Our romantic notion of the genius must be wrong.
A scientific genius is not a person who does what no one else can do;
he or she is someone who does what it takes many others to do.
The genius is not a unique source of insight;
he or she is merely an efficient source of insight
Malcolm Gladwell
Lama setelah membaca Tipping Point tahun 2012 (silahkan cek di link http://hipohan.blogspot.com/2012/06/tipping-point-nya-malcolm-gladwell.html) , yang membuka wawasan kita mengenai bagaimana memahami dunia dimana hal-hal kecil dapat berdampak sangat besar, baru ada kesempatan kembali menyelesaikan buku Malcolm berikutnya yakni Outlier yang menganalisa rahasia di balik kesuksesan. Sepertinya setelah menamatkan buku ini, saya harus segera berburu karya Gladwell lainnya yakni Blink.
Outliers sendiri adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu atau sebuah fenomena yang terjadi diluar kenormalan. Misalnya menjadi individu yang berbeda atau unik. Meski tidak selalu berarti positif, namun Gladwell lebih membahas kaitan antara Outliers dengan kesuksesan.
Buku ini mencoba menawarkan cara pandang lain dimana secara umum untuk meraih kesuksesan mengharuskan adanya bakat, atau memiliki intelektual luar biasa, dan akhirnya meraih sukses. Padahal ada orang diluar sana seperti Christopher Langan yang memiliki IQ 195 (alias 45 point diatas Einstein) namun nyaris tak meraih kesuksesan apapun dalam hidupnya kecuali setelah dia mengikuti acara televisi 1 vs 100 (acara sejenis Who Wants to Be a Millionaire). Jadi Gladwell berusaha mengajukan tesis baru bahwa kesuksesan itu memerlukan 10.000 jam berlatih,
keberuntungan, warisan kultural/budaya, pola pengasuhan yang pas, dan momentum yang tepat.
Contoh lain Bill Gates yang melakukan pemrograman 20 sd 30 jam per minggu, The Beatles yang tampil 8 jam per hari selama 2 tahun ketika mereka di Hamburg, juga Mozart yang memiliki ribuan jam berlatih sehingga menjadi komposer besar. Bill Joy (Sun Microsystems) mendapatkan kesempatan berlatih dengan komputer di Computer Center Michigan selama 24x7 dalam waktu yang cukup lama secara gratis. Ia menjadi ahli karena menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membuat program. Melewati 10.000 jam, maka ia berhasil menjadi ahli, hingga program yang ia buat bahkan masih digunakan 30 tahun kemudian.
Gates juga memiliki keberuntungan lain dimana dia dilahirkan dari keluarga kaya, sehingga dapat bersekolah di sekolah bagus dan memiliki kesempatan memperdalam ilmu pemrograman. Lalu faktor lain yakni warisan kultural/budaya seperti rahasia sukses orang-orang yang berasal dari Cina Selatan. Di Cina Selatan, mereka harus bangun saat hari masih gelap, dan bekerja selama 3000 jam pertahun dengan rincian pekerjaan memeriksa tingkat kegemburan tanah, kondisi pengairan, suhu air, tumbuhan liar/hama, jarak antar tanaman, varietas padi yang disesuaikan dengan kondisi alam, dll. Di Cina Selatan mereka beranggapan, bermalas-malasan akan berakhir dengan kematian saat musim dingin. Tak aneh jika kemudian banyak perantauan asal Cina Selatan meraih kesuksesan.
Bukan cuma itu Gladwell juga membahas dampak dari tanggal lahir (tentu saja tidak ada kaitannya dengan horoskop, namun lebih ke kadang momen-momen tertentu mensyaratkan batasan umur yang menguntungkan kelompok yang bisa menikmati pelatihan lebih awal), tempat tinggal, dan bahkan juga ras.
Sepintas dibaca, mungkin akan membuat kita mengernyitkan dahi, namun Gladwell selalu memiliki kasus nyata, yang membuat kita yakin kalau hasil analisanya tidaklah ditulis secara serampangan. Contoh lain, seperti misalnya fenomena Roseto, dimana era 1950-an, penyakit jantung menjadi epidemi dan menyebabkan tingginya tingkat kematian usia di bawah 65 tahun khususnya di kawasan Amrika Serikat. Namun di Roseto, Pennsylvania, jarang sekali orang yang meninggal karena penyakit jantung. Setelah diselidiki lebih lanjut, fenomena Roseto bukanlah disebabkan hal-hal mistis atau kebiasaan makan. Ternyata yang membuat mereka terhindar dari serangan jantung adalah karena memiliki warisan budaya dalam bentuk kehidupan sosial yang sehat. Komunitas Roseto memiliki kebiasaan saling berkunjung, saling bantu dan mereka saling menghormati.
Sebaliknya warisan budaya seperti di Korea Selatan yang sangat mengagungkan senioritas (dikenal dengan parameter PDI/Power Distance Index) justru mengakibatkan komunikasi antara pilot dan kopilot tidak berlangsung baik dan diduga sempat mengakibatkan tingkat kecelakaan yang sangat tinggi di maskapai Korea Selatan. Hal ini dibahas khusus oleh Gladwell dalam bab “The Ethnic Theory of Plane Crashes”.
Bicara soal Korea Selatan mengingatkan saya akan cara Guus Hiddink melatih kesebelasan Korea dengan mengharuskan senior dan yunior menggunakan kamar yang sama, saat makan selang seling antara senior dan yunior, terbukti kemudian di World Cup Korea Selatan lolos dari fase group setelah mengungguli Portugal dan Polandia, lalu menundukkan Italia, dan lanjut menghajar Spanyol meski akhirnya di semifinal gugur ditangan Jerman.
Yuk temukan hasratmu, latih hingga puluhan ribu jam, jadikan sebagai bagian dari karaktermu (budaya), dan jemputlah kesuksesanmu di kemudian hari.
No comments:
Post a Comment