Wednesday, January 27, 2016

Sang Petinju - Reinhard Kleist

Secara teknik, ilustrasi Kleist sama sekali berbeda dengan kebanyakan komik, lebih ke teknik yang biasa digunakan pelukis dibanding komikus, garis-garisnya simpel dan ekspresif, dan kadang mengingatkan saya akan Wakidjan ilustrator yang biasa menghiasi buku buku karya Djokolelono. Hal ini terlihat misalnya di halaman 19, saat Ayah Sang Petinju menjelang ajal, atau halamn 36 saat kendaraan tawanan beriring-iringan diantara kegelapan ilalang.

Ceritanya sendiri masih merupakan kepingan kisah WW II yang memang banyak sekali melahirkan karya-karya besar. Harry Haft yakni nama Sang Petinju saat 16 tahun ditawan di Kamp Konsentrasi di Auschwitz. Saat itu biasa diadakan acara untuk menghibur para perwira SS, diantaranya pertarungan hidup mati antara tawanan, dimana Harry terpaksa membunuh sesama tawanan dengan kepalannya untuk menyelamatkan hidupnya sendiri. 



Saat Nazi diserbu Sovyet, dia nekat melarikan diri ke Polandia dan setelah mengetahui nyaris seluruh keluarga dan kekasihnya Leah lenyap berikut semua harta dan tempat tinggal, Haft lalu imigrasi ke Amerika dan menjadi petinju profesional tak terkalahkan sampai dia menghadapi Rocky Marciano. Cerita Haft di bagian ini entah benar entah tidak menyebutkan bahwa kekalahannya lebih banyak karena mafia yang saat itu banyak berada di kubu Marciano. 

Setelah pensiun sebagai petinju Haft lalu menikah dan membuka usaha toko kecil menjual buah-buahan. Cintanya pada Leah terus membara dalam hati, menyebabkannya Haft terus menerus mencari tahu keberadaan Leah, dan berhasil menemukan Leah saat masing-masing sudah berkeluarga dan dalam usia menjelang senja. Salah satu adegan paling mengharukan saat Haft akhirnya bertemu Leah yang sudah menjadi Nenek yang tengah sekarat digerogoti kanker dan dilukiskan dengan baik oleh Kleist. Adegan ini mengingatkan saya akan adegan di English Patient saat tokoh yang diperankan Ralph Fiennes menemukan kekasihnya menjemput maut di tengah Gurun Sahara. 



Kata pengantar yang menarik dari Surjorimba Suroto membuka pintu kenangan lain tentang dr. Parlindoengan Loebis yang juga terjebak di Eropa di masa perang. Sempat berada di Kamp Konsentrasi, beiau mengalami kehidupan nyaris tanpa makanan, pakaian yang hanya diganti per tiga bulan, kerja paksa, ruangan gelap tanpa cahaya. Ketika akhirnya diserahkan ke Sekutu, para tawanan harus berjalan kaki dari Kamp Konsentrasi ke Wittstock dan yang sudah letih langsung ditembak mati. Pada hari pertama saja 800 tawanan ditembak mati karena tidak mampu mengikuti rombongan.  Saat menemukan bangkai kuda dalam perjalanan, para tawanan langsung berebutan karena kelaparan yang yang sudah tidak tertahankan. 

Karya Kleist ini mendapatkan penghargaan Best Non Fiction Book 2013, Best German Book Award 2013 keduanya dari Jerman, dan Grand Prix de Lyon. Sedikit info tentang Reinhard Kleist, beliau mengemban pendidikan grafis dan desain di Munster, Jerman, dan bekerja sebagai ilustrator untuk buku, CD, iklan, majalah dan bidang animasi. Karya lain Reinhard Kleist adalah Castro (Fidel Castro), Cash : I See The Darkness (Johny Cash) dan lain-lain. 

Thursday, January 21, 2016

Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer - Pramoedya Ananta Toer

Generasi yang tidak pernah mengalami sakitnya perang, khususnya remaja pria umumnya mengira perang itu mengasikkan, demikian memang yang tersaji dalam game perang. Namun sebaliknya yang sudah mengalaminya, menyadari perang sama sekali jauh dari kata asik. Saya teringat cerita bersambung di Majalah Kuncung, yakni bacaan saat masih di Sekolah Dasar, mengenai asiknya remaja yang terlibat dalam perang gerilya. Kebahagiaan mereka saat dipercaya menggunakan senjata, menjarah rumah kosong ataupun saat pertama kali bertempur dengan musuh. 

Lantas dimana sakitnya ? bayangkan, remaja putri yang mengira dirinya akan disiapkan sebagai pemimpin bangsa setelah diseleksi dari sekumpulan gadis remaja seusianya dan berlayar menuju Tokyo, lalu baru beberapa mil meninggalkan daratan, dikejar kejar layaknya hewan, ditelanjangi, dan diperkosa beramai ramai nyaris tanpa henti sampai (maaf) kemaluannya bengkak. Tidak hanya sehari, derita ini berlangsung terus menerus, dan kadang harus berakhir di rumah khusus yang disiapkan Jepang sebagai sarana pemuas tentara mereka di medan perang. 

Gadis-gadis ini tercabut dari keluarga, tanah kelahiran, dan bertahun tahun setelahnya mereka bahkan tidak berani kembali pulang. Sebagian terperangkap di Pulau Buru, menikah dengan suku setempat dan harus tinggal dengan kenangan sampai maut menjemput. Pram menyimpulkan nasib para gadis ini dengan: 

Pertama, dilepas oleh tentara Nippon tanpa tanggung jawab, tanpa pesangon, tanpa fasilitas, dan tanpa terimakasih, dan Nippon cuci tangan begitu saja terhadap kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan. Kedua, dibiarkan begitu saja bertahan hidup dengan naluri masing-masing. Ketiga, juga tidak mendapat pelayanan dan perlindungan hukum dari Pemerintah RI. 
Keempat, terlupakan dari keluarganya sendiri meski mereka sangat merindukan untuk bisa kembali berkumpul bersama keluarga. Kelima, sebagai akibatnya sampai dengan 1979 atau 35 tahun setelah merdeka, mereka menjadi warga terbuang. 




Dari catatan yang terkumpul, para perawan itu berusia sekitar 15 sd 17 tahun, berasal dari kota besar dan juga kecil, atau bahkan dari kampung dan desa. Sebagian besar justru merupakan putri dari para pembesar Jawa dan pejabat pemerintah lainnya. Propaganda program pemimpin muda itu ditangani oleh Sendebu dan diteruskan kepada perangkat pemerintah kota sd desa dengan konsekuensi mereka harus memberi contoh kepada rakyat demi keselamatan jabatan, pangkat, dan keluarga.

Buku karya Pram ini menceritakan salah ironi perang tersebut, dengan catatan yang detail hasil petualangannya di Pulau Buru, percakapan dengan nara sumber, catatan dari sesama tahanan, dengan semua proses inilah akhirnya buku ini rampung. Pada kenyataannya remaja ini tidak cuma terdampar di Pulau Buru, bahkan juga Singapore dan Thailand. 

Buku ini sama sekali bukan novel, namun lebih mirip sejarah atau mungkin lebih tepat catatan sejarah dari banyak nara sumber. Lalu Pram merangkainya sedikit dengan latar belakang di masa itu, juga ditambahkan catatan detail mengenai situasi Pulau Buru. Cara bercerita seperti ini mengingatkan saya akan karya Stephen E. Ambrose dengan karyanya Citizen Soldiers, yang akhirnya menginspirasi salah satu serial TV terkenal yakni Band of Brothers. 

Meski lebih mirip sejarah, Pram dengan kekuatan kata-katanya tetap dapat menulis pada beberapa bagian dengan gaya sastra seperti 

"Beberapa batang pohon di tebing itu sebagian akarnya berada di permukaan tanah. Akar-akar itu berkaitan satu dengan yang lain, saling melilit, saling mempertahankan, seperti ular besar berkelahi di tepi jurang. Masing-masing berusaha menang dengan ekor tetap berpegangan mencegah jatuh ke dasar jurang. Dedaunan dan dahan pohon meneduhi jalanan yang kami lalui. Sebagian condong ke atas air. Jutaan serangga merayap naik-turun pada batang lapuk, bekerja membangun istana baru. Sebuah mahligai yang telah mereka tinggalkan tergantung sunyi pada dahan, sebesar guci." 

Kembali ke review, jadi saya berpendapat jangan pernah berpikir perang itu mengasikkan, sama sekali tidak, dan perang kalaupun harus terjadi, seharusnya ditempatkan sebagai pilihan terakhir. Sama halnya seperti Indonesia, Korea pun mengalami sakitnya pelecehan pada kaum wanita, sosok yang diharapkan menjadi tonggak sebuah bangsa, dihancurkan secara sistemastis. Dan tidak hanya WW II, bahkan peristiwa ini juga terjadi setelah WW II saat penghancuran Bosnia oleh Serbia atau bahkan di masa yang lebih lalu yakni saat Inggris menaklukkan Irlandia. Dalam sebuah buku mengenai strategi perang, saya memang pernah membaca, bahwa untuk menghancurkan suatu bangsa, maka harus dimulai dari kaum wanitanya. 

Membaca buku ini membuat saya berpikir betapa beruntungnya, kita berdiri sebagai bangsa yang merdeka, semoga hal ini tidak disia-siakan oleh generasi muda. Review buku ini saya tutup dengan 

“Mengapa kau diam saja Ibu, Ibu? Lihatlah, ini aku datang menjengukmu. Apa aku bisa perbuat untukmu? Betapa sengsara hidupmu. Kau pergi meninggalkan kampung halaman dan keluarga untuk belajar, untuk bisa mengabdi lebih baik pada nusa dan bangsa dan untuk dirimu sendiri. Keberangkatanmu direstui dan didoakan selamat oleh orang tuamu. Dan kau fasis Jepang, kau telah menganiaya, memperkosanya, merusak semua harapan indahnya. Kau jatuh ke tangan orang-orang gunung ini, yang mengenalmu hanya sebagai wanita dan harta.” 


Monday, January 18, 2016

Kisah Dakwah Wali Songo - Gerdi WK


Saat seorang teman posting di Facebook mengenai karya Gerdi WK terbaru, saya langsung masukkan buku ini dalam wish list. Pucuk dicinta ulam tiba, tepat ketika saya ke Gramedia minggu lalu untuk membeli buku karya Pidi Baiq buat Si Bungsu eh ternyata karya Gerdi ini sudah tersedia. Cukup tebal ternyata, alias  480 halaman, lengkap mengenai Kisah Dakwah Wali Songo, mulai dari 


  • Maulana Malik Ibrahim, 
  • Sunan Ampel, adalah putra Maulana Malik Ibrahim
  • Sunan Giri, adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim sekaligus sepupu Sunan AMpel
  • Sunan Bonang, adalah putra Sunan Ampel
  • Sunan Dradjad, adalah putra Sunan Ampel
  • Sunan Kalijaga, adalah sahabat sekaligus murid Sunan Bonang
  • Sunan Kudus, adalah murid Sunan Kalijaga
  • Sunan Muria, adalah putra Sunan Kalijaga serta 
  • Sunan Gunung Jati, adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal. 

Para Sunan ini tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru mulai dari arsitektur, ilmu ketabiban, bercocok tanam, perniagaan, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan. Para wali ini jugalah yang menjadi tonggak berakhirnya peradaban Hindu-Buddha di Jawa.  




Gerdi komikus kelahiran 1953 ini juga mencoba meluruskan sejarah soal Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah sosok yang berbeda. Sayang Gerdi tidak menjelaskan dokumen yang dijadikan rujukan, padahal karya ini sebaiknya menggunakan sumber-sumber yang jelas, karena memang bukan fiksi semata. 

Selain soal Fatahillah, sepertinya Gerdi juga mencoba memisahkan antara mitos dan realita, khususnya mengenai keajaiban atau karomah yang dimiliki para wali beserta semua senjata yang kadang terpaksa mereka gunakan dalam membela dirinya. Namun sepertinya memang susah untuk memberi benang merah dalam hal ini, mengingat cerita Wali Songo memang sudah dari sananya bercampur dengan keajaiban.

Cara menyebarkan ajaran para Wali Songo ini sendiri cukup unik, mereka dapat menyisipkannya dalam tembang seperti Tombo Ati, atau menyelipkan nasihat dalam penokohan Semar, dkk yang tidak ada dalam versi cerita India-nya, atau memasukkan Jimat Kalima Sada alias Kalimat Syahadat dalam cerita wayang, membangun Masjid dengan arsitektur campuran Hindu dan Islam, menikah dengan putri tokoh setempat dan lain-lain.

Komik ini juga mengingatkan saya akan kunjungan ke pulau Tidung beberapa tahun lalu,  yang ternyata penamaannya menurut Gerdi ada hubungan dengan Wali Songo, yakni menjadi tempat berlindung alias Tidung. Pulau ini digunakan oleh Fatahillah saat menjebak armada laut Portugis dan lalu menyerang mereka dari belakang. Namun soal penamaan ini sendiri memang ada versi lain yakni mengacu pada tempat pembuangan tetua Suku Tidung dari Utara Kalimantan.  

Dari sudut pandang komik, saya kehilangan sentuhan tajam ala Gerdi saat muda dulu, ada kesan kreator Gina ini terburu-buru dalam karya kali ini, sehingga gambar arsitektur Masjid yang seharusnya bisa dibuat lebih indah tidak bisa kita lihat, juga sepertinya kurangnya riset peta penyebaran masing-masing wali, kostum yang digunakan,  bentuk kapal yang digunakan atau silsilah para wali yang bisa membantu pembaca lebih memahami hubungan antar wali. Namun apapun terimakasih banyak bagi beliau, yang pada usia ini masih terus berkarya bagi khasanah komik Indonesia. 

Wednesday, January 13, 2016

Memelihara Rasa Lapar

Masih jelas dalam ingatan kompetisi Moto GP 2015 dimana Rossi sebagai pembalap senior ternyata mampu memelihara rasa lapar dalam dirinya sehingga penentuan gelar juara terpaksa baru diketahui pada race terakhir. Itupun kalau tidak terkena pinalti, ada kemungkinan Rossi lah yang meraih gelar juara. 



Dalam sepakbola kita melihat striker Swedia, Henrik Larsson yang bergabung dengan Manchester United, justru saat usianya 36 tahun, alih-alih menjadi pemain cadangan karena usianya, Larsson justru menjadi pemain kunci dan menuai pujian dari Alex Ferguson sbb; 

"He's been fantastic for us, his professionalism, his attitude, everything he's done has been excellent".

Suatu saat ketika Ciputra menjadi salah satu pembicara pada acara kantor lama saya, dia bertanya "Menurut anda, mana proyek properti saya yang paling berhasil ?", ketika hadirin sibuk menyebutkan nama-nama proyek yang pernah ditangani beliau, dengan tenangnya Ciputra mengatakan "Proyek terbaik saya adalah yang saat ini sedang akan saya kerjakan". Hemm di usia beliau yang saat itu sudah melewati 80 tahun, kata-katanya kuat menancap dalam benak saya.  

Salah satu atasan saya, selalu memelihara rasa lapar tersebut meski usianya sudah menjelang masa pensiun, tidak pernah ada kata cukup, namun harus terus meningkat dari waktu ke waktu. Saat meeting aura "pantang menyerah" memenuhi ruangan dan menular pada setiap anggota team. Seperti biasa beliau tidak pernah mau mendengar alasan, dan lebih senang menyalahkan diri sendiri daripada hal-hal diluar dirinya. 

Beralih ke musik, ada istilah "one hit maker", sukses membuat satu atau sangat sedikit lagu, mendadak terkenal dan lalu menghilang. Di Indonesia misalnya Budi dengan lagu "Doremi", atau almarhum Alda dengan "Aku Tak Biasa" serta Fryda dengan "Segala Rasa Cinta". Namun ada juga yang bertahan dengan beberapa album seperti band rock legendaris Pink Floyd, sukses dengan "The Dark Side of The Moon", lalu "Wish You Were Here", lanjut ke "Animal", dan meraih puncak di "The Wall" serta mulai menurun di "The Final Cut" lalu tiga album sesudahnya tak pernah lagi sekelas dengan album-album tersebut. 

Namun sebaliknya Dream Theater, sejak album kedua, boleh dibilang hanya sedikit menurun di "Six Degrees of Inner Turbulence", selebihnya selama lebih dari 20 tahun berkarya sampai 2013 mereka merilis 10 album berkelas, yang tak mungkin dilakukan kalau mereka tidak memiliki rasa lapar untuk terus menghasilkan yang terbaik. 

Mari kita memelihara rasa lapar dalam diri kita, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Nabi, "bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok”. Berikut beberapa contoh, bagaimana sosok-sosok dibawah ini menjadi inspirasi, bagi generasi yang lebih muda. 


Bernard Hopkins - mengalahkan Jean Pascal da­lam perebutan gelar kelas berat ringan WBC saat berusia 46 tahun.
Kazuyoshi Miura - masih memperpanjang kontrak di Yokohama FC saat usia 47 tahun.
Katsusuke Yanagisawa - mendaki Everest saat 71 tahun.
Charin Yuthasastrkosol - masih menari balet saat 71 tahun.  
Pramoedya Ananta Toer - masih menyelesaikan novel terakhirnya saat usia 80 tahun. 
Rosihan Anwar - masih terus menulis menjelang 88 tahun. 
Dimitrion Yordanidis - masih mengikuti maraton 42 km saat 98 tahun. 
Estrid Geertsen - masih terjun payung meski sudah berusia 100 tahun.