Tuesday, March 29, 2016

Batman V Superman (2016) : Dawn of Justice - Zack Snyder

Beberapa kali menemani si bungsu menonton berbagai film Marvel Comics, membuat saya menantangnya untuk ikut mencicipi DC Comics. Maklumlah sejak kecil saya penggemar Batman, kenapa ? ya karena Bruce Wayne berbeda dengan kebanyakan superhero, alias Batman sejatinya seorang manusia biasa. Si Bungsu bisa saja mengatakan bahwa Iron Man juga seorang manusia biasa, namun bagi saya Batman tetap memiliki nilai tambah yakni kemisteriusan, kegelapan, kemuraman dibanding Iron Man yang lebih terkesan sebagai selebriti.




Dan benar saja, film ini benar-benar muram, lagi-lagi kita disuguhkan saat dimana Bruce Wayne kecil harus menyaksikan kedua orang tuanya dibunuh, lalu mimpi-mimpi anehnya, seperti genangan darah yang mengalir dari makam ibunya Martha, atau ketika dia terjebak dalam medan perang bersama pasukan Parademon monster bersayap Darkseid yang serasa ikut meneror penonton. Puncak kemuraman film ini ditandai dengan matinya salah satu superhero , berkat adu domba Lex Luthor. 




Berbeda dengan cerita Marvel yang jarang menyuguhkan kompleksitas psikologis karakter superhero, DC sebaliknya sengaja mengadu Batman dengan Superman. Di saat Superman dinilai terlalu berlebihan saat bertarung dengan General Zod dan meyebabkan collateral damage termasuk tangan kanan dan kantor cabang Bruce Wayne di Metropolis, dan Batman harus menjadi saksi superioritas Superman. Hal hal seperti ini adalah kelaziman dalam produk DC, mereka bisa saja mengubah karakter pahlawan secara ekstrim. Misalnya mengubah Batman menjadi Vampire atau hal-hal yang rasanya tidak mungkin dilakukan Marvel.  

Film ini dibintangi dengan aktor-aktor berkelas seperti Ben Affleck (sebagai Batman), Jeremy Iron (pemeran Alfred dan pernah bermain di salah satu film favorit saya yakni The House of The Spirit), Laurence Fishburne (pemeran bos di Daily Planet dan juga pernah mengesankan saya saat bermain di Event Horizon, Holly Hunter (aktris kelas kakap dan pemeran senator June Finch), dll. 

Meski pemeran Lois Lane (Amy Adams), pemeran Superman (Henry Cavill), ataupun pemeran Wonder Woman (Gal Gadot) relatif junior namun mereka juga bermain dengan tidak kalah baiknya. Khusus Jesse Eisenberg bermain dengan cantik, berhasil menyuguhkan karakter cerdas namun sekaligus "gila" saat memerankan Lex Luthor. Selain Eisenberg, Ben Affleck juga bermain baik, meski terlihat letih dan hampir dalam setiap adegan muncul dengan janggut yang tak tercukur. 

Sayang seperti kebanyakan film-film Hollywood, sosok penjahat selain Rusia atau Alien masih selalu dilengkapi dengan sosok yang terkesan muslim, sebagaimana di adegan awal saat Lois Lane dijebak di Gurun Pasir Afrika. Sepertinya Hollywood masih saja belum puas menjadikan muslim sebagai sasaran black campaign dari film satu ke film yang lain. Ini juga mengingatkan saya akan penampakan tokoh antagonis bertampang middle east, dalam London Has Fallen, salah satu film terjelek yang pernah saya tonton. Ben Affleck sendiri sebenarnya melihat Islam dengan positif, rasanya masih jelas bagaimana ybs sempat dikecam media Amerika karena berdebat dengan Bill Maher dan Sam Harris karena itu, silahkan lihat link 

http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/global/14/10/09/nd4zcw-media-as-serang-ben-affleck-karena-bela-islam-1

Bagi saya film ini interpretasi yang menarik dari karya seni Alex Ross, adegan saat Superman berada di sekeliling pemeran acara lokal bertopeng seram, salah satu yang menarik secara fotografis. Bagi saya film ini cukup setia terhadap benang merah yang tergambar lewat karya komiknya. Secara special efek, juga tidak mengecewakan dan terkesan layaknya adegan penghancuran ala hari akhir.




Buat seorang penggemar Batman seperti saya, film ini juga menunjukkan bagaimana kecerdasan Batman, mampu menaklukkan tokoh yang memiliki kemampuan super sebenarnya, dengan apa ? ya  tentu saja kecerdasan ala Sherlock Holmes, penguasaan teknologi ala tokoh Doc (dalam Back To The Future) , dan fisik yang prima serta keberanian menghadapi tantangan. Masalah psikologis Batman juga tergambar dengan apik lewat mimpi-mimpi yang mencekam sepanjang film. 

Setelah sebelumnya saya melihat anak-anak diajak menonton London Has Fallen, eh masih saja banyak orang tua yang membawa anak-anak kecil menonton film ini, mungkin mereka masih saja mengira, film superhero adalah film anak-anak, padahal secara adegan film ini tak layak ditonton anak-anak. Seperti munculnya Batman di langit-langit saat adegan bawah tanah dengan suasana ruang penyekapan gadis-gadis muda ala Hannibal Lecter, ekspresi marah Superman dengan mata menyala, saat Bruce Wayne harus menyaksikan kedua orang tuanya dibunuh, kelelawar jadi-jadian yang muncul secara mengagetkan dari balik batu nisan Martha Wayne dalam salah satu mimpi buruknya, transformasi alien, serta ekspresi kegilaan Lex Luthor. 

Akhir kata, menyaksikan film ini memenuhi ekspektasi saya soal sosok Batman, casting dan aktor, skenario, special effect, music and theme song (Hans Zimmer), kejutan di akhir cerita, karakter-karakter antagonis, dll. 

Saturday, March 19, 2016

Haji Murad - Leo Tolstoy

Jika mendengar nama Leo Tolstoy, maka karya seperti Anna Karenina (1877) atau War and Peace (1869) lah yang pertama kali terlintas. Namun sama sekali diluar dugaan ada buku berjudul seperti ini lahir dari salah satu sastrawan terbesar Rusia ini. Sepertinya sosok Haji Murad pejuang Bangsa Avar yang lahir di akhir 1790 an dan tewas dipenggal tentara Rusia 23 April 1852 ini menginspirasi Tolstoy. Perjuangan Haji Murad mewakili rakyat Dagestan dan Chechnya merupakan kepingan puzzle pada periode perlawanan 1811 dan 1864. 

Bangsa Avar sejatinya adalah masyarakat proto Turki, bangsa pengembara dari Suku Hun di Tartar, daerah luas di Asia Tengah yang terhampar mulai dari pegunungan Ural hingga Samudera Pasifik. Perlawanan Rakyat Dagestan dan Chechnya sendiri bermula dari Kazi Mullah (1794-1832) yang mengibarkan perang suci melawan Rusia. 




Buku ini pertama kali diterbitkan pada 1912, dua tahun setelah kematian Tolstoy. Kejutan buat saya ketika menyadari Leo Tolstoy adalah sosok penulis yang realis namun juga bernuansa religius. Riset beliau yang rinci dalam buku ini menjelaskan kenapa Tolstoy bahkan sampai dapat menulis ucapan saat muslim bertemu, tata cara wudhu dan sholat, dan lain-lain. 

Tolstoy menggunakan antara lain memoar Vladimir Poltoratsky, surat menyurat Franz Klugenau dengan Haji Murad, seorang letnan jenderal pasukan Rusia di utara Dagestan, transkrip percakapan Mikhail Loris-Melikov dan Haji Murad, salah satu negarawan penting yang akhirnya menjadi menteri dalam negeri, surat menyurat Vorontsov dengan Alexander Chernyshov, salah satu komandan kavaleri Rusia. 

Tolstoy menggambarkan dilema Haji Murad dengan baik saat terpaksa harus bersekutu dengan Rusia karena keluarganya disandera oleh musuhnya Shamil. Kematiannya yang tragis dalam percobaan melarikan diri dari pasukan Rusia mengingatkan saya akan perlawanan Jim Bowie di Benteng Alamo.  

Riset yang detail dimasa dimana sangat sulit mencari literatur membuat karya Tolstoy ini mengagumkan bagi saya. Sehingga terkesan seakan akan buku sejarah dibanding karya sastra. Jelas Tolstoy bukan tokoh sembarangan, mengingat pemikiran dan tulisannya yang terasa begitu jujur, dan turut mempengaruhi Mahatma Gandhi dan Martin Luther King dalam perjuangan tanpa kekerasan. 

Di Bawah Bendera Merah - Mo Yan

Bertahun tahun lalu saya sempat mendengar kebangkitan film China, yang meski pada saat itu masih dicengkam oleh sensor ketat ala komunis, namun tetap dapat menghasilkan karya berkelas dari Garin Nugrohonya China  alias Zhang Yimou. Salah satu karya terkenalnya adalah Red Shorgum (1987) yang mengorbitkan artis China Gong Li. 

Dua tahun lalu saya sempat melihat buku karya Mo Yan, salah satu sastrawan peraih Nobel dari China dengan buku berjudul Big Breasts Wide Hip, merasa tidak nyaman dengan judulnya yang terkesan "rada-rada" saya urung memboyong buku ini pulang. Nah lantas apa hubungan kedua cerita diatas ? ternyata Mo Yan adalah pengarang novel Red Shorgum yang akhirnya melambungkan sineas Zhang Yimou sekaligus Gong Li.  




Relasi antara kedua hal diatas terungkap ketika saya membaca Di Bawah Bendera Merah. Buku ini merupakan biografi singkat Mo Yan, dari pemuda yang belum memiliki masa depan jelas sampai meraih kesuksesan sebagai salah satu penulis terbaik China. Lewat buku sekitar 140 halaman ini akhirnya saya dapat menangkap teknik penulisan ala Mo Yan. Tidak sepuitis Khaled Hosseini, namun lebih apa adanya seperti gaya penulisan Aravind Adiga dalam The White Tiger. 

Pada halaman 89, Mo Yan menceritakan betapa terkagum-kagumnya dia dengan Lapangan Tiananmen saat pertama kali ke Beijing. Lalu mengunjungi makam Ketua Mao yang diabadikan dalam sarkofagus kristal. Lalu Mo Yan mengingat kematian Ketua Mao dua tahun sebelumnya, sekaligus baru menyadari tidak ada yang abadi di dunia. meski sebelumnya rakyat mengira Ketua Mao akan hidup selamanya. 

Mo Yan juga mengira kematian Ketua Mao akan membawa malapetaka bagi China, namun China ternyata bukan cuma bertahan dan malah justru berkembang. Perguruan tinggi membuka pintu seluas-luasnya bagi mahasiswa, tuan tanah dan para petani kaya bermunculan,hewan-hewan ternak semakin menggemuk, dan China bermetamorfosis menjadi salah satu negara termaju di dunia.  

Mo Yan juga menceritakan pertemuannya dengan He Zhiwu Agustus 2008, salah seorang sahabat karibnya saat masih bersekolah dulu. Sosok He Zhiwu yang bersemangat , kreatif dan memiliki kisah cinta yang mengenaskan berharap dijadikan inspirasi karya penulisan Mo Yan berikutnya.  Hal ini memberikan gambaran pada kita bagaimana Mo Yan menemukan ide di balik karya-karyanya. Mirip dengan Andrea Hirata setelah "kehabisan ide" dengan kisah pribadinya mulai menulis buku terakhirnya Ayah, dengan menggunakan pengalaman hidup orang lain. 

Salah satu yang paling menarik bagi saya, pertemuan kembali Mo Yan dengan He Zhiwu dirangkai dengan Truk Gaz 51, yang dimiliki seorang gadis teman sekelas mereka berdua, yang menjadi gadis impian He Zhiwu namun menolaknya. He Zhiwu yang akhirnya sukses sengaja membeli truk ini dengan harga mahal untuk menyelamatkan kesulitan hidup ayah gadis impiannya. Dan riwayat truk ini ternyata berakhir sebagai salah satu properti dalam film Red Shorgum. 

Mo Yan yang lahir 17 Feb 1955, ini akhirnya meraih Nobel di 2012. Selain Red Shorgum (1986), Mo Yan juga menulis The Garlic Ballads (1988), The Republic of Wine (1992), Big Breasts and Wide Hip (1995), Life and Death Wearing Me Out (2006), Frog (2011) dan Pow ! (2013). Meski diawal karirnya sempat dijuluki salah satu penulis China yang karyanya paling sering dilarang beredar (mengingatkan saya akan Pramodeya Ananta Toer), namun Mo Yan berhasil melewati semua kesulitan tersebut. 

Kita tutup review ini dengan tulisan Mo Yan di halaman 4, sbb 

"Tidak seorang pun pernah mengaitkan diriku dengan sesuatu yang baik atau berguna. Namun, jika terjadi peristiwa buruk maka semua jari diarahkan kepadaku. Orang-orang mengatakan aku ini pemberontak, isi kepalaku sangat buruk, aku membenci sekolah dan guru-guru" 

Monday, March 07, 2016

Menemukan Trim Tab

Beberapa tahun lalu saya sempat mengikuti pelatihan berlisensi dari Steven Covey. Salah satu yang paling menarik adalah trim tab. Apa itu trim tab ?, sebagaimana kita ketahui pada sebuah kapal ada bilah sirip kemudi yang berada dibagian buritan. Pada kapal raksasa ukuran bilah kemudi ini bisa sangat besar, alias bisa mencapai panjang 10 meter dan lebar paling tidak 5 meter. 

Karenanya diperlukan motor yang sangat kuat yang mampu membelokkan sirip raksasa ini beberapa meter di kedalaman laut, karena kuatnya tekanan dan arus air. Untuk memudahkan gerakan bilah kemudi, para ahli membuat trim tab, yakni sirip kecil diujung bilah kemudi yang cara kerjanya berlawanan dengan bilah kemudi. 

Dengan adanya trim tab, bilah kemudi raksasa dapat lebih mudah digerakkan, dan kapal dengan mudah berbelok kearah yang diinginkan. Covey menganggap perubahan dapat dimulai dengan menemukan trim tab, sederhana, mudah namun memicu perubahan yang lebih besar.   




Untuk memperjelas teori tersebut, digunakan dua contoh nyata, yakni 

Disuatu sekolah, saat seorang kepala sekolah bernama Madeline Cartwright ditugaskan, dia menemukan bahwa sekolah tsb sangat suram, kotor dengan sekumpulan anak-anak tanpa gairah. Sang Kepala Sekolah memulainya dengan menyikat sendiri wc anak laki-laki yang selama ini dianggap tidak pernah bisa dibersihkan dari bau pesing yang mengganggu. Dengan mengggunakan air panas, Sang Kepala Sekolah membuktikan bahwa wc ini dapat kembali bersih. Perlahan lahan orang-orang yang meragukan bahwa perubahan tidak dapat dilakukan ikut terlibat. 

Lalu Madeleine membuka pintu bagi orang2 yang dapat / mau menyumbangkan baju bekas mereka pada anak yang berbaju kotor, dan sejak saat itu semua orang berpartisipasi dalam memajukan sekolah. Terinspirasi dari kegiatan tsb, sekolah ini akhirnya berhasil menjadi salah satu sekolah terbaik. 

Contoh berikutnya, 

Saat walikota New York Rudolph Giuliani, memulai pembenahan kota, ternyata sangat banyak terjadi kasus kriminalitas seperti perampokan dan pembunuhan. Lokasi favorit bagi pelaku adalah subway New York yang terkesan kumuh, gelap dan kotor. Beliau memulainya dengan membersihkan grafitti di subway, menyalakan lampu-lampu yang mati dan mencegah orang2 yang tidak bayar menggunakan fasilitas subway.

Pada awalnya kepolisian menganggap ide itu bakal gagal, mereka sudah pernah menambah jumlah petugas keamanan dan tetap gagal dalam menurunkan tingkat kejahatan. Namun ketika petugas menghapus graffiti, menyalakan kembali lampu-lampu yang pecah, meski graffiti baru kembali muncul dan lampu-lampu kembali dipecahkan, pelan-pelan seluruh subway menjadi lebih bersih, dan pelaku kriminalitas mulai meninggalkan subway. Sejak itu 75% kejahatan di NYC turun dan begitu juga terjadi turunnya 2/3 kasus pembunuhan.

Pada buku Felix Siauw, How To Master Your Habit, Felix menggunakan momen bangun sepagi mungkin sebagai trim tab, dan memulai 1 atau 2 lembar buku yang akhirnya menjadi 4 sd 5 buku pertahun. Atau cerita tentang pertobatan menggunakan kejujuran sebagai trim tab sekaligus awal dari perbuatan baik. Mari kita menemukan trim tab milik kita sendiri, dan mulailah melakukan perubahan kearah yang lebih baik. 

Sunday, March 06, 2016

The Old Man and The Sea - Ernest Hemingway

Gaung buku karya Hemingway (1899-1961) ini sudah sampai ke saya puluhan tahun yang lalu, namun belum sempat saja membacanya. Saat jalan-jalan ke toko buku, saya melihat buku ini, dan tanpa pikir panjang langsung saya tebus. Ternyata masih juga belum sempat saya baca, meski sudah sempat saya bawa bepergian saat tugas ke luar Jakarta Desember 2015 lalu. Saat membersihkan kamar minggu lalu, dan dengan pengisap debu, buku demi buku saya pastikan bersih dari debu, eh buku ini kembali muncul, akhirnya saya raih salah satu buku sastra legendaris ini dan mulai membacanya. 

Mungkin hampir 3/5 dari isi buku sebanyak 163 halaman ini hanya bercerita tentang seorang nelayan tua bernama Santiago, yang perahunya diseret seekor ikan Marlin raksasa. Jadi sebagian besar cerita ini boleh dibilang hanya terdiri dari mereka berdua. Meski dibagian awal dimunculkan Manolin, seorang bocah lelaki sahabat Santiago, yang lalu kembali muncul sedikit di bagian akhir cerita.




Begitu sedikitnya tokoh pada sebagian besar buku ini mengingatkan saya akan film tahun 2000 yang dibintangi Tom Hanks yakni Cast Away, yang hari demi harinya dihabiskan di tempat terisolasi berteman bola voli, demikian juga dengan Santiago yang banyak melakukan kontemplasi, selama berhari hari diseret ikan. Jadi secara judul sebenarnya, lebih tepat kalau menggunakan The Old Man and The Marlin, namun pilihan Hemingway menggunakan judul The Old Man and The Sea, menjadikan buku terdengar begitu puitis. Sedangkan dari semangat pantang menyerah yang ditunjukkan Santiago sendiri memang mengingatkan kita akan Moby Dick karya Herman Melville.       

Kembali ke Santiago, selama 84 hari nelayan tua ini tidak memperoleh seekor ikan pun, namun tidak kehilangan semangat meski komunitas nelayan di tempat tinggalnya mengatakan Santiago mengalami Salao, yakni sial sesial-sialnya. Saat menghadapi tekanan yang begitu berat, Santiago hanya mendapat dukungan dari Manolin si bocah lelaki. Di hari ke 85 Santiago akhirnya memutuskan berlayar ke Gulf Stream, Samudera Atlantik dan akhirnya menemukan Marlin raksasa yang menyeretnya jauh meninggalkan kampung halamannya. 

Lapar dan lelah tak mampu menghalanginya untuk bertahan dan bertarung dengan ikan raksasa tersebut. Impian untuk mendapatkan keuntungan dari setiap kerat daging yang kelak bisa dia jual, dan pengakuan komunitas nelayan bahwa dia sama sekali belum habis, menjaganya tetap fokus "bertarung" dengan Marlin. 

Namun meski mendapatkan ikan dengan ukuran luar biasa, Santiago ternyata hanya bisa kembali dengan rangka Marlin, sepanjang perjalanan pulang diserang Hiu berkali kali menyebabkan Santiago harus merelakan tangkapannya habis saat mencapai pelabuhan. Hanya rangka tersebut lah yang akhirnya tetap manjadi bukti bagi para nelayan, sebagai bukti "keberhasilan" Santiago menghapus cap Salao

Hemingway tidak banyak menerbitkan karya sepanjang hidupnya, namun beliau memperoleh Nobel pada tahun 1954, sebagai buah dari karyanya yang paling fenomenal yakni buku ini. Karya lainnya adalah For Whom The Bells Toll dirilis tahun 1940, yang menginspirasi dedengkot Thrash Metal yakni Metallica dan membuat lagu berjudul sama di tahun 1984. Hemingway yang dikenal sebagai penyuka kucing,  mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri tahun 1961,  setelah lama sakit-sakitan akibat terluka parah saat kecelakaan pesawat dalam kunjungan ke Afrika.  

Kematian dengan cara tak wajar ini menjadi misteri dalam keluarga Hemingway, yang Ayahnya, Kakeknya, Pamannya, Ernest sendiri sebagai sosok yang keempat dan bahkan juga cucunya Margaux Hemingway sebagai sosok kelima (bunuh diri tahun 1996) yang mengakhiri hidup dengan cara yang sama. Bagi saya buku ini adalah ironi, sosok Santiago yang tak mau menyerah justru berkebalikan dengan Hemingway, namun sebuah nasihat baik tetaplah baik meski datang dari sosok sebaliknya. 

Wednesday, March 02, 2016

Hand Cannot Erase - Steven Wilson

Meski selama ini saya menyukai Porcupine Tree, juga karya-karya Wilson sebagai sound engineer saat misalnya membidani Opeth ataupun Orphaned Land, namun saya tak pernah benar-benar eksplorasi album solonya. Sampai dengan saat melihat tiga album solo Steven Wilson ternyata bertengger dalam 100 album progressive rock terbaik, pilihan Prog Magazine beserta empat album Porcupine Tree dimana Wilson berperan sebagai frontman.  

Berikut album solo Wilson yang masuk nominasi Top 100

  • The Raven Who Refused To Sing
  • Grace for Drowning
  • Insurgentes

Sedangkan berikut ini adalah album Porcupine Tree yang masuk Top 100

  • Fear of a Blank Planet
  • Deadwing
  • The Incident
  • In Absentia

Akhirnya pucuk dicinta ulam tiba, setelah barter koleksi dengan salah seorang teman sesama penggemar musik yang kebetulan memiiki koleksi Steven Wilson yakni mas Budi Rahardjo, akhirnya saya mendapat 3 album target diatas, namun saya malah tertarik dengan album lainnya yakni Hand Cannot Erase album rilisan 2015, yang justru belum ada dalam list Prog Magazine. 



Konsep dan idenya sendiri berasal dari kasus Joyce Carol Vincent (https://en.wikipedia.org/wiki/Joyce_Vincent), seorang wanita yang meninggal di apartemennya dan tak seorangpun menyadarinya selama tiga tahun, meskipun memiliki keluarga dan teman. Wilson mengekspresikan keprihatinannya dengan kehidupan modern yang begitu terisolasi. Dan album ini adalah kritik terhadap kehidupan ala kekinian, yang terkesan ramai namun justru menyimpan sisi gelap sekaligus muram. 

Album sepanjang 65 menit ini terdiri dari 11 track, dan seperti biasa dengan pengaruh era progressive tahun 1970 an, dimana Wilson memang menyukai band-band seperti King Crimson, Genesis dan Yes.Berikut ini review track per track

1."First Regret" 2:01 *
Track overture/pembuka yang dibawakan secara instrumental.

2."3 Years Older" 10:18 **** 
Permainan bass yang atraktif mengingatkan saya akan almarhum Chris Squire. 

3."Hand Cannot Erase" 4:17 ***** 
Track yang menarik, dan dihujani fill in drum yang rapat. 

4."Perfect Life" 4:46 ****
Diawali dengan narasi "She was three years older than me…", awal-awal track ini buat saya sedikit mencekam, suara Katherine Jenkins benar-benar cocok untuk narasi ini, meski setelah Wilson beraksi, suasana jadi lebih hangat. 

5."Routine" 8:58 ****
Menggunakan additional vocal, dan wanita pula (Ninet Tayeb) dalam track ini sepertinya tepat sekali, membuat track ini menjadi lebih berwarna. Kadang terpikir jika saja David Gilmour mau sebagai artis tamu di sini, bakal menjadi kombinasi dahsyat.  

6."Home Invasion" 6:24 ****
Bagi saya, track ini sepertinya menunjukkan pengaruh Opeth pada Wilson, sepertinya ini adalah buah interaksi Wilson dengan Mikael Akerfeldt, khususnya di detik ke 25 dimana permainan ritem tebal dengan palm mute,dan sound distorsi sangat terasa. Namun menjelang akhir track, nuansanya kembali berubah. 

7."Regret #9" 5:00 ****
Suara keyboard disini mengingatkan saya akan album2 Jan Hammer, baik saat masih bersama Jeff Beck ataupun Neal Schon. Dan seperti biasa bukan prog kalau tidak punya kejutan. diakhir lagu dengan petikan banjo, dan latar belakang suara anak-anak kecil sedang bermain. 

8."Transience" 2:43 ****
Petikan gitar yang merupakan lanjutan track sebelumnya, dan lalu suara sengau Wilson yang muram dan gelap. 

9."Ancestral" 13:30 ***
Disini kita menikmati flute Theo Travis yang ditiup dengan nuansa suling Jepang, Shakuhachi, kasar namun ekspresif. Ini merupakan track terpanjang dalam album ini, sekaligus mengingatkan kita kembali bahwa ini album progressive, jadi jangan kaget kalau bisa mencapai belasan menit. 

10."Happy Returns" 6:00 *****
Mendengar track ini, yang saya bayangkan seakan akan ini merupakan track tercecer dari The Wall. Wilson dan seperti juga Radiohead, Pink Floyd, lagi-lagi membuktikan progressive rock tidak harus memiliki komposisi kompleks.  

11."Ascendant Here On…" 1:54 ****
Sangat cocok menjadi track penutup sekaligus mengakhiri album yang bernuansa muram dan gelap ini. 


Akhir kata, meski karya solo, album ini bisa dibilang masterpiece Wilson bahkan buat saya melewati level Porcupine Tree , lirik yang dalam, nuansa kegelapan dan muram, musik yang indah meski sederhana, dan seperti biasa sound yang bersih dan bening yang memang merupakan ciri khas Wilson membuat album ini terasa menonjok jiwa. Jangan kaget kalau melodi gitarnya juga cukup menohok, tidak lain dan tidak bukan karena sektor ini menjadi tanggung jawab Guthrie Govan, dan jangan lupa kandidat favorit saya saat audisi pengganti Portnoy di Dream Theater yakni Marco Minneman yang menggawangi drum, bersama Chad Wackerman yang merupakan jebolan band gitaris jazz papan atas Alan Holdsworth.