Tuesday, February 07, 2017

Perjumpaan Agung 212 - Kafil Yamin


Awalnya saya menemukan banyak tulisan beliau yang dishare jaringan teman-teman  saya di facebook. Lambat laun saya follow sendiri dan tertarik dengan tulisan beliau yang jernih, logis, pendek-pendek namun bernas. Sepertinya gaya penulisan to the point ini karena beliau cukup lama menjadi koresponden media asing, dimana salah satunya saat-saat Timor Timur memisahkan diri dari Republik Indonesia. Selain sebagai jurnalis Kafil Yamin juga dikenal sebagai penulis buku, editor, mentor teknik penulisan, pegiat lingkungan dan konservasi alam. Misalnya status Kafil Yamin saat mengomentari acara Kita Indonesia, yang penuh sampah serta perusakan taman dengan

Aku tidak termasuk dalam kata KITA-mu.
Dan Indonesia terhina di-KITA-kan olehmu dengan cara begini, Ini bukan kebhinekaan.
Ini keterbelakangan, kebiadaban.

Semakin kesini, Kafil Yamin terlihat semakin mengikuti kata hatinya dalam menulis status, bisa jadi karena di facebook situasinya agak berbeda dengan menulis untuk media. Namun tulisannya meski semakin terasa berpihak (pada kebenaran yang diyakini beliau), tetap enak dibaca. Suatu hari, dengan difasilitasi seorang dokter yang berpraktek di Surabaya yakni Nikmah Sagran, Kafil Yamin memutuskan menulis tentang 212.

Sebagai alumni 212, buat saya membeli karya ini, membantu melihat peristiwa ini dari perspektif Kafil Yamin. Beliau membuat kronologis dua demo sebelumnya, menulis beberapa catatan saksi mata, dan yang paling mengasikkan adalah tulisan saat-saat KH Nonop dari Ciamis,  memutuskan untuk tetap jalan meski aparat pemerintahan keberatan, dan tidak ada satupun PO (perusahaan otobis) yang mau membawa mereka kuatir oleh aparat. Inisatif KH Nonop Hanafi inilah yang akhirnya memicu pergerakan masif yang menggerakkan hati masyarakat dari berbagai daerah datang ke Jakarta dalam aksi damai yang mungkin tercatat dalam sejarah sebagai salah satu aksi terbesar dunia. Lepas dari kontroversi jumlah massa sebenarnya.



Bagi yang percaya keajaiban, seperti awan yang melindungi rombongan mujahid Ciamis, makanan yang tidak putus-putus, para pedagang kecil yang menggratiskan dagangannya justru mendapatkan keuntungan yang berlipat, air hujan yang turun dan lalu berhenti seakan akan hanya untuk memberi kesempatan jamaah untuk berwudhu, bau wangi yang merebak, jamaah yang menjaga kebersihan, semua tanaman bahkan termasuk rumput sekalipun,  juga menjadi sebagian dari kisah-kisah yang disampaikan Kafil Yamin.

Meski agak kurang sreg dengan kata “Agung” dalam judulnya, membaca buku ini dengan hati,  tak urung menyebabkan haru, berkali kali saya tercekat, menghela nafas panjang dan berkaca-kaca. Kafil Yamin selain sebagai salah satu peserta dalam 212,  juga sengaja berkunjung ke Ciamis dan mewawancarai langsung santri sekaligus mujahid, sehingga membuat kisah ini semakin hidup. Meski cukup banyak error typho, namun secara keseluruhan, buku ini menarik untuk ditelaah, dan layak dimiliki alumni 212 ataupun pihak-pihak yang saat 212 berhalangan hadir dan ingin merasakan suasananya.

Cara mempertahankan, melindungi, meruwat NKRI itu bukan terutama dengan konsolidasi partai, menangkal gerakan ini-itu, melainkan dengan menegakkan keadilan di segala bidang, saling menghargai, saling bisa menempatkan diri.

Kafil Yamin