Monday, February 25, 2019

Solilokui Sepeda – Purwanto Setiadi



“Hidup itu seperti bersepeda. Untuk menjaga keseimbangan, kau harus tetap bergerak”
Albert Einstein

Sejak Januari  2017 saya mulai menjalankan hobi bersepeda, total per skr sudah mencapai 3300 km, dimulai dari Polygon, lanjut ke Dahon Roo dan sekarang Dahon Vigor D9. Hampir seluruh wilayah Bandung sudah saya jelajahi, khususnya area Bandung Selatan termasuk Cikoneng, Majalaya dan Soreang bahkan sudah berkali-kali. Sesekali juga merambah di kota lain seperti Jakarta dan juga Garut. Hobi saya memotret pun bisa sekalian dijalankan, termasuk menyatroni gedung-gedung zaman kolonial di Bandung dan di Jakarta. 

Berbagai peristiwa juga pernah saya alami, mulai dari nyaris terserempet bis, masuk parit, terjatuh karena polisi tidur, ban belakang yang mendadak meletus, rantai mendadak lepas di tanjakan. Bukan hanya itu saya juga dua kali nyaris pingsan karena keletihan. 

Berawal dari persahabatan dengan Purwanto Setiadi (yang saya sebut dengan Mas Pur) mantan wartawan senior Tempo yang awalnya dimulai dengan hobi musik yang sama di milis, saya tertarik dengan pengalaman beliau sejak Maret 2015, dan juga sebelumnya pengalaman senior pesepeda lainnya di milis yang sama yakni Gatot Widayanto. Alhamdulillah tulisan-tulisan menarik beliau di fbook kini dibukukan dalam “Solilokui Sepeda”, dan yang bisa dipesan langsung ke beliau. 



Buku ini terdiri dari 43 tulisan singkat namun bernas, dan meski tipis banyak sekali mengacu pada berbagai sumber mengenai kebiasaan bersepeda. Beratnya perjuangan di tanjakan yang kerap diakhiri dengan hembusan angin di turunan tergambarkan dengan baik dalam buku ini. Tak lupa penderitaan pesepeda di tengah rimba perkotaan sebagai kasta paling menyedihkan diantara pengguna jalan (karena pejalan kaki sejatinya masih memiliki trotoar). 

Buku yang sangat saya rekomendasikan bagi penikmat sepeda dan digambarkan dalam salah satu bab dalam buku ini mengutip tulisan Trabue di “Surprised Into Flight” yang mengakhiri rutinitas penjara modern (yang kita sebut dengan mobil) yang membatasinya dengan lingkungan jalan disekitarnya sbb “Pintu kerangkeng saya telah terbuka dan di luar, di antara sinar matahari, pepohonan, rerumputan, dan udara segar, sepeda butut seharga USD 20 mengantarkan saya masuk dalam keberadaan dunia ini dan berbagi dalam keanggunannya yang menggirangkan”. 
Bagi saya buku yang hangat ini, sebagaimana sosok Musashi dalam karya Eiji Yoshikawa nan memilih jalan pedang, adalah hadiah bagi setiap sosok yang memilih jalan sepeda sebagai bagian dari hidupnya. 

Sunday, February 24, 2019

Maryam Menggugat – Maulana M. Syuhada

“Hendaknya kamu selalu jujur,
 karena kejujuran itu akan membaca kepada kebaikan.
 dan kebaikan itu akan membawa ke dalam surga.” 

(HR. Bukhari dan Muslim)


Seperti biasa, saya sering menjelajahi rak buku diskon di Togamas Bandung. Kali ini mata saya tertumbuk pada sebuah buku yang rasanya memiliki nama pengarang yang cukup familiar, akhirnya saya ingat pernah membaca salah satu buku beliau, yakni 40 Days in Europe, mengenai kisah sekelompok siswa yang melakukan tur angklung keliling dunia dengan dana pas-pasan. 
Tak ayal buku ini langsung saya boyong ke rumah, meski penampilannya sudah cukup kumal, kuning dan berdebu. Covernya seorang wanita berjilbab merah dengan wajah sendu. Buku apakah ini gerangan ? ternyata menceritakan perjuangan sang pengarang dalam melawan kampanye “savemaryam” oleh sebuah yayasan Inggris bernama Mercy Mission yang dinilai oleh pengarang bekerja dengan mengabaikan prinsip-prinsip Islam seperti kejujuran. 




Lewat riset yang cukup mendalam disela-sela waktu kuliah yang padat dalam menyelesaikan PhD di Lancaster, Maulana berhasil memberikan perlawanan yang cukup keras pada Mercy Mission, termasuk dalam bentuk tulisan ataupun debat secara langsung. Setelah berjuang, akhirnya buku yang kata pengantarnya ditulis Prof DR. Miftah Faridl setebal 217 halaman ini selesai juga dan diterbitkan Januari 2013. 

Bagi Maulana, Mercy Mission dengan inisiator Thawfique Chowdury yang berasal dari Pakistan, melakukan kampanye dan juga penggalangan dana, dengan melebih-lebihkan kondisi di Indonesia. Dimana dalam kampanye mereka disebutkan bahwa terjadi krisis kepercayaan terhadap Islam dengan menggunakan daerah sampel di Bekasi berdasarkan laporan ICG. Secara umum, bagi Maulana kampanye Mercy Mission ini dapat menjadi bahan bakar yang menyebabkan keresahan dan sekaligus ancaman pada kerukunan beragama di Indonesia.

Ada apa dengan Bekasi ?, sesuai laporan ICG, pada tahun-tahun tersebut memang terjadi situasi yang cukup hangat, terkait dengan perkembangan Bekasi sebagai satelit baru Jakarta. Pada saat itu kebetulan terjadi perpindahan besar-besaran salah satu suku di Indonesia yang kebetulan keyakinannya berbeda dengan mayoritas keyakinan penduduk asli Bekasi. Situasi ini menyebabkan munculnya kasus-kasus seperti kesulitan pendirian rumah ibadah dan lain-lain yang akhirnya menghangatkan situasi. Perkembangan jumlah minoritas ini (yang diakibatkan perpindahan dan bukan karena konversi keyakinan), yang sepertinya secara “salah” dibaca oleh Mercy Mission, dan lantas menjadikan ini sebagai bahan bakar untuk memicu sentimen agama dan digunakan untuk menggalang donasi secara besar-besaran.   

Secara umum, Maulana menyimpulkan kampanya “savemaryam” dari Mercy Mission sbb;


  • Hitungan yang tak jelas dasarnya dengan melebih2kan jumlah umat yang konversi keyakinan sebesar 2 juta per tahun. Faktanya dari tahun ketahun, jumlah umat Islam relatif stagnan, misalnya 1971 (87,51%), 1980 (87,94%), 1990 (87,21%), 2000 (88,22%) dan 2010 (87,18%)
  • Pemaparan trik2 ilegal yg dilakukan Mercy Mission baik dalam laporan maupun video untuk memanipulasi.
  • Penjelasan dari sisi agama, bahwa penghalalan segala cara (eg. manipulasi angka) untuk tujuan dakwah adalah salah (bathil).
  • Efek sosiologis dan potensi konflik antar umat beragama yg berpotensi terjadi akibat kampanye “savemaryam”, baik ketegangan antara kaum beragama, pemberian justifikasi kepada kelompok Islam garis keras untuk melakukan kekerasan kepada umat non Islam, termasuk radikalisasi.


Disamping hal2 diatas, kampanye “savemaryam” yang bertujuan menghimpun dana inipun tak jelas pertanggung jawaban pengelolaannya. Begitu juga dengan target2nya seperti membuat tv yang menjadi wadah bagi kelompok pemuda. Saat pengarang kembali ke Indonesia, apakah perjuanggannya selesai ? ternyata tidak, Maulana sempat terlibat membantu Daarut Tauhid untuk menjelaskan latar belakang Mercy Mission, dan berhasil menggagalkan rencana mereka bekerja sama dengan KH Abdullah Gymnastiar. 

Secara keseluruhan, buku ini enak dibaca, dan plotnya mengalir secara lancar, juga menambah pengetahuan kita akan berbagai pola dan metode organisasi dengan alasan kemanusiaan tak seluruhnya dijalankan dengan profesional dan juga menggunakan data yang benar. Buku ini juga mengingatkan kita perlunya ketelitian dalam memahami berita ketimbang langsung forward sana sini. 


Thursday, February 07, 2019

Green Book (2018) - Peter Farrelly



Don : What are you doing?
Tony : A letter. 
Don : May I? (Tony membiarkan Don membaca suratnya)
Don : “Dear Dolores, sometimes you remind me of a house.”
Don : You know this is pathetic, right? Put this down (menunjuk pulpen dan kertas) “The distance between us is breaking my spirit. Falling in love with you was the easiest thing I have ever done.”
Tony : “P.S. Kiss the kids?”
Don : That's like clinging a cow bell at the end of Shostakovich's seven.
Tony: That's good. 

Don : It's perfect, Tony.


Membaca beberapa komentar teman di whatsapp group musik, mengenai film ini menggerakkan saya untuk mencari referensi sebelum memutuskan untuk menontonnya. Ternyata salah satu aktornya adalah Viggo Mortensen yang dengan gemilang memerankan Aragorn dalam trilogi Lord of The Ring. Namun jangan harapkan Aragorn akan muncul dalam Green Book, anda hanya menemukan pria paruh baya bernama Tony Vallelonga, berperut buncit yang sedang mencari pekerjaan karena klub malam tempat dia bekerja sebelumnya ditutup. 

Siapa aktor utama lainnya dalam film ini ? Mahershala Ali yang memerankan Don Shirley seorang pianis keturunan African-American dan juga yang tak kalah penting Linda Cardellini yang memerankan istri Dolores, Tony Vallelonga. Baik Mahershala Ali dan Linda Cardellini memainkan peran mereka dengan memikat, mengimbangi Viggo Mortensen. Akting keibuan Linda mengingatkan saya akan sosok ibu dalam AI besutan Spielberg dan yang diperankan dengan sangat baik oleh Francess O’ Connor. Sementara Mahershala Ali sepintas mirip dengan Eddie Murphy namun dalam versi yang jauh lebih serius. Jangan heran melihat kualitas akting Ali, karena dalam perannya sebagai drug dealer dalam Moonlight (2016), Ali memenangkan Academy Award for Best Supporting Actor, sekaligus menjadi aktor film muslim pertama yang meraih Oscar.




Sedihnya saat saya menonton di CGV, penonton tak lebih dari 10% kapasitas, sayang sekali film yang diantaranya memenangkan People Choice Award di Toronto International Films,  Best Film of 2018 - National Board of Review Award,  Golden Globe Award for Best Motion Picture – Musical or Comedy, dan juga lima nominasi at the 91st Academy Awards: Best Picture, Best Actor (Mortensen), Best Supporting Actor (Ali), Best Original Screenplay and Best Film Editing, lolos dari radar kebanyakan pencinta film. 

Cerita ini bermula dari Don Shirley yang sedang mencari supir merangkap pembantu, dalam rangka tur piano klasik bersama seorang pemain cello dan seorang pemain bass di daerah selatan yang terkenal masih menganut paham rasialis. Sepertinya yang ada di benak Don Shirley memilih seorang supir berkulit putih setidaknya akan mempermudah akses ke kawasan ini. Namun Tony menolak tawaran USD 100 per minggu dimana dia juga harus melakukan pekerjaan seperti pembantu Don dalam urusan mencuci dan seterika baju, serta menyikat sepatu. Tony akhirnya mengajukan USD 125 per minggu tanpa pekerjaan pembantu. 

Perjalanan delapan minggu dengan upah total USD 1000,  ini akhirnya menjadi pencetus persahabatan di antara kedua karakter bertolak belakang ini. Tony kulit putih keturunan Italian-American yang ugal-ugalan, apa adanya, kasar, memiliki keluarga bahagia namun kurang berpendidikan dibanding Don Shirley kulit hitam, bergaya aristokrat khas Eropa, duda cerai, dan berpendidikan tinggi. Meski awalnya penuh dengan konflik, namun petualangan selama perjalanan di mana Tony berkali-kali menyelamatkan Don Shirley dari jebakan polisi, pengeroyokan warga setempat, dan perlakukan rasialis dari penyelenggara pertunjukan,  dan sebaliknya nasihat Don Shirley untuk menyetir dengan kehati2an, tidak membuang sampah sembarangan, berbicara dengan sopan, serta bagaimana menulis surat dengan puitis membuat kedua hati mereka bertaut sebagai sahabat. 

Hal menarik selain interaksi kedua aktor adalah mobil klasik yang memenuhi sepanjang film ini, landscape daerah perkebunan di Selatan yang menakjubkan dengan rumah-rumah indah berarsitektur khas juga permainan piano Don Shirley yang memang memikat sepanjang film. Entah benar atau tidak, saya merasa permainan Shirley yang tadinya sangat berbau klasik, akhirnya berubah menjadi sedikit ekspresif dengan ciri khas  jazz dan rock and roll di eranya Chuck Berry merajai radio tersebut, akibat radio yang terus menerus diputar oleh Tony sepanjang perjalanan. 

Kenapa cerita ini begitu membumi ? karena ini memang diangkat dari kisah nyata yang bahkan bisa kita dengarkan sendiri lewat karya Don Shirley dalam album Orpheus in The Underworld lewat link https://www.youtube.com/watch?v=yXPMfWl2QBY atau kompilasi karya beliau dengan Don Shirley Trio di link https://www.youtube.com/watch?v=rGFSuKVI8Dc Green Book sendiri adalah buku panduan konser selama mengelilingi daerah selatan dalam delapan minggu, maklum tidak semua penginapan dan restoran dimasa itu bisa dikunjungi kulit hitam. 

Bukan hanya itu, naturalnya film ini mungkin juga berkat Nick Vallelonga yang juga putra dari Tony ikut menulis kisah film ini berdasarkan interview langsung dengan Don Shirley dan Tony Vallelonga, selain berdasarkan surat-surat yang ditulis Tony pada istrinya selama perjalanan delapan minggu tersebut. Ahh bagi saya Green Book ini film yang menarik, sekaligus humanis, dan menjadi salah satu film dengan latar belakang musik terbaik selain Whiplash (2014) , Sound of Music (1965) dan juga The Wall (1982).


You never win with violence. You only win when you maintain your dignity.

Donald Walbridge Shirley 
January 29, 1927 – April 6, 2013
American classical and jazz pianist and composer


* resensi Whiplash bisa lihat di link http://hipohan.blogspot.com/2015/03/whiplash-nya-damien-chazelle.html