Tuesday, February 13, 2018

Apakah Betul Ada Diskriminasi Pada Kaum Minoritas Indonesia ?

Akhir2 ini setelah Pilkada DKI yang berlangsung dengan sengit dan panas di tahun 2017, ada banyak tuduhan soal intoleransi yang disuarakan kaum minoritas Indonesia. Secara umum tuduhan ini muncul dari kelompok minoritas garis keras dan berasal dari Tionghoa dengan agama Kristen (yang mana menurut Ahok disebut sebagai double minoritas).  Tuduhan ini membuat saya tergelitik, apakah memang benar demikian ? karena itu saya mencoba melakukan investigasi sederhana, betapa Indonesia justru memiliki perlakuan khusus pada kaum minoritas. 

Sebelum kita mulai, mungkin ada pertanyaan, apakah saya memiliki sentimen tertentu terhadap saudara sebangsa keturunan Tionghoa  ? sama sekali tidak,  saya justru memiliki abang ipar Tionghoa, pernah bekerja di perusahaan milik Tionghoa, memiliki idola keturunan Tionghoa (salah satunya Liem Swie King), pernah diselamatkan dokter keturunan Tionghoa  (saat saya terindikasi mengalami masalah jantung dan ditangani dokter Tan Siauw Koan ), memiliki banyak sahabat keturunan Tionghoa. Saya juga penggemar masakan Tionghoa, penggemar cerita silat Kho Ping Ho atau juga novel bersetting sejarah seperti Sam Kok dan Water Margin (108 Pendekar Liang Shan). Saya juga berhutang budi pada dosen-dosen saya seperti Doktor Inggriani Liem dan Doktor Houw Liong Thee yang menjadi pembimbing tugas akhir sarjana saya. 

Baik kita mulai saja dengan statistik, dalam artikel sesuai link Republika dibawah, 85 % masyarakat Indonesia memeluk Agama Islam. Jika memang terjadi diskriminasi pada  kaum minoritas, artinya kaum minoritas hanya kebagian angka 15% nyaris untuk semua hal.  Cek link berikut http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/09/o0ow4v334-persentase-umat-islam-di-indonesia-jadi-85-persen

Dari 15% ini, jika penduduk Indonesia sekitar 260 jutaan, maka Non Muslim adalah sekitar 40 juta, dan sekitar 7,67 juta adalah keturunan Tionghoa.  Komposisi secara agama, hampir separuhnya menganut Buddha, sementara ada 27% Kristen Protestan, dan hampir 17% Katolik. Penganut Muslim dan Konghucu di kelompok etnis Tionghoa kurang lebih sama, sekitar 4%, menurut Charles Coppel, peneliti  etnis Tionghoa dari Monash University, Australia. Jika ada 44% pemeluk Kristen dari total populasi Tionghoa Indonesia, maka ada sekitar 3,3 juta Tionghoa sekaligus Kristen. Cek di link http://indochinatown.com/jakarta/10-negara-dengan-diaspora-tionghoa-terbesar-di-dunia-indonesia-peringkat-pertama/2507 . 

Jika dilihat dari perspektif suku, Indonesia memiliki 1.331 suku, dan di Papua saja meski cuma berpenduduk sekitar 3 juta, ada sekitar 400 suku. Setelah Suku Jawa (sekitar 104 juta) dan Suku Sunda (Sekitar 41 juta), sebagian publikasi menyatakan Suku Tionghoa adalah suku dengan populasi terbesar ketiga di Indonesia, namun sebagian lain menyebutkan Batak. Karena data yang ada cukup bervariasi anggap sajalah masuk empat besar. Uniknya diluar Jawa dan Sunda, boleh dikatakan secara suku, nyaris seluruh suku sisanya adalah minoritas. 

Mari kita potret satu-satu keistimewaan saudara sebangsa kita, khususnya keturunan Tionghoa yang selama ini dianggap minoritas dan apakah betul terjadi diskriminasi dari mayoritas muslim. 

Agama

  • Hari Minggu libur namun Hari Jumat justru tidak. Di berbagai negara mayoritas muslim, Hari Jumat merupakan hari libur, sebaliknya di Indonesia Hari Minggu justru libur untuk memberikan kesempatan bagi saudara sebangsa yang beragama kristen beribadah di gereja.
  • Diberbagai negara Islam, Bulan Ramadhan adalah bulan ibadah dimana sekolah diliburkan dan tiba saatnya bagi anak-anak untuk berpuasa dan menjalankan berbagai kegiatan ramadhan. Sejak peraturan di akhir tahun 70 an,  bulan tersebut tidak lagi dijadikan sebagai bulan dimana sekolah diliburkan. Meski saya yakin sekali kaum mayoritas muslim pasti akan mendukung implementasi libur sekolah kembali Bulan Ramadhan. 
  • Di pasar modern juga hotel,  minuman keras dan juga makanan mengandung babi diperjual belikan dengan bebas. Mayoritas muslim hanya minta label halal dan menjadikan MUI sebagai referensi.
* Catatan tambahan, di propinsi seperti Bali yang 84% penduduknya nya beragama Hindu, saudara sebangsa diperkenankan memiliki hari libur keagamaan sendiri.  Seperti Hari Suci Siwa Ratri, Hari Raya Suci Tawur Agung Kesanga, Hari Raya Nyepi, Hari Raya Ngembak Geni, Hari Raya Pagerwesi, Hari Raya Penampahan Galungan, dll. Bahkan pada Hari Raya Nyepi, mau tidak mau umat minoritas di Bali juga tak bisa menyalakan lampu atau memasak dengan api.

Konglomerasi 

Media
  • Sejumlah media seperti SCTV, RCTI, iNews, GlobalTV, MNCtv, Indosiar, dan KompasTV yang merupakan sekitar 60% dari total media TV merupakan milik kaum minoritas Indonesia. Begitu juga dengan media cetak dimana Kompas bermain sebagai salah satu pemain terbesar media lengkap dengan jaringan toko bukunya. 

Pemerintahan 

Lain-Lain 
  • Rumah Sakit Non Muslim di Indonesia, justru lebih banyak menangani pasien kaum mayoritas muslim ketimbang sebaliknya, seperti misalnya di Jawa Barat antara lain RS Advent, RS Immanuel, RS Santo Jusup, RS Borromeus, atau RS Siloam. 
Dengan demikian apakah kesimpulan sebagian orang yang menyatakan kelompok minoritas mengalami diskriminasi di Indonesia masih pas disuarakan ?, Saya kira sama sekali tidak, meski ada berita kesulitan pendirian gereja, toh faktanya pertumbuhan gereja di Indonesia masih yang tertinggi di dunia dan pada kasus khusus di Tolikara justru Masjid yang dibakar. Juga meski ada issue intoleransi di Pilkada DKI, nyaris 91% lebih kaum minoritas Tionghoa Kristen justru memilih yang seiman dan sesuku dengan ketimbang kaum mayoritas Muslim yang ternyata suaranya hanya 56% yang memilih Anies-Sandi. Jadi siapa yang lebih berhak menyandang sebutan intoleransi ? Cek link http://pilkada.liputan6.com/read/2920023/lsi-anies-unggul-di-pemilih-muslim-ahok-kaum-pendidikan-tinggi

Jangan lupa di Indonesia juga ada banyak tokoh keturunan Tionghoa yang dikagumi bahkan dicintai di Indonesia, seperti Kwik Kian Gie (ahli ekonomi) , Jaya Suprana (budayawan) , Soe Hok Gie (tokoh pemuda) , Steve Liem Tjoan Hok (Teguh Karya sekaligus tokoh perfilman nasional) , Laksamana Muda (Purn) John Lie (tokoh pejuang),   Siauw Giok Tjhan (tokoh pejuang),  Rudi Hartono (tokoh olahraga) juga tokoh-tokoh muda baru seperti Felix Siauw. Secara umum, kebanyakan masyarakat Indonesia juga mengagumi keturunan Tionghoa yang dikenal sebagai pekerja keras, hormat pada orang tua, serta hemat. 

Akhir kata menurut saya saudara sebangsa minoritas di negara ini memiliki banyak kesempatan dan maju di berbagai bidang mulai dari media, pendidikan dan ekonomi. Jika ada kesan intoleransi, saya kira hanya karena momentum Pilkada DKI, yang mana penyebab utamanya adalah murni soal penegakan hukum dan penistaan agama. Justru Indonesia adalah salah satu negara yang sangat menghargai minoritas sekaligus negara dengan etnis Tionghoa terbesar di dunia setelah China dan Taiwan. Cek link http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/16/05/06/o6rbdp383-indonesia-negara-pengakomodasi-etnis-tionghoa-terbesar-di-dunia

Catatan tambahan 
Menjawab judul diatas, beberapa teman yang membaca blog ini menyebutkan bahwa di beberapa KUA masih terjadi perbedaan tarif meski sama-sama WNI, ini salah satu contoh bahwa masih ada diskriminasi, walaupun kemungkinan hanya oknum, karena secara aturan jelas2 tak ada pungutan seperti itu. Sama dengan KUA, SKBRI juga sering dijadikan sebagai obyek pemerasan meski sudah diberlakukan UU No 12/2006. Lalu kasus yang masih hangat akhir-akhir ini mengenai peraturan lokal di DIY yang melarang transaksi jual beli tanah untuk suku tertentu. 

Monday, February 05, 2018

How The World Works Buku #1 dari 4 : “What Uncle Sam Really Wants”- Noam Chomsky

“If you assume that there is no hope, you guarantee that there will be no hope. If you assume that there is an instinct for freedom, that there are opportunities to change things, then there is a possibility that you can contribute to making a better world.” 

― Noam Chomsky


Beberapa belas tahun lalu, sempat akan membeli karya beliau, namun entah kenapa akhirnya urung dan menyesal karena saat kedatangan berikutnya, buku beliau sudah menghilang dari rak Gramedia. Alhamdulillah beberapa bulan lalu 4 buku karya beliau sudah rilis di Togamas, dan buku pertama merupakan kompilasi dari 4 karya pendek beliau yang diterbitkan oleh Bentang.

Si Sulung, yang sempat melihat buku ini saat saya baca di pesawat dalam perjalanan ke Banyuwangi akhir tahun 2017, sempat berkomentar bahwa dia tak menyangka, sosok Noam Chomsky ternyata benar-benar ada. Dia teringat salah satu percakapan ayah dan anak dalam film Captain Fantastic yang di bintangi Viggo Mortensen sebagai ayah, yakni jangan percaya pada siapapun kecuali Noam Chomsky.

Noam Chomsky yang lahir pada tahun 1928 (kini berusia 89 tahun) telah lama masuk daftar pengarang yang paling banyak dikutip sepanjang masa, menurut publikasi versi tertentu di ranah maya, namanya ada di urutan kedelapan (beberapa nama lain di urutan 1 sd 7 antara lain yakni Marx, Lenin, Shakespeare, Aristoteles, Plato, dan Freud). Meski tidak begitu didengar di Amerika, beliau malah dikenal luas di luar Amerika. Secara singkat Chomsky saat ini adalah kritikus sosial paling penting di dunia.



Resensi ini bagian pertama dari kompilasi How The World Works, yang merupakan  kolaborasi dari empat seri tulisan mengenai analisa dan investigasi Chomsky. Tulisan dalam buku ini merupakan pengamatan terhadap situasi di tahun 1990 an. Secara keseluruhan terdiri dari judul-judul sebagai berikut (yang secara total sudah terjual sekitar 600,000 eksemplar);

  • What Uncle Sam Really Wants,
  • The Prosperous Few and the Restless Many,
  • Secrets, Lies and Democracy, and
  • The Common Good.
Namun sejarah memang terus berulang, apa yang terjadi kini tak lebih dari pengulangan-pengulangan di masa lalu. Sehingga saya kira pandangan Chomsky yang pernah meraih Gold Medal For Peace With Justice 2011, tetap relevan. Analisanya menggunakan data, sekaligus mencakup topik yang luas seperti perdamaian dunia, peperangan, perebutan sumber daya alam, standar ganda Amerika, diskriminasi, dan ketidakadilan di negara-negara dunia ketiga dll.

Jika kebanyakan kita hanya bisa menyaksikan apa yang terlihat di depan mata, maka Noam Chomsky mampu menguak apa yang ada di balik layar.  Noam Chomsky juga menguliti sejarah kelam AS, sejarah kelam Kuba, kebangkitan Tiongkok, konflik di Irak, konflik di Afghanistan, situasi di  Israel, hingga sanksi terhadap Iran. Chomsky juga mengkritisi  suara Amerika soal kebebasan yang justru sering bertentangan dengan tindakan pemerintahnya. Jangan salah, Chomsky juga menulis soal Indonesia dalam bagian pertama ini.

Salah satu standar ganda Amerika, seperti yang dikisahkan Chomsky mengenai keterlibatan Amerika dalam melatih dan mempersenjatai Batalion Atlacatl di El Salvador. Mereka dilatih sebagai bagian dari kontra pemberontakan. Mereka melakukan pembunuhan, pemerkosaan dan pembakaran dengan korban ribuan orang. Dengan remaja yang direkrut dari daerah-daerah kumuh, lalu diindoktrinasi dengan metoda yang diadopsi dari SS Nazi. Bagi mereka mencabut kuku, memenggal kepala, memutilasi dan memainkan potongan-potongan mayat, merupakan hal yang sudah biasa dalam latihan rutin. 

Hasil pelatihan itu begitu mengerikan sehingga, (Chomsky mengutip kisah Daniel Santiago dalam jurnal Jesuit America) seorang wanita petani menemukan tiga tubuh anaknya, ibunya dan adiknya saat pulang ke rumah dimana kelimanya duduk mengitari meja, dengan memegang masing-masing penggalan kepala mereka. Setiap tangan seolah-olah sedang mengusap kepalanya sendiri (bahkan demi adegan horor ini, mereka tak segan-segan memaku tangan salah satu jenazah tersebut ke kepala korban). Sementara di tengah meja, sebuah mangkuk penuh darah terhidang. 

Bagi saya menelaah pikiran Chomsky ibarat Luke menemui Master Yoda di Planet Dagobah dalam episode V alias The Empire Strike Back,  dan Yoda layaknya Chomsky  memberikan jawaban untuk nyaris semua teka teki terkait isu-isu sosial politik di dunia.