Tidak ada angin dan tidak ada hujan, mendadak Si Bungsu menyodorkan film ini pada kedua orang tuanya. Hemm bolehlah, kebetulan saya dan istri memang sedang ada waktu, maka kami pun meluangkan waktu untuk menontonnya. Hemm siapa sih aktornya ? astaga, ternyata Jake Gyllenhaal, sosok pemuda manis dalam film box office The Day After Tomorrow. Lahhh kok bisa ? penampilan dengan tubuh penuh tatto, dan wajah beringas, sehingga dalam film ini dia lebih mirip dengan Conor Mc Gregor, sosok yang mendadak mengagetkan saat menundukkan Jose Aldo Sang Juara UFC, hanya dalam belasan detik.
Karena memang belum pernah membaca resensinya, cukup sulit menebak alur film ini, apalagi saya menduga-duga film ini akan setidaknya mengikuti salah satu film klasik berkesan yakni The Champ. Bagi saya casting-nya seharusnya cukup baik dengan menempatkan Jake sebagai pemeran Billy Hope, Sang Petinju lalu, Rachel Mc Adams yang memerankan Irene Adler dalam film Sherlock Holmes sebagai Maureen alias pendampingnya. Sayang tokoh promotor yang diperankan 50 cents, terlihat tidak berkarakter, demikian juga tokoh Leila sang anak yang diperankan Oona Laurence. Untung saja ada aktor sekelas Forest Whitaker yang dengan mantapnya memerankan Sang Pelatih yakni Titus "Tick" Wills.
Namun salah satu paling mencolok dalam film ini memang permainan Jake Gyllenhaal yang benar-benar total, postur tubuhnya yang langsing namun berotot, ekspresi muram yang puncaknya adalah saat meraung sedih memeluk Maureen saat meregang nyawa, nyaris menyamai ekspresi legendaris Al Pacino saat menangis tanpa suara dalam film mafianya The Godfather 3.
Pelajaran dalam film ini adalah, bagaimana kita bisa dipermainkan hidup, saat meraih puncak kebahagiaan di dunia namun harus terjerembab sekejap mata, ditinggalkan belahan jiwa, dipisahkan dengan anak tercinta, mengalami "perampasan" asset dan harta, terjebak alkohol, kecelakaan, dan memulai segala sesuatunya kembali dari bawah, yakni sebagai petugas pembersih di sasana milik "Tick".
Film ini juga menggambarkan dengan baik, saat Billy kehilangan akal sehat dan berusaha membalas dendam dengan menyiapkan senjata, namun urung membunuh karena maksud jahatnya terhalang rasa kasihan saat melihat anak-anak korban. Tidak aneh kalau kandidat tokoh Billy awalnya justru Eminem, melihat pakaian favorit Billy dalam film ini adalah jaket dengan hoodie, pakaian yang sering digunakan Eminem dalam film-filmnya.
Kehilangan Maureen yang selama ini sebagai pelengkap Billy Hope, mulai dari negosiasi bisnis, perencanaan, pengambilan keputusan selain sebagai istrinya, menyebabkan Billy bukan cuma harus bertarung dengan lawan-lawannya di ring, namun juga promotor yang lebih terkesan sebagai oportunis yang menghisap semua potensinya namun tanpa sungkan meninggalkannya saat terpuruk.
Lumrah kalau seseorang dikagumi bukan karena terus menerus menjadi juara, namun juara sejati adalah manakala kalah dapat menapaki kembali tangga menuju juara. Sebagaimana karakter dunia nyata Muhammad Ali yang meraih 3 kali juara dunia di 1964, 1974 dan 1978, demikian juga karakter Billy Hope akhirnya meraih kesuksesan kembali dengan berjuang keras dari bawah, yang memberinya kesempatan kedua meraih bahagia dengan anak satu-satunya. Namun demikian, seimbangnya pertarungan sempat membuat emosi kita sebagai penonton ikut tersedot menunggu detik-detik pengumuman juara.
Film ini juga dengan baik menggambarkan sisi mewah kehidupan di New York saat seseorang sukses dalam hidup dan sebaliknya situasi di kawasan apartemen murahan di daerah kumuh. Layaknya kontradiksi antara Sang Juara dan Sang Pecundang yang dapat singgah kapan saja dalam hidup kita.
No comments:
Post a Comment