Generasi yang tidak pernah mengalami sakitnya perang, khususnya remaja pria umumnya mengira perang itu mengasikkan, demikian memang yang tersaji dalam game perang. Namun sebaliknya yang sudah mengalaminya, menyadari perang sama sekali jauh dari kata asik. Saya teringat cerita bersambung di Majalah Kuncung, yakni bacaan saat masih di Sekolah Dasar, mengenai asiknya remaja yang terlibat dalam perang gerilya. Kebahagiaan mereka saat dipercaya menggunakan senjata, menjarah rumah kosong ataupun saat pertama kali bertempur dengan musuh.
Lantas dimana sakitnya ? bayangkan, remaja putri yang mengira dirinya akan disiapkan sebagai pemimpin bangsa setelah diseleksi dari sekumpulan gadis remaja seusianya dan berlayar menuju Tokyo, lalu baru beberapa mil meninggalkan daratan, dikejar kejar layaknya hewan, ditelanjangi, dan diperkosa beramai ramai nyaris tanpa henti sampai (maaf) kemaluannya bengkak. Tidak hanya sehari, derita ini berlangsung terus menerus, dan kadang harus berakhir di rumah khusus yang disiapkan Jepang sebagai sarana pemuas tentara mereka di medan perang.
Gadis-gadis ini tercabut dari keluarga, tanah kelahiran, dan bertahun tahun setelahnya mereka bahkan tidak berani kembali pulang. Sebagian terperangkap di Pulau Buru, menikah dengan suku setempat dan harus tinggal dengan kenangan sampai maut menjemput. Pram menyimpulkan nasib para gadis ini dengan:
Pertama, dilepas oleh tentara Nippon tanpa tanggung jawab, tanpa pesangon, tanpa fasilitas, dan tanpa terimakasih, dan Nippon cuci tangan begitu saja terhadap kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan. Kedua, dibiarkan begitu saja bertahan hidup dengan naluri masing-masing. Ketiga, juga tidak mendapat pelayanan dan perlindungan hukum dari Pemerintah RI.
Keempat, terlupakan dari keluarganya sendiri meski mereka sangat merindukan untuk bisa kembali berkumpul bersama keluarga. Kelima, sebagai akibatnya sampai dengan 1979 atau 35 tahun setelah merdeka, mereka menjadi warga terbuang.
Dari catatan yang terkumpul, para perawan itu berusia sekitar 15 sd 17 tahun, berasal dari kota besar dan juga kecil, atau bahkan dari kampung dan desa. Sebagian besar justru merupakan putri dari para pembesar Jawa dan pejabat pemerintah lainnya. Propaganda program pemimpin muda itu ditangani oleh Sendebu dan diteruskan kepada perangkat pemerintah kota sd desa dengan konsekuensi mereka harus memberi contoh kepada rakyat demi keselamatan jabatan, pangkat, dan keluarga.
Buku karya Pram ini menceritakan salah ironi perang tersebut, dengan catatan yang detail hasil petualangannya di Pulau Buru, percakapan dengan nara sumber, catatan dari sesama tahanan, dengan semua proses inilah akhirnya buku ini rampung. Pada kenyataannya remaja ini tidak cuma terdampar di Pulau Buru, bahkan juga Singapore dan Thailand.
Buku ini sama sekali bukan novel, namun lebih mirip sejarah atau mungkin lebih tepat catatan sejarah dari banyak nara sumber. Lalu Pram merangkainya sedikit dengan latar belakang di masa itu, juga ditambahkan catatan detail mengenai situasi Pulau Buru. Cara bercerita seperti ini mengingatkan saya akan karya Stephen E. Ambrose dengan karyanya Citizen Soldiers, yang akhirnya menginspirasi salah satu serial TV terkenal yakni Band of Brothers.
Meski lebih mirip sejarah, Pram dengan kekuatan kata-katanya tetap dapat menulis pada beberapa bagian dengan gaya sastra seperti
"Beberapa batang pohon di tebing itu sebagian akarnya berada di permukaan tanah. Akar-akar itu berkaitan satu dengan yang lain, saling melilit, saling mempertahankan, seperti ular besar berkelahi di tepi jurang. Masing-masing berusaha menang dengan ekor tetap berpegangan mencegah jatuh ke dasar jurang. Dedaunan dan dahan pohon meneduhi jalanan yang kami lalui. Sebagian condong ke atas air. Jutaan serangga merayap naik-turun pada batang lapuk, bekerja membangun istana baru. Sebuah mahligai yang telah mereka tinggalkan tergantung sunyi pada dahan, sebesar guci."
Kembali ke review, jadi saya berpendapat jangan pernah berpikir perang itu mengasikkan, sama sekali tidak, dan perang kalaupun harus terjadi, seharusnya ditempatkan sebagai pilihan terakhir. Sama halnya seperti Indonesia, Korea pun mengalami sakitnya pelecehan pada kaum wanita, sosok yang diharapkan menjadi tonggak sebuah bangsa, dihancurkan secara sistemastis. Dan tidak hanya WW II, bahkan peristiwa ini juga terjadi setelah WW II saat penghancuran Bosnia oleh Serbia atau bahkan di masa yang lebih lalu yakni saat Inggris menaklukkan Irlandia. Dalam sebuah buku mengenai strategi perang, saya memang pernah membaca, bahwa untuk menghancurkan suatu bangsa, maka harus dimulai dari kaum wanitanya.
Membaca buku ini membuat saya berpikir betapa beruntungnya, kita berdiri sebagai bangsa yang merdeka, semoga hal ini tidak disia-siakan oleh generasi muda. Review buku ini saya tutup dengan
“Mengapa kau diam saja Ibu, Ibu? Lihatlah, ini aku datang menjengukmu. Apa aku bisa perbuat untukmu? Betapa sengsara hidupmu. Kau pergi meninggalkan kampung halaman dan keluarga untuk belajar, untuk bisa mengabdi lebih baik pada nusa dan bangsa dan untuk dirimu sendiri. Keberangkatanmu direstui dan didoakan selamat oleh orang tuamu. Dan kau fasis Jepang, kau telah menganiaya, memperkosanya, merusak semua harapan indahnya. Kau jatuh ke tangan orang-orang gunung ini, yang mengenalmu hanya sebagai wanita dan harta.”
Lantas dimana sakitnya ? bayangkan, remaja putri yang mengira dirinya akan disiapkan sebagai pemimpin bangsa setelah diseleksi dari sekumpulan gadis remaja seusianya dan berlayar menuju Tokyo, lalu baru beberapa mil meninggalkan daratan, dikejar kejar layaknya hewan, ditelanjangi, dan diperkosa beramai ramai nyaris tanpa henti sampai (maaf) kemaluannya bengkak. Tidak hanya sehari, derita ini berlangsung terus menerus, dan kadang harus berakhir di rumah khusus yang disiapkan Jepang sebagai sarana pemuas tentara mereka di medan perang.
Gadis-gadis ini tercabut dari keluarga, tanah kelahiran, dan bertahun tahun setelahnya mereka bahkan tidak berani kembali pulang. Sebagian terperangkap di Pulau Buru, menikah dengan suku setempat dan harus tinggal dengan kenangan sampai maut menjemput. Pram menyimpulkan nasib para gadis ini dengan:
Pertama, dilepas oleh tentara Nippon tanpa tanggung jawab, tanpa pesangon, tanpa fasilitas, dan tanpa terimakasih, dan Nippon cuci tangan begitu saja terhadap kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan. Kedua, dibiarkan begitu saja bertahan hidup dengan naluri masing-masing. Ketiga, juga tidak mendapat pelayanan dan perlindungan hukum dari Pemerintah RI.
Keempat, terlupakan dari keluarganya sendiri meski mereka sangat merindukan untuk bisa kembali berkumpul bersama keluarga. Kelima, sebagai akibatnya sampai dengan 1979 atau 35 tahun setelah merdeka, mereka menjadi warga terbuang.
Dari catatan yang terkumpul, para perawan itu berusia sekitar 15 sd 17 tahun, berasal dari kota besar dan juga kecil, atau bahkan dari kampung dan desa. Sebagian besar justru merupakan putri dari para pembesar Jawa dan pejabat pemerintah lainnya. Propaganda program pemimpin muda itu ditangani oleh Sendebu dan diteruskan kepada perangkat pemerintah kota sd desa dengan konsekuensi mereka harus memberi contoh kepada rakyat demi keselamatan jabatan, pangkat, dan keluarga.
Buku karya Pram ini menceritakan salah ironi perang tersebut, dengan catatan yang detail hasil petualangannya di Pulau Buru, percakapan dengan nara sumber, catatan dari sesama tahanan, dengan semua proses inilah akhirnya buku ini rampung. Pada kenyataannya remaja ini tidak cuma terdampar di Pulau Buru, bahkan juga Singapore dan Thailand.
Buku ini sama sekali bukan novel, namun lebih mirip sejarah atau mungkin lebih tepat catatan sejarah dari banyak nara sumber. Lalu Pram merangkainya sedikit dengan latar belakang di masa itu, juga ditambahkan catatan detail mengenai situasi Pulau Buru. Cara bercerita seperti ini mengingatkan saya akan karya Stephen E. Ambrose dengan karyanya Citizen Soldiers, yang akhirnya menginspirasi salah satu serial TV terkenal yakni Band of Brothers.
Meski lebih mirip sejarah, Pram dengan kekuatan kata-katanya tetap dapat menulis pada beberapa bagian dengan gaya sastra seperti
"Beberapa batang pohon di tebing itu sebagian akarnya berada di permukaan tanah. Akar-akar itu berkaitan satu dengan yang lain, saling melilit, saling mempertahankan, seperti ular besar berkelahi di tepi jurang. Masing-masing berusaha menang dengan ekor tetap berpegangan mencegah jatuh ke dasar jurang. Dedaunan dan dahan pohon meneduhi jalanan yang kami lalui. Sebagian condong ke atas air. Jutaan serangga merayap naik-turun pada batang lapuk, bekerja membangun istana baru. Sebuah mahligai yang telah mereka tinggalkan tergantung sunyi pada dahan, sebesar guci."
Kembali ke review, jadi saya berpendapat jangan pernah berpikir perang itu mengasikkan, sama sekali tidak, dan perang kalaupun harus terjadi, seharusnya ditempatkan sebagai pilihan terakhir. Sama halnya seperti Indonesia, Korea pun mengalami sakitnya pelecehan pada kaum wanita, sosok yang diharapkan menjadi tonggak sebuah bangsa, dihancurkan secara sistemastis. Dan tidak hanya WW II, bahkan peristiwa ini juga terjadi setelah WW II saat penghancuran Bosnia oleh Serbia atau bahkan di masa yang lebih lalu yakni saat Inggris menaklukkan Irlandia. Dalam sebuah buku mengenai strategi perang, saya memang pernah membaca, bahwa untuk menghancurkan suatu bangsa, maka harus dimulai dari kaum wanitanya.
Membaca buku ini membuat saya berpikir betapa beruntungnya, kita berdiri sebagai bangsa yang merdeka, semoga hal ini tidak disia-siakan oleh generasi muda. Review buku ini saya tutup dengan
“Mengapa kau diam saja Ibu, Ibu? Lihatlah, ini aku datang menjengukmu. Apa aku bisa perbuat untukmu? Betapa sengsara hidupmu. Kau pergi meninggalkan kampung halaman dan keluarga untuk belajar, untuk bisa mengabdi lebih baik pada nusa dan bangsa dan untuk dirimu sendiri. Keberangkatanmu direstui dan didoakan selamat oleh orang tuamu. Dan kau fasis Jepang, kau telah menganiaya, memperkosanya, merusak semua harapan indahnya. Kau jatuh ke tangan orang-orang gunung ini, yang mengenalmu hanya sebagai wanita dan harta.”
No comments:
Post a Comment