Tuesday, July 31, 2012

Uda Domma #4 Tinggal bersama

Memanglah bahwa sejak aku mampu mengingat, beraneka ragam tipe karakter sanak dan saudara silih berganti tinggal bersama2 kami. Ini berlanjut terus sampai saat Ayahku sudah almarhum. Hanya mungkin intensitas kunjungan famili di saat2 sekarang ini sudah jauh berkurang. Selain karena Ibu yang sudah tua, mungkin juga karena daerah tempat tinggal kami saat ini tidak lagi pada posisi lintas yang strategis. Analisaku yang lain adalah karena para orangtua modern zaman sekarang memang lebih individualistis. Mereka umumnya tidak memperkenalkan anak2 mereka dengan sepupu2 jauhnya.

Bukan itu saja, bahkan mereka pun tidak memperkenalkan budaya asli nenek moyang kepada anak2nya, karena mereka sendiri pun mungkin kurang paham juga. Akibatnya generasi yang besar di rantau canggung pulang kampung. Tidak mengenal asal usulnya, fasih namun tidak berakar di rantau. Aku sendiri pun hanya tahu kulit2 arinya adat istiadat Tapanuli, dan sebagian lagi aku banyak bertanya kiri kanan. Termasuk pemahaman akan bahasa daerah, aku dapat sewaktu ompung (dari pihak Ibu) tinggal dengan kami selama beberapa tahun. Kugunakanlah ompungku itu sebagai sparring partner intensif dalam mengasah bahasa daerah.     

Kehidupan keluarga kami yang pas2an saat Uda Domma bersama kami, membuat apa yang kami makan dan kami pakai harus selalu dibagi. Tidak hanya nasi, lauk, sayur, kerupuk, kecap dan sambal terasi. Bahkan pun termasuk rokok Ayah. Bila rokok Ayah tinggal sebatang, tanpa ragu Ayah pun  memotesnya (mematahkannya) menjadi dua untuk dinikmati bersama Uda Domma.

Apabila kondisi keuangan ayahku berada di titik nadir, maka rokoknya adalah tembakau murah yang dilinting dengan kawung (bahasa Tapanulinya pusuk). Apabila ada roda ekonomi mengalami sedikit peningkatan, maka ayah beralih ke tembakau Mars Brand dengan pembalut kertas putih yang bungkusnya bergambar kakek2 pensiunan komisaris dengan kacamata tebal tengah membaca koran dengan headline yang itu2 saja.

Secara bergurau Ayah mengatakan pada Uda, bahwa rokok yang dilinting itu adalah rokok mahal, sedangkan rokok sigaret mesin alias pabrikan, adalah rokok murah (meskipun dalam kenyataannya, pada saat itu, harga sigaret pabrikan jauh lebih mahal).  Mengapa disebut rokok mahal ? Ya, karena rokok yang dilinting memerlukan banyak waktu untuk membuatnya. Jadi hanya para direktur atau para pejabat tinggilah yang punya waktu luang dan kesempatan cukup untuk melinting rokoknya.

Namun, di balik keharmonisan kami sebagai suatu keluarga besar yang baru dalam rumah kontrakan, Ayah sebenarnya menyayangkan kapasitas uda Domma yang saat merantau itu telah memiliki ijazah SMA - yang tidak termanfaatkan seluruhnya. Menurut perhitungan  Ayah, Uda tidak akan berkembang kehidupannya bila terus menerus tinggal bersama kami.

No comments: