Wednesday, January 23, 2019

Jalan-jalan ke Gunung Lembu Part #1 dari #5 : Persiapan Menuju Kawasan Gunung Purwakarta.


Mendaki gunung ? sejujurnya saya dan istri bukanlah pendaki gunung, kami cuma suka suasananya dan juga pemandangan spektakuler yang menunggu di puncak. Sejauh ini kami cuma pernah mendaki Gunung Ijen, Gunung Bromo, Gunung Kelimutu, perbukitan di NTT seperti Pulau Padar, Pulau Rinca dan Gili Lawa. Tak ada yang serius, berangkat dengan perlengkapan seadanya. Hanya ke Gunung Ijen yang sedikit serius, sarung tangan, masker, jaket, sepatu outdoor dan biskuit serta minuman. 

Selama ini kalau ke Purwakarta yang teringat selalu stasiun Kereta Api antik dengan bangkai bangkai gerbong yang disusun bertumpuk, Air Mancur Sri Baduga dengan segala atraksinya, kuliner Sate Maranggi Hj Yetty di Cibungur, kuliner Sate Haji Anwar,  lalu kolam Giri Tirta Kahuripan di ketinggian serta Waduk Jatiluhur dengan wisata perahu dan kuliner di tengah Danau. 

Pernah mendengar sekilas mengenai tiga gunung di Purwakarta, yakni Parang (963 m), Bongkok (975 m) dan Lembu (792 m). Namun tak mendapatkan informasi yang jelas mengenai peta, guide, tingkat kesulitan, lama pendakian dan perlengkapan yang diperlukan. Sampai suatu saat, sahabat juga mantan rekan kerja di Indosat Group, posting fotonya sedang mendaki menggunakan Ferrata (tangga besi) di kawasan Gunung Parang. Saya langsung kontak sahabat tersebut dan mendapatkan nomor guide sekaligus pemilik camp Badega Gunung Parang (badega menurut salah seorang pemandu berarti penjaga). 




Saya langsung kontak beliau alias Kang Baban yang ternyata penduduk setempat namun juga ternyata alumni akuntansi Universitas Padjadjaran. Saya mengutarakan perlu tempat menginap, guide di sekitar lokasi untuk keliling di kaki ketiga gunung serta mengunjungi Desa Sajuta Batu, lalu mungkin mendaki Gunung Lembu, untuk itinerary 1 malam dan 2 hari. Kang Baban langsung mengirim foto2 pondok di area Badega Gunung Parang. Namun saat melihat lokasi penginapan yang ala kadarnya, Si Bungsu sepertinya kurang tertarik, jadi kami memutuskan menginap di hotel sekitar Purwakarta saja, meski perlu waktru sekitar 1 jam ke lokasi pegunungan. 

Menjelang deadline, Kang Baban, belum juga mengirim itinerary yang kami maksud, dan menyampaikan bahwa kalau ke Gunung Lembu, beliau tidak bisa menyediakan fasilitas yang kami perlukan, karena masing-masing lokasi sudah ada pengelolanya. Lagipula Kang Baban memang hanya fokus pada paket pendakian di Gunung Parang saja. Hemm, akhirnya dengan berat hati kami memutuskan untuk go show saja, dengan informasi seadanya. 




Eh...mendadak Si Sulung memutuskan untuk tidak ikut karena sedang ada pekerjaan, lalu menyusul Si Bungsu yang akhirnya juga  tak jadi ikut karena harus persiapan ujian. Karena sepatu outdoor saya ada di Jakarta, saya memutuskan untuk membeli sepasang Adidas seri Solarboost dengan sol continental alias salah satu produsen ban terkemuka di dunia, kebetulan sekali sedang ada pasket discount 30% di Paris Van Java – Sukajadi. 

Dimana Gunung Lembu ?, kalau dari arah Bandung atau Jakarta dengan rute tol anda bisa keluar di Gerbang Jatiluhur. Dari sini bisa menempuh jalan lewat Pasar Sukatani yang jalannya sempit, curam dan di beberapa ruas hanya bisa dilewati satu kendaraan. Atau alternatif lain melewati Plered, yang jalannya lebih besar namun kondisinya cukup rusak. Sedemikian rusaknya, sehingga ruas sepanjang 12 km, harus ditempuh dalam waktu 1 jam. 

Selanjutnya ke link https://hipohan.blogspot.com/2019/01/jalan-jalan-ke-gunung-lembu-part-2-dari.html

Jalan-jalan ke Gunung Lembu Part #2 dari #5 : Mengelilingi Kaki Gunung Parang dan Bongkok dengan Ojek


Kami jalan dari Bandung sekitar jam 12:00, langsung mengkuti rute yang ditunjukkan Googlemaps, dengan destinasi Badega Gunung Parang.  keluar di Gerbang Jatiluhur sekitar jam 13:00, belok kanan dan saat memasuki gerbang Pasar Sukatani di sisi kanan, kami istirahat makan siang sambil bertanya pada penduduk setempat. Setelah menikmati seporsi sop, dua bungkus nasi dan sekitar 15 tusuk sate, dengan hanya membayar sekitar Rp. 51.000 kami lanjut menanjak.










Rencana awal sederhana sekali, cukup jalan-jalan di sekitar Desa Sajuta Batu alias desa yang berada di kaki Gunung Parang, lalu kalau memungkinkan mendaki Gunung Lembu. Sementara mendaki kedua gunung lainnya sepertinya harus kami lupakan, karena istri agak takut ketinggian. 

Sepanjang jalan banyak areal persawahan di sini yang bertingkat-tingkat, dan disusun asri sesuai dengan kontur perbukitan, pohon kelapa yang melambai-lambai,  sekaligus mengingatkan saya akan lukisan Walter Spies akan indahnya pedesaan di Bali. Sesekali saya berhenti dan mengambil gambar dengan Canon M50 dan lensa 11-22. 




Jalan semakin sulit, ada lebih dari satu belokan patah dan tanjakan yang tidak bisa kita lihat ujungnya sehingga beresiko terguling, dan puncaknya ketika harus papasan dengan truk, ban belakang sudah keluar dari jalan dan nyaris tergelincir di pinggir lembah.  Akhirnya setelah menjelang jam 15:00 sesuai dengan petunjuk peta, kami sampai di sebuah lembah sepi dengan banyak pepohonan. Setelah memarkir kendaraan, hanya nampak seorang tua dengan mata yang sebelah buta, serta membawa parang besar mendekati kami.  Di bagian depan lembah, terlihat persawahan dan kambing-kambing yang sedang menikmati rerumputan,  dan nun jauh di belakangnya terbentang dengan cantiknya Danau Jatiluhur. 





Istri berbicara dengan orang tua tersebut, yang ternyata sangat ramah dan beliau menawarkan menjadi pemandu kami, namun melihat jalannya yang sangat perlahan dan usianya yang cukup sepuh, kami akhirnya hanya meminta tolong barangkali bisa dicarikan ojek setempat untuk melihat2 Desa Sajuta Batu. Pak Mochtar demikian nama beliau akhirnya berjalan meninggalkan lembah, dan tak lama muncul bersama dua anak muda dengan sepeda motor masing-masing. Kedua pemuda tersebut terlihat bersih, sopan dan ramah, Ibar dan Sopyan demikian nama mereka yang langsung bersedia mengantar kami jalan2 di sekitar Desa Sajuta Batu. Sopyan cerita dia bekerja di pabrik helm KYT di Cikarang, namun terkena gelombang PHK dua bulan lalu. 

Selanjutnya ke link https://hipohan.blogspot.com/2019/01/jalan-jalan-ke-gunung-lembu-part-3-dari.html

Jalan-jalan ke Gunung Lembu Part #3 dari #5 : Jembatan Bambu Sasak Panyawangan


Bagaimana cara membedakan ketiga gunung ini ?, Gunung Lembu memiliki dua puncak  yang merupakan pundak lembu dan kepala lembu, bagian yang menurun di antara kedua puncak ini dianggap sebagai leher, dan memiliki vegetasi lumayan lebat termasuk hutan bambu. Gunung Bongkok dan Gunung Parang nyaris tidak memiliki vegetasi, dan khusus Gunung Parang puncaknya membulat ketimbang Gunung Bongkok. Gunung Bongkok dan Parang berdekatan sementara Gunung Lembu agak terpisah sendiri dan lebih dekat ke danau. 

Saat mengitari Gunung Parang, nampak sebuah hotel kapsul menggantung di ketinggian. Sofyan cerita, hotel kapsul yang ternyata masih 1 unit ini (meski penampakan yang beredar di sosmed lebih dari satu), kurang diminati, karena harganya yang cukup mahal. Lagipula tidak bisa hanya sekedar memiliki uang untuk menginap disini namun juga harus memiliki keberanian. 

Jalan yang ditempuh benar-benar asik, berkelok kelok dan mengitari gunung yang seakan-akan dipahat dari Batu, juga batu-batu besar yang sepertinya begitu saja dilemparkan dari langit dan mendarat seeenaknya di mana-mana. Kami menanjak terus melewati ladang, persawahan, turun naik, sampai akhirnya melewati portal bambu penduduk setempat. Sofyan menjelaskan bahwa kebanyakan profesi lelaki di pedesaan sini adalah sebagai tukang bangunan di kota-kota terdekat seperti Bekasi, Jakarta dan Bandung. Mungkin ini sebabnya rumah2 disini terlihat rapi dan relatif bagus untuk ukuran pedesaan. 

Dengan diawali satu konstruksi jembatan bambu, dibagian puncak nampaklah dua buah konstruksi jembatan bambu lain yang cukup panjang dan tinggi, ke arah bebatuan di bagian atas. Konstruksi pertama agak ke atas menempel di Gunung Bongkok, sedangkan konstruksi kedua melingkari sebagian kaki Gunung Parang. 






Kalau dilihat sepintas kita mengira jembatan ini adalah jalan untuk menuju gunung, sebenarnya tidak, rangkaian jembatan bambu ini hanya untuk memudahkan kita mendaki spot-spot menarik disekitar pegunungan. Kalau anda dapat memilih sudut yang pas, akan bisa dihasilkan foto-foto dengan kesan jembatan ini memang jalan menuju ke puncak. Namun hati-hati jika bobot anda lumayan, dibeberapa tempat potongan bambunya sudah mulai ada yang pecah. Untuk lingkungan luar, umur bambu hanya 2 tahun, sedangkan dalam kondisi tidak terpapar matahari dan hujan bisa mencapai 4 sd 10 tahun. 



Dari titik tertinggi terbentang Danau Jatiluhur lengkap dengan ratusan keramba ikannya terlihat di kejauhan.  Nampak seekor lutung di salah satu pucuk pohon tertinggi, berayun ayun ditiup angin. Hemm menarik juga lokasi ini, apalagi kalau mengetahui bahwa semua ini adalah swadaya masyarakat setempat yang dimotori tokoh setempat alias Pak Zainal, hanya dengan bahan ala kadarnya, bambu dan tali sabut kelapa, serta tekad yang kuat memajukan desanya. Lokasi ini juga lebih memungkinkan bagi keluarga dengan anak-anak yang masih kecil. Namun sebaiknya harus tetap memperhatikan faktor keamanan, jangan sampai enak dilihat namun berbahaya saat digunakan. 




Pak Zainal dan masyarakat desa sendiri berharap nantinya jembatan bambu ini akan saling sambung menyambung mengelilingi Gunung Parang dan memerlukan waktu satu jam untuk berjalan dari ujung ke ujung.  Dan mereka berkomitmen untuk menjaga dan merawat jembatan ini agar tetap aman bagi pengunjung. Tak aneh masyarakat disini sempat dipuji Bupati, karena dinilai mampu menjadi contoh dengan swadaya, sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. 

Sekitar jam 17:00 saya dan istri diskusi selanjutnya kemana, kembali ke Bandung sepertinya agak beresiko karena sudah menjelang malam, tapi kalau menginap, kami juga asing dengan daerah ini. Kami diskusi dengan Ibar dan Sofyan, eh ternyata mereka merupakan team Kang Baban, dan serta merta menawarkan menginap di salah satu pondok di kaki Gunung Parang. 

Selanjutnya ke link https://hipohan.blogspot.com/2019/01/jalan-jalan-ke-gunung-lembu-part-4-dari.html

Jalan-jalan ke Gunung Lembu Part #4 dari #5 : Badega Gunung Parang


Dari lokasi parkir di lembah kami berbelok ke kanan, mengikuti Ibar dan Sofyan menuju lokasi Kang Baban yang dapat dicapai dengan jarak 500 meter. Lokasi Kang Baban jika di Googlemaps bernama “Via Ferrata Gunung Parang Purwakarta” atau bisa juga dengan “Badega Gunung Parang”.  Belokan ke kawasan ini agak tajam dan curam, sepertinya bakal sulit ke lokasi ini dengan menggunakan sedan atau MPV dengan ground clearance rendah. 

Kawasannya asri sekali, dilengkapi dengan berbagai bangunan yang tersebar di lembah, termasuk pondok penginapan, warung makanan, aula/pendopo dan tangga2 batu, serta spot pemotretan lengkap dengan balkon bambu dan ayunan serta rumah pohon di ketinggian. Kawasan ini dikelola mantan kepala desa yang juga ayahnya Kang Baban, anak bungsu dari lima bersaudara, dengan yang paling besar pria, wanita, lalu Kang Dadan, Kang Wawan dan Kang Baban. Mendengar nama ketiga bersaudara ini, sepertinya pembaca bisa menebak sendiri nama anak pertama dan kedua he he. 




Saya duduk menikmati minuman teh dengan ditemani ayah Kang Baban, pria kelahiran 1952 yang sempat dua kali menjadi Kepala Desa. Beliau sosok yang senang sekali bercerita berbagai hal sambil menemani tamu. Beliau mengatakan rute ini baru dimulai di 2016, Kang Wawan mendesain lokasinya, Kang Dadan fokus ke warung dan Kang Baban ke marketing serta guide buat pendakiannya. Beliau juga cerita soal kerjasama dengan Perhutani dalam pengelolaan lahan tersebut dan adat istiadat masyarakat setempat terkait pengelolaan tanah. 



Setelah shalat di mushalla di samping warung yang di kelola Kang Dadan, kami naik tangga batu keatas menuju pondok kayu yang lantai papan bolong2 yang berderak serta berayun setiap dilewati. Dinding terbuat dari anyaman bambu, dengan kamar mandi bernuansa batu serta gentong air dan gayung.  

Sambil menunggu malam tiba, kami naik lebih keatas berdua duduk dipinggir balkon bambu menatap bulan yang menyinari Danau Jatiluhur. Di permukaan danau lampu2 kecil ratusan keramba ikan bergoyang dipermukaan air dan di kejauhan nampak dinding bendungan dengan cahaya yang memantul di permukaan air. Bulan bersinar cerah, dan membuat suasana semakin terasa seperti di alam mimpi. 




Masjid indah berwarna putih megah, di kejauhan mengumandangkan adzan sayup-sayup sahdu bergema disekeliling kaki gunung. Ajaib rasanya pergi ketempat yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari Bandung namun suasananya benar-benar sangat berbeda. Jangkrik berbunyi bersahut2an dan suara tokek bergantian terdengar. 

Kami lalu langsung turun ke warung Kang Dadan di bagian bawah, dan telah disiapkan panas-panas tahu, tempe, ayam goreng, sayur asem masing-masing dua porsi, sebakul nasi yang mengepul dan sambal dadakan yang pedasnya menggigit serta seekor ikan asin renyah dan tentu saja sepapan pete goreng. Wah benar-benar sedap, tergoda untuk menambah nasi, namun kerlingan tajam istri menyurutkan niat saya he he. 

Kang Baban, menyanggupi menyiapkan guide yang bernama Kang Jeje keesokan paginya sehabis subuh, sekitar jam 05:00, sementara istri Kang Dadan menyiapkan 3 bungkus sarapan nasi, telor mata sapi, ayam dan tempe, untuk dimakan di puncak. Bagi saya dan istri,  keluarga besar Kang Baban ini terkesan sangat familiar, kedatangan kami kesana tak ubahnya seperti pulang kampung ke keluarga sendiri. 

Selanjutya ke link https://hipohan.blogspot.com/2019/01/jalan-jalan-ke-gunung-lembu-part-5-dari.html

Jalan-jalan ke Gunung Lembu Part #5 dari #5 : Mendaki Gunung Lembu


Sebelum tidur, istri yang terbiasa mandi setiap hari, terdengar menjerit karena menemukan cacing berkepala besar dan pipih sedang merayap di tembok. Saya bergegas masuk kamar mandi, dan menyiram cacing ajaib tersebut, entah kemana kaburnya yang jelas setelah terlepas dari dinding tak terlihat lagi. Istri khawatir masuk ke gentong air, namun saya tepis kemungkinan tersebut (padahal dalam hati saya ragu juga he he).

Malamnya kami tidur dengan diiringi suara-suara ajaib ala hutan, sementara dari balkon kayu terlihat Danau Jatiluhur beristirahat dibawah sinar bulan. Lamat lamat terdengar sekelompok pria sedang bercakap-cakap dikejauhan namun suaranya menggaung dan dipantulkan oleh bebatuan di lembah.  Tak ada tempat tidur disini, hanya digelar beberap kasur keras dan bantal kapas serta selimut tipis. Nyamuk meski tidak banyak namun cukup menganggu, sekitar jam 03:00 pagi saya mendadak terbangun dan tak bisa tidur lagi. 

Daripada nanti kebelet di gunung saat mendaki, saya putuskan menuntaskan hajat di kamar mandi. Sayang sekali belum lama menikmati cuitan di Twitter mendadak terdengar suara tokek keras sekali, namun tak terlihat dimana posisinya. Tak nyaman,  saya langsung meninggalkan kamar mandi, dan setelah Adzan Subuh terdengar kami langsung shalat lalu segera bersiap dan turun kebawah.  Siangnya teryata terlihat posisi tokek persis diatas kepala dan menyamping dibalik kayu atap, pantesan suaranya keras benar. Bukan hanya tokek, terlihat juga dua buah sarang tawon di dalam pondok. 

Kang Dadan menawarkan untuk mengantar kami dengan pickup, sekitar 13 menit menempuh jalan rusak dalam kegelapan, pickup putih pun sampai di pos pendakian jam 05:20. Kang Jeje langsung menggiring kami menuju titik awal pendakian yang ditandai gapura kecil. Kenapa kami memilih Gunung  Lembu, karena diantara ketiga gunung ini, Lembu lah yang paling landai. Namun kami tertipu landai disini, maksudnya kalau dibandingkan Bongkok dan Parang yang memang nyaris vertikal, namun secara derajat tetap saja mendekati 40 derajat. Pantas saja di beberapa artikel internet disebut “Gunung Lembu Yang Menipu”. 

Waduh.. sekitar 40 menit pertama, istri saja sudah sekitar 7x berhenti kehabisan napas, meski gunung kecil tapi tanjakannya konsisten curam. Sebaliknya, saya disekitar leher Gunung Lembu, sempat merasakan pandangan tiba-tiba gelap, setelah berhenti sekitar 5 menit dan minum dua tiga teguk Pucuk Harum, kami kembali melanjutkan perjalanan. Mau berhenti disini buat ambil napas juga tidak nyaman, karena pasukan nyamuk hutan langsung beraksi.  

Rutenya setelah pos pemberangkatan, adalah Lokasi Saung Ceria (yang biasa dijadikan sebagai lokasi camping), lalu Pos 1, Pos 2, melewati Petilasan Mbah Jongrang Kalapitung, lalu Petilasan Mbah Raden Suryakencana, Pos 3 dan Batu Lembu. Menurut Kang Jeje, petilasan ini sebenarnya bukan makam, namun konfigurasi batunya memang disusun layaknya makam. Suasananya agak bikin merinding, karena kedua petilasan tersebut memang berada dilokasi yang agak remang-remang. Ada 3 pos yang kami lewati, pos pertama kami capai sekitar jam 6. Ditandai dengan warung suami istri paruh baya dan seekor monyet peliharaan. Beberapa kali istri melihat cacing berkepala pipih di rute yang kami tempuh, sepertinya ini memang cacing khas daerah sini. 



Kang Jeje sosok yang menyenangkan dan sabar, lelaki berusia 50 tahun dan berputra 3 orang ini cerita dia lah yang memasang tangga besi di jalur Via Ferrata pertama di Gunung Parang dengan menggunakan bor khusus Bosch. Ketika salah satu pengusaha Uluwatu di Bali tertarik memasang jalur yang sama, beliau juga yang ke Bali untuk memasang. Namun karena kekerasan batuannya dinilai kurang, jalur Via Ferrata di Bali akhirnya tidak mendapatkan izin dari Wanadri.  Kang Jeje cerita saat ini ada 5 jalur Via Ferrata di Purwakarta, 4 jalur di Gunung Parang dan 1 jalur di Gunung Bongkok. Namun jalur Bongkok ini terlalu tinggi, sehingga tidak banyak peminatnya.





Setelah menikmati tempe goreng dan foto2 disekitar konstruksi bambu yang memungkinkan kami melihat landscape Gunung Parang dan Gunung Bongkok sekaligus, kami lanjut ke Pos kedua, jalannya tetap terjal namun vegetasinya hutan bambu kini berubah menjadi hutan biasa sampai akhirnya di tiba pos kedua jam 06:39.  Kali ini kami mulai menuruni leher Gunung Lembu dan melewati rute yang dikiri dan kanannya langsung berhadapan dengan jurang dan bentangan danau di kejauhan. Di dua titik terjal disediakan tali yang memudahkan kita mendaki atau turun. 




Lalu naik lagi kearah kepala lembu melewati beberapa kemah remaja yang tengah camping. Pada jam 07:31, kurang lebih setelah mendaki selama 2 jam lebih sedikit kami akhirnya sampai di puncak Gunung Lembu, namun untuk mendapatkan pemandangan yang spektakuler harus menuju ke Batu Lembu, turun sedikit kebawah. Batu Lembu ini merupakan lahan miring dengan batu berwarna coklat kemerahan yang langsung berhadapan dengan pemandangan danau yang spektakuler dibawahnya. 




Setelah puas melihat-lihat, kami makan di warung sekaligus pos ketiga, dan beruntung setelah makan, pelataran Batu Lembu benar-benar sepi tanpa satupun pungunjung lain, sehingga kami bebas merekam keindahan ciptaanNya sepuas-puasnya. 




Setelah puas, kami kembali turun dari puncak, namun karena memang konturnya naik turun, jalan pulang tak kurang beratnya. Jalan yang turun menyebabkan lutut terasa nyeri sesampainya di pos kedua, sementara baju dan celana basah kuyup oleh keringat. Saya menikmati Kelapa Muda sambil memulihkan tenaga dan kami akhirnya sampai kembali di pos awal pendakian sekitar jam 10:09. 




Kang Dadan tak berapa lama tiba dan mengantar kami kembali ke Badega dengan pickupnya, untuk istirahat sebelum kami kembali ke Bandung lewat jalur yang berbeda yakni Plered. Hemm benar-benar pengalaman yang menyenangkan hanya dengan biaya 1/20 kunjungan kami ke Nusa Tenggara Timur, namun dengan pemandangan yang tak kalah indah. Sempat teringat Lembah Harau di Sumatera Barat, yang saya kira rasanya masih kalah indah dibandingkan pegunungan Purwakarta ini. 




Silahkan cek foto-foto lengkapnya di https://www.instagram.com/husnipohan/

Berapa biaya perjalanan kali ini ? 

Bensin dan tol : Rp. 250,000
Makan siang di pasar Sukatani : Rp 51.000
Ojek : Rp 100.000 (dan tips Rp. 100.000)
Tips ke Pak Mochtar: Rp. 100.000
Tips ke Kang Jeje : Rp. 100.000
Penginapan : Rp. 300.000
Makan 2x di Penginapan : Rp. 162.000
Antar Jemput ke Gunung Lembu : Rp, 70.000
Guide : Rp. 150.000
Makan siang di Plered : Rp. 55.000
Biaya masuk Sasak Panyawangan : Rp. 24.000
Parkir : RP. 10.000

Selayaknya naik turunnya perjalanan hidup, nikmatilah selangkah demi selangkah perjalanan mendaki tersebut, kenali diri sendiri dengan mengenali alam sekitar. Nikmati suara kicauan burung, desingan jangkrik, semilir angin, bisikan daun bambu nan tertiup angin, bahkan juga, desingan nyamuk yang siap menyerbu manakala kita berhenti karena keletihan. 

Syukuri setiap nafas yang dihisap dan lalu dihembuskan juga setiap tetesan peluh yang mengalir membasahi badan. Sesungguhnya bukan puncak itu tujuan sebenarnya, namun mengenali diri sendiri dan hati yang selalu bersyukur merenungi alam ciptaanNya.