Friday, June 22, 2018

Jalan-Jalan ke Belitung Part #1 dari 8 : Persiapan Ke Belitung


Saat liburan Idul Fitri mendekat, kami sekeluarga merencanakan untuk jalan-jalan. Ada dua kandidat awalnya yakni Derawan dan Belitung yang disesuaikan dengan budget kami. Namun musibah kapal tanker di Kalimantan Timur, menyurutkan niat kami ke Derawan, dan langsung memilih Belitung. Sekitar tahun 2001 saya cukup sering ke Bangka karena proyek rekayasa aplikasi Planning and Production Control untuk PT Timah Industri. Tapi ke Belitung hanya pernah sekali di awal tahun 1995, itu pun karena pesawat Bouraq, Vickers Viscount bermesin empat baling2 mengalami kerusakan teknis. Saat itu kami hanya menunggu di dalam pesawat. Lalu kesempatan berikitnya, sekitar 1997 saat Kapal Lawit berlayar ke Pontianak, singgah sebentar di kejauhan untuk menurunkan dan menaikkan penumpang di tengah laut. 

Seperti biasa saya dan istri bagi-bagi tugas, saya fokus ke tiket, sementara istri fokus ke travel lokal sekaligus menyusun itinerary. Tanggal yang sudah kami sepakati adalah 15 sd 17 Juni 2018, yang totalnya 3D2N. Kenapa memilih tanggal ini, karena rencana awal, istri akan kembali bekerja di Senin 18 Juni 2018 sedangkan 3D2N sudah merupakan kombinasi paling pas bagi kami sekeluarga. Selanjutnya kami  memilih hotel, dan sekeluarga sepakat memilih yang lokasinya dekat dengan salah satu pantai terindah di Belitung yakni Pantai Tanjung Tinggi. Pantai ini sempat digunakan sebagai lokasi pemnbuatan film Laskar Pelangi di tahun 2008, alias sekitar 4 km dari hotel Santika Premiere dan dapat ditempuh dengan bersepeda yang disewakan oleh manajemen hotel. Namun sebaliknya, lokasi hotel terpencil dan cukup jauh dari Tanjung Pandan, alias sekitar 30 km dan perlu sekitar 40 menitan. 




Akhirnya istri memilih Belitung Enjoy Tour and Travel karena paling responsif diantara travel lokal lainnya. Biaya yang disepakati untuk empat orang adalah IDR 10.800.000, sedangkan untuk tiket disepakati menggunakan Batik Air untuk berangkat dan Sriwijaya Air untuk kembali ke Jakarta dengan total biaya IDR 7.424.800, jadi budget total untuk perjalanan ini termasuk oleh-oleh, taksi bandara dan lain-lain adalah sekitar IDR 20.000.000. Berikut, skedul pesawat yang kami gunakan;


  • Batik Air 15/Juni/2018 dengan jam keberangkatan 06:45
  • Sriwijaya Air 17/Juni/2018 dengan jam keberangkatan 16:40
Sebenarnya saya sempat tergoda menyusun itinerary dengan model kombinasi yakni mendarat di Belitung dan lepas landas lewat Bangka, sayang istri rencana praktek di klinik kami lebih awal, pula harus ganti travel lokal, karena Enjoy Travel and Tour tidak memiliki cabang di Bangka. Sebagai informasi jarak antara Bangka dan Belitung cukup jauh dan dapat ditempuh lewat laut selama sekitar 4 ja perjalanan. 

Itinerary yang sudah disusun istri dan disdiskusikan dengan Enjoy Tour dan Travel adalah sebagai berikut

** Hari Pertama 
  • Penjemputan di Bandara H.A.S. Hanadjoeddin Tanjung Pandan.
  • Sarapan dengan menu Mie Belitung dan Es Jeruk Kunci (Karena Warung Atep tutup akhirnya ke Warung Acin).
  • Menuju Bumi Laskar Pelangi Belitung Timur.
  • Menuju replika SD Muhammadiyah Gantung (SD Laskar Pelangi).
  • Mengunjungi Rumah Keong / Dermaga Kirana.
  • Berkunjung ke Museum Kata Andrea Hirata (sayang ternyata masih tutup).
  • Berkunjung ke Kampung Ahok (karena sudah lapar kami tidak sempat berhenti).
  • Makan siang (seafood) di Pantai Serdang, Manggar (RM Sinar Laut Ayung BB)
  • Vihara Dewi Kwan Im.
  • Pantai Burung Mandi (secara kontur relatif datar, sehingga kami batalkan kunjungan ke sini).
  • Kembali ke Tanjung Pandan dan Check In di Santika Premiere.
  • Makan malam di Resto Lokal Tanjung Pandan (dipindah skedulnya ke makan siang hari terakhir, sehingga kami makan ala carte di restoran hotel dengan biaya sendiri).
  • Kembali ke Hotel dan istirahat.
** Hari Kedua 
  • Sarapan di Hotel.
  • Menuju Pantai Tanjung Kelayang.
  • Pulau Pasir. 
  • Pulau Lengkuas.
  • Snorkling di sekitar Pulau Lengkuas.
  • Makan Siang (seafood) di Pulau Kepayang.
  • Pulau Batu Berlayar. 
  • Pulau Kelayang + Goa Kelayang
  • Kembali menuju pantai Tanjung Kelayang.
  • Tiba dihotel.
  • Makan Malam di Dapoer Bangka, Tanjung Pandan.
** Hari Ketiga
  • Sarapan di Hotel dan langsung Check Out.
  • Pantai Tanjung Tinggi (sebagai pengganti aktivitas sunset di hari sebelumnya)
  • Mencari oleh-oleh Belitung di Klapa One Stop Shopping
  • City Tour - Rumah Adat Belitung, 
  • City Tour - Danau kaolin.
  • Makan siang di Raja Seafood. 
  • Kembali ke Bandara H.AS Hanandjoeddin.
Sementara fasilitas yang ditawarkan Enjoy Tour and Travel, meliputi : Penginapan di hotel selama 2 malam, transportasi darat (termasuk mobil, supir dan BBM), antar jemput bandara, transportasi laut (perahu tradisional), tour guide (merangkap supir), breakfast 2 x di hotel, makan siang 2 x (RM Sinar Laut Ayung BB, Pantai Serdang dan  Warung Pulau Kepayang), makan malam 2 x (Dapoer Belitung dan Raja Seafood), sarapan Mie Belitung + Es Jeruk Kunci, Coffeebreak 1x (Kongdjie), air mineral selama perjalanan, peralatan snorkling + life jacket, dokumentasi dengan action camera (Gopro), tiket masuk tempat wisata termasuk Mercusuar Pulau Lengkuas (kecuali Museum Kata), airport handling di Belitung, dan juga peralatan terkait P3K.

Link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/06/jalan-jalan-ke-belitung-part-2-dari-8.html

Jalan-Jalan ke Belitung Part #2 dari 8 : Mendarat di Bandara H.A.S. Hanandjoeddin, Belitung

Sebagai salah satu propinsi, Belitung (dahulu dikenal dengan nama Billiton) cukup dikenal dengan beberapa tokoh nasional seperti DN Aidit, Yusril Ihza Mahendra, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dan juga Andrea Hirata. Sedangkan Bangka umumnya lebih dikenal dengan artis Sandra Dewi, juga salah satu mantan ketua KPK yakni Antasari Azhar.  Kenapa bernama khas Inggris yakni Billiton, karena memang dahulu pulau ini jajahan Inggris lalu ditukar dengan jajahan Belanda di New Amsterdam (skr bagian dari New York). Hemm dipikir-pikir gawat juga model penjajahan zaman dahulu, saling bertukar jajahan, tanpa memikirkan hak penduduk asli yang sudah berabad-abad ada di sini. 

Awalnya lokasi ini merupakan satu kesatuan dengan propinsi Sumatera Selatan, namun pada tahun 2000, Bangka Belitung resmi menjadi propinsi tersendiri, yang terdiri dari dua pulau besar yakni Bangka dan Belitung dengan ibu kota Pangkal Pinang yang berlokasi di Pulau Bangka.  Meski hanya memiliki dua pulau besar, namun ada lebih dari 400 pulau kecil lainnya di kawasan ini, namun yang berpenghuni hanya sekitar 50 buah. 



Ada 6 kabupaten dan 1 Kotamadya di propinsi ini, dimana 5 diantaranya berlokasi di dan sekitar Pulau Bangka sedangkan 2 sisanya ada di Belitung yakni, Kabupaten Belitung (dengan ibukota Tanjung Pandan) dan Kabupaten Belitung Timur (dengan ibu kota Manggar). Total populasi penduduk hanya sekitar 1,4 juta jiwa sesuai sensus penduduk tahun 2015. Sementara secara keyakinan, ada sekitar 88 persen pemeluk agama Islam di propinsi ini, sedangkan sisanya 5% pemeluk Buddha, 4% Kong Hu Cu, dan pemeluk agama lainnya.  Sedangkan secara suku ada 72 
% Melayu, 11% Tionghoa (didominasi keturunan Hakka atau Hokkien) dan 6% Jawa dll. 

Luas dua pulau terbesar di propinsi ini,  yakni Pulau Bangka sekitar 11.600 m2, sedangkan luas Pulau Belitung yakni 4.800 m2, agar mudah membandingkannya,kita bisa ambil contoh luas Pulau Bali yakni 5.600 m2. Artinya Pulau Belitung nyaris seukuran Pulau Bali. Selain Timah, Pulau Belitung juga dikenal dengan budidaya Lada Putih, Pasir Kuarsa, Tanah Liat Putih (Kaolin), Granit dan berbagai olahan ikan. Tak aneh salah satu pabrik keramik nasional pernah beroperasi disini, yakni KIA Ceramics. 




Jumat pagi kami sudah bangun jam 03:30, mandi dan bersiap dan begitu usai shalat Subuh langsung menuju Terminal 1 dengan menggunakan Taxi Express. Proses check in relatif lancar, dan pesawat malah berangkat sekitar 15 menit lebih awal. Kami mendarat sekitar jam 07:40, di sebuah bandara kecil bernama H.A.S. (Haji Achmad Sanusi) Hanandjoeddin, namun meski kecil ternyata sudah berstatus bandara internasional. Namun karena masih hari pertama Idul Fitri, ternyata guide merangkap supir kami yang bernama Ajie, minta izin 15 menit untuk silaturahim dengan keluarga besarnya, belakangan ternyata molor menjadi satu jam. Tidak ada tempat menunggu yang nyaman di bandara ini, terpaksa kami sekeluarga sebagian berdiri dan sisanya menggunakan panggung kayu booth pameran Telkomsel yang kebetulan kosong. 

Link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/06/jalan-jalan-ke-belitung-part-3-dari-8.html

Jalan-Jalan ke Belitung Part #3 dari 8 : Mie Belitung Acin, Replika SD Muhammadyah Gantung dan Rumah Keong.


Kami langsung menuju resto Hanggar21 yang menyediakan Mie Belitung, sayangnya tutup, Ajie lalu lanjut ke Tanjung Pandan yang berjarak sekitar 15 km dari Bandara Hanandjoeddin untuk menikmati Mie Belitung di Warung Atep, eh lagi-lagi lokasi kedua ternyata juga tutup. Dalam perjalanan kami sempat melintasi Tugu Satam, monumen berpilar lima dengan dengan batu meteor di puncaknya, yang menjadi salah satu landmark Belitung.  Akhirnya kami sampai di lokasi ketiga yakni Mie Belitung Acin dan langsung pesan 4 porsi Mie Belitung dan 4 Gelas Es Jeruk Kunci. Sambil menunggu pesanan datang kami menyantap otak-otak yang benar-benar terasa ikannya. Mie Belitung terdiri dari Mie Kuning, Kuah Kaldu Udang (kadang disertakan juga potongan2 kecil udang), Kentang, Tauge, Tahu dan Emping.  Rasanya benar-benar sedap, dan mengobati rasa lapar karena kami memang belum sempat sarapan. 





Apa itu Jeruk Kunci, ini jeruk khas Belitung yang ukurannya kecil sekali, namun paduan yang pas dengan air, es dan gula bisa menghasilkan kenikmatan khusus. Dahulu jeruk ini salah satu komponen kuah cuka untuk pendamping Pempek. Kadang dengan bercanda, orang-orang di Belitung sering mengatakan Jeruk Kunci adalah Buah yang dikutuk karena ukurannya yang kecil. 




Rencana dari hari pertama kunjungan kami ke Pulau Belitung, fokusnya adalah Belitung Timur, yakni satu dari dua kabupaten di Pulau Belitung.  Populasi penduduk di Belitung Timur hanya sekitar 120.000 jiwa berdasarkan sensus 2015. Bupatinya saat ini adalah Yuslih Ihza Mahendra kakak kandung Yusril Ihza Mahendra, yang sempat bersaing ketat dengan Basuri Tjahja Purnama yang juga adik Ahok. Destinasi wisata di Belitung Timur antara lain, Replika SD Muhammadiyah Gantung, Kampung Ahok, Museum Kata Andrea Hirata, Panai Gusong Cine, Vihara Dewi Kwan Im, Bendungan Pice,  Gunung Lumot, Pantai Burung Mandi dan Pantai Serdang.  

Dari Tanjung Pandan perlu sekitar 76 menit, menempuh jarak 70 km untuk mencapai Replika SD Muhammadiyah di Belitung Timur. Jadi jelas memang Belitung bukanlah pulau kecil seperti yang saya kira sebelumnya. Setelah terkantuk-kantuk sepanjang jalan, sampailah kami di replika SD Muhammadiyah Gantung. Kenapa bukan sekolah aslinya ?, ya karena memang sekolah aslinya sudah lama hancur. Maka dibuatlah replika gedung sekolah lengkap dengan lantainya yang miring-miring, dinding yang disangga batang pohon, atap seng bocor, dua ruang kelas dengan perabotan reyot plus beberapa gambar pahlawan. 

Konon kabarnya beberapa sisa bangunan lama, ikut digunakan dalam membangun replika ini. Kalau cuma replika, kenapa SD ini menjadi destinasi favorit bagi wisatawan ?, karena ya memang nilai-nilai inspiratif yang dikandungnya. Bayangkan seorang anak di pedalaman, bercita-cita sekolah di Sorbonne, Perancis dan tercapai sekian tahun kemudian saat meraih master.  Dari beberapa artikel yang saya baca, perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat mengakui pengaruh novel Andrea Hirata yang diterjemahkan ke 25 bahasa sampai dengan 2015, memang menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Belitung Timur. 




Lalu kami menuju Rumah Keong Dermaga Kirana yang terletak berhadap-hadapan dengan SD Muhammadiyah, yakni sekumpulan bangunan yang dibuat dengan rotan dan didesain layaknya rumah keong, yang disusun di atas landasan papan kayu artifsial dan disusun seperti dermaga, menghubungkan kumpulan rumah keong satunya dengan rumah keong lainnya. Dibagian belakang terdapat dermaga dengan sekumpulan perahu yang bisa disewa mengarungi kolam bekas penambangan timah dengan air yang sangat jernih. Sayangnya meski secara arsitektur menarik, belum jelas konsep seperti apa yang ditawarkan oleh lokasi ini. Tengah tahun 2017, Rumah Keong ini sempat dihantam banjir, untung saja tidak hanyut. 





Jalan-Jalan ke Belitung Part #4 dari 8 : Museum Kata, Kampung Ahok, Sea Food Pantai Serdang dan Masjid Darussalam.


Dari sini kami langsung menuju Museum Kata, sayang ternyata masih tutup karena masih hari pertama Idul Fitri, jadi kami hanya bisa foto-foto disekitar bangunan yang konon sudah berusia 200 tahunan, dibangun dengan gaya yang sama dengan SD Muhammadiyah, alias seadanya namun dengan cat warna warni. Konon kabarnya museum ini memiliki beberapa ruangan yang dikaitkan dengan beberapa tokoh sentral dari Laskar Pelangi, seperti Ruang Ikal, Ruang Mahar, Ruang Lintang dll. Aneka quotes penyemangat diri dalam meraih cita-cita, buku-buku karya sastrawan ternama dunia, berbagai buku Andrea Hirata dalam berbagai bahasa, aneka properti film Laskar Pelangi dan berbagai barang antik. Di bagian depan ada juga Warung Kupi Kuli, yang sayangnya juga tutup, padahal Andrea Hirata konon kabarnya memiliki racikan kopi terenak dunia. 







Karena sudah lapar, kami hanya melewati Kampung Ahok yang tampak ramai dengan wisatawan, dan dibangun oleh adik Ahok alias Basuri Tjahja Purnama. Sama halnya dengan SD Muhammadiyah, konon rumah ini pun adalah rumah tiruan keluarga besar Ahok tahun 1924. Ada berbagai pernik yang dijual disini seperti batik khas Belitung dengan motif Tarsius (hewan lokal), Kopi Manggar, dan Buah Krementing. Tak hanya menjual batik, disini juga disediakan fasilitas membuat batik sendiri. 




Kami langsung menuju Pantai Serdang, dan Ajie langsung memesan berbagai makanan di Rumah Makan Sinar Laut Ayung BB, seperti Cumi Goreng Tepung, Ayam Goreng Saus Mentega, Ikan Ayam Ayam Bakar, Cah Kangkung dan Gangan alias salah satu makanan populer di Belitung dalam bentuk gulai asam pedas potongan-potongan Ikan Katarap berukuran besar serta potongan Nanas. Lalu kami memesan makanan tambahan yakni Udang Saus Mentega dan Es Jeruk Kunci Hamoi, masih mirip dengan yang kami coba di Mie Belitung Warung Acin, namun dengan ditambahkan buah Hamoi yang agak asam-asam segar. 






Meski bangunannya biasa saja, beratap seng, berlantaikan plesteran semen, dan kursi ala kadarnya, namun suasananya ramai benar. Nampak banyak foto-foto orang penting dan selebriti yang makan disini dan konon kabarnya tempat ini lokasi favorit Yusril Ihza Mahendra. 
Dari sini kami menuju Masjid Agung Darussalam untuk shalat Lohor sekaligus Ashar. Masjidnya besar, bersih dan bagus. Sayang kami tak sempat mencoba kopi di Kota Manggar yang dikenal dengan 1001 kopi ini, yang bahkan di salah satu persimpangan memilki tugu dengan teko dan cangkirnya yang menjulang. 




Link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/06/jalan-jalan-ke-belitung-part-5-dari-8.html


Jalan-Jalan ke Belitung Part #5 dari 8 : Vihara Dewi Kwan Im, dan Santika Premiere


Begitu tahu saya sekeluarga letih, Ajie memanfaatkan jalur baru untuk langsung parkir di bagian atas. Nampak Patung Dewi Kwan Im dengan warna semen, menjulang dan menghadap Pantai Burung Mandi, di bagian paling atas Vihara yang konon sudah ada sejak tahun 1747 ini. Secara arsitektur bangunan, saya kira Vihara yang pernah kami kunjungi di Penang terlihat lebih indah, dan secara patung Dewi Kwan Im, yang kami kunjungi di Hatyai, Thailand juga terlihat lebih artistik dengan warna emasnya, namun untuk ukuran lokal, destinasi ini sudah cukup memenuhi ekspektasi wisatawan. 




Karena Pantai Burung Mandi menurut Ajie kurang lebih seperti Pantai Serdang dan tidak seistimewa pantai-pantai di sekitar Tanjung Pandan, kami memutuskan destinasi wisata terakhir cukup Vihara Dewi Kwan Im saja. Lalu kami langsung menuju Tanjung Pandan melewati jalan yang berbeda, namun kali ini jalannya cukup rusak. Setelah menempuh sekitar 73 km, akhirnya kami tiba saat sore. 




Hotel Santika Premiere cukup besar, memiliki arsitektur yang bagus, relatif masih baru dan semua jendela yang menghadap pantai. Kamar-kamar tertentu memiliki kolam terpisah dengan kolam utama, persis dibawah balkon.  Setiap balkon disediakan kursi nyaman dengan pandangan langsung ke laut lepas. Para karyawan di hotel ini juga secara umum ramah dan helpfull. Meski jauh dari kota Tanjung Pandan, namun sangat dekat dengan Pantai Tanjung Tinggi. Cukup dengan menyewa sepeda atau skuter listrik, kita bisa menyusuri pantai menuju Pantai Tanjung Tinggi sekitar 4 km dari hotel. 








Masing-masing kamar dilengkapi dengan 4 botol Le Minerale, Istri langsung komentar betapa dominannya Le Minerale, sepanjang hari sepertinya kami tak pernah melihat Aqua di Belitung sini, sebaliknya Le Minerale ada dimana2, termasuk minuman di warung dan yang disediakan Enjoy Tour dan Travel. 

Karena masih capai, kami mendiskusikan pada pihak travel untuk rencana makan malam di Raja Seafood dipindah menjadi makan siang di hari terakhir saja. Ajie lalu kembali ke Tanjung Pandan. Namun istri cukup kaget ketika pihak front office menyebutkan biaya buffet per orang untuk makan malam sebesar IDR 350.000.  Ketika saya coba cek ke restoran informasi yang diperoleh berubah menjadi IDR 250.000 per kepala. Akhirnya kami memutuskan ala carte saja, ternyata Nasi Goreng Ikan Asin dan Mie Godognya enak. Kami makan di sisi restoran yang menghadap laut, sambil menghirup bau laut dan merasakan tiupan angin malam.

Link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/06/jalan-jalan-ke-belitung-part-6-dari-8.html


Jalan-Jalan ke Belitung Part #6 dari 8 : Bersepeda ke Pantai Tanjung Tinggi, Pulau Batu Garuda, Pulau Pasir, dan Pulau Lengkuas.


Pagi hari, saya berdua dengan istri langsung sarapan dan menuju lobby depan untuk menyewa dua sepeda. Nyaris saja kami tak kebagian, karena hanya ada dua sepeda tersisa. Kami langsung mengayuh sepeda ke arah Pantai Tanjung Tinggi, jalannya mulus dan naik turun, saat tanjakan kami mendorong sepeda, dan meluncur cepat saat turun, setelah sekitar 4 km, kami akhirnya sampai di sebuah restoran bernama Lemadang Seafood and Grill. Kami langsung ke halaman belakang lewat samping dan menemukan konfigurasi berbagai batu raksasa, yang seakan akan dilempar begitu saja ke pantai dengan air yang sangat jernih. Saat perjalanan pulang kami sempat tergoda melihat gerbang masuk ke Hutan Bakau, sayang waktu sudah sangat sempit. Menjelang jam 8 kami kembali ke hotel untuk bersiap siap, untuk seharian eksplorasi pulau-pulau kecil di sekitar Belitung. 




Berbeda dengan hari pertama, kali ini Ajie sudah standby sejak jam 07:30, sekitar jam 09:00 dengan menggunakan pakaian renang kami langsung menuju pelabuhan Tanjung Kelayang. Kegiatan hari ini dikenal dengan Island Hopping, yakni kunjungan ke beberapa pulau berdekatan.  Sebelum masuk area pantai, kami membeli minuman dan roti khusus untuk ikan. Tak lama perahu kecil kami pun siap, dan kami langsung menaiki kapal menuju Pulau Pasir.  Dekat dengan pelabuhan nampak sekumpulan batu ditengah laut yang mirip dengan kepala Burung Garuda, lokasinya relatif sangat dekat dengan Pantai Tanjung Kelayang. Namun kami tidak berhenti di Pulau Burung Garuda, karena memang karang disekitarnya menyulitkan perahu membuang sauh, sekaligus untuk menjaga habitat disekitar pulau tsb.    




Di kejauhan nampak beberapa kapal sudah membuang sauh disebuah onggokan pasir, yang saat pasang ternyata bisa menghilang.  Selain hanya ada pada waktu tertentu, pulau ini menarik karena seakan-akan menjadi tempat kounitas Bintang Laut berukuran besar dan gemuk dengan warna coklat kemerahan dan duri-duri tumpul berwarna coklat gelap.  Dari Pulau Pasir kita bisa melihat semacam pulau batu, dengan beberapa pohon kelapa yang disusun dengan indah.  Si Bungsu memutuskan menebus seekor penyu seharga IDR 25.000 untuk dilepas di pinggir Pulau Pasir. 







Tak lama kamipun kembali menaiki kapal meninggalkan Pulau Pasir yang unik menuju Pulau Lengkuas yang terkenal dengan Mercusuar tua buatan 1882 dan masih aktif hingga kini.  Dalam kegiatan Island Hopping ini, Pulau Lengkuas merupakan pulau terjauh. Pemandangan di Pulau Lengkuas mungkin salah satu yang terbaik di Belitung. Namun laut yang surut tak memungkinkan perahu kami mendekat dan terpaksa menggunakan perahu kecil dengan biaya IDR 20.000 per orang untuk menginjakkan kaki di pulau. Karena banyaknya wisatawan disekitar mercusuar, maka saya memilih eksplorasi ke sisi kanan, dimana terdapat batu-batu berukuran besar yang mengingatkan saya akan cover album group progressive rock asal Inggris alias Yes dengan ilustrator Roger Dean. 






Setelah menikmati Kelapa Muda dan beberapa potong Pempek Goreng, kami lanjut ke mercusuar, sayang hanya diperbolehkan sampai lantai tertentu saja, padahal konon kabarnya salah satu pemandangan terbaik ada di puncak mercusuar. Ternyata bangunan ini dibuat dari logam yang dirangkai dengan sekrup-sekrup berukuran besar. Suara percakapan pengunjung dalam mercusuar ini menggema dan agak bernuansa mistis. Lantai bajanya basah dan dingin dengan air menggenang disana sini. 








Lalu kami menuju lokasi snorkling di sekitar Pulau Lengkuas, anehnya nelayan membuang jangkar besar begitu saja ke arah kumpulan karang dimana ikan-ikan berdiam. Saya jadi teringat Pulau Kanawa di NTT yang melarang perahu membuang jangkar sembarangan, dan membuat dermaga panjang dimana kapal dapat menambatkan perahu tanpa merusak habitat karang dengan jangkar mereka. Sepertinya pemerintah setemnpat harus memikirkan cara yang paling baik untuk menyelamatkan habitat karang yang didiami ikan hias di sekitar Pulau Lengkuas. 




Lalu saya dan istri serta Si Bungsu langsung terjun, wuih airnya terasa segar dan dingin, dan ikan-ikan nya ternyata sangat banyak serta jinak layaknya ikan-ikan di Puau Rubiah, Sabang. Saat memberikan serpihan biskuit, ikan yang datang menjadi lebih banyak lagi. Saya memilih menggunakan kacamata selam biasa ketimbang kaca snorkling karena memang sesuai dengan mata saya yang sudah minus 4. Saya juga lebih memiilih menceburkan diri tanpa pelampung, agar bisa lebih bebas bergerak. 

Link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/06/jalan-jalan-ke-belitung-part-7-dari-8.html

Jalan-Jalan ke Belitung Part #7 dari 8 : Seafood Pulau Kepayang, Pulau dan Gua Kelayang, Pulau Batu Berlayar dan Dapoer Belitung.


Setelah puas snorkling kami melaju ke Pulau Kepayang untuk menikmati makan siang. Kejutan buat saya, warung makannya cukup luas dengan pelayanan yang cepat dan makanan yang bervariasi. Sepertinya Belitung lebih siap menyambut tamu yang datang ketimbang NTT yang pesona alamnya justru lebih indah namun belum begitu memiliki fasilitas yang nyaman bagi wisatawan.  Menunya cukup mengundang selera, yakni Ikan Bakar Dua Rasa, Cumi Goreng Tepung, Cah Kangkung, Sate Udang, dan tentu saja Gangan Kepala Ikan Katarap. Istri memesan Ubi goreng yang dipotong kecil sebagai tambahan. 




Dari sini kami berlayar menuju ke Pulau Batu Berlayar, 10 menit kemudian nampak sekumpulan batu berdekatan membentuk gugusan yang terlihat seperti kapal. Ukurannya kurang lebih sebesar lapangan futsal. Sayang spot-spot tertentu sudah dipakai wisatawan yang sepertinya tidak perduli ada banyak orang yang menunggu mereka. Karena kami akan bergegas kembali, dan terlalu lama bagi saya kalau harus menunggu sejoli yang asik merekam puluhan gaya, saya memilih mengabadikan momen dari sudut Batu Berlayar ke arah luar. 




Lalu kami berlayar kembali menuju Pulau dan Gua Kelayang, kali ini perahu dapat membuang sauh sampai ke bibir pantai. Dan kami langsung menuju hutan lebat yang diakhiri sekumpulan batu yang tersusun sedemikan rupa namun tetap menyisakan celah untuk dimasuki dengan kolam setinggi dada orang dewasa. Kepalang tanggung sudah ada disini, saya menitipkan kamera pada Si Bungsu dan langsung nyebur, untuk didokumentasikan dengan GoPro yang dibawa Ajie. 











Setelah puas eksplorasi gua, saya mencoba mengabadikan salah satu komposisi batu cantik yang saling menindih dibagian depan pulau, dan kembali ke kapal untuk berlabuh kembali di Tanjung Kelayang. Dengan demikian selesailah kegiatan Island Hopping hari ini, yang menyisakan kulit muka dan lengan yang gosong terbakar ditimpa cahaya matahari sepanjang hari. 

Dalam perjalanan pulang kami berhenti di salah satu warung dan menikmati es krim Walls, di siang terik begini, es krim rasanya benar-benar nikmat. Ajie berencana menunggu kami, untuk makan malam di Dapoer Belitung di Tanjung Pandan, yakni salah satu tempat makan favorit penduduk setempat. Sambil menunggu keluarga bersiap, saya naik ke roof top hotel menikmati sunset di ketinggian ke arah Pantai Tanjung Tinggi.





Malam hari kami menuju Tanjung Pandan, dan menikmati Sup Asparagus Jagung, Ayam Goreng Kremes (ala Suharti), Tumis Tauge dan Jamur Goreng Kering dengan Topping Cacahan Bawang Putih. Setelah menyantap makanan, mendadak waitress lewat disebelah meja kami sambil membawa pesanan tamu lain yakni udang sebesar bayi, wah sepertinya nikmat sekali.  Kualitas masakan di Dapoer Bangka saya kira setara dengan Restoran Tawan yang tersebar di Jakarta dan Bandung. Sejauh ini, urusan makan, sepertinya benar-benar diperhatikan Enjoy Tour dan Travel, selama perjalanan tidak ada urusan makan yang mengecewakan.  




Istri bertanya seperti apa sih posisi setiap lokasi dalam Island Hopping ? setelah saya coba cek di Googlemaps, sepertinya agak susah, karena tidak setiap lokasi ada namanya di Googlemaps, alhasil saya coba cek via hasil pemotretan HP, alhamdulillah ternyata saya mengaktifkan GPS saat pemotretan, dengan modal koordinat di hasil pemotretan HP, saya coba bandingkan kembali dengan peta. Maka kira-kira seperti inilah posisi setiap lokasi dalam kegiatan Island Hopping. 




Link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/06/jalan-jalan-ke-belitung-part-8-dari-8.html

Jalan-Jalan ke Belitung Part #8 dari 8 : Pantai Tanjung Tinggi, Klapa Oleh-Oleh Belitung, Rumah Adat, Danau Kaolin dan Raja Seafood.


Pagi hari,  kami kembali ke Pantai Tanjung Tinggi, kali ini melewati Lemadang Seafood and Grill, dan ternyata pemandangannya jauh lebih spektakuler ketimbang pantai di halaman belakang Lemadang.  Sebenarnya lokasi ini merupakan sesi terakhir acara hari kedua, karena salah satu pemandangan paling spektakuler di Belitung adalah menyaksikan sunset di lokasi ini dengan bayang-bayang batu nan indah, panjang dan gelap. Sayang kemarin awan cukup tebal, sehingga sunsetnya tertutup awan tebal. Di lokasi ini lah salah satu adegan Laskar Pelangi dibuat, yakni adegan saat mandi-mandi pantai dan istirahat sambil berdialog diantara bebatuan. Airnya sangat jernih, dan berwarna hijau terang dan biru, pemandangan batuan di sekitarnya juga luar biasa. Saya kira ini lah pantai terbaik di Belitung. 






Sebelum meninggalkan Pantai Tanjung Tinggi, Si Sulung sempat berpose dengan Ajie. 






Selesai menikmati pemandangan yang sayangnya tidak sempat dinikmati dengan berenang, kali  ini kami menuju Klapa One Stop Shppping di Jln Air Saga 89, Tanjung Pandan. Berbagai oleh-oleh khas Belitung seperti Kerupuk Ikan, Kerupuk Cumi, Kerupuk Udang, Getas Udang, Abon Ikan, Dodol, Ikan Asin, Teripang, Kue Kering, Madu, Terasi Udang, dan lain-lain bisa kita temukan disini. Lalu kami menikmati Kopi Khongdjie  dan Susu Coklat di Kedai Klapa dibelakang pusat oleh-oleh. 




Dari sini kami lanjutkan perjalanan ke Rumah Adat Bangsawan Belitung disebelah rumah dinas Bupati Belitung. Suasana disini sangat sepi, sepertinya karena masih suasana libur. Bangunannya sendiri terbuat dari kayu berwarna gelap, terdiri dari tiga bangunan, dimana bangunan utama, bangunan tambahan dengan dihubungkan semacam jembatan kayu dan dibagian ujung bangunan pos pengamanan yang dibagian bawahnya dapat digunakan untuk shalat. 

Tujuan wisata terakhir adalah Danau Kaolin, di Desa Air Raya, yang kami datangi saat siang terik. Danau ini berasal dari bekas penambangan tanah liat putih. Sepintas agak mirip dengan Kawah Putih di Jawa Barat. Keunikan danau ini adalah airnya yang berwarna biru, dan pasir putih di sekelilingnya. Danau ini tercipta akibat aktivitas pertambangan yang memerlukan Kaolin sebagai bahan kosmetik, kertas, makanan, atau pasta gigi. Sayang kami tak diperbolehkan turun kebawah, karena ada kasus wisatawan anak yang tenggelam disini, dan mudah longsornya pasir disekitar danau. Tidak ada fasilitas apapun di danau ini, kecuali sebuah warung kecil di pelataran parkir. 




Menjelang sore hari, kami diajak Ajie ke Raja Seafood Belitung, tak ada hidangan spesial disini, bahkan kualitas masakan RM  Sinar Laut di Pantai Serdang menurut saya masih lebih mantap. Namun cukuplah untuk mengganjal perut yang kelaparan. Lalu kami langsung menuju Bandara H.A.S. Hanandjoeddin untuk terbang dengan Sriwijaya Air. Setelah delay 3 jam tanpa sosialisasi yang jelas dari manajemen Sriwijaya Air,  kami akhirnya mendarat sekitar jam 20:00 di Bandara Soekarno Hatta dengan kesan yang manis mengenai perjalanan kami sekeluarga di Belitung. 

Wednesday, June 20, 2018

How The World Works Buku #4 dari 4 : “The Common Good”- Noam Chomsky




The very design of neoliberal principles is a direct attack on democracy.

Noam Chomsky


Resensi kali ini adalah bagian keempat sekaligus terakhir dari kompilasi How The World Works, yang merupakan  kolaborasi dari empat seri tulisan mengenai analisa dan investigasi Chomsky.


  • What Uncle Sam Really Wants,
  • The Prosperous Few and the Restless Many,
  • Secrets, Lies and Democracy, and
  • The Common Good.


Sama dengan buku ketiga, buku keempat ini pun berbentuk wawancara dengan Chomsky yang fokusnya kali ini membahas kebaikan bersama alias The Common Good. Ide dasar dari wawancara ini adalah buku The Politics karya Aristoteles. Dalam buku ini, Aristoteles meyakini bahwa demokrasi sepenuhnya adalah kegiatan partisipatoris dengan tujuan mencapai kebaikan bersama. Maka demokrasi, harus bisa menjamin kedudukan yang relatif setara, kepemilikan yang moderat dan tidak berlebihan, serta kemakmuran untuk semua. 

Jadi menurut Aristoteles, jika terjadi kesenjangan ekstrim antara si kaya dan si miskin, maka kita tak mungkin bisa bicara serius soal demokrasi, Karena demokrasi sejatinya bertujuan untuk membentuk wellfare state, alias negara dengan kesejahteraan. Sayangnya jika pemikiran Aristoteles ini dipresentasikan dalam konteks kekinian bisa jadi beliau ditangkap karena dianggap berpaham radikal. 

Pada tahun 1940 an di Amerika ada sekitar 1000 reporter yang mendalami masalah perburuhan, saat media dikuasai kelompok pengusaha yang dekat dengan pemerintah maka hanya sekitar 7 reporter yang masih menjadikan issue buruh sebagai spesialisasinya. Hal ini dengan gamblang menunjukkan siapa yang sebenarnya berkuasa. Dan headline media massa bisa  jadi bukan lagi berita yang layak tayang, namun disesuaikan dengan kepentingan pengusaha (situasi ini mengingatkan saya akan penggunaan frekuensi milik publik yang menjadi corong kampanye Partai Perindo di TV milik pengusaha HT, silahkan cek link https://nasional.kompas.com/read/2017/05/14/11484071/kpi-kemenkominfo.diminta.evaluasi.izin.empat.tv.terkait.iklan.perindo)

Definisi tentang kemajuan juga sering sekali berbeda dari sudut pandang tertentu, misalnya seperti yang terjadi di Trinidad. Bagi kebanyakan masyarakat tidak adanya transportasi massal dan kondisi jalan yang rusak membuat masyarakat menderita. Namun ketika mereka memutuskan membeli kendaraan, maka pengusaha kendaraan bermotor untung, saat mereka membeli bahan bakar, maka pengusaha bbm yang untung, ketika pemilik kendaraan sering ke bengkel krn rusak akibat kualitas jalanan, maka pengusaha bengkel yang diuntungkan. Karena itu kondisi jalan rusak dan tanpa transportasi massal justru  bisa jadi malah menguntungkan kolusi penguasa (dan tentu saja pengusaha) karena transaksi ekonomi justru mengalir dengan deras, meski mengabaikan kepentingan maysrakat banyak. 

Chomsky juga menyinggung soal Timor Timur khususnya pidato Horta saat mengatakan Xanana Gusmao adalah sosok yang lebih pantas menerima Nobel perdamaian. Konteks yang diangkat Chomsky adalah pentingnya pengakuan atas perjuangan. Namun Chomsky juga mencatat soal Timor Timur bukan melulu soal politik, namun konspirasi Australia dan Amerika terkait potensi minyak di celah Timor Timur.

Selain Indonesia Chomsky  juga menyinggung sedikit soal feodalistis di India, saat beliau ke bandara dimana 2 mil sebelum masuk wilayah bandara, jalanan ternyata ditutup untuk waktu yang tak bisa diprediksi hanya karena menunggu sosok VVIP alias perdana menteri. Budaya feodalistik seperti ini bagi Chomsky akan menyulitkan jika harus menuju kesejahteraan bersama. 

Pada bagian akhir ada kesimpulan si pewawancara yang menarik, bahwa meski di kenal luas di luar Amerika, Chomsky adalah sosok yang dikucilkan media massa, dan juga oleh lingkaran illuminati di Manhattan, meski memiliki pemikiran yang cemerlang. 



How The World Works Buku #3 dari 4 : “Secrets, Lies and Democracy” - Noam Chomsky



Governments are not representative. They have their own power, serving segments of the population that are dominant and rich. 

Noam Chomsky

Resensi kali ini adalah bagian ketiga dari kompilasi How The World Works, yang merupakan  kolaborasi dari empat seri tulisan mengenai analisa dan investigasi Chomsky.


  • What Uncle Sam Really Wants,
  • The Prosperous Few and the Restless Many,
  • Secrets, Lies and Democracy, and
  • The Common Good.
Buku ketiga ini berbentuk wawancara dengan Chomsky yang fokusnya membahas soal demokrasi. Bagi Chomsky, demokrasi yang sudah berjalan dalam waktu yang lama, pada kenyataannya justru menjauhkan partisipasi publik dari perencanaan dan implementasi kebijakan. Pada akhirnya yang terjadi adalah partai-partai politik memerlukan sumber daya para pengusaha yang pada ujungnya mendapatkan kompensasi dimana politikus akan mengendalikan kebijakan bagi kepentingan bisnis. 

Chomsky cenderung menyetujui pendapat ilmuawan sosial Thomas Ferguson yang mencetuskan teori investasi politik. Karena politik membutuhkan dana yang luar biasa yang kadang harus dipenuhi dari koalisi pengusaha. Saat ini terasa betapa jauhnya politik dari rakyat kebanyakan, yang hanya diminta datang 1x dalam sekian tahun untuk memberikan suara, dan lalu pulang ke rumah. Lalu pada periode berikutnya rakyat akan diombang ambingkan kesana kemari oleh kebijakan penguasa yang tidak selalu berorientasi pada suara pemilih. Padahal seharusnya yang diperlukan adalah perwakilan masyarakat sipil yang berfungsi dan aktif serta bekerja sama dalam mengimplementasikan hal-hal yang menjadi prioritas masyarakat banyak (dan bukan segelintir pengusaha). 

Chomsky juga menyetujui pandangan John Dewey yang berpendapat demokrasi sesungguhnya bukanlah tujuan. Melainkan sekedar alat untuk menemukan dan memperluas kebutuhan dasar bagi hak asasi manusia yang paling mendasar, dan dengan demikian demokrasi dapat menghasilkan manusia sejati. Kenyataannya yang terjadi sekarang justru sangat jauh dari apa yang dimimpikan Dewey. Pengusaha dari kalangan swasta saat ini memiliki kekuasaaan yang jauh lebih besar dari apa yang dibayangkan Dewey. 

Begitu ajaibnya konspirasi pengusaha dan penguasa  sehingga kadang kerugian atau dampak sosial pengusaha dibebankan ke masyarakat, sedangkan jika ada keuntungan di klaim oleh pengusaha. Seperti kasus dampak proyek plutonium di Amerika yang merupakan inisiatif swasta namun masyarakat tidak terlibat dalam keputusan produksi plutonium dan pengelolaan limbah lah yang justru harus menanggung dampaknya (catatan penulis, mungkin mirip dengan kasus Lapindo Brantas, silahkan cek link https://news.detik.com/berita/1985697/kucuran-dana-apbn-rp-62-t-untungkan-pt-lapindo-brantas/1).

Jika cacat demokrasi seperti ini terus menerus dibiarkan, maka akan tercipta kesenjangan yang semakin lama semakin signifikan. Lalu akan berakhir dengan naiknya angka kriminalitas dengan diawali kerusuhan di antara kaum miskin yang akan meningkat menjadi konflik kaya dan miskin. Jika pemerintah menolak menyempurnakan demokrasi, maka satu-satunya alternatif adalah menciptakan ketakutan akan kejahatan, membatasi kebebasan sipil, lalu mengendalikan kaum miskin dengan paksaan. 

Chomsky juga menyoroti gaya konsumtif masyarakat Amerika yang hanya 5% dari total populasi dunia namun mengonsumsi 40% sumber daya dunia. Hal ini diakibatkan oleh situasi dimana keinginan dan kebutuhan tak lagi jelas dimana bedanya. Hal ini terjadi semata-semata karena menganggap ekonomi yang sehat adalah yang menguntungkan (baca konsumtif), meski secara jangka panjang justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Namun Chomsky tetap menyimpan optimisme, selama kita mau bersama sama membuat perubahan, maka perubahan tetaplah suatu keniscayaan.  



Kekayaan sejati bukanlah dengan banyaknya harta, 
namun kekayaan sejati adalah hati yang selalu merasa cukup. 

HR. Bukhari 6446 / Muslim 1051