Saat masuk ke Singapore, dalam perjalanan Bu Ita menjelaskan ada beberapa produk asesoris yang ditawarkan Pak Aseng, jika ada diantara kami yang belum sempat beli. Sepertinya ini adalah salah satu cara elegan yang dilakukanm Pak Aseng untuk mencari rezeki yang halal. Misalnya gantungan kunci, wadah garpu buah, jam, gunting kuku dan lain-lain.
Berbeda dengan semua pos imigrasi yang kami masuki, kali ini ada ruang kecil tambahan dan kami harus memasuki sebuah alat yang menghembuskan angin ke seluruh tubuh. Namun karena proses antrinya berantakan, kami yang sebenarnya datang lebih awal akhirnya harus menghabiskan waktu hampir dua jam untuk bisa lolos. Seperti saat masuk, petugas imigrasi juga terlihat kaku dan bertanya saya akan kemana, saya cuma bilang akan ke Sentosa Island dan langsung ke Batam malam ini juga. Si Sulung bahkan diminta masuk ke ruangan khusus untuk diperiksa secara intensif.
Si Sulung yang diminta istri saya membawa barang milik Opa saya ingatkan, bagaimanapun kami tidak mengetahui isi barang beliau, dan bisa menimbulkan konsekuensi serius manakala ada barang-barang yang tidak diperkenankan memasuki Singapore. Namun sebelum dan setelah pos imigrasi tidak masalah kalau kita mau membantu beliau.
Kami bertemu di meeting point yang disepakati yakni dekat Merlion Park, dan langsung sesi foto sana sini, tidak ada kejutan bagi keluarga saya yang memang sudah pernah kesini, juga bagi saya yang sudah melakukan kunjungan keempat kalinya ke Singapore. Namun karena saat kunjungan terakhir Merlion Statue sedang dalam proses renovasi, kali ini kami berkesempatan untuk memotret dengan lebih bebas, dengan menjadikan Esplanade dan Marina Bay sebagai latar belakang.
Terlambat keluar dari imigrasi, dan sedang adanya perbaikan di Bugis Junction, maka Tour Guide Singapore, alias Pak Abdul Razak membawa kami ke Hongkong Street untuk belanja parfum, jam, dll. Pak Razak yang humoris mengatakan bahwa tempat yang dia pilih dijamin keaslian barang-nya. Hal ini bisa beliau pastikan, karena profesinya sebagai intel yang ditempatkan di travel memungkinkannya untuk menangkap penjual barang-barang palsu.
Dari sini kami ke Orchard Road, dan berhenti di lokasi yang sebenarnya dilarang, namun dengan kemampuan Pak Abdul Razak berargumen dan kartu anggota intelnya, akhirnya polisi bersedia mengizinkan kami parkir di lokasi tersebut. Kami cuma diberi waktu sekitar 60 menit, jadi kami sempatkan ke Paragon untuk mencari mainan Lego dengan tema Star Wars bagi Si Bungsu. Tanpa kami sadari dua rombongan kecil turut mengikuti kami karena mengira kami akan ke Lucky Plaza, akhirnya Keluarga Pak Siahaan (bersama istri dan anak perempuannya) jalan sendiri, dan pecahan rombongan Oma tercecer di belakang. Setelahnya dengan terburu buru kami kembali ke Bis dan menyempatkan diri membeli Ice Cream Orchard dengan roti.
Menunggu hampir satu jam di Bis, ternyata rombongan Oma benar-benar tersesat, saya jadi ingat kasus-kasus sebelumnya yang terjadi baik saat di Vihara Kwan Im Hat Yai, di Kota Hat Yai atau di Sungei Wang Plaza dimana mereka juga sempat terlambat kembali ke Bis dan harus dicari. Bu Ita sempat menangis karena bingung bagaimana harus mencari mereka, akhirnya berdua dengan Bu Christine yang HP nya low batt dan Bu Ita yang meminjam HP Pak Aseng (karena HP nya mendadak rusak) memutuskan mencari ketiga Oma, sedangkan kami harus ke Sentosa Island untuk sesi pemotretan di Universal dan Wings of Time yang tiketnya sudah dibeli 32 lembar dan terancam hangus. Sayangnya Pak Razak lupa tiket Wings of Time ada di Bu Ita, sehingga kami terpaksa kembali untuk mengambil tiket dan menempuh perjalanan macet untuk kali kedua.
Melihat Bu Ita yang tertekan, Pak Razak yang humoris sempat bertanya apakah ada traveller yang membawa parang, ketika kami bertanya untuk apa, beliau bilang untuk membelah dirinya menjadi dua, separuh menemani Bu Ita mencari Oma yang hilang dan separuh tetap bersama kami menuju Sentosa Island.
Dalam perjalanan tak henti-hentinya Pak Razak menganggu dua Gadis Bali dengan celotehan2nya. Bukan cuma mereka, saya pun tak luput dari keusilan Pak Razak, karena memperhatikan dia terus menerus dan membuat dia merasa layaknya intel Singapore yang sedang diawasi intel Indonesia.
Sesampai di Sentosa kami langsung bergegas ke Water Front Station, lalu menuju Beach Station melewati Imbiah Station, turun di Beach Station kami langsung menuju Universal Studios, dan lalu lokasi Wings of Time lewat jalan pintas untuk mencari posisi terbaik. Lagi-lagi dengan mulusnya Pak Razak berhasil membantu kami masuk tanpa hambatan berarti dan bersiap menonton acara di tempat strategis.
Saya sempat ditegur petugas karena menginjak pasir di arena yang ternyata area terlarang. Dan akhirnya kami menonton pertunjukan yang cuma berlangsung kurang dari setengah jam ini. Konon kabarnya acara ini merupakan pengganti Song of The Sea yang juga memadukan laser dan air mancur. Secara komposisi cukup menarik, sayang animasi burung dan orang-nya menurut saya dibawah standar dan terkesan kaku. lalu diakhir pertunjukan dimeriahkan dengan rentetan kembang api, sayangnya foto-foto saya diakhir acara tidak bisa menghasilkan gambar yang baik, karena bergantian menggunakan tripod dengan si sulung.
Akhirnya tiga Oma ditemukan sedang keletihan di McDonald, dan tak tahu jalan pulang, rupanya setelah sadar saya tidak ke Lucky Plaza, ketiganya memutuskan untuk jalan sendiri dan tersesat. Bukannya gembira bertemu Bu Ita dan Bu Christine, mereka bertiga malah marah besar krn tidak berhasil mengontak handphone Bu Ita dan Bu Christine. Meski Bu Ita sudah menjelaskan handphone nya bermasalah dan hanpdhone lowbatt, ketiga Oma tetap tidak merasa bersalah. Ketiga Oma juga menolak mengganti secara full semua biaya pencarian kehilangan mereka seperti taksi, pulsa komunikasi, dll.
Catatan Perjalanan
- Style Pak Razak sebagai Tour Guide (sekaligus intel) ternyata menginspirasi anak-anak, humoris, pemahaman-nya akan lokasi, relasinya yang bagus dengan pelaku-pelaku wisata dan kecepatannya mengambil keputusan saat kritis.
No comments:
Post a Comment