Wednesday, June 29, 2016

Megadeth - Dystopia

Kejutan buat saya saat Megadeth sang raksasa thrash metal masih merilis album baru di 2016.  Harapan besar langsung terbit melihat masuknya Kiko Loureiro (sang gitaris progressive metal asal Brazil alias Angra) dan Chris Adler (drummer Lamb of God). Keduanya jelas sama sekali bukan tokoh sembarangan di ranah progressive dan metal. Bagi saya boleh dibilang kelas Kiko nyaris mendekati level Petrucci, sebagaimana karyanya dalam Sounds of Innocence, Fullblast, Universo Inverso, dan No Gravity serta keterlibatan dia di Angra seharusnya menjadi jaminan bagi album baru ini. Kehilangan Shawn Drover dan guitarist Chris Broderick justru menjadi berkah tidak disangka-sangka bagi Megadeth. Mustaine sendiri pernah mengatakan Broderick dan Drover merasa tidak nyaman, karena fans lebih menginginkan Friedman dan Menza.

Saat persiapan awal album ini sebenarnya ada kesan Mustaine ingin mengulangi kesuksesan era Friedman, selain mengincar produser album di era tsb yakni Max Norman, juga adanya indikasi Mustaine mengontak Menza dan Friedman yang kini berdomisili di Jepang.  Sayang tidak terjadi kesepakatan, dan belakangan Menza malah meninggal karena serangan jantung. Akhirnya dengan Kiko dan Adler, serta formasi lama Ellefson, album Dystopia ini rilis juga. 



Apa arti dystopia ? ini adalah lawan kata utopia yakni suatu tempat atau negara yang nyaris sempurna yakni kata yang pertama kali diangkat dalam buku berjudul Utopia karya Sir Thomas More, sebaliknya dystopia saat suatu tempat atau negara berada dalam keadaan buruk. Lirik yang sinis seperti ini memang salah satu ciri khas Mustaine, yang vokalnya juga terdengar kadang seperti orang mengomel. Album ini terdiri dari 11 track dengan durasi  46:51

1.The Threat Is Real  (4:22) ***
2.Dystopia  (5:00) *****
3.Fatal Illusion"  (4:16) ***
4.Death from Within (4:48) ****
5.Bullet to the Brain  (4:29) ****
6.Post American World (4:25)  *****
7.Poisonous Shadows (6:02)  ****
8.Conquer or Die! Instrumental - (3:33) *****
9.Lying in State  (3:34) ***
10.The Emperor  (3:54) *****
11.Foreign Policy - Fear cover (2:28)

Setelah eksplorasi sebanyak 6 putaran, akhirnya saya harus menyimpulkan album ini tetap menunjukkan kuatnya dominasi Mustaine, dan hanya sedikit menyisakan ruang bagi Adler (yang masih bermain di ruang aman layaknya almarhum Nick Menza meski dengan skill yang lebih tinggi). Begitu juga Kiko, harapan saya agar album-album sekelas Rust In Peace ataupun Countdown To Extinction bisa muncul kembali bisa dibilang sirna seketika. Untunglah track-track seperti Dystopia masih mampu menghibur, dan permainan Adler yang super cepat sekaligus rapi membuat setiap track mendapatkan frame yang terasa begitu pas.



Sampai dengan 2016, album ini merupakan album studio ke 15 dari Megadeth, jelas lebih produktif dibanding Metallica 9 album ataupun Slayer 12 album. Kini terlihat jelas, dari kelompok yang biasa dinamakan Trinity of Thrash Metal ini, Megadeth lah yang paling produktif, sekaligus paling sering bongkar pasang pemain. Sedangkan dari sisi syair, Mustaine terinsipirasi dari sejarah dipadukan dengan trend teknologi saat ini.

Bagi saya beberapa track yang berkesan, solo Kiko dalam Dystopia atau permainan super cepat Adler dalam Fatal Ilussion. Secara keseluruhan track yang saya jagokan adalah Dystopia, Post American World, Conquer od Die ! dan The Emperor. Jangan lupa, Kiko pun pamer kemampuannya memainkan piano dalam Poisonous Shadow. Meski metacritic hanya memberikan nilai 69/100, namun Allmusic memberikan nilai 4/5 sedangkan Metal Hammer memberikan nilai 9/10. Secara artwork, layaknya Eddie dari Iron Maiden, Megadeth tetap setia dengan sosok tengkorak sejak album pertama alias Vic Rattlehead yang akrab dengan quote “See no Evil, Hear no Evil, Speak no Evil”.

Bagi genereasi penggemar metal 2010 an, nama Megadeth yang pamornya menjulang mendekati 1990 an, mungkin tidak terlalu tenar, sebaliknya dengan Lamb of God. Namun masuknya Adler, akan membuat mereka tahu bahwa Megadeth memang memiliki kelas tersendiri. Akhir kata, bagi saya album ini masih menjadi salah satu album terbaik Megadeth, memang sedikit dibawah keindahan Rust in Peace, namun secara teknis, presisi dan sound justru terasa lebih baik. 





Sunday, June 19, 2016

Seni Pengambilan Keputusan

Minggu lalu Presdir di perusahaan tempat saya bekerja, mendadak datang ke cubicle saya, namun melihat saya sedang sibuk conference call dengan Jabra headset terpasang di kepala, beliau meletakkan hadiah buku berjudul Execution karya Larry Bossidy dan Ram Charan di meja saya , yakni sebuah buku dengan tema “The Discipline of Gettings Done”.  Hemm jadi teringat masalah yang saya hadapi dengan bisnis saya dan istri yang baru saja terjadi, sepertinya buku ini menjadi sangat relevan.



Seminggu sebelumnya,  istri menelepon saya, karena aliran listrik di klinik bermasalah, server shutdown beberapa kali selama beberapa hari terakhir.  Seorang ibu yang sedang melahirkan, bahkan terpaksa ditangani dalam kegelapan. Situasi ini semakin rumit karena orang kepercayaan kami selama bertahun tahun yakni Pak Ahmad telah berpulang seminggu sebelumnya.

Syukur akhirnya kami mendapatkan pengganti, yakni Pak Ade yang sehari-harinya memang bekerja sebagai pegawai perusahaan yang merupakan subkon dari PLN. Namun sepertinya cukup berat bagi Pak Ade untuk langung menemukan pokok permasalahan, karena kami tidak memiliki peta yang jelas tentang konfigurasi aliran listrik di klinik.

Setelah 3x datang, Pak Ade sepertinya hampir menyerah, dan saya yang kebetulan baru kembali dari Jakarta langsung berdiskusi dengan Pak Ade. Menurutnya, dia harus membobok dinding di beberapa posisi lalu menjebol plafon di beberapa tempat untuk menelusuri kabel penyebab gangguan. Namun dia tidak berani melakukannya karena Edi petugas merangkap supir dan penanggung jawab kebersihan tidak mengizinkan “perusakan” asset klinik.

Setelah menimbang baik buruknya, sore itu juga saya langsung memutuskan untuk memberikan izin pada Pak Ade untuk membongkar bagian apa saja yang memang perlu dibongkar, karena operasional klinik seperti peralatan unit Gigi, Apotik, Kebidanan serta seluruh layanan yang tergantung pada aplikasi benar-benar terganggu, dan itu lebih penting dr sekedar kerugian akibat dinding atau plafon yang rusak.

Setelah jam praktek berakhir, Pak Ade pun mulai beraksi, dan tengah malam sekitar jam 01, setelah menjebol empat posisi di plafon, Pak Ade beruntung menemukan sumber short, karena kebetulan sekali terlihat percikan api di ruang kosong di langit-langit ruang kebidanan. Ternyata paku tukang atap, menembus instalasi kabel persis dibawah besi penyangga. Setelah menyelesaikan problem tsb, telah seminggu ini kelistrikan klinik kembali berjalan normal.

Apa moral of the storynya ?, jika saya memberi ruang pada Edi untuk mengambil keputusan setelah menjelaskan prioritas dalam operasional klinik, Pak Ade tidak perlu menunggu saya di hari Sabtu untuk bisa menyelesaikan masalah tsb. Atau jika sampai ke level saya, namun saya tidak mampu memilah mana yang prioritas, maka tingkat kepercayaan pasien terhadap klinik akan menurun, disamping resiko rusaknya peralatan. Jadi pastikan anda tahu prioritas dalam hidup, selalu kembali ke level prioritas manakala anda mengambil keputusan, disertai kesiapan menghadapi worst case yang mungkin terjadi.  






Monday, June 13, 2016

Southpaw (2015) - Antoine Fuqua

Tidak ada angin dan tidak ada hujan, mendadak Si Bungsu menyodorkan film ini pada kedua orang tuanya. Hemm bolehlah, kebetulan saya dan istri memang sedang ada waktu, maka kami pun meluangkan waktu untuk menontonnya. Hemm siapa sih aktornya ? astaga, ternyata Jake Gyllenhaal, sosok pemuda manis dalam film box office The Day After Tomorrow. Lahhh kok bisa ? penampilan dengan tubuh penuh tatto, dan wajah beringas, sehingga dalam film ini dia lebih mirip dengan Conor Mc Gregor, sosok yang mendadak mengagetkan saat menundukkan Jose Aldo Sang Juara UFC, hanya dalam belasan detik. 




Karena memang belum pernah membaca resensinya, cukup sulit menebak alur film ini, apalagi saya menduga-duga film ini akan setidaknya mengikuti salah satu film klasik berkesan yakni The Champ. Bagi saya casting-nya seharusnya cukup baik dengan menempatkan Jake sebagai pemeran Billy Hope, Sang Petinju lalu, Rachel Mc Adams yang memerankan Irene Adler dalam film Sherlock Holmes sebagai Maureen alias pendampingnya. Sayang tokoh promotor yang diperankan 50 cents, terlihat tidak berkarakter, demikian juga tokoh Leila sang anak yang diperankan Oona Laurence. Untung saja ada aktor sekelas Forest Whitaker yang dengan mantapnya memerankan Sang Pelatih yakni Titus "Tick" Wills. 

Namun salah satu paling mencolok dalam film ini memang permainan Jake Gyllenhaal yang benar-benar total, postur tubuhnya yang langsing namun berotot, ekspresi muram yang puncaknya adalah saat meraung sedih memeluk Maureen saat meregang nyawa, nyaris menyamai ekspresi legendaris Al Pacino saat menangis tanpa suara dalam film mafianya The Godfather 3. 

Pelajaran dalam film ini adalah, bagaimana kita bisa dipermainkan hidup, saat meraih puncak kebahagiaan di dunia namun harus terjerembab sekejap mata, ditinggalkan belahan jiwa, dipisahkan dengan anak tercinta, mengalami "perampasan" asset dan harta, terjebak alkohol, kecelakaan, dan memulai segala sesuatunya kembali dari bawah, yakni sebagai petugas pembersih di sasana milik "Tick".

Film ini juga menggambarkan dengan baik, saat Billy kehilangan akal sehat dan berusaha membalas dendam dengan menyiapkan senjata, namun urung membunuh karena maksud jahatnya terhalang rasa kasihan saat melihat anak-anak korban. Tidak aneh kalau kandidat tokoh Billy awalnya justru Eminem, melihat pakaian favorit Billy dalam film ini adalah jaket dengan hoodie, pakaian yang sering digunakan Eminem dalam film-filmnya. 

Kehilangan Maureen yang selama ini sebagai pelengkap Billy Hope, mulai dari negosiasi bisnis, perencanaan, pengambilan keputusan selain sebagai istrinya, menyebabkan Billy bukan cuma harus bertarung dengan lawan-lawannya di ring, namun juga promotor yang  lebih terkesan sebagai oportunis yang menghisap semua potensinya namun tanpa sungkan meninggalkannya saat terpuruk. 

Lumrah kalau seseorang dikagumi bukan karena terus menerus menjadi juara, namun juara sejati adalah manakala kalah dapat menapaki kembali tangga menuju juara. Sebagaimana karakter dunia nyata Muhammad Ali yang meraih 3 kali juara dunia di 1964, 1974 dan 1978, demikian juga karakter Billy Hope akhirnya meraih kesuksesan kembali dengan berjuang keras dari bawah, yang memberinya kesempatan kedua meraih bahagia dengan anak satu-satunya. Namun demikian, seimbangnya pertarungan sempat membuat emosi kita sebagai penonton ikut tersedot menunggu detik-detik pengumuman juara.  

Film ini juga dengan baik menggambarkan sisi mewah kehidupan di New York saat seseorang sukses dalam hidup dan sebaliknya situasi di kawasan apartemen murahan di daerah kumuh. Layaknya kontradiksi antara Sang Juara dan Sang Pecundang yang dapat singgah kapan saja dalam hidup kita.   




Jalan Tak Ada Ujung - Mochtar Lubis

Apakah yang kita harus punyai, agar kita bebas dari ketakutan ? 
Jules Romains 

Salah satu karya Mochtar Lubis yang berkesan bagi saya, adalah Manusia Indonesia, karya yang bisa dibilang relatif nyinyir terhadap kebanyakan karakter manusia di Indonesia. Memang tidak nyaman membacanya, namun sedikit banyak tulisan ini mengandung kebenaran. Di bagian akhir edisi revisi kita juga menemukan bagaimana Mochtar Lubis adu argumen dengan Sarlito Wirawan Sarwono, salah satu pakar psikolog nasional. 

Mochtar Lubis, lahir 7 Maret 1922, salah satu tokoh kritis yang bukan cuma dikenal sebagai sastrawan, melainkan juga jurnalis senior. Salah satu karya beliau yang fenomenal adalah Harian Indonesia Raya selain Majalah Sastra Horison. Saya ingat bagaimana Ayah almarhum mengkliping harian ini berjilid-jilid dan disususun rapi dalam perpustakaan keluarga kami di rumah. Sayang saat pindah rumah dari Sibolga ke Denpasar, banyak dari koleksi Ayah akhirnya hilang tak berbekas. 




Sebagaimana tulisan di Manusia Indonesia ini, begitu juga karya sastra "Jalan Tidak Ada Ujung" selanjutnya kita singkat dengan JTUA. Jangan harap anda menemukan tokoh pahlawan disini, sosok Guru Isa terkesan peragu, sekaligus penakut,  tokoh Hazil, sang pahlawan revolusi namun berselingkuh dengan tokoh Fatimah, istri Guru Isa. Lalu sekumpulan anak muda pembunuh sadis yang bersembunyi dibalik julukan "Pemuda Pejuang Kemerdekaan". Suasana keseluruhan novel ini memang muram dan bagaimana dunia dilihat dari kacamata sosok berkarakter penakut sekaligus pencemas. 

Kisah JTUA sendiri bermula di tahun 1946, ketika usai proklamasi, Belanda dengan menumpang Sekutu kembali berusaha menduduki Indonesia. Serdadu bayaran India termasuk Gurkha sedikit disinggung oleh Mochtar Lubis, yang mengingatkan kita bahwa dimasa itu, selain Jepang cukup banyak pihak yang terlibat dalam era Perang Dunia II. 

Sayang penggambaran mengenai situasi saat itu tidak banyak dibahas, karena Mochtar Lubis sepertinya lebih tertarik membahas situasi psikologis Guru Isa, menghadapi ketidakpastian situasi, pendapatan yang tidak menentu dari sekolah tempatnya mengajar, ketidakmampuannya menjalankan fungsi suami secara normal, keterlibatannya dalam memasok senjata gelap bagi pejuang revolusi, penghianatan istri dan sahabatnya, dan malam-malam nan penuh dengan bising suara tembakan. 

Bagi saya tokoh Guru Isa ini memang menggemaskan, seakan tidak berdaya menghadapi situasi yang dia hadapi, dan dipermainkan nasib dari halaman ke halaman. Walau demikian, cerita ini berakhir dengan "kemenangan" Guru Isa menemukan bahwa Hazil, si peselingkuh ternyata sosok pengecut yang akhirnya membuka topeng dirinya saat menyerah dan membuka rahasia yang menyebabkan mereka berdua ditangkap dan disiksa Belanda. Demikianlah, novel sastra yang ditulis tahun 1952 dan mendapatkan hadiah sastra dari BMKN, akhirnya selesai. 

Saya tutup review ini dengan satu paragraph menarik dari buku ini, sbb;

“Saya sudah tahu –semenjak semula—bahwa jalan yang kutempuh ini adalah tidak ada ujung. Dia tidak akan habis-habisnya kita tempuh. Mulai dari sini, terus, terus, terus, tidak ada ujungnya. Perjuangan ini, meskipun kita sudah merdeka, belum juga sampai ke ujungnya. Dimana ujung jalan perjuangan dan perburuan manusia mencari bahagia? Dalam hidup manusia selalu setiap waktu ada musuh dan rintangan-rintangan yang harus dilawan dan dikalahkan. Habis satu muncul yang lain, demikian seterusnya. Sekali kita memilih jalan perjuangan,maka itu jalan tak ada ujungnya. Dan kita, engkau, aku, semuanya telah memilih jalan perjuangan”