Tuesday, November 21, 2017

Sirkus Pohon – Andrea Hirata


Kaukah Yang Membelaku Waktu Itu ?
(Tara)

Buku ini merupakan karya ke sepuluh Andrea Hirata dan dibuat selama empat tahun (karena menurut Andrea, karya ini memerlukan riset khusus, sepertinya karena terkait dengan kehidupan sirkus keliling kampung).  Karya-karya sebelumnya sebagai berikut;

Laskar Pelangi (2005)
Sang Pemimpi (2006)
Edensor (2007)
Maryamah Karpov
Padang Bulan (2010)
Cinta di Dalam Gelas (2010)
Sebelas Patriot (2011)
Laskar Pelangi Song Book (2012)
Ayah (2015)

Buku ini juga berhasil melanjutkan kesuksesan Andrea sebelumnya,  yang sudah memulai kisah yang tak terkait langsung dengan pengalaman hidupnya sebagaimana karya-karya awal. Buat saya, memang tidak sebagus “Ayah”, alias karya sebelumnya, namun tetap menghibur, karena teknik pemulisan yang kocak.  Situasi di airport dan waktu yang cukup lama di pesawat saat tugas kantor, membuat saya memiliki cukup waktu untuk menamatkan buku ini.

Ditulis dalam 6 Babak dan terbagi menjadi 87 Bab, cara pemulisan dalam buku 383 halaman ini, mengingatkan saya akan Dan Brown, dimana setiap bab kadang cuma  2 atau 3 halaman. Masih ada penulisan yang kurang pas, seperti misalnya band thrash metal ditulis sebagai Megadeath, seharusnya Megadeth.  Atau juga ketika mengungkapkan debat politik pemilihan tokoh desa yang rasanya belum menjadi kelaziman disaat itu.


Kisah cinta ala Andrea Hirata dalam tetralogi mengenai tokoh Ikal yang jatuh cinta selama bertahun-tahun hanya karena hal sederhana seperti keindahan jari tangan A Ling, seakan terulang dalam buku ini, antara tokoh Tara dan Tegar, yang karena kebetulan sempat bertemu dalam insiden kecil di halaman Pengadilan Agama, dan menjadikan keduanya terobsesi untuk bertemu kelak. Mengenai kisah Tegar dan Tara, apakah akan mengalami nasib yang sama dengan kisah Ikal dan A Ling, sebaiknya tidak usah saya bahas disini.

Berbeda dengan gaya Ahmad Tohari yang dalam mendeskripsikan obyek dengan gaya berbau kearifan lokal, Andrea Hirata, tetap memasukkan unsur humor sebagaimana kutipan berikut saat menggambarkan Pohon Delima di halaman rumah salah satu tokohnya Sobrinudin alias Hob sbb;

“Benci nian aku pada delima itu, lihatlah pohon kampungan itu, ia macam kena kutuk. Pokoknya berbongkol-bongkol, dahan-dahannya murung, ranting-rantingnya canggung, kulit kayunya keriput, daun-daunnya kusut. Malam Jumat burung kekelong berkaok-kaok di puncaknya, memanggil-manggil malaikat maut. Tak berani aku dekat-dekat delima itu, karena aku tahu pohon itu didiami hantu”.

Fokus dalam novel ini juga terasa aneh, karena tak jelas apa sebenarnya benang merahnya ?, apakah kisah asmara Tara dan Tegar atau justru pengalaman hidup Hob dan Dinda, atau justru Sirkus Blasia ?, dan kebetulan ketiganya baik Tara, Tegar dan Hob bekerja di sirkus yang sama. Jika memang fokus pada kisah asmara Tara dan Tegar, kenapa Hob bercerita dengan gaya orang pertama ? Dengan sejumlah pertanyaan itu saya akhirnya memutuskan untuk membaca saja, sambil menikmati humor ala Andrea Hirata.

Kisah Hob juga menarik dan mengngatkan saya akan salah seorang sahabat yang terkejut mendengar reaksi calon istri bahwa dengan profesinya sebagai software engineer dapat bekerja dari rumah, sementara calon istri justru menginginkan sosok suami yang pergi kerja setiap hari dengan dasi dan tas kantor, gaji tetap, dan tentu saja seragam. Begitulah Hob yang menganggur cukup lama akhirnya mendapatkan 'pekerjaan tetap' nya yakni masuk pagi, pulang sore,  baju seragam, absen harian, jam kerja lembur dan tentu saja bos. Meski akhirnya ternyata profesi tsersebut adalah sebagai badut sirkus.

Tokoh-tokoh lain tak kurang ajaibnya seperti Taripol, Debuludin, ibu bos, dan Abdul Rapi. Juga dialog-dialog khas ala Melayu, yang tentunya akan menjadi tugas sangat berat bagi penerjemah buku ini ke bahsa lain. Review ini saya tutup dengan quote tokoh Hob, yang menjadi pegangannya dalam menjalani hidup yakni
Bangun Pagi Let's Go!

(Hob) 

Monday, November 20, 2017

Of Mice and Men – John Steinbeck

Saat tugas kantor dengan waktu tempuh penerbangan yang cukup lama, saya langsung memilih beberapa buku dari koleksi yang ada. Buku ini salah satu yang cukup tipis alias 143 halaman sehingga mudah dibawa, dan memang langsung bisa ditamatkan dalam pesawat.

Judul buku ini terasa akrab mengingat ini juga merupakan salah satu judul lagu dari band thrash metal papan atas alias Megadeth pada album The System Has Failed di 2004 (dapat dilihat di https://youtu.be/gRvo4x6pdZI). Entah terinspirasi dari novel yang sama, namun sebagian mengatakan ini merupakan pengalaman hidup Dave Mustaine yang dituangkan dalam lirik.  Kebetulan sekali Metallica pesaing Megadeth dalam ranah metal juga merilis Of Wolf and Man di tahun 1991, sehingga ada yang menghubungkan keduanya meski menurut saya sih tidak.

Namun terlalu jauh jika mengaitkan karya John Steinbeck ini dengan kedua band di atas, apalagi karya ini sudah dirilis tahun 1937.  Steinbeck merupakan salah satu peraih Nobel kesusastraan di tahun 1962 berkat karya The Grapes of Wrath, enam tahun sebelum Steinbeck meninggal karena serangan jantung.  Karya-karya beliau sebanyak 27 buku, dimana banyak mengangkat kehidupan di Amerika pada era awal 1900 an.



Cerita ini berkisah tentang persahabatan George Milton and Lennie Small, dua pekerja perkebunan di California yang melarikan diri dari perkebunan sebelumnya dan berusaha kembali bekerja di perkebunan berikutnya. Latar belakang situasi saat cerita ini terjadi adalah era The Great Depression, dimana Amerika mengalami situasi ekonomi yang berat.

Demikianlah kedua sahabat ini kembai bekerja, dan tetap bersemangat  karena cita-cita besar akan memiliki usaha sendiri melalui upah yang akan mereka tabung. Persahabatan mereka terasa unik, karena meski Lennie Small bertubuh besar dan sangat kuat namun memiliki keterbelakangan mental, sementara George Milton meski lebih cerdas dan pintar berbicara, namun bertubuh kecil.

Lennie Small juga memiliki hobby khusus yakni membelai hewan-hewan kecil, mulai dari tikus sampai dengan anjing kecil, yang kesemuanya akhirnnya mati ditangannya, karena Lennie sering tidak menyadari kekuatannya.  Hal-hal khusus terkait kebiasaan Lennie inilah yang seringkali memicu munculnya masalah bagi mereka berdua. Namun sejauh ini masih dapat ditangani dengan kecerdasan dan kemampuan berkomunikasi George.

Persahabatan ini akhirnnya mengalami ujian serius, dimana George harus memilih Lennie atau menyelamatkan hidupnya sendiri, sekaligus menjadi akhir yang tragis bagi persahabatan mereka. Beberapa adegan dalam buku ini cukup mengundang kontroversi, tak aneh jika ada sebagian tuduhan mengenai kecenderungan Steinbeck pada euthanasia, atau penggunaan kata-kata kasar, meski dalam versi yang saya baca sepertinya tidak ditemukan tuduhan kata-kata kasar tersebut.  Akhir kata, buku dengan penutup mengenaskan ini membuat kita berpikir ulang mengenai makna persahabatan diuji bukan saat suka namun justru saat duka.