Wednesday, April 18, 2018

Membedah Pernyataan Rocky Gerung Mengenai Kitab Suci



Lini masa langsung panas saat Rocky Gerung di penghujung acara ILC (Indonesia Lawyers Club) 10/April/2018 membuka dengan statemen “Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, kitab suci itu adalah fiksi”. Setelah di bully habis-habisan (termasuk oleh yang bahkan belum pernah menonton rekaman videonya) , lalu Rocky Gerung dilaporkan ke pihak kepolisian oleh Jack Boyd Lapian mantan ketua relawan BTP (Basuki Tjahaja Purnama) Network.

Sebagian yang lain ketimbang ikut-ikutan melaporkan ke kepolisian, mencoba eksplorasi dahulu sebelum menyampaikan pendapat. Misalnya mencari definisi di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Merriam Webster dan juga asal mula kata "fiksi", meski yang dimaksud Rocky Gerung sepertinya definisi yang berbeda dan dekat dengan terminologi filsafat. 

“Fiksi” menurut KBBI sebagai berikut



 “Fiction” menurut Merriam Webster sbb



“Fiksi” menurut asal kata sebagai berikut

Berasal dari bahasa Latin “fictio” yang memiliki akar kata “fingere”. Kalau diartikan, “fiksi” berarti : “membangun atau mengonstruksi”, “menemukan”, “membuat”, dan “mengreasi (kreasi)”.  Segala proses pembentukan fiksi tak lepas dari imajinasi. Misalnya, seseorang yang melihat burung terbang dan berandai-andai bisa terbang.

Apakah pernyataan Rocky ini baru ?, tidak juga, karena akun @GunRomli bahkan sudah posting cuitan sebagai mana kutipan dibawah per 22/October/2010, dan sampai sekarang sepertinya belum terdengar ada laporan hukum terkait cuitan tersebut.



Lantas apakah Rocky Gerung bisa disalahkan dengan kalimat beliau diatas ? saya pribadi berpendapat

  • Rocky bicara per definisi yang di sebutkan dalam awal kalimat di atas dengan menggunakan gaya kalimat kondisional, yakni “Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi....bla..bla”.
  • Imajinasi pembaca yang diaktifkan menurut Rocky Gerung adalah bagian Kitab Suci yang menceritakan misalnya mengenai surga dan neraka, juga mengenai masa depan yang masih memerlukan waktu untuk terjadi. 
  • Definisi yang digunakan lebih ke terminologi filsafat dan belum tentu pas dengan definisi ala KBBI. 
  • Rocky  berbicara dalam acara debat publik sebagai tamu undangan atau nara sumber. 
  • Tidak menyebutkan kitab suci mana yang dia maksud. 
  • Dengan niat untuk menjelaskan jangan menganggap kata “fiksi” itu pasti negatif, karena sejak pidato Prabowo soal ancaman 2030, makna kata “fiksi” di mata Rocky Gerung mengalami peyoratif (terhina). Padahal bagi Rocky Gerung kata “fiksi” itu positif dan sama sekali berbeda dengan kata “fiktif” 
  • Rocky Gerung sosok yang sering menggunakan satire dalam gaya bahasanya sehingga keseluruhan narasi yang disampaikan dalam forum ILC tersebut tidak bisa dimaknai dengan gaya ahli hukum secara verbatim (kata per kata) . 

Ibarat kita melakukan klasifikasi bahwa hanya ada tumbuhan dan hewan, dan dengan terpaksa mengelompokkan hewan ajaib berklorofil yang bereproduksi dengan melahirkan misalnya ke kelompok tumbuhan karena karakteristiknya lebih banyak mendekati tumbuhan ketimbang hewan. Atau jika cuma ada dua definisi makanan, yakni pedas dan tidak pedas lantas kita bingung sendiri mengelompokkan permen Nano-Nano ada di kelompok makanan yang mana. Bisa jadi definisi fiksi – non fiksinya lah yang terlalu miskin dan membuat Kitab Suci per definisi terpaksa di masukkan dalam kelompok per definisi yang ada.

Lantas apa pendapat saya soal Kitab Suci, bagi saya Kitab Suci agama saya, jelas kalam Allah SWT, yang di dalamnya ada masa lalu yang sudah terjadi, ada petunjuk bagaimana menjalani kehidupan agar selamat sampai tujuan dan ada narasi masa depan yang pasti terjadi. Dan lepas dari definisi fiksi – non fiksi diatas, saya meyakini Kitab Suci saya dengan seyakin-yakinnya.

Dalam acara ILC tersebut saya menilai, justru Akbar Faizal lah (juga Aria Bima dan Dwi Ria Latifa) yang mengalami kegagalan memahami narasi Rocky Gerung. Ibarat ahli hukum mempersoalkan satire dan imajinasinya puisi.  Anehnya, banyak yang mengait2kan narasi Rocky Gerung ini dengan kasus penistaan agama 27/ Sept/2016. Saya kira ini hal yang sama sekali berbeda karena kasus yang dijadikan sebagai referensi pembanding adalah sosok yang beragama A, pada acara kunjungan kerja sebagai pejabat ke Pulau Seribu, dan mempermasalahkan ayat-ayat kitab suci agama B (juga ulama agama B), dalam forum budidaya Ikan Kerapu.

Akhir kata, mari kita amati akan berakhir seperti apa kasus ini kelak, tidak memenuhi syarat secara hukum, atau akan berakhir seperti kasus penistaan agama 27/Sept/2016. Secara pribadi saya menilai Rocky Gerung setidaknya berhasil memicu tumbuhnya kekritisan dalam memaknai konstelasi politik masa kini dan membuat filsafat menjadi topik yang seksi. 





Tuesday, April 17, 2018

Kegagalan NFC (Near Field Communication) saat top-up eMoney Mandiri.


Sekitar 3 tahun lalu, saya masih belum merasa perlu menggunakan e-Toll, namun karena istri sudah memiliki kartu yang dia dapat dari Indomaret, akhirnya saya coba juga menggunakan e-Toll, apalagi pada saat itu setiap Senin gerbang tol (GT) KM 28 dan KM 2 arah Jakarta pada jam-jam tertentu cukup ramai, dan sebaliknya GT dengan e-Toll lebih lengang. Begitu juga saat Jumat saya pulang ke Bandung, GT Buah Batu dengan e-Toll memiliki antrian yang jauh lebih pendek.

Apa kah sebenarnya kartu e-Toll itu ? salah satu istilah yang umum dipakai adalah e-wallet, dimana kartu ini berfungsi seakan-akan uang cash dan kita memindahkan sebagian tabungan kita ke dalam kartu. Karena resiko pemakaian yang cukup besar, umumnya saldo e-Toll ini dibatasi maksimal Rp. 1.000.000. 

Setelah regulasi baru dimana semua GT diwajibkan untuk menggunakan e-Toll, keistimewaan menggunakan GT dengan e-Toll ketimbang GT dengan cash, menjadi hilang, akibat semua pengguna tol kini menggunakan cara yang sama. Sekedar tambahan informasi, untuk mencegah resiko kartu jatuh karena papan sentuh yang kadang terlalu jauh, saya memilih untuk menggunakan tongkat tol (tongtol). Beberapa teman ada yang menggunakan perangkat khusus yang dipasang di dasboard (On Board Unit) dengan menggunakan baterai yang dapat dibeli seharga sekitar Rp. 500.000. 

Karena proses top up di Indomaretnya kadang tidak praktis dan sering2 petugasnya mengatakan tidak ada koneksi, saya putuskan beli e-Toll (sekaligus e-money) keluaran Bank Mandiri.  e-Toll (e-money) Mandiri memang memiliki kemudahan untuk top up di ATM Mandiri. Karena ingin lebih praktis-sekalian saya install aplikasi online Mandiri via Android, dan langsung isi e-Toll (e-money) via aplikasi e-money yang bisa di download dari  Play Store. Syaratnya, di HP anda harus ada fungsi NFC, alias fungsi untuk membaca dan menulis kartu magnetik.

Bagaimana urutan prosedurnya
  1. Pastikan anda memiliki e-Toll (e-money) dalam kondisi baik.
  2. Pastikan anda sudah memilki aplikasi online Mandiri di HP anda yang di download dari  Play Store.
  3. Pastikan HP anda memiliki fungsi NFC.
  4. Pastikan anda memiliki saldo di tabungan sesuai nilai top up e -Toll (e-money) yang anda rencanakan.  
  5. Setelah memasukkan user id dan password,  masuk ke menu e-money.
  6. Masuk ke menu Lihat / Perbarui Saldo (jika ingin meliat saldo e-money terakhir).
  7. Masuk ke menu isi ulang e-money.
  8. Dekatkan kartu e-Toll (e-money) tujuan sampai menempel di belakang HP anda, dan terkoneksi dengan sistem. Biasanya HP akan mengeluarkan bunyi khusus tanda antara karu e-Toll (e-money) sudah terkoneksi dengan HP.
  9. Masukkan jumlah topup yang diinginkan, lalu lanjut
  10. Akan ada konfirmasi berhasil.
  11. Kembali ke point 6 jika ingin melihat saldo e-Money, jika saldo belum berubah, klik proses perbarui saldo.
Untuk proses top up dengan ATM sejauh ini saya tidak ada masalah sama sekali, sayangnya ada beberapa catatan pemakaian NFC untuk topup e-Toll (e-money) selama 2 tahun terakhir

  1. 1x gagal mengisi kartu e-Toll (e-money) namun direcovery dengan transaksi koreksi. Aplikasi Mandiri sepertinya bisa melakukan transaksi koreksi dan saldo saya kembali seperti semula meski sempat dipotong. Sedangkan e-Toll (e-money) tetap tidak terisi.
  2. 1x gagal mengisi kartu e-Toll (e-money) namun akhirnya setelah jalankan fungsi perbarui saldo di lokasi yang sinyal providernya bagus, transaksi yang pending dapat dieksekusi ulang, dan nilai top up pun dapat diterima kartu e-Toll (e-money) dengan baik.
  3. 1x gagal mengisi kartu, saldo tabungan sudah berkurang namun e-Toll tak kunjung terisi meski sudah eksekusi ulang transaksi perbarui saldo, yang lalu saya bawa ke customer services Mandiri. Petugas minta KTP, ATM dan kartu e-Toll( e-money) lalu mencetak 8 transaksi e-Toll (e-money) terakhir, dan lantas dibandingkan dengan tanggal pengisian saya terakhir di buku tabungan, dan benar, top up terakhir tidak terekam. Untung saja, saya langsung laporan, karena transaksi di e-Toll (e-money) yang bisa tercetak cuma 8 transaksi terakhir. Lalu untuk tes kartu e-Toll (e-money) saya diminta petugas mengisi Rp. 1 di mesin ATM, karena lancar,  kesimpulan, masalahnya bukan pada kartu. Petugas meminta saya mengisi dua lembar dokumen klaim dan menginformasikan saya menunggu 14 hari kerja untuk proses pengembalian uang. Penasaran saya sempat bertanya, apakah kasus ini sering terjadi, sambil tersenyum petugas customer services mengiyakan pertanyaan saya. 




Kenapa NFC lebih rentan ?, menurut saya karena aplikasi ini memerlukan koneksi yang stabil. Di lain pihak proses pemotongan saldo dan update e-Toll diperlakukan seakan akan dua aktivitas terpisah. Sehingga proses close confirmation dalam satu siklus transaksi kadang tidak tereksekusi secara lengkap. Istilah telematika  yang umum untuk situasi ini adalah handshaking, dimana kedua pihak yang melakukan transaksi harus sama-sama memiliki flag dengan status yang sama. 

Jadi apa solusinya ? jika di lokasi anda sinyal provider cukup bagus, silahkan tetap menggunakan NFC, namun jika tidak, biasakan mengecek saldo e-Toll (e-money) sebelum digunakan di jalan tol, dan langsung eksekusi di ATM yang selama ini ini anda gunakan tanpa masalah. Apakah ATM sudah aman ? tidak juga, artikel ini direspon beberapa teman yang mengatakan apabila yang digunakan ATM jenis lama dengan keterbatasan koneksi, hal yang sama masih bisa terjadi. 

Catatan, kita juga bisa mendaftarkan e-Toll (e-money) yang kita gunakan dengan rekening kita, sehingga kita tetap bisa cek transaksi yang terjadi meski kartu e-Toll (e-money) nya sedang digunakan pihak lain.   


Thursday, April 12, 2018

Stand By Me (1986) - Rob Reiner


When the night has come
And the land is dark
And the moon is the only light we'll see
No I won't be afraid, no I won't be afraid

Just as long as you stand, stand by me

Ben E. King 

Film yang diangkat dari buku Stephen King berikutnya yang saya eksplorasi adalah Stand By Me, namun sebenarnya judul bukunya adalah The Body (1982). Genre film ini menggunakan istilah “coming of age” alias peralihan masa kanak-kanak menjelang remaja namun versi remaja pria. Jika anda tertarik menonton dengan genre yang sama namun diperankan remaja wanita maka Now and Then (1995) adalah film yang pas.

Film ini bukan film horor, ini justru drama layaknya The Shawsank Redemption, jadi kekuatan film ini ada di akting para pemerannya, suasana pedesaan, dan petualangan empat remaja pria yang pergi jauh dari rumah, melintasi bukit, padang rumput, jembatan kereta api, menyusuri sungai dan berkemah di hutan. Agak disayangkan kandidat sutradara awalnya alias Andrian Lyne mengundurkan diri dari posisi sutradara dan lebih memilih menyutradarai 9 ½ Weeks. 

Harus diakui saya terpesona menonton akting cemerlang River Phoenix (memerankan Chris Chambers) , lalu diikuti sedikit dibawahnya Will Wheaton (memerankan Gordie) dan Jerry O’Connell (memerankan Vern). Sementara akting Corey Feldman (Ted) sendiri menurut saya agak dibawah ketiganya. Dalam film ini muncul juga Kiefer Sutherland muda dan John Cussack muda, yang terlihat sudah memiliki kemampuan akting yang khusus.  Namun film ini beralur agak lambat, dan jangan berharap akan ada kejutan, secara umum mengalir begitu saja. 



Mereka berempat memerankan empat sahabat yang tinggal di sebuah kota kecil di Oregon, dengan penduduk beberapa ratus orang. Keempatnya sering berkumpul di rumah pohon untuk bermain kartu dan juga merokok, ciri khas anak anak berangkat remaja yang mulai sedikit nakal. Lalu suatu hari memutuskan bertualang untuk mencari jasad salah seorang anak di kota tersebut yang hilang beberapa hari lalu.  Dalam perjalanan, karakter Chris yang terlihat paling nakal namun ternyata berjiwa pemimpin, Gordie yang pemurung sering bermimpi buruk, Ted yang agak sedikit “gila” dan Vern yang lucu dan ramah, membuat dialog mengalir secara lancar.  

Dalam petualangan itu juga, persahabatan mereka terlihat semakin mengental, jenis persahabatan yang biasanya akan terus terkenang sampai kelak dewasa. Plus dengan setting kota kecil dengan alam pedesaan, terlihat sangat natural layaknya film Little House in The Prairie namun dengan gaya petualangan ala Tom Sawyer karya Mark Twain, membuat penonton seperti dilontarkan ke indahnya kenangan masa lalu. Adegan yang menyentuh, adalah adegan awal saat Gordi dewasa membaca berita bahwa sahabat masa kecilnya yang berprofesi sebagai pengacara alias Chris mati ditikam ketika berusaha melerai perkelahian di sebuah restoran. Lalu adegan berlanjut dengan flashback, dan penonton pun terbuai dengan setting 1959 an. 

Tak aneh setelah sebelumnya meraih penghargaan dalam film Explorers (1985) dan penghargaan berikutnya dalam film ini, maka River Phoenix sempat diramalkan menjadi bintang besar dan dia buktikan dengan total 24 film dan acara televisi, dimana setidaknya 2x dinominasikan dalam Academy Award, yakni film Running on Empty (1988) dan My Own Private Idaho (1991). Pada 1989,  River Phoenix yang juga abangnya Joaquin Phoenix (pemeran Commodus dalam Gladiator dan pemeran Merril Hess dalam Signs) sempat memerankan Indiana Jones muda dalam episode Indiana Jones and Last Crusade. 31 Oktober 1993 dalam usia 23 tahun , River Phoenix yang sering dijuluki sebagai “James Dean” baru sama seperti peran di Stand By Me, meninggal secara tragis karena overdosis morfin dan kokain.







Friday, April 06, 2018

Pet Sematary (1989) – Mary Lambert

“Death is a mystery, 
and burial is a secret.” 

Stephen King, Pet Sematary


Masih dalam rangka eksplorasi karya film yang terinspirasi dari buku Stephen King, setelah IT (versi remake), The Shawshank Redemption, The Mist, The Shinning, dan Carrie kini giliran Pet Sematary. Ternyata anti klimaks, karena buat saya, film ini adalah karya yang paling tidak menarik ketimbang film2 sebelumnya.

Ada banyak kekurangan dalam film ini, pencahayaannya terlalu terang (tidak suram seperti layaknya film horor), lampu ala konser musik rock di pemakaman Indian Micmac, kesan boneka / tidak natural dari tokoh Gage yang muncul kembali dari kematian, efek spesial mata kucing yang teralalu bercahaya, efek spesial kabut yang terkonsentrasi pada jalan setapak menuju makam juga terlihat tidak natural, akting pemeran Ellie sebagai kakak perempuan Gage terasa kurang pas, dan hampir semua akting pas-pasan kecuali pemeran Jud Crandall (Fred Gwynne).

Judul film ini agak aneh, bukan Pet Cemetery melainkan Pet Sematary mengikuti kesalahan papan nama yang terletak di gerbang makam. Yakni makam hewan-hewan yang ditabrak truk yang sering melewati jalan dimana tokoh utama Lois Creed (seorang dokter dari Chicago) dan istrinya Rachel tinggal.



Ceritanya sendiri bermula dari pengalaman gaib keluarga kecil Lois Creed dan istrnya Rachel dengan dua anak dan seekor kucing bernama Church, yang pindah dari Chicago ke sebuah lokasi terpencil dengan rumah kayu tua di pinggir jalan yang biasa dilewati kendaraan besar dengan kecepatan tinggi. Bagian belakang rumah ini memiliki pemandangan danau yang indah yang sayangnya tidak dieksplorasi oleh sutradara, sementara di bagian depan terbentang  jalan raya dan di seberang jalan terdapat jalan setapak ke Pet Sematary yang dibagian puncaknya terletak pemakaman Indian Micmac.

Pemakaman Indian Micmac ini dikisahkan memiliki kemampuan menghidupkan sosok yang mati untuk setiap jenazah yang dikuburkan, namun belakangan sosok yang kembali hidup ini ternyata sama sekali berbeda dengan yang sebelumnya mengalami kematian. Tema ini mengingatkan saya akan cerita The Monkey's Paw (cakar monyet) karya William W. Jacobs yang versi terjemahannya sering menjadi cerita favorit saat keluarga terpaksa berkumpul jika aliran listrik mati puluhan tahun lalu.

Darimana Stephen King mendapatkan ide mengenai buku ini ? Tahun 1978 beliau beliau kembali ke almamaternya untuk mengajar selama beberapa tahun. Saat itu Stephen King dan keluarga  menyewa sebuah rumah disamping jalan raya yang cukup sibuk. Situasi ini mengakibatkan cukup banyak hewan peliharaan di sekitar yang celaka dan dibuatkan pemakamannya oleh anak-anak pemilik hewan tersebut. Juga termasuk Smucky kucing peliharaan Naomi, putri Stephen King.

Akhir kata, tak adanya  aktor/aktris dalam film ini yang benar-benar menonjol kecuali pemeran Jud Crandall, membuat alur cerita terkesan datar dan tidak memberikan kesan khusus. Padahal adegan awal ketika kamera bergerak lambat dari nisan ke nisan di pemakaman hewan sudah terasa mencekam dan menjanjikan. Namun akhirnya bahkan sampai ke pemeran kucing alias Church pun terlihat janggal.
  








Tuesday, April 03, 2018

Carrie (1976) – Brian De Palma


When you get smarter 
you don't stop pulling the wings off flies, 
you just think of better reasons for doing it.

Stephen King


Kenapa saya meluangkan waktu menikmati film ini, ya karena saya masih dalam proses menikmati karya-karya Stephen King yang dipicu oleh remake film IT, yang saya lanjutkan dengan The Shawsank Redemption,  The Mist dan The Shining. Sebenarnya sudah ada versi baru yang dibintangi remaja idola anak-anak masa kini alias Chloe Moretz dan aktris berkarakter Julianne Moore. Namun saya memutuskan untuk menulis review versi klasik yang dibuat tahun 1976.

Secara komersil film ini meraih sukses di pasaran dengan menghasilkan 33,8 Juta USD, hanya dengan anggaran 1,8 Juta USD alias nyaris 19x lipatnya.   Tak aneh kesuksesan ini membuat munculnya versi remake di 2013 yang menghabiskan anggaran 30 Juta USD namun hanya menghasilkan 78 Juta USD alias 2,6x nya saja.



Secara efek spesial, tak ada yang istimewa dari film ini, apalagi sudah berselang  42 tahun dibandingkan saat ini, dimana efek spesial sudah sangat berkembang berkat penerapan CGI (Computer Generated Imagery), namun secara akting menurut saya ada paling tidak 3 aktor dan aktris yang bermain secara gemilang yakni

  • Sissy Spacek sebagai Carrie White (gadis korban bully yang memilki kemampuan telekinesis)
  • Piper Laurie sebagai Margareth White (Ibu Carrie yang terobsesi dengan agama, dan menganggap dirinya paling suci sementara orang lain penuh dengan dosa)
  • William Katt sebagai Tommy Ross (teman dekat Sue Snell yang ingin membahagiakan Carrie White sekaligus menyenangkan hati Sue Snell)


Dan 3 pemeran lain yang tak kalah penting yakni

  • Nancy Allen sebagai Chris Hargensen (musuh Carrie yang terus menerus mencari cara untuk menghancurkan Carrie)
  • Amy Irving sebagai Sue Snell (gadis yang ikut serta membully Carrie namun kemudian menyesal)
  • Betty Buckley sebagai Miss Collins (guru Carrie yang tegas namun bijaksana)

Apakah ini film mengenai hantu ?, bukan, ini cuma kestimewaaan seorang gadis yang diberkahi kemampuan telekinesis (kemampuan menggerakkan benda2 di sekitarnya tanpa perlu menyentuh). Ceritanya sendiri mengenai bully yang ternyata terjadi juga di era 1970 an, dimana Carrie gadis yang hidup sederhana bersama ibunya yang agak fanatik beragama, harus menghadapi tekanan berat di sekolah, karena ejekan teman-temannya. Sampai dengan puncaknya Carrie dijebak untuk dipermalukan dalam Prom Night (acara terakhir pelepasan siswa kelas terakhir). Akibat bully berlebihan, kemampuan telekinesis ini akhirnya lepas kendali dan mengakibatkan timbulnya korban. 

Akhir kata, bagi saya menikmati film ini cukup dengan mengamati dialog dan akting aktor dan aktris, khususnya Sissy Spacek (peraih Academy Award tahun 1980), Piper Laurie (peraih 3x nominasi Academy Award 1961, 1976, 1986) dan William Katt (pernah bersaing dengan Mark Hamill untuk peran Luke Skywalker dalam Star Wars). Hal menarik lainnya, sepertinya ini merupakan 1 dari 3 film awal yang akhirnya mengantar John Travolta meraih sukses di Saturday Night Fever (1977) dan lanjut ke Grease (1978), dua film klasik yang sangat sukses di masanya.



Monday, April 02, 2018

Ready Player One (2018) – Steven Spielberg

“I created the OASIS because I never felt at home in the real world. I didn't know how to connect with the people there. I was afraid, for all of my life, right up until I knew it was ending. That was when I realized, as terrifying and painful as reality can be, it's also the only place where you can find true happiness. Because reality is real.” 

― Ernest Cline, Ready Player One




Kebetulan karena semua anggota keluarga sudah cukup lama tak jalan bersama, Si Bungsu pada akhir minggu sekaligus akhir bulan Maret 2018, mengusulkan untuk menonton Shape of Water sekaligus acara makan keluarga di luar rumah. Sayangnya kami tak kebagian tiket, dan pada menit-menit terakhir via aplikasi mtix akhirnya kami mengubah skenario untuk menonton Ready Player One karya Spielberg terakhir, di Festival Citylink. 

Ketika akhirnya menonton, saya sama sekali tak ada harapan khusus, karena memang tak tahu juga ini film tentang apa sebenarnya. Ketika akhirnya disambut dengan intro Jump dari Van Halen, ingatan saya melayang langsung ke tahun 80 an, dan adegan demi adegan berganti langsung membuat saya ingat pesan berantai mengenai era 80 an, yang menyebar dari satu WAG ke WAG lain secara viral. Pada pesan berantai tersebut kita diingatkan musik, budaya, film, artis yang “beken” dimasa itu. Lalu semua ikon budaya era tersebut dikemas oleh Ernest Cline dalam setting tahun 2045 dalam sebuah buku yang ditulis selama 10 tahun, dan menjadi pemicu lahirnya film ini. Namun kenapa justru budaya 1980 an menghiasi kehidupan 2045, tak dijelaskan sama sekali, namanya juga film fantasi, jadi ya sudah nikmati saja. 

Ceritanya berawal dari sosok pemuda bernama Wade Watt, seorang pemuda yang tinggal di pemukiman kumuh Columbia, Ohio. Kehidupan dimasa itu sudah campur baur antara maya dan nyata, yang mana dunia maya diwakili dunia virtual bernama OASIS yang dibuat oleh sotftware engineer bernama James Halliday (diperankan dengan sangat baik oleh Mark Rylance).  Sayang beliau lalu meninggal, dengan meninggalkan 3 teka teki yang masing-masing diwakili sebuah kunci, yang mana siapapun yang sanggup memecahkan teka-teki tersebut dan mendapatkan Easter Eggs, maka akan berhak menjadi pengelola sekaligus pemilik OASIS. 




Tokoh antagonis dalam film ini adalah Nolan Sorrento (diperankan dengan cermat oleh Ben Mendehlson dalam bentuk avatar yang sepintas mirip dengan Clark Kent alias samaran Superman). Nolan memiliki IOI, yakni perusahaan berbasis teknologi yang juga berambisi besar menguasai OASIS, namun selain memiliki kekuasaan di ranah maya, IOI pun memiliki “pasukan” yang dilengkapi dengan senjata dan kumpulan drone untuk memata-matai siapapun yang mereka anggap sebagai musuh. 

Wade dan beberapa avatar lainnya akhirnya memutuskan untuk bertarung, di ranah maya dan juga nyata dalam upaya mengambil alih OASIS yang memang dibuat oleh idola Wade sejak kecil, yakni Halliday. Tokoh yang membantu Wade antara lain Art3mis sosok avatar wanita pejuang, Aech sosok avatar ala robot,  Daito sosok avatar petarung ala Jepang. 

Bagi saya dan Si Sulung, film ini jadi bertambah menarik karena kebetulan kami baru saja menonton The Shining (yang dikenali sebagai karya film yang tak disukai penulis bukunya aka Stephen King) , yang ternyata muncul juga dalam film ini.  Tidak tanggung-tanggung, Ready Player One bahkan menghadirkan Overlook Hotel, mesin tik Jack Torrance, adegan di kamar 237 dan juga adegan mendebarkan di kegelapan labirin di halaman hotel.  Bersama sekitar 100 hal yang terinspirasi dari  dunia 80 an (juga 90 an) mulai dari misalnya; 

Musik yang diwakili Van Halen (dengan Jump), Twisted Sister (dengan We’re Gonna Take It), Michael Jackson, Depeche Mode, Hall and Oates dan bahkan Rush (meski cuma diwakili poster 2112). Lalu ikon dari film lain seperti  mobil De Lorean dalam Back To The Future, Sepeda Motor Tron,  Iron Giant, Gundam, Batman, Freddy Krueger, T Rex, King Kong, Mechagodzilla,  dan bahkan Chucky. Tak ketinggalan budaya 80 an seperti game Atari dan juga terminologi Easter Eggs, pesan rahasia  yang konon diciptakan Warren Robinett dalam game Adventure, sebagai kejutan.  Lalu semuanya digabungkan dengan skenario ala The Matrix yang mengombinasikan antara nyata dan maya. 

Bagi yang lahir dan  masa remajanya melewati 70, 80 dan 90 an, saya kira Ready Player One menjadi film yang sangat menghibur, namun mungkin tidak mudah bagi generasi 2000 an menikmati gado-aado kolaborasi Cline dan Spielberg ini, meski berbeda dengan Matrix, maya dan nyata sangat mudah dibedakan dalam Ready Player One, karena dunia nyata dimainkan oleh Avatar. Seorang sahabat bahkan sampai menganggap film ini merupakan karya terbaik Spielberg, meski saya sendiri juga menyukai Empire of The Sun, Lost World, Indiana Jones, Back To The Future, AI atau yang lebih serius seperti Saving Private Ryan. 

Selain Mark Rylance sebagai Halliday, dan Ben Mendehlson sebagai Nolan Sorrento, menurut saya Olivia Cooke juga pas sekali memerankan Art3mis, tak lupa T.J Miller sebagai i-R0k (konsultan bayaran terkait senjata dan item dunia sihir yang disewa IOI), dan tentu saja Simon Pegg yang memerankan The Curator (mitra Halliday saat membangun OASIS namun lalu berpisah). Sebaliknya bagi saya Tye Sheridan sebagai Wade justru bermain ala kadarnya.  Akhir kata, bagi saya Ready Player One benar-benar sangat menghibur dan menjadi jembatan bagi generasi sekarang untuk mengenali budaya di era 80 an.