Buku ini mengungkapkan banyak hal "ajaib dan unik" mengenai Gus Dur, disajikan dengan gaya komik menyebabkan buku ini enak dibaca. Saya pribadi tidak menyangka cukup banyak hal2 menarik terkait sosok beliau yang diungkapkan dalam buku ini. Rasanya komik ini jadi lebih menarik setelah saya baru2 saja memang menammatkan biografi KH Hasyim Asy'ari.
Hal2 yang tak banyak orang tahu misalnya, saat beliau 12 tahun harus menunggui ayah-nya di pinggir jalan ketika menjadi korban kecelakaan lalu lintas tanggal 18/4/1953 di jalan raya antara Cimahi dan Bandung jam 13:00. Sampai dengan ambulans datang tiga jam kemudian, sebagai bocah kecil Gus Dur harus melihat ayah-nya berjuang melawan sakaratul maut. KH Wahid Hasyim akhirnya meninggal keesokan pagi-nya jam 10:30.
KH Wahid Hasyim sendiri saat itu berencana akan menghadiri pertemuan NU di Sumedang, namun takdir menentukan lain. Saat di makam, Gus Dur bertanya tanya dalam hati kenapa almarhum Ayah-nya di datangi begitu banyak pelayat, sekaligus menunjukkan bagaimana KH Wahid Hasyim begitu dicintai umat. Namun beliau akhirnya mengikuti jejak ayah-nya menjadi tokoh yang juga dicintai umat, bahkan juga dari kelompok yang jelas2 berbeda keyakinan dan suku.
Gus Dur saat kecil juga seorang anak yang sangat suka membaca buku, yang terlihat terus sampai dengan beliau dewasa. Selain membaca, maka sepak bola dan menonton film adalah hobi beliau yang lain. Tak aneh saat saya remaja, cukup banyak membaca ulasan beliau mengenai sepak bola di media nasional, khusus-nya pada momen piala dunia. Karena kedua hobi inilah, Gus Dur bahkan sempat tidak naik kelas.
Unik juga bahwa Gus Dur sempat belajar pada Haji Junaidi di tahun 1954 yang merupakan anggota majelis Tarjih Muhammadiyah. Dengan sendirinya Haji Junaidi mencekoki Gus Dur dengan ajaran2 yang menghindari bid'ah. Tak aneh kalau kemudian Gus Dur menjadi tokoh pluralisme.
Saat di Yogya, beliau juga melalap karya Plato, Aristoteles, dan bahkan buku2 seperti Das Kapital nya Karl Marx, What Is To Be Done nya Lenin dan juga Little Red Book nya Mao Tse Tung. Di kota ini Gus Dur menambah hobi baru yakni menonton wayang 2 sd 3 minggu sekali dan juga cerita silat/kungfu. Beliau juga rajin ziarah ke makam2 ulama, dan lebih suka jalan kaki meski harus menempuh ratusan kilo meter, mulai dari selatan Jombang sampai bukit2 di pantai selatan.
Hobi membaca dan menulis ini mengantarkan beliau menjadi guru sekaligus Kepala Sekolah di Tambakberas dan juga mengasah kemampuan menulis di majalah sastra "Horison" serta majalah "Budaya Jawa". Pada tahun2 ini Gus Dur juga mulai membaca Sayyid Quthb dan Hasan Al Banna.
Lagi2 buku ini mengingatkan kita akan nyeleneh-nya Gus Dur, mengusulkan penggantian "assalamualaykum" menjadi "Selamat Pagi" atau "Selamat Siang", merelakan kaum Syiah menggunakan masjid-nya di Ciganjur, tidak ikut2an mengutuk Salman Rushdie, ikrar toleransi beragama dengan umat lain. Pola pikir Gus Dur jauh kedepan dan membuat sebagian umat bingung. Meski sebenarnya hal ini disebabkan keberpihakannya pada pluralisme.
Bukan cuma itu, saat orang mengutuk Tabloid Monitor yang membuat rangking dan menempatkan Nabi Muhammad di urutan 11, dengan santainya Gus Dur mengatakan kalau hal itu keliru, tapi tidak perlu membreidel tabloid-nya, cukup tidak perlu beli koran-nya, dan lalu menambahkan "Gitu aja kok repot". Di lain kesempatan alih2 mengharamkan bunga, Gus Dur bahkan membuat BPR untuk warga NU.
Perseteruan-nya dengan Soeharto juga diungkap, bagaimana Gus Dur diminta mundur, intel mengawasi ceramah-nya, ruang gerak Forum Demokrasi dimana Gus Dur aktif dikontrol habis, namun Gus Dur jalan terus dan tetap kritis. Saat muktamar NU yang dibuka presiden, Gus Dur meski sebagai tuan rumah bahkan dilarang duduk di deretan depan. Namun Gus Dur sukses melewati semua itu dan mencatat sejarah sebagai salah satu Presiden Indonesia.
Komik yang menarik dan memberikan gambaran lebih jelas mengenai sosok tokoh eksentrik ini. Meski secara ilustrasi terbilang biasa saja, namun akhir kata justru dengan-nya buku ini menjadi buku yang cocok bagi segala usia.
Hal2 yang tak banyak orang tahu misalnya, saat beliau 12 tahun harus menunggui ayah-nya di pinggir jalan ketika menjadi korban kecelakaan lalu lintas tanggal 18/4/1953 di jalan raya antara Cimahi dan Bandung jam 13:00. Sampai dengan ambulans datang tiga jam kemudian, sebagai bocah kecil Gus Dur harus melihat ayah-nya berjuang melawan sakaratul maut. KH Wahid Hasyim akhirnya meninggal keesokan pagi-nya jam 10:30.
KH Wahid Hasyim sendiri saat itu berencana akan menghadiri pertemuan NU di Sumedang, namun takdir menentukan lain. Saat di makam, Gus Dur bertanya tanya dalam hati kenapa almarhum Ayah-nya di datangi begitu banyak pelayat, sekaligus menunjukkan bagaimana KH Wahid Hasyim begitu dicintai umat. Namun beliau akhirnya mengikuti jejak ayah-nya menjadi tokoh yang juga dicintai umat, bahkan juga dari kelompok yang jelas2 berbeda keyakinan dan suku.
Gus Dur saat kecil juga seorang anak yang sangat suka membaca buku, yang terlihat terus sampai dengan beliau dewasa. Selain membaca, maka sepak bola dan menonton film adalah hobi beliau yang lain. Tak aneh saat saya remaja, cukup banyak membaca ulasan beliau mengenai sepak bola di media nasional, khusus-nya pada momen piala dunia. Karena kedua hobi inilah, Gus Dur bahkan sempat tidak naik kelas.
Unik juga bahwa Gus Dur sempat belajar pada Haji Junaidi di tahun 1954 yang merupakan anggota majelis Tarjih Muhammadiyah. Dengan sendirinya Haji Junaidi mencekoki Gus Dur dengan ajaran2 yang menghindari bid'ah. Tak aneh kalau kemudian Gus Dur menjadi tokoh pluralisme.
Saat di Yogya, beliau juga melalap karya Plato, Aristoteles, dan bahkan buku2 seperti Das Kapital nya Karl Marx, What Is To Be Done nya Lenin dan juga Little Red Book nya Mao Tse Tung. Di kota ini Gus Dur menambah hobi baru yakni menonton wayang 2 sd 3 minggu sekali dan juga cerita silat/kungfu. Beliau juga rajin ziarah ke makam2 ulama, dan lebih suka jalan kaki meski harus menempuh ratusan kilo meter, mulai dari selatan Jombang sampai bukit2 di pantai selatan.
Hobi membaca dan menulis ini mengantarkan beliau menjadi guru sekaligus Kepala Sekolah di Tambakberas dan juga mengasah kemampuan menulis di majalah sastra "Horison" serta majalah "Budaya Jawa". Pada tahun2 ini Gus Dur juga mulai membaca Sayyid Quthb dan Hasan Al Banna.
Lagi2 buku ini mengingatkan kita akan nyeleneh-nya Gus Dur, mengusulkan penggantian "assalamualaykum" menjadi "Selamat Pagi" atau "Selamat Siang", merelakan kaum Syiah menggunakan masjid-nya di Ciganjur, tidak ikut2an mengutuk Salman Rushdie, ikrar toleransi beragama dengan umat lain. Pola pikir Gus Dur jauh kedepan dan membuat sebagian umat bingung. Meski sebenarnya hal ini disebabkan keberpihakannya pada pluralisme.
Bukan cuma itu, saat orang mengutuk Tabloid Monitor yang membuat rangking dan menempatkan Nabi Muhammad di urutan 11, dengan santainya Gus Dur mengatakan kalau hal itu keliru, tapi tidak perlu membreidel tabloid-nya, cukup tidak perlu beli koran-nya, dan lalu menambahkan "Gitu aja kok repot". Di lain kesempatan alih2 mengharamkan bunga, Gus Dur bahkan membuat BPR untuk warga NU.
Perseteruan-nya dengan Soeharto juga diungkap, bagaimana Gus Dur diminta mundur, intel mengawasi ceramah-nya, ruang gerak Forum Demokrasi dimana Gus Dur aktif dikontrol habis, namun Gus Dur jalan terus dan tetap kritis. Saat muktamar NU yang dibuka presiden, Gus Dur meski sebagai tuan rumah bahkan dilarang duduk di deretan depan. Namun Gus Dur sukses melewati semua itu dan mencatat sejarah sebagai salah satu Presiden Indonesia.
Komik yang menarik dan memberikan gambaran lebih jelas mengenai sosok tokoh eksentrik ini. Meski secara ilustrasi terbilang biasa saja, namun akhir kata justru dengan-nya buku ini menjadi buku yang cocok bagi segala usia.
2 comments:
Om, koq lama tidak update artikelnya.
Iya, maaf nih sedang training K3 selama 12 hari, dan seperti biasa akhir tahun sangat peak dengan urusan kantor, mulai dari mengukur performance plan, opex 2014, least estimated 2013, organisasi 2014, pipeline 2014dll :)
Post a Comment