ada keperluan yang sifatnya pribadi. Makan ekstra disini misalnya makan siang di Ende, makan malam di Moni, makan malam di Labuan Bajo.

silahkan lanjut ke link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/07/jelajah-nusa-tenggara-timur-part-3-dari.html

Jelajah Nusa Tenggara Timur Part #3 dari 12 : Kupang


Minggu malam 25/6/2017 alias hari pertama lebaran, kamipun berangkat dari Bandung sekitar jam 20:00, sampai di Grogol, Jakarta menjelang tengah malam, kami langsung beristirahat dan bangun jam 02:30 pagi untuk berkemas. Dengan menggunakan Uber start jam 03:11, setelah menempuh 23 km.  kamipun sampai di terminal 3 yang malam itu terlihat megah pada jam 03:32.
Kejutan buat saya, kini tripod kamera SLR, diminta masuk bagasi, padahal kami sengaja membawa barang seringkas mungkin agar cukup menggunakan kabin saja. Karena petugas tidak bisa memastikan boleh tidaknya membawa  tripod action camera, untuk amannya sekalian saya masukkan dalam tas tripod kamera SLR. Antara GA 456 dan GA 7027 merupakan connecting flight, jadi meski menggunakan pesawat yang berbeda, petugas menjamin barang kami bisa diambil di Ende.










Pesawat Garuda yang kami gunakan yakni model Bombardier CRJ1000 buatan Kanada, akhirnya mendarat sekitar jam 08:00 di Bandara El Tari Kupang, Pulau Timor. El Tari mengambil nama gubernur kedua NTT yang menjabat dari 1966 sd 1978. Istri langsung bergegas berbicara dengan seorang wanita manis dan ramah dengan raut wajah Portugis yang berjaga di stand pariwisata mengenai destinasi selama masa transit sekitar 4 jam. Tak lama kami memesan taksi yang dikemudikan Hengky sosok pria Kupang yang sama sekali belum pernah meninggalkan Pulau Timor sejak lahir, dan Oom Hengky  demikian beliau lebih suka dipanggil mematok tarif Rp. 200.000 untuk keliling kota.  Taksi yang kami gunakan mobil Avanza putih dengan lambang koperasi TNI AU, sepertinya mirip dengan pola bisnis yang digunakan di Bandara Husen Sastranegara Bandung.


Kupang sendiri merupakan ibukota NTT yang meliputi Sumba, Timor, Flores,  Rote, Komodo, Rinca dan banyak pulau-pulau kecil disekitar perairan Labuan Bajo. Seperti Kupang yang saya lihat sekitar 16 tahun lalu saat saya berkunjung sendirian, suasana pulau atol ini masih panas, gersang dan didominasi tanah yang berwarna keputihan layaknya pasir pantai dan rumput yang gersang menguning. Kami mengunjungi beberapa destinasi seperti

  • Kantor Gubernur NTT, kantor yang berlokasi di Jalan EL Tari 52 ini, baru diresmikan Desember 2016, arsitekturnya unik karena mengikuti bentuk Sasando, alat musik tradisional asal Pulau Rote. 


  • Rumah Jabatan Gubernur NTT, rumah yang berlokasi di jalan Polisi Militer No 3 ini, memiliki halaman yang sangat luas, namun berbeda dengan Kantor Gubernur, bangunan ini terlihat sudah cukup tua.
  • Pusat oleh-oleh Kupang C and A, Jalan Bung Tomo III / 10, namun sepertinya tak banyak makanan khas Kupang yang ada, di tempat ini lebih banyak berbagai jenis kain, patung, gantungan kunci , dll.

  • Pusat oleh-oleh Kupang, CV Mitra Agung Utama, Jalan Jenderal Soeharto No 90, dimana istri membeli Sasando  mini dan topi mini khas penduduk Pulau Rote.
  • Depot Raja Laut, untuk makan siang dengan menu  1 Ekor Ikan Bakar, 1 Porsi Cumi Goreng, 1 Porsi Udang, 1 Porsi Cah Kangkung, 5 Porsi Tahu Tempe, 2 Teh Botol,  2 Teh Tawar, 1 Air Mineral, 5 Nasi Putih, dengan masakan yang cukup lezat dan total biaya Rp. 326.000. Penjualnya ternyata berasal dari Malang, dan dengan semangat dia langsung mengajak kami berbahasa Jawa.


Setelah makan, kami langsung kembali menuju Bandara El Tari, namun kami berhenti sebentar di sebuah warung Kelapa Muda dengan dua penjual berpenampilan bak preman,  namun ternyata ramah. Karena si penjual memang tidak menyediakan sedotan, maka kami langsung menyedot air kelapa dari lubang yang mereka buat, lalu buah kelapa dibelah dua, dan si penjual membuat sendok alam dari potongan kulit kelapa.



Selesai menuntaskan dahaga kami langsung kembali ke Bandara El Tari, dan terbang menuju Ende dengan menggunakan Garuda ATR 72-600 bermesin baling-baling hasil kolaborasi Perancis – Italia. 

Jelajah Nusa Tenggara Timur Part #4 dari 12 : Ende dan Desa Moni


Setelah mendarat di Bandara Haji Hasan Aroeboesman, Si Sulung mengingatkan bahwa tripod bisa diambil langsung saat  barang diturunkan dari pesawat, namun petugas meminta kami tetap menunggu di tempat pengambilan bagasi. Dan ternyata Sang Petugas sendiri malah yang akhirnya mengambil tripod tersebut dan menyerahkannya secara langsung pada saya sambil tersenyum di terminal kedatangan. Jadi sama seperti di Kupang kami lagi-lagi menemukan sosok-sosok yang ramah, ah... indahnya persaudaraan sebangsa.







Di bagian penyambutan sudah menunggu Oom Marianus, dan tak lama kemudian pemilik Innova hitam berplat B (yang memang banyak ditemukan di Flores), sekaligus supir alias Oom Sius  membantu kami memindahkan semua barang, dan kamipun melaju menuju lokasi berikut

  • Rumah Pengungsian Bung Karno, Mulai 4 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938, Bung Karno diasingkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, bukannya diam, beliau malah menggunakan waktu pengasingan tersebut untuk mengasahnya kemampuannya menjadi pemimpin yang lebih matang. Di sinilah Bung Karno dan istrinya Inggit Garnasih, Ratna Djuami (anak angkat), serta mertuanya Ibu Amsi menghabiskan waktu selama masa pengasingan. Inggit Ganarsih dan Ratna Djuami kini dimakamkan berdampingan di TPU Porib Caringin, Bandung

  • Taman Renungan Bung Karno, Di Ende ini juga konon kabarnya beliau mengeksplorasi pemikiran soal Pancasila, lokasi yang dipilih beliau yakni dibawah Pohon Sukun berbatang lima, sambil menatap laut di kejauhan. Namun pohon yang kini berdiri bukanlah pohon asli yang tumbang di tahun 1960, melainkan pohon yang ditanam kemudian yakni di tahun 1981. Jumlah batang inilah yang konon kabarnya menjadi inspirasi kenapa dirumuskan lima sila alias Pancasila 


  • Lokasi Bung Karno menggelar teater karya beliau, konon termasuk salah satu karya beliau yakni “Rahasia Kelimutu”, lokasi kawah yang konon kabarnya memang cukup sering dikunjungi beliau saat berada di Ende.


Kejutan bagi saya mendengar langsung dari Oom Marianus, betapa harumnya nama Bung Karno di Ende bahkan hingga saat ini. Juga masyarakat Enda beranggapan bahwa di Ende lah Bung Karno menyempurnakan pemikirannya mengenai Pancasila. Saya jadi teringat saat berkaca-kaca menahan haru ketika berziarah di makam beliau di Blitar beberapa tahun lalu. Nampak sebuah plang besar di pinggir jalan, dengan tulisan “Bung Karno Penggali Pancasila”, membuat saya teringat kritik keras Permadi SH mengenai ucapan “Saya Pancasila”, sementara beliau saja meski turut menciptakan, justru cuma mengaku sebagai penggali.   

Mendadak Oom Marianus, minta berhenti di sebuah pasar kecil, lalu beliau turun dan kembali dengan setandan pisang yang terlihat sudah matang, dan berbau harum. Tenyata ini lah Pisang Berangan yang dalam logat Ende biasanya disebut dengan Pisang Beranga. Rasanya manis dan dagingnya relatif kenyal, pantas saja buah ini merupakan salah satu andalan Ende. Selama perjalanan pisang inilah yang sesekali mengisi perut kami.

Menjelang sore, kami lanjut ke Desa Moni, jaraknya cukup jauh yakni sekitar 50 km dari lokasi bandara, dan ditempuh dalam waktu sekitar 1,5 jam. Kondisi jalan relatif biasa, namun jurang-jurang di sisinya yang terdiri dari kombinasi batu-batu besar dan tanah cenderung labil. Sekali kami berhenti karena ada pohon tumbang, yang segera dipotong oleh penduduk setempat karena menghalangi jalan di kedua arah, dan kali lainnya harus ekstra hati-hati karena jalur yang menyempit akibat batu-batu seukuran kerbau yang sebelumnya berjatuhan dari lereng diatasnya.







Sepanjang jalan Oom Marianus, bercerita tentang banyak hal sambil sesekali tertawa terkekeh dengan cara yang khas. Si Sulung sepertinya terkesan sekali dengan cara Oom Marianus tertawa, namun beliau memang sosok yang humoris dan selalu tersenyum. Tak lupa dengan semangat beliau juga cerita mengenai keluarganya yang tinggal di Maumere 140 km dari Ende yang bisa ditempuh dalam waktu empat jam, juga mengenai putra sulungnya yang berencana masuk Seminari.




Menjelang malam akhirnya kami sampai di Restaurant and Lodge Kelimutu Moni. Tempat ini dibuat menempel dengan tebing yang lumayan terjal mengingatkan saya pemakaman vertikal di Toraja. Untuk mencapai lantai kamar kami paling tidak harus menaiki tangga terjal 7 meter. Dua kamar yang kami pesan merupakan kamar di sisi kiri bersebelahan dengan restoran. 

Ukuran kamar sekitar 4x4 dengan masing-masing tersedia kamar mandi dan air panas dan juga kelambu serta beberapa mebel plastik. Welcome drink yang ditawarkan, kopi, teh dan jahe. Selama kami menginap listrik sempat beberapa kali mati, salah satunya bahkan ketika saya sedang di kamar mandi, untung saja air masih tetap mengalir. Akustik ruangan juga agak aneh, alias nyaris semua suara dari kamar tetangga terdengar jelas, sepertinya karena langit2 kamar mandi kami plafonnya ada yang terbuka.




Pada itinerary awal kami tidak menggunakan hotel ini melainkan Eco Lodge, namun menurut Oom Marianus yang pernah bekerja di Eco Lodge, pada musim liburan ini semua kamar sudah habis.

Malam hari kami makan 4 porsi Nasi Goreng dengan volume relatif besar, serta 4 gelas Es Teh, total menghabiskan biaya Rp. 120.000. Sepintas Resto and Lodge Kelimutu Moni, terlihat ditangani oleh satu keluarga besar.  Sehingga Nasi Goreng pesanan kami bahkan dibuat oleh gadis kecil yang dari fisiknya terlihat sebagai pelajar Sekolah Dasar, namun ternyata memiliki kemampuan memasak yang baik. 

silahkan lanjut ke link berikutnya di  http://hipohan.blogspot.co.id/2017/07/jelajah-nusa-tenggara-timur-part-5-dari.html