Friday, January 31, 2020

Jalan2 ke Tana Toraja – Part #1 dari 6 : Hore ! Ayo ke Tana Toraja.



Tahun 2005, saya sekeluarga pernah jalan-jalan ke Makassar menginap di Hotel Pantai Gapura, penginapan dengan cottage di atas laut sekitar Pantai Losari. Lalu jalan2 ke Benteng Kura2 alias Fort Rotterdam, rumah adat disekitar Makassar, kuliner hidangan laut di R.M. Lae-Lae, pelabuhan nelayan tradisional di Paotere, mencicipi Es Pisang Hijau dan Es Palu Butung di sekitar Losari, ke Bantimurung melihat habitat Kupu-Kupu dan air terjun.

Setelah itu, sendirian karena tugas dari kantor saya beberapa kali ke Sorowako, melihat Danau Matano yang jernih dan indah. Namun tak bisa benar-benar rileks, karena acara padat dengan tugas. Sayang saya dan keluarga, sama sekali belum menyempatkan diri ke Tana Toraja. Padahal mengacu pada https://theculturetrip.com/asia/indonesia/articles/the-10-best-destinations-in-indonesia/ Tana Toraja masuk dalam 10 lokasi wisata terbaik Indonesia, bersama-sama, Bromo, Komodo National Park, Candi Borobudur, Ubud, Bukit Lawang, Kepulauan Gili, Raja Ampat, Yogyakarta, dan Dieng Plateau.




Kebetulan rekan2 istri seangkatan di FK Unpad, karena semakin aktif bersosialisasi di sosmed sudah melakukan  beberapa perjalanan misalnya ke Derawan, Makassar, dan Jepang. Terkesan dengan Makassar, plan berikutnya adalah ke Tana Toraja via Makassar.  Makassar menjadi sangat berkesan buat mereka karena kebetulan salah satu sahabat seangkatan yang kini juga menjadi pengusaha sekaligus anggota dewan sebut saja dengan inisial AU, bisa bantu memfasilitasi perjalanan tersebut dengan sangat baik.

Gayung pun bersambut, kebetulan AU, juga belum pernah ke Tana Toraja yang memang cukup jauh dari Makassar. Maka dibuatlah rencana, dengan diatur koordinator acara tiket dan perjalanan. Sementara koordinator perjalanan di Makssar - Tana Toraja langsung dibantu oleh AU berserta ajudannya. AU yang terkenal sangat murah hati bahkan ternyata bersedia memfasilitasi hotel, transport dan konsumsi selama di Tana Toraja.

Perencanaan berlangsung alot, karena sebagai komunitas dokter, waktu yang dimiliki termyata sangat terbatas, sampai2 muncul beberapa alternatif skedul yang satu persatu akhirnya gagal. Sampai dengan skedul terakhir, ternyata terancam banjir Jakarta yang masih terus menerus mengalami curah hujan lebat sampai dengan pertengahan Januari. Sementara di Makassar, cuaca juga kurang bersahabat, sehingga Bandara Hasanuddin bahkan sempat tutup dan dialihkan ke Kalimantan. Kesulitan perjalanan ini masih diganggu dengan prediksi cuaca di Tana Toraja yang juga sedang tidak baik, plus longsor yang sempat menutup akses jalan Makassar – Tana Toraja.

Alhasil sebagian peserta memutuskan untuk mundur, voting kembali dilakukan, ternyata yang akhirnya mundur cuma 3 orang, sisanya sekitar 34  orang masih mau untuk join. Sehari sebelum berangkat kembali ada masalah, Citilink mengubah skedul sehingga yang seharusnya terbang jam 04:10 tanggal 17/Jan/2020 mundur 10 jam. Karena terancam gagal sementara hotel sudah dipesan, maka koordinator tiket segera negosiasi dengan Citilink, akhirnya disepakati rombongan transit di Surabaya, dan cuma kehilangan waktu 20 menit. Sebagian sahabat yang tidak berangkat dari Bandung, menggunakan flight yang berbeda, bahkan ada yang sudah tiba satu hari lebih awal.

Jauh ? ya memang ini perjalanan yang cukup jauh, salah satu dokter di klinik, sebelumnya ke sini dengan menggunakan pesawat ATR dengan baling-baling ganda dari Hasanuddin dan mendarat di Palopo.  Dengan pesawat ini perjalanan 8 sd 12 jam dari Makassar ke Tana Toraja bisa dipangkas menjadi 45 menit. Biayanya sekitar IDR 700.000.

Biaya Jakarta - Ujung Pandang dengan Citilink sekitar IDR 2.300.000 dengan flight schedule sbb;

Pergi Ke Ujung Pandang

Citilink QG710 CGK – SUB (4:10 sd 5:40)
Citilink QG350 SUB – UPG (6:55 sd 9:40)

Kembali Ke Jakarta

Citilink QG427 UPG - CGK (9:20 sd 10:50)

Toraja merupakan satu dari empat suku yang mendominasi wilayah Sulawesi Selatan (meski ada suku-suku lainnya), tiga lainnya adalah Makassar, Mandar dan Bugis. Sekilas mengenai Tana Toraja, daerah ini merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan dengan ibukota kabupaten Makale. Luasnya sekitar 2.000 km2, dengan total populasi 268 ribu jiwa. Penduduk di dominasi keyakinan Kristen Protestan sebanyak 64 %, Katolik 18 %, Islam 12 %, dan sisanya Hindu serta Buddha sekitar 4%.  

Jarak Makale dengan Makassar sebagai ibu kota propinsi sekitar 300 km, yang bisa ditempuh dalam waktu 6 jam. Namun dengan istirahat dan makan, tak jarang jarak ini memerlukan waktu belasan jam. Jika lanjut ke Rantepao dimana banyak terdapat lokasi wisata diperlukan sekutar satu jam tambahan untuk jarak sepanjang 20 km. 

Kebanyakan masyarakat Toraja hidup dari hasil pertanian, seperti sayur-sayuran,kopi, cengkih, cokelat, dan vanilla. Semua produksi hasil tani ini disitribusikan melalui 6 pasar utama, yakni Makale, Ge'tengan, Sangalla, Rembon, Salubarani, dan Rantepao.  Selain itu Tana Toraja terkenal dengan seni musik, seni tari, sesi sastra lisan, bahasa, rumah adat (Tongkonan), ukiran, hasil tenun, dan kuliner. 

Wisata khas di daerah ini selain alam yang berbukit-bukit indah, adalah pemakaman dan ritual pemakamannya sendiri. Mayat yang disimpan di lokasi berbatu batu, dalam gua, tempat terbuka. Pada waktu tertentu, dilakukan penggantian baju mayat alias upacara Ma'Nene. Ada banyak lokasi pemakaman khas seperti Londa, Kete Kesu, Kambira (makam bayi dibawah 6 bulan)  dan juga Lemo. Tidak semua suku Toraja dimakamkan ditempat2 ini, melainkan hanya marga khusus dan keturunan bangsawan, karena biaya pemakamannya memang sangatlah mahal. 


Link berikutnya di https://hipohan.blogspot.com/2020/01/jalan2-ke-tana-toraja-part-2-dari-6.html

Jalan2 ke Tana Toraja – Part #2 dari 6 : Tiba di Makassar, Parepare dan Bukit Nona.




Apa itinerary kami ? begitu sampai di Bandara Hasanuddin yang skr terlihat sangat megah, AU langsung menyongsong kami dengan senyum khas, dan bergegas mengantar kami menuju ke 2 buah bis yang sudah disiapkan, beberapa kendaraan pribadi yang digunakan ajudan beliau, juga patwal dari kepolisian untuk mengawal rombongan.

Kami segera masuk bis dan berangkat  menuju Tana Toraja yang berjarak 300 km dari bandara. Di Maros,  AU mengajak kami sarapan Coto Makassar, sayang saya lupa memesan daging saja, alhasil mangkok coto saya, dipenuhi potongan otak, babat, ginjal dan lain-lain. Setelah perut dihangatkan coto dengan 2 buah ketupat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Cuaca sangat terik, karena kami mulai menelusuri rute pantai. Menjelang shalat Jumat, di Masjid At Taqwa di Barru, sekitar jam 12:22, kami pun berhenti dipinggir pantai dan menuaikan shalat Jumat.

Masjid di sepanjang perjalanan berukuran besar, dan rata2 dilengkapi AC sehingga terasa sejuk. Saya jadi terinspirasi bagaimana perkampungan nelayan sederhana seperti ini, bisa membangun masjid-masjid berukuran besar, indah dengan fasilitas lengkap. Kuncinya tentu saja adalah gotong royong. Sekitar 7 tahun lalu saat ke Sorowako, saya ingat bagaimana masjid2 besar dan bagus ini, akan terus menerus kita temui  sepanjang perjalanan. Ajaibnya disekelilingnya terlihat rumah2 yang sangat sederhana milik masyarakat setempat.



Jam 14:28, akhirnya kami sampai di Parepare, daerah kelahiran Presiden Habibie, dan langsung menuju Restoran Asia, jalan Baso Daeng Patompo 25 . Dari luar tampak biasa, namun restoran ini menyediakan ruang-ruang berukuran besar yang dapat memuat semua rombongan. Makanannya sangat enak, dan melimpah ruah.  DI salah satu sudut jalan nampak monumen beliau dengan Bu Ainun.

Setelah kenyang, kami kembali melanjutkan perjalanan dan berhenti di sebuah lokasi untuk menikmati camilan dan kopi Toraja yang terkenal. Lokasi ini dipenuhi turis-turis bule mancanegara, karena pemandangannya memang luar biasa. Dikenal dengan nama Bukit Nona, namun penduduk setempat menyebutnya Buttu Kabobong (sesuatu yang seharusnya disembunyikan) karena dianggap mirip dengan perangkat reproduksi wanita.




Tak puas di beranda warung, saya naik sendirian 2 lantai sampai di roof top, dan kembali melakukan beberapa pengambilan gambar. Eh ternyata di lantai paling atas sudah ada dr Boy Abidin SpOG, rekan seangkatan istri yang lebih dikenal sebagai host dr. OZ dan kebetulan memiliki channel sendiri di Youtube, bersama kameraman andalannya yakni Mas Pudji.

Tengah malam akhirnya kami sampai ke Tana Toraja, setelah menempuh jalan2 dengan banyak rute pendakian. Kotanya lumayan ramai, dan meski sudah jam 21:00, warung2 terlihat masih buka dan ramai. Ada banyak warung yang menjual minuman keras dan juga Baso Babi. Buat wisatawan muslim ada baiknya bertanya-tanya sebelum membeli makanan disini. Kami akhirnya berhenti disebuah warung muslim berukuran kecil. Hidangan ala prasmanan sudah disiapkan, dan kursi2 plastik. Kami makan bersama-sama dalam suasana sangat kekeluargaan. 

Link berikutnya di https://hipohan.blogspot.com/2020/01/jalan2-ke-tana-toraja-part-3-dari-6.html

Jalan2 ke Tana Toraja – Part #3 dari 6 : Toraja Heritage Hotel dan Lolai Negeri Di Atas Awan



 Lokasi Toraja Heritage Hotel ini tepatnya di jalan Kete Kesu, Rantepao, yakni Toraja Utara, membuat saya jadi teringat dr. Suci R Yusuf, yakni salah satu dokter ramah di klinik kami yang terkenal dengan ciri khasnya memanggil “Kak” nyaris pada setiap orang. Lokasi hotel di perbukitan dengan belasan bangunan tradisional Toraja alias Tongkonan, yang tersebar di lansekap dengan kontur naik turun. Setiap bangunan  merupakan cottage dengan sekitar 8 ruangan, 4 dilantai bawah dan 4 di lantai atas, dan dihubungkan dengan jalan setapak antara satu cottage dengan yang lain.




Saya dan istri dibawa ke unit kami  melewati tebing dengan persawahan di kejauhan. Bangunannya agak gelap dan terkesan tua, bau kayu yang kuat merebak menyerbu hidung, namun kamar mandinya bagus dan tidak ada bedanya dengan kebanyakan hotel berbintang di Jakarta. Gordjinnya menggunakan model kayu yang sayang sudah agak sulit ditutup sehingga memungkinkan orang diluar cottage bisa menatap kami. Saat istri menyalakan lampu kamar mandi mendadak, aliran listrik di unit kami mati, demikian juga telepon untuk mengontak operator. Terpaksa saya keluar lagi memanggil petugas, namun setelah sekitar 4 petugas bolak balik, dan masih kesulitan menemukan penyebab matinya aliran, kami akhirnya diberikan kamar pengganti yang lebih ke ujung, dan kali ini berada di lantai dua cottage.



Kami segera merebahkan diri, belakangan teman2 lain mengatakan mereka merasakan suasana aneh, seperti anjing yang melolong di tengah malam, baju di gantungan jatuh sendiri, bayangan hitam, serta perasaan ada sosok lain di unit mereka. He he saya sih tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal tsb, selama tidak saling mengganggu, pula badan penat sekali setelah melakukan perjalanan Bandung – Jakarta (3 jam), Jakarta – Soekarno Hatta (1 jam), Soekarno Hatta – Juanda (1 jam), Juanda – Hasanuddin (1 jam) dan Makassar – Toraja (12 jam), total 18 jam.

Pagi hari setelah shalat subuh di unit masing2, kami berkumpul dan langsung menaiki kendaraan hotel  (karena bis terlalu besar untuk bisa masuk rute kali ini)  untuk segera menuju Lolai yakni Negeri di Atas Awan. Jaraknya dari hotel sekitar 14 km, dengan melewati tanjakan sempit dan relatif curam. Kalau dari penampakannya sepintas agak mirip dengan Tebing Keraton, namun dengan awan yang lebih tebal. Sepanjang jalan saya hitung ada paling tidak 3 spot menarik sebetulnya, namun karena rombongan, tak mungkin kami berhenti hanya untuk sekedar memuaskan nafsu saya mengabdikan momen tsb.







Sesampai di Lolai, di depan kami terbentang nyaris 180 derajat pemandangan dari bukit ke bukit dengan persawahan dibagian bawahnya di ketinggian 1.300 meter DPL. Di atas persawahan nampak “permadani” awan yang membuat kami merasa seakan-akan dewa-dewi kahyangan tengah menatap bumi. Sekitar jam 06:35 kami memutuskan untuk kembali ke hotel, untuk sarapan.

Link berikutnya di https://hipohan.blogspot.com/2020/01/jalan2-ke-tana-toraja-part-4-dari-6.html

Jalan2 ke Tana Toraja – Part #4 dari 6 : Burake Hills dan Pemakaman Londa



Setelah sarapan dengan menu standar hotel, kami kembali menaiki bis menuju Burake Hills, yakni perbukitan dengan patung Yesus berukuran raksasa setinggi 45 meter di  Makale yang diresmikan tahun 2015. Patung ini  mengingatkan saya akan Rio de Janeiro, yang juga memiliki patung raksasa seperti ini.  Landasan patung dikelilingi jembatan kaca sepanjang 90 meter yang dibangun tahun 2018. Sayang kacanya sudah sedikit buram dan konstruksi bajanya terlihat sudah mulai berkarat, sehingga pemandangan dibawahnya terlihat kurang jelas.




Untuk masuk kesini, selain membayar tiket sebesar IDR 50.000, pengunjung wajib mengganti kaos kaki dengan yang disediakan petugas, sepertinya untuk menjaga agar kaca tetap jernih. Pemandangan disini bahkan lebih luas dari 180 derajat. Harus diakui alam Tana Toraja memang cantik sekali dengan berbagai kontur perbukitan dan gunung.




Di beberapa spot sangat mirip dengan Stone Garden di Padalarang, demikian juga dengan jenis batuannya, entah apakah daerah ini dulu terkoneksi dengan laut, sebagaimana Stone Garden. Rasanya agak menyesal juga tidak membawa drone ke sini, beberapa penampakan di internet menunjukkan pemandangan spektakuler dari atas.

Sekitar jam 11:00, kami meninggalkan Burake, dan menuju Londa, salah satu pemakaman di tebing batu yang merupakan destinasi makam selain Lemo dan Kete Kesu. Begitu mencapai Londa, suasana langsung terasa mistis, udara terasa agak lembab, kami berjalan beriring2an menuruni lembah, menelusuri tangga batu. Terlihat sebuat tebing cukup besar, dengan berbagai peti mati yang digantung dengan konstruksi kayu di langit2 depan gua. Bagian tengah gua dibuat ceruk kotak dengan memahat batu, dan disusun boneka2 yang menatap aneh pada wisatawan dalam kesunyian yang mencekam.








Boneka yang disusun dalam ceruk batu di atas gua, terlihat sangat hidup dan berbeda dengan boneka yang dibuat pada periode sebelumnya.  Sepertinya perajin boneka masa kini memiliki kemampuan yang jauh lebih baik. Kesemua boneka menggunakan pakaian, juga atribut tertentu seperti kaca mata, tongkat dan lain-lain.





Tak semua jenazah disimpan dalam peti mati, sebagian dalam bentuk rangka yang tersebar di dalam gua. Bagian depan gua, sudah langsung terlihat 3 buah tengkorak seakan-akan menjaga gerbang masuk, dan terdengar penunjuk jalan melarang pengunjung menyentuh tengkorak tersebut. Bebatuan guanya halus dan tidak terlihat penampakan stalaktit maupun stalakmit yang jelas. Penunjuk jalan membantu kami menyinari lorong-lorong di dalam gua dengan menggunakan lampu petromaks yang dijunjung diatas kepala mereka.  Saya dengan ransel penuh peralatan kamera mengalami kesulitan untuk masuk lebih dalam, lalu memutuskan untuk keluar.

Link berikutnya https://hipohan.blogspot.com/2020/01/jalan2-ke-tana-toraja-part-5-dari-6.html

Jalan2 ke Tana Toraja – Part #5 dari 6 : Kete Kesu dan Pasar Rantepao


Jam 12:53 kami sampai di perkampungan Kete Kesu, dan karena terlalu lama di Burake, kunjungan ke Pemakaman Lemo akhirnya dilewat. Sebenarnya Lemo ini salah satu makam yang sangat sering muncul di publikasi destinasi wisata Tana Toraja, karena ceruk batunya relatif lebih banyak dan tebing batunya lebih tinggi ketimbang Londa.

Kete Kesu terlihat lebih rapi, dan ada banyak bangunan Tongkonan yang berukuran besar dan menunjukkan bahwa pemiliknya bukan orang sembarangan mengingat jumlah tanduk kepala kerbau di bagian depan Tongkonan.






Lingkungan di sini sepintas sangat mirip dengan lansekap di Pulau Samosir, kumpulan rumah adat berbaris rapi, dan ruang luas diantaranya. Di kejauhan nampak gunung dan pohon kelapa layaknya lukisan aliran Jelekong, yakni kampung pelukis di Jawa Barat, yang tema pedesaannya seringkali menghiasi becak zaman tahun 1970 an.



Kami makan siang disini dengan bekal nasi kotak, sementara anjing kampung dan ayam Kete Kesu mengelilingi kami sambil berharap mendapatkan sepotong dua potong lauk ataupun sebutir dua butir nasi. Setelah makan, saya dan istri minta izin masuk ke salah satu rumah adat, yang desain pintunya sangat rendah, sehingga harus masuk dengan membungkuk. Di bagian luar, nampak berjejer-jejer rahang kerbau yang dari jauh terlihat seperti jejeran ikan asin jambal roti tengah dijemur.



Karena istri asik melihat kumpulan toko souvenir, saya memutuskan untuk pertama kalinya menikmati kopi Toraja – Arabica.  Pahit dan harumnya langsung menohok, dan memanaskan tenggorokan.

Menjelang jam 15:00 kami menuju Pasar Rantepao, dan parkir disebelah masjid Agung untuk menuaikan shalat Lohor. Lalu rombongan berpencar mencari pernik2 lokal. Saya merapat ke rombongan yang asik menikmati durian. Ukurannya relatif kecil, namun aroma gasnya cukup menendang. Jam 15:30 kami kembali menuju hotel, dan melewatkan beberapa destinasi lain seperti Ne’Gandeng (museum), Pallawa (perkampungan adat), Batu Tumonga, Kalimbuang Bori (kompleks megalith), Kampung Adat Ranteallo, Air Terjun Kalean, dan Ollon.



Ingin rasanya mengunjungi semuanya, apa daya waktu terbatas, dan esok pagi kami harus meninggalkan Tana Toraja yang indah ini.

Link berikutnya https://hipohan.blogspot.com/2020/01/jalan2-ke-tana-toraja-part-6-dari-6.html

Jalan2 ke Tana Toraja – Part #6 dari 6 : Teras Empang Parepare, Toko Unggul, Kampoeng Pops dan kembali ke Jakarta.


Meninggalkan hotel menjelang jam 8 pagi, kami kembali istirahat di Enrekang, tepatnya Restoran Bukit Indah. Disini kami menikmati kopi dan salak sambil menatap pemdandangan spektakuler dari jendela restoran. 




Dalam perjalanan seperti biasa kami bernyanyi2 secara bergantian, dan didominasi lagu2 ala dangdut Pantura, seperti “Salah Apa Aku” ataupun track-track populer dari Via Vallen, diselingi beberapa hits Iwan Fals dan Koes Plus. 

Setelah makan siang yang sangat lezat di Teras Empang, kami akhirnya masuk Makassar menjelang sore. Lalu lanjut membeli pernak dan pernik dan oleh2 khas Makassar. Kami membeli otak-otak, sirup markisa, kacang disco, kue kurma dan kue bannang-bannang. Bagi yang suka kopi Toraja, tentu ini salah satu oleh-oleh yang pas. 

Jagan lupa Sulawesi Selatan terkenal dengan perhiasan emas. Berbeda dengan daerah lain, perhiasan emas di sini memilki desain yang mewah. Seperti juga dengan masjidnya, di Sulawesi Selatan hal2 yang besar-besar, indah, mewah memang menjadi budaya masyarakatnya.  

Selesai dari sini, kami langsung menuju Kampoeng POPS untuk menikmati Es Pisang Hijau dan Es Palu Butung. Jadi apa saja lokasi yang kami kunjungi ? 

Bukit Nona / Warung Kopi Gapura – Enrekang
Toja Heritage Hotel (Arnold Baramuli 1995 eks Novotel)
Lolai – Rantepao 
Burake Hills 
Londa 
Kete Kesu 
Pasar Tradisional – Rantepao 
Bukit Nona / Restoran Bukit Indah - Enrekang 
Toko Oleh2 Unggul - Makassar

Dan kuliner apa saja yang kami cicipi ?

Coto Makassar – Maros 
Salak dan Kopi - Enrekang 
Restoran Asia - Parepare
Durian - Rantepao 
Restoran Teras Empang – Parepare
Es Pisang Hijau / Es Palu Butung - Kampoeng Pops 
Coto Makassar Gagak – Bandara 

Tak sempat menikmati Mie Titi, dan Sop Konro, namun alhamdulillah sempat menikmati Coto Makassar Gagak di bandara.  Coto Makassar Gagak ini konon salah satu yang paling tersohor di Makassarc silahkan cek https://www.tribunnews.com/travel/2015/08/06/coto-gagak-coto-paling-tersohor-di-makassar-irisan-dagingnya-besar-harum-kuahnya-menggoda.

Akhirnya kami lepas landas jam 21:00 lewat. Ahh pengalaman yang menyenangkan sekaligus memberikan jawaban kenapa Tana Toraja masuk dalam list destinasi wisata papan atas. Keindahan alam, keunikan budayanya dan seni pahat/bangunannya memang sulit ditandingi. 

Wednesday, January 22, 2020

Jalan-jalan ke Gunung Parang


Awal tahun lalu saya dan istri sempat jalan2 ke lokasi tiga gunung ini, yakni Bongkok, Lembu dan Parang. Hanya saja melihat medan Gunung Parang yang vertikal, akhirnya kami memutuskan menginap saja di kaki Gunung Parang, lalu dinihari mendaki Gunung Lembu yang bisa dibaca di link http://hipohan.blogspot.com/2019/01/jalan-jalan-ke-gunung-lembu-part-1-dari.html

Namun saya tetap dihantui rasa penasaran untuk mendaki salah satu gunung batu konon dengan spot rock climbing tertinggi kedua di dunia.  Pada setiap evaluasi semesteran klinik saya selalu mengusulkan Gunung Parang sebagai salah satu opsi destinasi employee gathering, namun saya selalu kalah suara. Akhir 2019, setelah mengusulkan untuk keempat kalinya, ternyata kali ini suara yang diperoleh cukup banyak, sehingga semua sepakat untuk eksplorasi Gunung Parang. 



Susah kah mendakinya ? Secara teknik tidak susah, cuma tetap perlu stamina khusus juga keberanian, karena mendaki gunung batu yang nyaris vertikal ini membutuhkan keduanya. Lalu perlu fokus pada setiap anak tangga, dan konsisten memindahkan kaitan setiap beberapa kali melangkah. Sampai dengan kami mendaki memang belum terdengar kejadian kecelakaan, sayangnya beberapa hari setelah kami mendaki ada satu kecelakaan menimpa pendaki yang berpengalaman, namun diduga memutuskan menggunakan jalur sendiri dan kebetulan mendaki saat hujan, sehingga bebatuan menjadi lebih licin. 





Kami rencana berangkat dini hari dari Bandung, langsung menuju Purwakarta via Plered. Namun karena salah satu anggota terlambat, alhasil kami kehilangan sekitar 1,5 jam.  Supir yang kami kira sudah tahu lokasi tsb, ternyata tidak pernah ke Gunung Parang, sehingga justru kami mencoba memandu mereka menuju lokasi. Bis sempat merayap berat dan terengah-engah, mengingat sempit dan terjalnya medan. Setelah menempuh sekitar 80 km dalam 2 jam, kami akhirnya sampai. 

Sesampainya di Badega Gunung Parang, kami langsung sarapan Sate Maranggi, Sop dan Kerupuk. Lalu satu persatu team menggunakan seragam dengan dibantu team dari Badega Gunung Parang yang dikomandoi Baban Yuana, alumni Unpad, yang mengelola tempat ini  bersama keluarga besar beliau. 

Selesai makan, lalu kami menyusuri jembatan bambu menanjak ke atas, yang menurut Kang Baban dibangun dengan biaya 70 juta, namun cuma berumur kurang dari 5 tahun, bahkan kadang cuma 3 tahun tergantung cuaca. Dahulu saat kami ke sini,  jembatan hanya ada di Sasak Panyawangan, namun skr di Badega Gunung Parang juga sudah dibangun dan sangat memudahkan pendaki memulai pendakian. 






Sampai di titik awal pendakian Kang Baban langsung briefing, mulai dari penggunaan rope (tali), hardness (ikat pinggang penopang tubuh), carabiner (cincin kait), hanger (ditanam di tebing batu).  Saya baru sadar meski kami cuma menargetkan 300 meter, ternyata tak semua jalur vertikal, sehingga  kami kadang harus merambat mengitari tebing batu. 



Kang Baban dan teamnya melakukan pemotretan dari beberapa spot legendaris yang sudah sangat mereka pahami. Tidak terbiasa memoret dengan tangan terbatas karena harus berpegang sana-sini, saya sempat 2x kehilangan tutup kamera M50, yang terhempas ke bawah tebing. Karena memulai pendakian agak terlambat sehingga sudah keburu panas, saya sempat merasa pusing di ketinggian, sehingga memerlukan waktu untuk kembali pulih. 


Kembali ke basecamp, goreng pisang, bakwan (bala-bala) dan teh manis sudah menunggu. Ternyata mendaki Gunung Parang cukup menguras tenaga. Salah satu member team yang mendaki bersama anaknya baru menyusul 1 jam kemudian, karena anak ybs mogok di ketinggian, dan baru mau turun setelah diiming2i hadiah sesampainya di basecamp. 



Berapa biayanya, untuk pendakian sampai ketinggian sekitar  300 meter ? biayanya IDR 150.000 per orang, sudah termasuk rope (tali), hardness (ikat pinggang penopang tubuh), carabiner (cincin kait), hanger (ditanam di tebing batu), guide dan dokumentasi. Karena rombongan kami terdiri dari sekitar 30 orang, tentu saja juga harus disiapkan bis sewaan, sarapan dan makan siang. 

Sekembalinya dari Gunung Parang, karena baju yang lengket dan penuh keringat, kami mampir sejenak sekalian makan siang di Cikao Water Park yang memiliki beberapa fasilitas seperti berbagai jenis kolam renang, tempat makan, rumah ilusi, dan taman satwa.  Tiket masuk untuk area taman dan berenang per orangnya sekitar IDR 60.000. Alhasil total biaya untuk sekitar 30 orang, untuk wisata Gunung Parang dan Cikao Water Park kurang lebih IDR 20.000.000. 

Tuesday, January 14, 2020

Pertarungan Sampai Mati



Sedang asik bersama istri, pagi2 ngopi, ngemil ketan dan tape goreng, tiba2 istri menjerit melihat sosok bayang berkelebat diteras belakang. Saya minta istri mengawasi dan lsg bergegas ke belakang mengambil sapu aluminium andalan Mbak Nap. Saya lsg ke lokasi, dan sempat mendengar celoteh istri, bahwa saya skr sudah lamban dan sudah percuma krn sosok bayangan tsb sudah menghilang dan diduga memanjat ayunan jati Jepara dibelakang rumah.

Hemm lamban ? Daripada mendebat istri, saya memilih tak kenal putus asa, bagaikan seekor kucing terlatih akhirnya saya dapat melihatnya memunggungi saya dengan bersembunyi dipertemuan tiang ayunan. Lsg saya sodok keras dengan jurus Rey Dragonwalker, eh Skywalker. Begitu kerasnya hingga ujung sapu patah, lalu dia terpental ke lantai sambil menyemburkan urine kuning.

Kini dia kabur ke sisi kiri dan naik ke kursi keramik Singkawang. Lsg saya buru, dan menghunus sapu, eh dengan cepat dia menuju sisi kanan dan lsg merayap memanjat tiang rumah. Sebelum terlalu tinggi, kembali saya hajar kepalanya, sehingga terjatuh, dan sebelum dia kabur lebih jauh, dengan gaya Musashi menghajar Sasaki Kojiro di Pulau Ganryu , saya ayunkan sapu tepat menghantam bayangan hitam berbulu nan berekor panjang tsb, hingga lsg tewas tak bergerak. Begitu kerasnya saya hajar, kini ujung sapunya satunya pun patah.

Saya masuk ke rumah dengan gagah, seperti kebanyakan pria usai menonton film action, lalu mencari sumber suara yang mengatakan saya lamban. Nampak istri menatap saya dengan kagum. Hemmm lamban ? maaf, silahkan tarik kata2mu, saya masih cukup gesit untuk sebuah pertarungan sampai mati.

Belajar dr Tukang Bubur



Minimart sebelah rumah, saat pagi hari, area parkirnya digunakan pedagang Bubur Ayam. Beliau mulai buka jam 05:30, lalu sekitar jam 08:30 biasanya sudah habis. Selain dikerumuni pembeli, kucing2 sekitar juga berkumpul di sekitar gerobaknya berharap sepotong dua potong tulang ayam.

Buburnya unik karena menggunakan potongan2 kecil wortel, dan kuah kaldu dengan ramuan khusus. Selain suiran ayam, juga tersedia sate usus, hati, ampela dan telor puyuh.

Beliau selalu ramah dan menyapa pembeli maupun orang yang kebetulan lewat dengan senyuman. Sejenak bicara dengan beliau, ternyata istrinya sudah bertahun2 lumpuh dan hanya bisa lakukan semua aktifitas di ranjang. Jadi beliaulah yang merawat istrinya, mengasuh anak2 mereka, berbelanja, memasak, sekaligus berjualan.

Dari orang2 seperti ini kita belajar, bagaimana menyikapi beratnya kehidupan dengan senyuman seraya terus menerus menebarkan manfaat bagi sekitarnya. Terima kasih buat pelajaran kehidupan yang beliau berikan.

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (Hadits Riwayat ath-Thabrani)

Transaksi yang Tak Pernah Sampai.

Akhir minggu, tanggal 28/11/2019 pasien klinik membayar via EDC permata menggunakan kartu debet BCA. Begitu selesai memasukkan PIN, sinyal sepertinya drop, bukti transaksi tak bisa dicetak, dan muncul status tunggu di mesin EDC.

EDC terpaksa direstart namun slip transaksi tetap tak bisa dicetak. Lalu pasien menunjukkan mutasi rekening yang mana posisi saldonya sudah berkurang. Sehingga kasir menganggap proses selesai. Namun saat settlement menjelang klinik tutup, pembayaran terakhir tsb tidak muncul.

Saya kontak call center Permata, menurut mereka, Permata posisinya menunggu krn jika struk tak bisa dicetak, dan transaksi tidak muncul di rekap settlement artinya transaksi gagal. Lalu saya minta tolong pasien yang berbaik hati bertemu CustServices BCA awal minggu berikutnya. Bukti mutasi harian dicetak, dan confirmed rekening pasien sudah berkurang tanpa adanya transaksi koreksi sehingga BCA menganggap pembayaran sudah close.

Karena pembayaran masih belum juga masuk Permata, saya inisiatif call ke BCA, namun ditolak krn harus pemilik rekening yang lapor sendiri. Lalu pagi ini saya call kembali pasien, dia menunjukkan transkasi sd hari ini dimana tetap tak ada transaksi koreksi. Alhasil masalah ini mengambang, dan uang pembayaran menggantung entah dimana. Terkunci dengan situasi sbb:

1. Permata menolak krn posisi sebagai destinasi cukup menunggu.
2. BCA menolak pelaporan saya, krn bukan pasien pemilik akun.
3. Pasien keberatan harus bikin laporan lagi krn sudah ke BCA dan menurutnya BCA menganggap transaksi sudah selesai sebagaimana printout mutasi.

Ada yang tahu bagaimana selesaikan masalah ini ? Apakah hal2 seperti ini diatur dalam ISO 12812 terkait mobile payment ?

Kolam Yang Mengering


Supaya klinik nyaman, di halaman belakang kami (saya dan istri) buatkan mushalla dengan dinding kaca. Dikelilingi taman, rerumputan, batu hias dan kolam ikan. Terlihat asri dan sejuk, manakala pasien menyempatkan diri untuk shalat.

Namun hanya sebentar terlihat indah, lalu anak2 pasien menceburkan diri di kolam, mengaduk dan menangkap ikan, dan sebagian lainnya layaknya gerombolan orc dalam trilogi LOTR karya Tolkien, melempari ikan dengan batu2 hias di sekeliling kolam, bahkan menghempaskan batu yang agak besar dan melumatkan si ikan dalam genangan darah.

Jadi ingat kisah eksperimen sosial pada anak2 Indonesia dan Jepang usia balita. Sekumpulan anak diberikan beberapa jenis mainan yang disengaja dengan jumlah terbatas. Anak2 Jepang langsung membentuk antrian disetiap mainan yang mereka inginkan, dan dengan sabar menunggu giliran. Anak2 Indonesia berebutan, saling tarik menarik, dan yang tak kebagian akhirnya menangis meraung-raung.

Begitulah akhirnya sudah 2 bulan ini kolam ikan pun mengering, istri ingin ditimbun saja, sementara saya masih ingin kolam ikan tetap ada disitu, sambil berharap anak Indonesia kelak bisa berubah.

Cinta

Sejatinya tdk ada yang namanya darah Indonesia, secara genetik (darah) kita bisa campuran dr banyak ras, entah Mongol, India, Arab, Melanesia, Asia Timur, Portugis, atau bahkan Belanda. Penelitian jejak DNA mencengangkan banyak orang, menyadari asal usul kita yang sangat bervariasi.

Karena itu, kita menjadi  Indonesia, bukan karena darah atau asal muasal genetik, tapi karena kita mencintai 1 nusa, 1, bangsa dan 1 bahasa, sepenuh hati, jiwa dan raga.

Selamat Jalan Pak Ciputra

Mantan bos saya, di usia 80 lebih, saat orasi acara kick off meeting Metrodata, beliau mengatakan ada orang yang bertanya "dari sekian banyak proyek properti bapak mana yang paling bagus ?" Jawab beliau tegas "proyek berikutnya !"

Terima kasih untuk inspirasinya, selamat jalan pak

Mengenang Paman – Selera Musik


Juwita Malam

Engkau gemilang, malam cemerlang
bagaikan bintang timur sedang mengambang
tak jemu jemu, mata memandang
aku namakan dikau juwita malam

sinar matamu, menari nari
masuk menembus ke dalam jantung kalbu
aku terpikat, masuk perangkap
apa daya asmara sudah melekat

juwita malam, siapakah gerangan tuan
juwita malam, dari bulankah tuan

kereta kita, segera tiba
di jatinegara kita kan berpisah
berilah nama, alamat serta
esok lusa boleh kita jumpa pula

Saat kami masih di Bali, paman seperti biasa datang berkunjung sendirian. Karena hubungan yang dekat dengan Kak Eli (kakak ku paling besar dan sudah berpulang Agustus 2018), seperti biasa mereka pergi jalan2 berdua dengan meminjam sepeda motor ayah. Saking dekatnya, paman juga hapal nama-nama sahabat Kak Eli di SMAN 2 Denpasar, seperti salah satunya Fadilla, gadis hitam manis keturunan India yang sering jadi sasaran kejailan paman.  

Zaman itu ada dua aliran musik yang dominan di rumah kami, yakni Kak Eli dengan Bee Gees yang sedang banyak dibicarakan muda mudi saat itu karena sound track mereka yang fenomenal dalam Saturday Night Fever nya John Travolta. Lalu album Olivia Newton John dan tentu saja King Rock’n Roll alias Elvis Presley yang posternya bisa aku saksikan di kamar Kak Eli.  Sementara ayah, lebih suka musik klasik, seperti Mozart, Beethoven, Tchaikovsky, Strauss dan lain-lain. 

Namun sore itu paman yang baru saja pulang dari jalan2 bersama Kak Eli, membawa beberapa kaset yang bagiku aliran baru yakni Michael Franks album The Art of Tea dan Louis Armstrong.  Alhasil sore itu kami menikmati musik yang lain dari yang lain. Namun setelahnya, layaknya pintu gerbang ke dunia jazz, aku juga mulai suka John Mc Laughlin, Al di Meola, Chick Corea, John Patitucci, Eric Marienthal, Frank Gambale, Spirogyra, Mezzoforte, Bob James, Stanley Clarke,Earl Klugh, Charles Mingus, Al Jarreau, Kazumi Watanabe dan banyak lagi. 

Setelah kami kembali pindah ke Bandung, aku ingat salah satu lagu favorit paman saat di kamar mandi, bahkan setelah beliau keluar kamar mandi, dan berganti baju, sambil bersenandung dan memakai sepatu, masih jelas rasanya dalam ingatanku mendengar paman bernyanyi. Dalam hal ini paman sama dengan ayah, alias sama-sama artis kamar mandi, bedanya Ayah biasanya menyenandungkan Ave Maria ala Mario Lanza, Trio Los Panchos dan lagu-lagu batak dari Trio Golden Heart. 

Mengenang Paman – Jalan2 Ke ITB


Suatu hari paman sedang berkunjung ke Bandung, seperti biasa paman mengajak aku yang saat itu masih sekitar kelas 2 SMP untuk jalan2. Ayah yang kebetulan  sudah pulang kantor dengan senang hati meminjamkan motor dinas beliau alias Suzuki A100 untuk kami gunakan berjalan-jalan. 

Namun sore itu sepertinya cuaca kurang bersahabat, aku juga kurang jelas, kemana sebenarnya paman mau pergi, alhasil di sekitar Wastukancana, hujan pun turun dengan lebatnya, tak sempat mencari tempat berteduh kami berdua cuma mencoba menempelkan tubuh kami ke dinding bangunan eks kolonial (skr menjadi kantor P2TP2A propinsi), yang tak urung membuat kami basah kuyup. 

Selesai hujan, ternyata paman melanjutkan perjalanan ke ITB. Kami pun masuk area kampus yang luas yakni sekitar 28,68 Hektar, dipenuhi rerumputan dan pohon2 besar nan hijau diapit dengan dua bangunan karya Henri MacLaine Pont yakni Aula Barat dan Aula Timur. 

Saat itu sepertinya sedang demo besar2an di ITB, seingat ku mungkin sekitar tahun 1981, yang berkesan ada tulisan sangat besar di atap Aula Barat ITB, dengan cat putih bertuliskan “Gantung Soeharto”. Di masa itu menulis seperti ini membutuhkan keberanian yang sangat. Karakter Soeharto yang keras bisa berakibat serius pada para penentangnya. Awal 1980 pemerintah mewajibkan semua partai dan organisasi sosial untuk menerima doktrin negara Pancasila sebagai “asas tunggal”, lalu pemerintah juga membatasi informasi yang disajikan via media. Pada era tsb wartawan banyak yang ditangkap dan media  diperkarakan, sepertinya Soeharto tidak mau demo ala Malari terjadi lagi.  

Paman nampak merenung dibawah pohon besar sambil menatap atap Aula Barat ITB , entah apa yang dipikirkan beliau saat itu, barangkali keinginan paman berkuliah yang terkendala karena kepindahan kami sekeluarga ke Sibolga tahun 1971. Sayang juga sebenarnya, seandainya paman tetap bersama kami dan kuliah di Bandung, barangkali akan lebih menyenangkan bagi kami sekeluarga. Namun paman akhirnya pindah ke Surabaya, dan justru memungkinkan beliau lebih dekat dengan nenek kami, yang memutuskan pindah ke Surabaya mengasuh anak paman kedua. 

Mengenang Paman – Ambil Buku Apa Saja yg Kau Suka


Jika paman ke rumah kami, baik saat di Denpasar maupun di Bandung, atau ketika giliran aku liburan ke Surabaya, yakni ke rumah paman kedua, maka paman selalu menyempatkan diri untuk jalan2 bersama aku. Salah satu lokasi favorit kami adalah Toko Buku Gramedia. Dengan bantuan paman aku melengkapi satu demi satu komik favorit karya Herge.

Paman sendiri juga menyukai komik, salah satunya Garth karya Frank Bellamy yang sempat  menjadi cerita bersambung di Harian Kompas. Cuma ya komiknya memang bukan buat kanak-kanak karena ada cukup banyak scene buat 17 tahun ke atas, meski sama sekali bukan komik cabul. Sepertinya, paman menyukai Garth, karena teks aslinya dibiarkan begitu saja oleh Gramedia, sehingga kita bisa membandingkan dengan subtitle di bagian bawah. 

Aku yakin, komik ini salah satu katalisator paman, untuk eksplorasi Bahasa Inggris, yang kelak sangat berguna bagi beliau saat mengambil Master of Philosophy di Upon Tyne, Newcastle. Sayang ilustrator Garth sang petualang waktu ini akhirnya berganti menjadi Martin Asbury yang kualitas gambarnya jauh di bawah Bellamy. Paman sempat menghadiahkan beberapa komik Garth yang diterbitkan oleh Gramedia pada abangku. Komik Garth terbitan Gramedia misalnya Aksi Wanita Galba, Mahluk Jurang Dasar Laut, Topeng Atacama, dll. Selain komik Garth paman juga sangat menyukai karya Frederick Forsyth, seperti The Dogs of War ataupun The Day of The Jackal.  

Kembali ke perjalanan kami, salah satu yang aku ingat saat di Surabaya, kami berdua naik motor paman, sering-sering hidungku terperangkap rambut kribo paman selama perjalanan. Begitu sampai di Gramedia, paman lsg mempersilahkan aku untuk mengambil buku apa saja yang aku suka.  Selain Tintin aku biasanya juga mencari Djoko Lelono, yang karya sci-fi nya bagi ku benar-benar ajaib, belum lagi dengan ilustrasi Wakidjan yang menambah misterius karya Djoko Lelono. 
Pulangnya paman mampir ke rumah teman wanitanya, dan beramah tamah dengan ortu teman wanitanya, kami pun diajak makan siang. Sepertinya paman memang punya daya pikat khusus pada lawan jenis, terutama jika melihat bagaiman keluarga teman paman menyambut kami dengan hangat. Untuk yang ini sepertinya aku berbeda dengan paman. 

Mengenang Paman – 4 Jurus Andalan


Saat SD entah kenapa aku sering sekali dibully, namun para pembully salah mengira, meski terlihat lembek, dari empat bersaudara justru aku yang paling keras kepala. Alhasil aku cukup sering berkelahi khususnya saat di SD namun apesnya sering kalah. Masuk SD saat berusia  lima tahun, membuat fisikku jauh ketinggalan dengan teman-teman sebaya yang rata-rata lebih tua dua tahun.  Ketika SMP frekuensi perkelahianku jauh menurun, namun secara fisik aku masih saja tetap kalah postur dan masih saja dibully. 

Berapa kali aku minta izin ayah untuk belajar karate, namun oleh ayah yang sebenarnya penggemar film-film action seperti Bruce Lee, malah tidak diizinkan. Belakangan aku tahu dari ibu, kalau ayah keberatan, karena kuatir anak laki-lakinya menjadi susah dikendalikan dan akan mengganggu wibawa ayah sebagai kepala keluarga. Alhasil alih alih karate, aku cuma diikutkan kursus Kolintang, alat musik bambu dari Minahasa, Sulawesi Utara. Bagaimana mungkin bertarung dengan keterampilan Kolintang ? 

Sampai suatu ketika, setelah meninggalkan Bandung, pindah ke Sibolga 5 tahun lalu Denpasar 5 tahun jadi total selama kurang lebih selama 10 tahun, ayah akhirnya kembali dipindah tugaskan kembali ke kota kelahiranku yakni Bandung. Paman yang kebetulan sedang berkunjung ke Bandung seperti biasa bercengkerama dengan keluarga kami. Biasanya setelah makan masakan Ibu yang sering sekali dirindukan paman, karena persis seperti masakan  nenek, pembicaran akan terus berlangsung berjam-jam, terutama karena baik paman maupun ayahku adalah sosok2 humoris. 
Karena di Bandung, aku kembali terlibat beberapa perselisihan, dan ada yang berakhir dengan adu pukul, namun ada juga cuma adu gertak seraya saling mengancam, aku akhirnya meminta paman yang memang berkarakter petarung mengajariku ilmu karate andalan beliau yang konon beliau pelajari di ITS. 

Keesokan paginya paman langsung bersiap, dan aku diberikan dasar kuda-kuda, teknik berkelahi miring, serta jurus tangkis dan pukul/tendang. Aku berlatih keras, dan dengan cepat menguasai keempat jurus tersebut, namun paman menolak memberikan jurus tambahan, menurut paman jurus yang dia berikan untuk sementara sudah cukup. Selain jurus paman, aku mengombinasikan latihan pukulan dengan memindahkan bobot tubuh ke kepalan sesuai dengan ajaran praktisi petinju nasional Samsul Anwar Harahap. 

Paman sempat wanti2 kalau aku harus hati2 dengan 4 jurus andalan tersebut, jangan sombong serta duluan cari masalah. Paman cerita pertarungan full body contact, agak beresiko, karena gigi depan beliau bahkan sempat patah. Sejak patah tersebut, paman sempat memelihara kumis tebal, agar tidak kehilangan jurus paman yang lain, alias “jurus ganteng” pemikat wanita he he.
Keempat jurus tersebut selalu ku ingat hingga kini, masih jelas rasanya kami berlatih di halaman samping, Dengan empat jurus tersebut, kepercayaan diriku kembali pulih.  Anehnya sejak itu, aku malah tidak pernah terlibat baku pukul lagi, kecuali dengan abangku, sekaligus perkelahian fisik terakhir kami. Sepertinya abang cukup jerih dengan ilmu karate 4 jurusku, jadi abanglah korban pertama 4 jurus andalanku. Sejak perkelahian dengan abang, hubungan kami akhirnya lebih sebagai sahabat ketimbang abang dan adik. 

Mengenang Paman – Konflik di Pematang Sawah


Antara tahun 1968 sd 1971, Bandung masih sangat dingin, dan persawahan dengan mudah kita temukan dimana-mana. Meski sudah ada angkutan umum, karena jumlahnya masih sedikit,  maka alat transportasi yang umum saat itu adalah becak, sepeda atau jalan kaki. Untuk berangkat dari kawasan Jalan Nilem ke SMA BPI yang berlokasi di Jalan Burangrang, paman memilih jalan kaki dan melewati pematang sawah menempuh jarak sekitar 1,7 km sekali jalan.
Selain paman, ada juga seorang pemuda bernama Riswan yang juga tinggal bersama kami. Karena ayah dan ibu juga adalah sosok perantauan maka ayah dan ibu selalu dengan tangan terbuka menerima siapapun yang merantau dan butuh sekedar tempat berteduh serta mau menerima makanan apa adanya. 

Antara paman dan Riswan akhirnya terjalinlah hubungan persahabatan, dan paman yang memang barkarakter petarung, senang sekali manakala mendengar cerita Riswan tentang duel ala anak Medan yang diakui Riswan sudah menjadi makanan sehari-harinya. Akhir kata paman menganggap Riswan benar-benar seorang jagoan tulen yang layak dijadikan contoh. 

Suatu hari saat berjalan kaki menuju sekolah, karena sawah sedang menggenang, maka kebanyakan orang yang berjalan kaki tentu saja memilih lewat pematang. Namun nampak kawanan pemuda yang sedang menempuh pematang sawah yang sama namun berlawanan arah dengan paman. Alhasil bertemulah mereka di tengah, dan paman tak mau turun dari pematang, begitu juga dengan kawanan pemuda tsb. Paman dengan galak meminta mereka yang turun, namun mereka yang juga kesal menolak dan mulai menunjukkan hanya duel yang bisa mengakhiri siapa sebenarnya Raja Pematang Sawah. 

Untung paman, detik-detik terakhir menyadari bahwa dia bakal kalah kalau sendirian, lalu paman yang tidak kehilangan akal menyindir mereka yang paman nilai hanya berani bertarung secara keroyokan. Tak hanya menyindir, paman lalu membentak kawanan tsb “Hai kalian yang cuma berani keroyokan, kalau memang kalian berani , tunggu di sini, saya akan memanggil saudara saya, dan kami berdua akan menghajar kalian !”. Lalu paman bergegas menuju rumah, dan mengajak Riswan duel sebagaimana cerita-cerita duel yang biasa diceritakan beliau. 

Anehnya Riswan terlihat terkejut, enggan, dan tak mau terlibat, dan bahkan terlihat sedikit pucat karena rencana pertarungan tersebut. Alhasil paman kecewa berat menyadari cerita Riswan nyatanya bertolak belakang dengan kenyataan, namun untuk kembali ke pematang, paman pun agak jerih kalau harus berhadapan dengan kawanan tersebut. Akhirnya hari itu dan beberapa masa ke depan, paman terpaksa menempuh rute yang berbeda setelah gagal mengajak Riswan duel.  Lalu mencoret Riswan dari daftar idola. 

Mengenang Paman – Saat Merantau ke Bandung


Tahun 1968, aku lahir di Bandung, pada saat yang sama pamanku (kelahiran 27/9/1952) yang sekaligus adik ibu (kelahiran 18/10/1935) terkecil merantau ke Bandung. Jarak usianya yang jauh dengan kakak dan abangnya nya dan usia kakek dan nenekku yang sudah lumayan sepuh, membuat keduanya tak lagi yakin memiliki kemampuan mendidik beliau. Apalagi saat itu, konon kabarnya paman mulai terkena polusi pergaulan anak-anak nakal di Padang Sidempuan.
Singkatnya kami akhirnya berkumpul di Bandung, tepatnya di jalan Nilem kawasan Buah Batu. Pada saat itu Ibuku memutuskan paman bersekolah di SMA BPI Jalan Burangrang, salah satu SMA swasta terbaik di masa itu namun sekaligus agak-agak hedonis di Bandung. Tak pernah kuduga,  beberapa tahun kemudian akhirnya aku dan kakak perempuan ku alias Kak eli (yang sudah duluan berpulang di Agustus 2018) juga bersekolah di SMP dan SMA BPI, seakan menapak tilasi perjalanan pendidikan paman. 

Catatan : BPI (Badan Perguruan Indonesia) hingga kini masih berdiri tegak di jalan Burangrang 
Lengkaplah sudah keluarga kami, ayah, ibu, paman, Kak Eli dan Bang Ucok serta aku sendiri bersama-sama selama 3 tahun dari 1968 sd tahun 1971. Di masa-masa itu, pamanlah yang mengasuhku, mulai dari menyuapi makan, bahkan sampai mengganti popok layaknya anak beliau sendiri. Kadang paman meletakkan ku di meja, sambil beliau belajar ujian akhir SMA dan persiapan masuk perguruan tinggi. paman juga sering memberiku pensil dan kertas, sehingga aku ikut mencoret2 dan meniru paman belajar di sisinya. 

Kadangkala saat ibu memasak, ibu meminta bantuan paman ke warung untuk belanja, paman tak lupa meggendongku dan menemani beliau belanja. Menurut ibu di masa itu secara fisik kami memiliki kemiripan, begitu juga dengan komentar pemilik warung disekitar rumah. Tapi sepertinya dengan berjalannya waktu, aku rasa secara fisik kami semakin tidak mirip sebenarnya.  Suatu waktu ibu yang baru pulang dari Medan, cerita bahwa ternyata putra bungsu paman alias Al pun memilki kemiripan paras dengan putra sulungku Alif.  

Menjelang kepindahan kami ke Sibolga sesuai penugasan ayah, paman yang berminat ikut saringan masuk ITB, sempat meminta izin untuk tinggal bersama uwa ku  (abangnya ayah) alias Maradjo Pohan yang berdinas di TNI dan berkediaman di Jalan Gandapura 8. Namun sepertinya karena tidak ada kecocokan, paman tidak jadi memutuskan pindah ke kediaman mereka. Entah karena beban pikiran akan tinggal dimana, mengingat kami sekeluarga akan pindah, paman akhirnya tidak fokus dan belum berhasil masuk ujian saringan di ITB. Namun paman justru masuk Arsitektur ITS dan memutuskan pindah ke Surabaya, dimana pamanku nomor dua berdomisili. Kamipun akhirnya berpisah, dan menjalani hidup kami masing2, namun paman masih terus menerus bersilaturrahim, dan selalu menyempatkan diri mengunjungi kami saat di Denpasar dan ketika kami kembali pindah ke Bandung, bahkan menjelang akhir hayat beliau.