Wednesday, September 26, 2018

Mengenang Kak Eli – Diperebutkan Namun Tanpa Pemenang


Adat Batak mengenal istilah boru tulang, dimana boru = gadis sedangkan tulang = paman dari garis Ibu. Singkatnya jika seorang gadis memiliki sepupu lelaki yang merupakan anak saudara perempuan ayah maka sepupu lelaki tsb berhak meminang si gadis. Kebetulan ayah dan kedua abangnya memiliki enam saudara perempuan. Maka semua anak lelaki (21 orang) dari keenam saudara perempuan ayah dan kedua abangnya,  berhak meminang putri-putri dari tiga lelaki bersaudara ini. 

Siapa saja ? putri-putri dari Oloan Pohan (kami biasa menyebutnya Uwa Kayumanis) yakni Elisa Pohan, Erlina Pohan, Edrina Pohan, sementara putri-putri dari Maradjo Pohan (biasa dipanggil Uwa Gandapura) meski juga memiliki anak perempuan seperti  Ida Farida Pohan, Desi Yanti Pohan dan Yani Pohan, namun karena usianya jauh lebih muda dari  para sepupu lelaki, lagi pula saat Uwa Gandapura masih hidup beliau tidak banyak mengenalkan putri-putrinya ini, maka otomatis lolos dari radar. Terakhir putri-putri ayahku Syaiful Parmuhunan Pohan Rossa Yuliati Pohan dan Hanna Evawati Pohan. 

Kak Eli alias Rossa Yuliati Pohan, memang usianya berdekatan dengan para sepupu lelakinya, otomatis Kak Eli adalah salah satu yang masuk dalam radar, sementara Hanna Evawati Pohan adikku juga lolos dari radar, karena terlalu muda alias lahir di tahun 1974.  Jadi dengan hanya ada empat boru tulang (empat boru tulang lainnya, tiga putri Uwa Gandapura dan adikku tidak dihitung karena usia yang terlalu jauh), maka ada 21 sepupu lelaki yang dianggap layak masuk nominasi. 

Sebulan lalu Bang Zekie Harahap, cerita saat aku mengantar beliau ke Bandung dalam rangka ziarah ke makam Kak Eli. Bahwasanya beliau dan Ibunya Bou Bukit Tinggi (alias Djaunar Pohan) sempat ingin melamar Kak Eli, namun saudara perempuan ayah yang lain yakni Bou Tanjung Priok (alias Nurdia Pohan) meradang dan melarang siapapun mendekati Kak Eli, karena beliau ingin menjodohkan anaknya Amazone Dalimunthe dengan Kak Eli. Salah strategi karena mereka ke Bandung Bersama Bou Tanjung Priok, akhirnya proses lamaran ini tak menemui hasil.  Konon kabarnya Bou Tanjung Priok sempat meraung di kediaman Uwa Gandapura, karena sangat keberatan dengan lamaran ini. 

Alhasil perjodohan Zekie Zulkarnaen Harahap dan Kak Eli pun gagal sudah.  Entah karena lama tinggal di Tanjung Priok dan bergelut dalam usaha EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut), Bou Tanjung Priok memang dikenal berwatak keras dan ekspresif. Itu sebabnya ayahku sempat wanti-wanti ke Ibu, bahwa beliau pun tidak ingin besanan dengan adiknya yang terkenal dengan kekerasan wataknya tsb. 

Ibu sendiri sebenarnya suka dengan dua dari baberenya (panggilan tulang dan nantulang kepada anak lelaki dari saudara perempuan tulang). Siapakah mereka ? yakni Dahrun Siregar, putra sulung Bou Tanjung Kaso (Salbiah Pohan) dan juga Zekie Zulkarnaen Harahap , putra keempat dari Bou Bukit Tinggi. Sayang Dahrun Siregar saat itu pun sudah memiliki teman dekat wanita, sehingga bahkan lamaran pun tidak ada sama sekali. 

Puncak dari semua situasi ini justru anti klimaks, alias tak pernah ada lamaran dari Bou Tanjung Priok, ironisnya setelah ybs berhasil menggagalkan lamaran Zekie Zulkarnaen Harahap. Pada akhirnya Kak Eli memutuskan menikah dengan sorang pria asal Jawa bernama Suparno Syahroni pada tahun 1991 ketika Kak Eli berusia 29 tahun, yang biasa kami panggil Mas Parno. Meski Kak Eli sebelumnya sempat dekat dengan seorang pria bermarga Nainggolan, juga seorang gitaris band indie bernama Djoko, eksekutif salah satu bank pemerintah bernama Mizwar dan dikejar-kejar seorang pria agresif asal Kalimantan bernama Budi (yang konon kabarnya sempat menempuh jalan supranatural). 

Kisah boru tulang yang lain, konon kabarnya Andi Harahap putra kedelapan Bou Bukit Tinggi, sempat juga tertarik dengan Edrina Pohan, namun pada saat itu Uwa Kayumanis sepertinya lebih tertarik dengan Arlin Syafril, anak sulung  Bou Lena (alias Nurlena Pohan). Hanya Bou Lena sendiri tidak pernah melamar Edrina Pohan. Situasi segitiga tarik menarik sekaligus saling tunggu ini akhirnya tak menghasilkan apapun, dimana Arlin Syafril, Edrina Pohan dan juga Andi Harahap berjodoh dengan pasangan mereka masing-masing. 

* Penamaan Uwa Gandapura, Uwa Kayumanis, Bou Bukit Tinggi, Bou Tanjung Kaso, Bou Tanjung Priok mengacu pada lokasi tempat tinggal mereka, adalah bagian dari penghormatan, untuk menghindari penyebutan nama langsung, yang merupakan adat istiadat masyarakat Batak.  

Tuesday, September 25, 2018

Mengenang Kak Eli - Jualan di Klinik Nadhifa Al Ghiffari


Tahun 2014, saat anak bungsunya Zahra yang memang fokus di dunia musik diterima di SMKN 10 Bandung, Kak Eli atas izin Mas Parno,  memutuskan untuk mendampingi anaknya di Bandung. Rencananya setelah 3 tahun, Kak Eli akan kembali ke Batu, Malang.  Karena tempat kos Zahra di Kawasan Cijawura Hilir relatif kecil, Kak Eli memilih tetap tinggal di rumah Ibu, lalu bolak balik dari Awiligar ke Cijawura Hilir nyaris setiap hari, menempuh sekitar 26 km pp dengan waktu total hampir dua jam. 

SMLKN10 yang cuma berjarak sekitar 4 km dari klinik yang aku kelola bersama istri, menyebabkan Kak Eli akhirnya tertarik berjualan di klinik tsb. Kebetulan Juni 2014, aku dan istri baru saja buka usaha ini, setelah dibangun sejak pertengahan tahun 2013. Di salah satu pojok depan (persis di depan ruangan bidan), akhirnya Kak Eli memutuskan membuka outlet 2x2 meter, dengan berbagai produk makanan dan minuman. Kak Eli juga berjualan balon bagi pasien anak-anak yang perlu dibujuk untuk menjalani terapi. 

Meski ada pebisnis yang tertarik jualan di lokasi tsb dengan membayar sewa, aku dan istri menolaknya dan lebih memilih Kak Eli untuk dapat mendayagunakan lokasi tersebut sebagai outlet tanpa mesti membayar uang sewa. Aku dan istri juga menawarkan Kak Eli untuk mengelola instalasi gizi, khususnya bagi pasien rawat inap, sayang Kak Eli belum bisa fokus, karena sering harus mengawal Zahra konser, sehingga terpaksa istri menangani instalasi gizi kembali. 

Kadang Kak Eli juga berjualan produk makanan hasil karya sendiri atau berdasarkan pesanan. Salah satu produk unggulannya adalah roti mentega ala Roti Boy, yang kebetulan memiliki pabrik di dekat rumah Ibu. Saat berjualan ini, karena pembawaanya yang ramah, Kak Eli mendapatkan banyak sahabat dari kalangan pasien. Setelah meninggal, cukup banyak pasien yang kehilangan Kak Eli dan bertanya pada istriku. 

Saat berjualan disini, Kak Eli sering istirahat di salah satu kamar Rawat Inap (jika sedang tidak ada pasien), di antara shift pagi dan shift malam yang berjarak sekitar 5 jam. karena kalau harus bolak balik ke Awiligar bisa menghabiskan 2 jam sendiri. Sayangnya sekitar 2016 saat istirahat di Rawat Inap, sepeda motor Vario putih yang baru yang dibelikan Mas Parno untuk Kak Eli, hilang dicuri orang. Kak Eli akhirnya membeli sepeda motor Vario bekas berwarna merah milik Abangnya Edi,  supir yang sehari-hari bekerja di klinik. Motor inilah yang Kak Eli bawa tanggal 9 Agustus 2018, dimana Kak Eli akhirnya berpulang akibat kecelakaan lalu lintas. 

Ada banyak karyawan yang menganggap Kak Eli layaknya Ibu mereka sendiri, termasuk Nurma salah satu bidan, Edi yang sehari hari bekerja sebagai sebagai supir, Ikhsan, fisioterapis yang seringkali menjadi rekan Kak Eli  dalam mengaji Quran dan bahkan sampai Kiki yang sehari-hari bertugas sebagai Cleaning Services. Saat Kak Eli meninggal, para karyawan klinik datang dalam 2 rombongan untuk berziarah, termasuk Nurma yang jauh-jauh sengaja datang dari Garut. 

Kalau kebetulan pada Hari Sabtu, aku sudah di Bandung, aku dan istri sering mengajak Kak Eli makan siang bersama di rumah kami. Pada hari lain jika kebetulan sedang tidak memasak, istriku dan Si Bungsu yang bergantian mengajak Kak Eli makan di luar rumah. Salah satu tempat favorit kami adalah Bakmi Naga di Transmart, terusan Buahbatu,  yang sayangnya sekarang ini sudah tutup. Kadang Kak Eli membawakan gule ayam kampung yang dia masak sendiri, juga kerupuk singkong dengan bumbu cabe dan udang rebon masakan Ibu, yang sangat disukai Si Bungsu. Kadang Si Bungsu masih teringat suasana makan siang bersama bibinya alias Kak Eli, yang selalu penuh dengan keceriaan, kehangatan dan bumbu humor. 

Setelah Kak Eli meninggal. etalase outletnya atas permintaan dan izin anak dan Mas Parno suaminya kami wakafkan pada aktifis masjid sekitar klinik, untuk dapat digunakan dan semoga menjadi amal yang berkesinambungan bagi beliau. 

Monday, September 24, 2018

Mengenang Kak Eli – Memulai Bisnis Katering


Setelah Mas Parno pulang dari Dusseldorf setelah bekerja setahun, maka tahun 1993, Kak Eli dan suaminya memulai bisnis katering di Bandung. Selain katering, Kak Eli juga melayani pembuatan Kue Pengantin, dengan aku sebagai fotografer pengantinnya (jika diperlukan). Disamping itu kami juga jualan Bubur Ayam di Lapangan Gasibu setiap akhir minggu, membuka stand makanan di event-event khusus, diantaranya Pasar Seni ITB, juga jika tempat kerjaku saat itu di Pusat Komputer ITB (PIKSI ITB) memiliki acara seminar teknologi. Disamping itu Kak Eli dan Mas Parno juga membuka warung Mie Bakso di halaman depan rumah Ibu. 

Beberapa event berkesan bagiku adalah pertama, Pasar Seni ITB, dimana kami untung besar karena melimpah ruahnya pengunjung, dan sampai-sampai membentuk antrian yang panjang.  Pengunjung bahkan langsung duduk meski meja belum sempat dibersihkan. Sayang kualitas pemasok untuk sebagian daging ayamnya kurang bagus, karena ada indikasi disuntik dengan air, yang terbukti saat digoreng terjadi sangat banyak letusan, agak hambar dan cenderung memerlukan waktu yang lama saat dimasak. Keberhasilan di event ini sangat banyak memompa semangat kami dalam bisnis ini. 

Sepulang dari event, masih banyak stok ayam tersisa, kami goreng ulang sampai kering dan makan beramai-ramai di rumah selama beberapa hari. Ternyata bumbu tepung racikan Mas Parno tak kalah dengan ayam gireng tepung di restoran franchise terkemuka. Agar makan tambah seru, aku beli beberapa lusin softdrink  

Pengalaman berkesan kedua, adalah Kue Pengantin yang dipesan salah satu teman kuliah wanita. Saat proses pengantaran, karena sangat jeleknya jalan dari rumah kami di Kawasan Awiligar ke Kawasan Jalan Gagak menyebabkan Kue Pengantin cacat berat. Hampir saja konstruksi kue bertingkatnya rubuh, dan walaupun akhirnya sampai di lokasi acara, namun kondisi kuenya bisa dikatakan cukup menyedihkan. Namun penderitaan pengantin tersebut masih bertambah, setelah aku pun salah set parameter blitz, yang mengakibatkan nyaris seluruh hasil pemotretan ku kekurangan cahaya. Kalau mengingat situasi saat itu, malunya masih terasa hingga kini. Koreksi cahaya di masa itu cukup sulit, karena masih menggunakan film negatif. 

Pengalaman berkesan ketiga, adalah saat pulang jualan Bubur Ayam dari Gasibu dengan Mas Parno, mobil yang saat itu sudah berusia 24 tahun, mendadak turun lagi karena sudah tak kuat menanjak. Terpaksa ambil ancang-ancang dari jauh, barulah mobil VW Variant 1968 peninggalan Uwa Gandapura (Maradjo Pohan) yang dibeli ayah dari uwa perempuan tsb bisa kembali naik. Belakangan, baru diketahui penyebabnya, ternyata koplingnya mengalami slip dan karena sudah sangat menipis maka harus segera diganti. 

Kurang lebih setahun setelah bisnis katering ini berjalan, Mas Parno bekerja sebagai Chef di Restoran Kintamani di bilangan jalan Lombok. Selama setahun bekerja disana, alhamdulillah katering kebagian order untuk menyediakan makanan karyawan. Sayangnya karena order katering yang tidak stabil, tahun 1994 Kak Eli dan Mas Parno memutuskan untuk berhenti dari bisnis katering dan dengan Viko yang saat itu masih menjadi satu-satunya anak mereka, berangkat ke Hotel Purnama, Batu, Jawa Timur,  untuk memulai karir dan kehidupan baru di sana. 

Wednesday, September 19, 2018

Mengenang Kak Eli - Kasih Kakak dan Masalah Jantungku.


Sejak awal tahun 2017, karena sedang tergila-gila pada olahraga bersepeda (serta jalan cepat dikombinasikan dengan lari) untuk memenuhi target sekitar 230 km / bulan, aku bahkan sengaja menghentikan obat rutin diantaranya pengencer darah (juga kolestrol) . Selama setahun lebih aku memulai kebiasaan baru ini, dengan menggunakan sepeda lipat Dahon seri Roo,  bahkan kadang menempuh jarak nyaris 50 km sekali jalan selama 3 jam, melewati rute Bandung – Soreang. 

Di awal 2018, meski berhasil menurunkan berat sebanyak 10 kg, namun badan mulai terasa tak enak. Istri langsung memutuskan untuk cek tekanan darah dan ternyata positif tekanan darah tinggi, lanjut ke pemerikasaan EKG, memang  terlihat ada kelainan. Akhirnya dengan diantar istri aku melakukan USG jantung dengan ditangani dr. Agus Thosin SpJP. Ternyata jantung bagian depan mengalami pembengkakan, nyaris 2x normal, akibat olahraga keras saat hipertensi. 

Saat Kak Eli tahu hal ini, beliau menangis sedih seakan-akan akan kehilangan aku adiknya untuk selama-lamanya. Belakangan Mas Parno suaminya cerita, bahkan Ke Eli mengatakan padanya bahwa Kak Eli rela tukaran penyakit dengan aku, adiknya,  asalkan aku kembali sehat seperti sedia kala. Saat proses rehabilitasi berkali-kali Kak Eli mengontak aku, untuk tahu perkembangan dari waktu ke waktu. 

Alhamdulillah saat ini dengan obat2an rutin dan mengurangi dosis olah raga yang pelan-pelan kembali dinaikkan secara gradual, parameter jantungku menunjukkan banyak perbaikan. Namun siapa yang menyangka, Kak Eli ternyata “pulang” duluan. Satu hal, cerita Mas Parno, membuat aku tersadar betapa sebagai kakak, beliau memang benar-benar tulus menyayangi adiknya. 

Monday, September 17, 2018

Mengenang Kak Eli – Membaca Catatan Harian Abang


Dalam keluarga ku ada semacam tradisi membuat catatan harian, yang awalnya diinisiasi oleh Ibu yang memang suka sekali bercerita.  Dari empat bersaudara seingatku, Kak Eli, Bang Ucok dan aku akhirnya ketularan juga membuat catatan harian.  Namun selain hobi tersebut, aku juga memiliki hobi sampingan, yakni membaca catatan harian mereka. He he jelas lah ini hobi yang kurang tepat, karena sama saja dengan membuka aib Sang Penulis, namun harus diakui isi catatan harian mereka menarik sekali. 

Catatan ini biasanya ditulis menggunakan buku agenda tebal yang memang sering diperoleh ayah dari perusahaan tempatnya bekerja dan juga perusahaan partner (umumnya buku agenda yang dirilis oleh bank). Bukunya tebal , disampul dengan baik dan seringkali sudah disusun sesuai dengan format tanggal. 

Catatan harian Ibu, cenderung membuat sedih dan muram ibarat karya progressive rock nya Steven Wilson. Kenapa ?  karena sepertinya Ibu lupa menulis saat senang dan sebaliknya nyaris selalu menulis di kala sedih. Jadi tidak mudah secara psikologis membaca catatan harian Ibu. Catatan Kak Eli sebaliknya penuh dengan kisah asmara, layaknya cerpen di Majalah Gadis (dan ilustratornya  Si Jon yang sangat terkenal di masa tsb).  Namun catatan harian terbaik, aku kira adalah milik Bang Ucok, yang lengkap dengan petualangan ala Tom Swayer dan Huckleberry Finn, dan juga dengan bumbu kisah dewasa (meski imajinasi semata). 

Belakangan aku baru tahu, kenapa Ibu mendorong kami anak-anaknya membuat catatan harian, ternyata ini bagian dari cara Ibu mengontrol perilaku kami saat jauh dari rumah. Catatan harian Ibu dan Kak Eli, dapat diakses dengan mudah, mungkin karena mereka juga tidak bermaksud merahasiakannya. Sebaliknya Catatan Harian Bang Ucok, memang tidak mudah ditemukan. 

Namun pucuk dicinta ulam tiba, saat kami sekeluarga pindah ke Denpasar, Bali, dan menetap di Jalan Gadung, bilangan Kreneng  sebelum pindah untuk keduakalinya ke Sanglah. Aku dan Kak Eli menemukan Catatan Harian Bang Ucok di Gudang samping rumah, tepatnya  di antara peti-peti barang pindahan yang belum sempat dibereskan oleh ayah. Berdua di keremangan sore aku dan Kak Eli cekikikan  membaca catatan tersebut khususnya petualangan Bang Ucok dengan sahabatnya Samsuri yang terobsesi dengan cerita-cerita 18 thn keatas. 

Kejutan buat kami fantasi kebablasan Samsuri, lelaki bermata sipit, putih, bertubuh kecil serta kurus yang memang sangat dekat dengan Bang Ucok, sepertinya memang sangat menginspirasi Bang Ucok. Meski kuat dugaan bahwa ini bukanlah kisah sebenarnya melainkan hanya  fantasi berlebihan dari Samsuri.  Namun tak urung membuat aku dan Kak Eli berdebar-debar membaca kisah yang tertulis di buku tersebut.  Belakangan Bang Ucok sangat marah campur malu setelah tahu aku dan Kak Eli membaca catatan hariannya. Entah dimana kini catatan tersebut kiranya berada. 

Thursday, September 13, 2018

Kenangan Soal Mobil Part #10 dari 10 : Wuling


Wuling Confero 

Setahun lalu tak pernah terpikir bakal beli Wuling Confero, namun setelah cari sana sini mobil yang paling pas untuk dijadikan ambulans dan dengan batasan budget yang ada (karena harus ditambah biaya modifikasi), akhirnya pelan-pelan pilihan mulai beralih ke Wuling. Keraguan saya juga mulai sirna, karena setelah setahun diluncurkan, pada hari saya sengaja surfing sama sekali tidak ada info used carnya baik di OLX ataupun Carmudi diperkuat juga setelah melihat video pabrik nya di Youtube. Jadi kenapa saya beli Wuling ?

  • Murah (karena menerapkan Supplier Park dengan nyaris seluruhnya mengandung konten lokal kecuali transmisi dan mesin). 
  • Jaringan services lokal sudah lebih dr 50.
  • Teknologi mesin punya GM (General Motor) yang memang memiliki saham di pabrikan Wuling. 
  • Spacenya luas dengan langit2 tinggi, cocok buat ambulans.
  • Garansi cukup lama, yakni kelistrikan 2 tahun dan mesin 5 tahun. 

Masih ragu dengan Wuling Confero yang dikenal di luar dengan nama Hongguang ? Catatan tambahan, mobil ini masuk 10 besar mobil terlaris dunia 2017. Bahkan untuk MPV bisa diklaim sebagai MPV terlaris dunia, meski pangsa pasar terbesar memang di China, dengan pangsa terbesar MPV dunia 46% nya ada di Indonesia. Hanya saja di Indonesia pangsa pasar sebesar 46% itu rebutan antara Avanza, Xenia, Ertiga, APV, Xpander, dll. 

Di price list tertulis untuk yang paling sederhana seharga IDR 139,3 Jt, versi diatasnya sedikit lebih mahal IDR 2 jt, namun memiliki AC dengan double blower. Kuatir pasien kepanasan maka saya putuskan memilih versi double blower  ini.  Rencana saya untuk test drive dan membeli jika hasil test drive sukses saat event GIIAS serta sekaligus  mendapat diskon IDR 13 jt gagal karena mendadak ada urusan keluarga. 






Uniknya Wuling Soekarno Hatta Bandung, ternyata sanggup menyediakan diskon yang sama dengan GIIAS, dan salesnya sengaja ke Jakarta untuk mendapatkan stempel dari Wuling Jakarta, agar meski di Bandung saya bisa mendapatkan diskon GIIAS yang sama. Bahkan sales Bandung masih bisa mengusahakan diskon tambahan IDR 1 Jt, dengan bonus kaca film, karpet dan talang air. Alhasil saya putuskan membeli di Bandung.  Berikut ini beberapa keunggulan Wuling Confero yang saya beli, 

  • Sudah ada audio sederhana dengan radio / usb mp3.
  • AC double (dan ternyata sangat dingin)
  • Soket USB di baris belakang. 
  • Power window di 4 jendela.
  • Central lock.
  • Duck tail plastik/fiber (meski agak sedikit bergelombang). 
  • Tenaga bagus. 
  • Mesin halus. 
  • Led Sein Spion 
  • Kopling ringan. 
  • Bodi tebal. 
  • Seat belt di semua jok. 
Untuk modifikasi menjadi ambulans saya kontak Mas Aji Prasetyo, yakni dari Max Creative, yang bengkel modifikasinya berada di bilangan Mekar Wangi, dan beliau memang memiliki spesialisasi khusus untuk ambulans. Hemm apa kekurangan model Wuling  yang saya beli ? meski menurut saya masih kekurangan yang wajar karena memang harganya sangat kompetitif.  

  • Wiper belakang tak ada.
  • Indikator penggunaan bahan bakar vs jarak tak ada.
  • Perpindahan gigi 1 dan 2, idealnya diatas 2500 rpm dan kopling dilepas perlahan, krn kalau tidak, maka muncul “endutan” dan suara aneh dari sekitar transimisi. 
  • Tak ada airbag (masih bisa saya tolerir karena lebih akan lebih sering digunakan dari lokasi klinik ke beberapa Rumah Sakit terdekat). 
Ingin versi yang lebih lengkap ?, termasuk audio yang lebih lebar, display dashboard yang lebih informatif, lampu kabut, led bemper depan, airbag, tpms (monitoring tekanan udara keempat ban) dll ya lebih baik ambil Confero S. 


Wednesday, September 12, 2018

Mengenang Kak Eli – Karir


Aku tak tahu persis kenapa Kak Eli memilih National Hotel Institute (NHI), Bandung sebagai tempat kuliah.  Ada beberapa jurusan seperti Room Division, Food and Beverage, Kitchen, Pastry dll NHI, namun ketimbang Kitchen, Kak Eli memilih mengambil Pastry. Entah karena di Pastry lebih memungkinkan untuk mengakomodasi bakat seni Kak Eli, sementara kalau Kitchen cukup berat secara fisik. Mungkin Itu juga sebabnya  banyak Ibu rumah tangga yang jago memasak, namun restoran besar selalu lebih memilih laki-laki sebagai pekerjanya. Karena memasak untuk 100 orang misalnya secara fisik bukan lah kerja mudah, belum lagi dibalik setiap restoran besar pasti ada dapur yang penuh dengan hiruk pikuk dan tekanan, yang kurang pas bagi kebanyakan wanita. 
Masuk NHI tahun 1982, Kak Eli memulai bekerja di Hotel Savoy Homann, Bandung tahun 1983, sekitar 1989 Kak Eli memutuskan kuliah kembali, dan itu tahun dimana Kak Eli bertemu dengan Mas Parno yang baru dipindahkan dari Hotel Panghegar setelah bertugas sejak 1987 sd 1988, dengan alasan karena Homann sedang membutuhkan chef. 

Setelah lulus D2, Pada tahun 1990 Kak Eli (dan Mas Parno) ditugaskan ke Hotel Victoria Panghegar di Ujung Pandang dalam membantu mitra Panghegar Group lalu Tahun 1991 mereka berdua kembali ditugaskan untuk membangun mitra Panghegar lainnya yakni Hotel Plaza Panghegar di Magelang. Dua tahun ditempatkan oleh Panghegar Group di Ujung Pandang dan Magelang membuat mereka semakin akrab, sehingga 1991 mereka memutuskan menikah. 

Mas Parno lalu memutuskan bekerja di Hotel Puncak Pass selama setahun, sementara Kak Eli justru memutuskan fokus sebagai Ibu Rumah Tangga atas permintaan Mas Parno.   Tahun 1992 Mas Parno terbang ke Jerman untuk bekerja selama setahun di Dusseldorf. Sepulang dari Jerman yang menurut Mas Parno masih tidak nyaman karena tingginya kriminalitas  akibat reunifikasi Jerman Barat dan Timur, mereka sempat usaha catering di Bandung. Juga sebagai sambilan mencoba wirausaha dengan jualan Bubur Ayam di Gasibu dimana aku sempat terlibat sebagai marketing merangkap supir catering (dengan menggunakan Toyota Hi Ace Diesel) . Saat itu kami mendapatkan beberapa proyek berkesan diantaranya Pasar Seni ITB.  Mas Parno lalu lanjut bekerja sebagai chef di Restoran KIntamani, bilangan jalan Lombok, Bandung. Restoran an Café 24x7 ini sempat terkenal sebagai tempat terakhir yang dikunjungi Nike Ardilla sebelum tewas akibat kecelakaan di Jalan Riau tahun 1995.   

Sekitar tahun 1994 Mas Parno dan Kak Eli pindah ke Hotel Purnama, Batu, Jawa TImur dan bekerja sd 1998. Bang Ucok yang ingin memiliki bisnis retoran lalu mengajak mereka membuka restoran di Kelapa Gading, Jakarta.  Meski business plannya untuk 2 tahun, namun masuk tahun kedua karena tidak berjalan sesuai harapan, mereka memutuskan di tahun 1999 untuk pindah ke daerah Gas Alam di Depok dan kembali membuka restoran disana. Saat di Kelapa Gading salah satu menu dahsyat racikan Mas Parno adalah Lele Kering Goreng Sambal. Ada beberapa cerita mistis menarik yang mereka alami di Kelapa Gading terkait persaingan usaha dengan penjaja kuliner lainnya. Mungkin akan aku coba ceritakan di bagian lain.

Tahun 2000 sd 2001, Mas Parno dan Kak Eli mengelola usaha di Kantin Manulife daerah Stasiun Kereta Api Cikini. Kak Eli juga menyambi sebagai sales produk Manulife dan istriku sempat menjadi nasabahnya. Tahun 2002 Mas Parno mencoba usaha lain yakni berjualan Mie Baso di sekitar Sabang, dan 2003 sd 2007 menjadi chef di Steak Gandaria, Jakarta Akhir 2007 Mas Parno dipanggil kembali oleh Hotel Purnama, Batu, Jawa Timur yang terkesan dengan kualitas kerja beliau di periode sebelumnya dan bekerja kembali sebagai senior chef sampai dengan 2017 dimana Mas Parno akhirnya pensiun sekaligus mengakhiri karir profesional nya di sini. 

Sementara Kak Eli di Tahun 2015 sampai dengan akhir hayatnya di 2018 sempat tinggal di  Bandung untuk menemani anak bungsu mereka bersekolah di  SMKN 10, dan lalu lanjut kuliah sejak 2017 di UPI, Bandung. Sambil mendampingi anaknya sekolah, Kak Eli juga membuka outlet makanan dan minuman bagi para pasien di klinik milikku dan istri. 

Mengenang Kak Eli – Tajamnya Indra Keenam


Sekitar 17 tahun yang lalu, Kak Eli (dan Bang Ucok)  ikut program pengajian yang cukup unik alias mencoba menelaah Al Quran dari sisi numerik. Metoda yang digunakan adalah mengaji dengan cara yang khusus. Saat itu  pengajian ini disebut juga dengan pengajian KITRI. Namun saat Kak Eli mendalami program ini, sang penemunya alias Lukman AQ Soemabrata (1933-1996), kebetulan sudah berpulang. 

Aku tidak mengikuti pengajian ini secara khusus, namun cukup tertarik mengamati bagaimana Quran tidak cuma memiliki dimensi secara ayat, tafsir (kenapa suatu ayat diturunkan), kapan diturunkan dan kini secara numerik. Misal kenapa Quran format Utsman tidak disusun sesuai kedatangan, kenapa harus 18 baris, dan kenapa2 lainnya. Belakangan baru menyadari putra Lukman AQ Soemabrata,  (berinisial RWS) ternyata salah satu General Manager alias atasan ku di Sisindosat, perusahaan tempat aku bekerja saat itu. 

Ilmu aneh ?, aku rasa tidak juga karena setelah ilmu komputer semakin banyak digunakan dalam pengelolaan data, terlihat bahwa Quran memang memiliki kekhususan dari 


  • Jumlah kata dalam ayat / Qur’an
  • Jumlah huruf dalam ayat / Qur’an
  • Pengulangan masing2 huruf
  • Pengulangan kata dalam Qur’an
  • Nomor surat / ayat dengan kata2 tertentu.
  • Penyebaran huruf dalam surat
  • Nomor ayat / surat dalam surat / ayat tertentu.
Saking teraturnya alam ciptaan Allah SWT ini, Galileo (1564-1642) bahkan pernah berkata bahwa  “Mathematics is the language in which God wrote the universe”. 

Bayangkan sebagai contoh saja, bagaimana dalam Quran kata Hidup (al-hayah) vs Mati (al-maut)  bisa berjumlah sama yakni 145x, atau kata Ingkar (al-kafirun) vs Neraka (an-nar) sama-sama berjumlah 154x, atau kata hari (yaum) dalam bentuk tunggal muncul 365 (sama dengan hari dalam setahun), Kata hari (ayyam/yaumain) dalam bentuk jamak muncul 30 (sama dengan hari dalam sebulan) dan Kata bulan (syahr/asyhur) muncul 12 kali (sama dengan jumlah bulan dalam setahun). Lengkapmya silahkan cek di http://hipohan.blogspot.com/2015/11/misteri-angka-dalam-al-quran_18.html

Istri dan murid-muridnya lah yang akhirnya melanjutkan pengajian tersebut. Setelah beberapa tahun mengikuti pengajian tersebut, dengan pola pembacaan Quran secara khusus, Kak Eli jadi memiliki semacam kemampuan khusus terkait indra keenam. Sayang kadang Kak Eli kadang kesulitan menganalisa atau menceritakan apa yang terlihat dengan mata batinnya. Kemampuan ini diperoleh dengan berzikir sesuai dengan aturan yang diterapkan oleh pengajian. 

Seperti apa kemampuannya ?, misalnya untuk menganalisa penyebab dari suatu peristiwa, memahami karakter orang, “melihat” pikiran orang lain, namun ilmu ini tidak bisa Kak Eli gunakan untuk  menyembuhkan seseorang juga melihat masa depan. Apa penjelasan secara metodologi yang digunakan oleh pengajian KITRI ? pola pembacaan khusus memungkinkan kita memiliki kemampuan menangkap frekuensi Allah SWT, ibarat saat tidak memiliki kemampuan menangkap sinyal kita mengira tak ada sinyal radio dan tv, namun saat memiliki alat yang tepat maka siaran radio dan televisi ternyata ada dan dapat "terlihat".

Aku kadang konsultasi juga pada Kak Eli, seperti saat terjadi beberapa kali pencurian di rumah ku, atau saat interview karyawan dimana Kak Eli dapat bantu test karakter karyawan secara jarak jauh, juga pada momen-momen saat aku rencana pindah kantor dan butuh masukan lain.  Namun nyaris 4 tahun terakhir aku sudah jarang konsultasi, terakhir aku konsultasi saat menemukan ceceran minyak misterius dari ujung pagar yang satu ke ujung yang lain. Kak Eli hanya bilang ada yang berniat kurang baik, dan saat itu aku memutuskan agar keluarga lebih giat lagi membaca Quran. 

Sebelum Kak Eli berpulang, anak bungsunya cerita bahwa almarhumah agak sedikit risau dengan kemampuan yang dia miliki. Jika sebelumnya ada banyak orang yang konsultasi berbagai hal pada Kak Eli, namun menjelang “berpulangnya” Kak Eli dan dengan dukungan suaminya untuk hidup normal lambat laun Kak Eli berusaha untuk tidak menanggapi banyaknya permintaan “pasien”nya.   Sampai dengan berpulangnya Kak Eli, beliau tidak pernah mengomersilkan kemampuan tsb. 

Friday, September 07, 2018

Mengenang Kak Eli – Buah Dada Lapis Remason


Saat Mas Parno bekerja di Puncak Pass, mereka mengontrak rumah di Cianjur.  Namun karena sedang hamil  anak pertama alias Viko, perangai Kak Eli berubah banyak diakibatkan faktor hormonal. Dia menjadi sangat sensitif pada bebauan (khususnya Mie Instan)  dan bahkan cahaya. Untung Mas Parno cukup sabar mendampingi Kak Eli dengan segala keajaiban perangainya.

Aku pernah sekali ke sini, dan untuk pertama kalinya mencoba rute jauh ke luar kota dengan VW Variant 1968. Aku mengantar Kak Eli ke rumah kontrakan tersebut sekalian membawa beberapa barang  yang diperlukan selama tinggal di Cianjur.

Saat hormon stabil, Kak Eli biasa belanja ke Pasar Cipanas dengan menggunakan angkutan kota. Namun ternyata Kak Eli masih kurang fit sebagaimana pernah terjadi sebelumnya saat kami di Denpasar dimana Kak Eli pernah pingsan begitu saja di sekolah. Kali ini kejadiannya sama, Kak Eli pun pingsan begitu saja, untung saja tidak di lantai dasar yang memang lebih padat.

Entah beberapa banyak yang berusaha membantu, tak ada saksi mata yang jelas, tak jelas juga siapa yang benar-benar tulus atau malah ambil kesempatan, yang jelas setelah sadar Kak Eli bingung menemukan gumpalan salep remason dalam jumlah ekstra banyak di sekitar kedua buah dadanya.

Rasa pedasnya tidak langsung hilang, dan Kak Eli selalu tertawa keras mengenang Tragedi Buah Dada Lapis Remason tsb. Siapa tersangkanya ? entahlah bisa tukang sayur juga bisa tukang daging. Tak sampai setahun di Puncak Pass, Mas Parno resign dari Puncak Pass menerima tawaran Zbigniew Bleszynski, pemilik Hotel Bukit Indah untuk bekerja di Dusseldorf, Jerman. 

Thursday, September 06, 2018

Mengenang Kak Eli – Siapa yang Betisnya Lebih Kecil ? dan Siapa yang Posturnya Lebih Tinggi ?

Saat kami sekeluarga pindah dari rumah kami di Jalan Komodo 21 Denpasar ke Jalan Galunggung Dalam 12/109 Bandung, sejujurnya kami cukup terkejut. Bayangkan rumah yang dikontrak oleh kantor Ayah di Denpasar merupakan kapling sudut dengan halaman di keempat sisinya. Begitu luasnya sehingga kami memiliki Kebun Pisang di sisi kanan, juga Kebun Tebu di pojok kanan, bahkan bisa bermain bulu tangkis di bagian depan (aku biasa bermain dengan Bang Amru, abang sepupu yang sempat bersekolah di Denpasar, namun karena raketnya hanya satu, maka yang satunya menggunakan raket tenis). Belajar motor pun Kak Eli lakukan di rumah tsb, karena memang halamannya memungkinkan.  Bahkan kami juga memelihara angsa. Suara angsa yang brisik tentu tak cocok bagi rumah dengan halaman sempit. Kenapa kami terkejut ? karena rumah di Bandung yang ayah tukar dengan sesama karyawan PT Pos dan Giro (kini PT Pos Indonesia) sangatlah mungil, dan tak bisa dimasuki mobil.

Jika dulu di Denpasar Kak Eli menggunakan sepeda motor, maka kini tak satupun dari kami berempat yang memiliki motor. Alhasil aku dan Kak Eli yang kebetulan bersekolah di SMA dan SMP BPI harus berjalan kaki melewati jalan Halimun dengan jarak sekitar 1,2 km setiap hari. Kalau kebetulan kami sedang ada kelebihan duit, kami menggunakan becak yang pengendaranya seorang pria separuh baya dengan jenggot dan sepintas mirip sekali dengan Fidel Castro. Namun ini merupakan sebentuk kemewahan yang jarang kami rasakan. Seorang teman sekelas wanita berambut ikal bernama Kanti Marini yang kebetulan jalur ke rumahnya melewati daerah rumah kediaman kami, kadang berbasa basi mengajak kami, namun becak khas Bandung yang sempit jelas tak mungkin buat kami bertiga. Jadi ajakan Kanti yang memang ramah hanya kami balas dengan senyuman. 

Saat berjalan kaki sekitar setengah kilometer menjelang sekolah, kami cukup sering melihat seorang siswi berkulit putih bersih, rambut tebal pendek, dan berwajah bulat dan terlihat lembut. Sepertinya memang satu SMA dengan Kak Eli, namun mengambil jurusan IPA. Mungkin agak aneh bagi Kak Eli menemukan wanita yang menyamai tinggi Kak Eli, sehingga sosok ini menjadi menarik dijadikan pembanding.  Jadi Kak Eli biasanya berusaha mendekatinya dari belakang dan aku diberikan instruksi untuk menilai siapa yang lebih tinggi, lebih putih , lebih ramping dan juga siapa yang lebih bagus bentuk betisnya. Anehnya ini masih jadi pertanyaan yang Kak Eli ulang setiap kali kami bertemu lagi dengan siswi tsb. 


Dua tahun kami melakukan rutinitas pulang dan pergi sekolah bersama-sama, sampai-sampai setiap lubang di jalan Halimun sudah kami hapal dengan baik.  Nyaris semua teman wanita Kak Eli pun cukup aku kenal di masa itu, karena saat menunggu Kak Eli, mereka pasti bergantian menucubit pipiku (sayang aku tak bisa membalasnya) . Ketika aku naik ke kelas 3 SMP, Kak Eli lulus SMA BPI dan melanjutkan kuliah di NHI Bandung (National Hotel Institute) di bilangan Setiabudi. Cukup lama aku kehilangan kontak sekaligus kebersamaan dengan Kak Eli, karena kuliah di NHI saat itu menggunakan model asrama.

Wednesday, September 05, 2018

Mengenang Kak Eli - Kakak Terjun Ke Dapur.


Ibu pernah bercerita kalau dia tidaklah mahir memasak saat menikah, namun karena Ayah selalu memuji masakan Ibu, dengan berjalannya waktu Ibu pun memiliki kepercayaan diri yang besar.  Lambat laun Ibu mulai bisa mengklaim beberapa menu spesial seperti Soto Babat yang memilki ciri khas kuah kekuningan dengan babat yang berwarna putih bersih (sebelumnya direbus oleh Ibu dengan air kapur) dan Sop Buntut ibu yang kuahnya relatif bening (karena endapan lemaknya dibuang setelah proses pendinginan) dengan daging yang empuk (karena direbus semalaman dengan api kecil).  Lambat laun, Ayah menjadi sosok sangat fanatik dengan masakan Ibu. 

Ketika kami di Bandung, saat Ibu berhalangan dan pergi keluar kota untuk waktu yang lama, sekitar tahun 1981/1982, Kak Eli berusaha mengambil peran Ibu, sayangnya Ayah yang memang berkarakter keras, langsung menyemprot hasil masakan Kak Eli karena belum memiliki kualitas seperti Ibu. Trauma dengan reaksi ayah, sempat membuat semangat Kak Eli memasak padam  untuk waktu yang cukup lama. 

Kenapa Ibu berhalangan ?, seingatku karena Ibu harus ke Surabaya dalam waktu yang cukup lama untuk menjaga empat anak paman yang sedang beribadah haji atas izin ayah. Kak Eli lah yang ditugaskan menangani urusan rumah tangga, selama kepergian Ibu. 

Menu pagi akhirnya bisa kami buat lebih mudah dengan roti tawar, berbagai selai (khususnya kacang dan strawberry) dan juga meses serta mentega. Menu makan siang di sekolah atau dikantor, sedangkan menu makan malam cukup yang mudah-mudah saja seperti ikan kembung goreng atau ayam goreng ditambah rebusan sayur dan sambal terasi atau sesekali sarden. Saat ada waktu luang Kak Eli mencoba memasak berbagai kue, yang menurut aku lezat. Berbeda dengan Ayah, bagiku masakan Kak Eli meski sederhana sih enak-enak saja. Tak heran kelak Kak Eli mengambil jurusan pastry saat kuliah di NHI. 

Pergi ke pasar untuk berbelanja menjadi hal yang aku dan Kak Eli sering lakukan. Kebetulan lebih mudah mengatur waktunya karena pada saat itu (dan selama dua tahun) kami pergi dan pulang sekolah selalu bersama dan memang bersekolah di komplek sekolah yang sama (Badan Perguruan Indonesia di Jalan Burangrang). Saat menjelang "berpulang" di Agustus 2018, kemampuan Kak Eli meningkat pesat, dan sudah mulai bisa membuat gule ayam yang tak kalah lezatnya dengan buatan Ibu. 

Empat hari sebelum meninggal, aku masih ingat  Kak Eli memasak Sambal Ikan Sale Goreng khas Tapanuli Selatan, saat aku mengunjungi Ibu. Bersama-sama tahu goreng dan rebusan sayur,  dia menatapku dengan penuh kasih dan bercerita tentang banyak hal. Sekitar setahun lalu saat keluarga besar berkumpul menjelang Iedul Fitri, kekuatiran ku akan tidak adanya penerus Ibu dalam soal makanan ciri khas keluarga, langsung menghilang. Ternyata memasak ala Ibu, sudah bisa dijalankan Kak Eli dengan baik. Namun untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, Kak Eli malah “pergi” mendahului Ibu. 

Mengenang Kak Eli - Puasa Harimau


Saat di Denpasar, Ibu ku menilai postur Kak Eli terlalu berisi, maka entah dari mana idenya, diterapkan lah Puasa Harimau. Puasa apakah itu ?, ternyata puasa dimana Kak Eli hanya memakan daging dan menghindari nasi sama sekali. Hal ini seingat aku dilakukan selama sekitar 40 hari .

Daging yang digunakan adalah daging sapi, lalu oleh Ibu direbus (bersama bumbu-bumbu ), setelah direbus lalu di “getok” sampai pipih, dan di goreng dengan api kecil sampai “kriuk” dan berwarna gelap. Proses pengolahannya  menimbulkan wewangian yang sedap, sayangnya aku hanya kebagian baunya. Alhasil kami hanya bisa menelan air liur melihat tumpukan daging di piring kakak. 

Ironisnya saat adik-adiknya hanya bisa menelan air liur, sebaliknya Kak Eli justru juga menelan air liur melihat betapa adik-adiknya bisa makan apa saja. Ternyata efek samping terus menerus makan daging selain membuat mood Kak Eli temperamental. Bahkan bukan cuma itu juga  menyebabkan gas yang diproduksi lambung memiliki kekuatan yang dahsyat sebagai pengusir bagi adik-adiknya. 

Setelah 40 hari, Kak Eli terlihat lebih ramping, namun segera kembali ke postur normal ketika Puasa Harimau berakhir. Sampai dengan berpulangnya Kak Eli, beliau memang memiliki postur yang subur, seperti layaknya bibi-bibiku dari garis ayah. 


Mengenang Kak Eli – Tak ada Yang Tak Bisa eh..Tak Enak


Dahlan Iskan menulis tentang Karmaka Surjaudaja Sang Pendiri Bank NISP, berjudul “Tidak Ada Yang Tidak Bisa”. Judul ini membuat aku tertarik sedikit memlesetkan judulnya menjadi “Tak Ada Yang Tak Enak”. Kenapa ? yak karena Kak Eli sebagaimana almarhum ayah, suka sekali makan enak, dan sialnya hampir semua makanan enak baginya.  Jadi, saking banyaknya makanan yang enak menurut Kak Eli , maka rekomendasi Kak Eli tentang kualitas suatu masakan biasanya tidak selalu kami pakai. 

Mas Parno suaminya,  cerita bahwa berbeda dengan kebanyakan suami yang kesulitan membahagiakan istrinya, kalau Kak Eli, kuncinya asalkan diajak makan di luar rumah meski kondisi keuangan tengah pas-pasan, maka Kak Eli nyaris selalu benar-benar bahagia. Dengan keahlian Mas Parno memasak, dan kesukaan Kak Eli akan makanan enak, aku rasa lebih banyak periode menyenangkan selama masa pernikah mereka ketimbang sebaliknya. 

4x ke Batu, dimana 2x diantaranya menyetir sendiri, saat Kak Eli dan Mas Parno masih disana, kami selalu dijamu dengan berbagai makanan enak, mulai dari Bakwan Malang yang bisa dipanggil ke rumah, Rawon Amin, Soto Ayam Kampung (yang juga berlokasi disekitar Rawon Amin). 

Malam harinya Kak Eli dan Mas Parno mengajak kami ke sekitar alun-alun dimana tersedia ayam dan bebek goreng juga susu murni. Pulangnya kami membeli durian untuk dinikmati beramai-ramai. Depan rumah mereka di Jalan Raya Selecta, juga ada Waroeng Bambu yang menyediakan berbagai olahan ikan tradisional. Singkatnya dimana ada Kak Eli, makan akan ada banyak sensasi kuliner.

Mas Parno cerita, masih ada permintaan Kak Eli yang belum kesampaian yakni makan bersama suaminya dengan menu Mie/Yamin Baso, di seputaran Lapangan Gasibu, Bandung. Kebetulan hanya buka di hari minggu, dan berada di ujung trotoar sebelah pedagang gorengan.