Awalnya saya
mendapatkan informasi mengenai album ini, dari
account Portnoy di Facebook. Dalam statusnya tanpa ragu
Portnoy mengatakan album ini
merupakan album terbaik dari sekitar 50 album dimana Portnoy terlibat selama
karirnya. Hemm jelas saya penasaran, maklum ini sama saja dengan mengatakan
Scenes From a Memory,
yakni album saat Portnoy masih di Dream Theater, adalah album yang kelasnya lebih rendah. Portnoy juga mengatakan baginya album ini
lebih merupakan kombinasi dua album konsep terbaik yakni Tommy dari The Who dan
The Wall dari Pink Floyd.
Album dengan 23
track ini, digawangi oleh Neal Morse (Lead Vocals, Keyboards, Guitars), Mike
Portnoy (Drums, Vocals), Randy George (Bass), Eric Gillette (Guitar, Vocals)
dan Bill Hubauer (Keyboards, Vocals).
Bagi saya secara umum ada nuansa Flying Colors disini, meski dengan
kompleksitas lagu yang lebih
tinggi. Namun untuk skill gitar rasanya cukup jelas kalau Steve Morse levelnya masih diatas Gillette.
Bagi The Neal
Morse Band, album ini bukanlah album pertama, karena tahun 2014, setelah melakukan audisi, dimana Neal
Morse dan Randy George akhirnya memilih Eric Gillette dan Bill Hubauer, mereka
suda merilis “The Grand Experiment”, dilanjutkan dengan album konser “Alive
Again”. Untuk drummer, Neal Morse masih
nyaman dengan Portnoy dimana mereka berdua sudah terlibat dalam sekitar 18 proyek album bersama. Agak
aneh sebenarnya melihat Portnoy yang menjadi tokoh kunci di Dream Theater
di sini seakan sebagai bayang-bayang Neal Morse saja.
Inspirasi album
ini sebenarnya hanya dari sekitar
80 halaman pertama buku “Pilgrim’s Progress” karya John Bunyan tahun 1678. Namun
itu cuma judul pendeknya saja, judul panjangnya “The Pilgrim’s Progress From
This World To The That Which Is To Come; Delivered Under The Similitude Of A
Dream”. Nah lima kata terakhir inilah
yang digunakan sebagai judul album The Neal Morse Band. Buku ini merupakan
cerita tentang perjalanan spiritual lelaki dari “City of Destruction” menuju kebebasan.
Saya hanya
menduga duga kenapa Morse tertarik dengan buku ini, mungkin karena mirip
dengan kisah hidupnya sendiri mengingat
Morse pernah meninggalkan Spock’s Beard dan Transatlantic, demi memuaskan dahaganya akan spritualisme
yang ujung-ujungnya melahirkan album Testimony (2003). Meski
demikian setelah beberapa album solo di 2010
Morse sempat kembali
ke Transatlantic dan menelurkan “The
Whirlwind”.
Album The
Similitude of Dream, memiliki durasi sekitar 106 menit, diluar kebiasaan musik progressive yang umumnya memiliki track panjang, ternyata track
panjang dalam album ini alias diatas
enam menit cuma 3 track. Berikut track list dalam album ini;
01. Long Day (1:42) ****
02. Overture (5:51) *****
03. The Dream (2:28) ****
04. City of Destruction (5:10) ****
05. We Have Got to Go (2:29) ****
06. Makes No Sense (4:09) *****
07. Draw the Line (4:06) ****
08. The Slough (3:02) ****
09. Back to the City (4:18) ****
10. The Ways of a Fool (6:48) ****
11. So Far Gone (5:20) ****
12. Breath of Angels (6:48) ****
13. Slave to Your Mind (5:55) ****
14. Shortcut to Salvation (4:36) ****
15. The Man in the Iron Cage (5:16) ***
16. The Road Called Home (3:23) *****
17. Sloth More (5:47) ***
18. Freedom Song (3:58) **
19. I'm Running (3:44) ***
20. The Mask (4:28) ***
21. Confrontation (3:59) ***
22. The Battle (2:57) ***
23. Broken Sky Long Day (9:58) *****
Diawali
dengan vokal sendu Morse, dengan iringan orchestra dan gitar akustik “Long Day” mengawali album ini. Lalu lanjut sedikit
lebih cepat, dengan solo gitar indah dan bersih, ketukan berubah ubah,
permainan unison antara gitar dan keyboard yang mengasikkan, dalam “Overture”. Lalu lanjut dengan track tenang “The Dream”, yang mengingatkan saya akan Pink Floyd
dengan gema yang perlahan “fade out”. Kemudian “City of
Destruction” yang masih kental dengan ciri khas
Spock’s Beard, dan giliran Portnoy
menunjukkan ketukan rumitnya di “We Have Got To Go”, dengan sound keyboard ala
Tony Banks (dalam track legendaris In The Cage) yang dimainkan Hubauer dengan
manis.
Suasana kembali menjadi tenang di “Makes
No Sense”, namun gaduh kembali dengan diawali distorsi gitar Gillette dalam “Draw
The Line”, namun di menit 2:50 suasana berubah menjadi jazzy yang dimainkan
Gillette dengan cantik. Neal Morse memang cukup terbuka dengan berbagai aliran,
bukan cuma jazz, dalam “The Light” saat masih di Spock’s Beard malah dimainkan
potongan lagu latin ala Trio Los Panchos. Nuansa jazz ini ternyata masih terus
berlangsung dalam “The Slough” mulai 1:30 dengan sound gitar “psychedelic” ala Alan
Holdsworth, dan kali ini Gillette tanpa ragu memamerkan teknik “sweeping”nya.
Lanjut ke “Back To The City”, Morse menjerit dengan serak ala Peter Gabriel di track
legendaris “Back In New York City” dan lagu diakhiri dengan kombinasi gema dan lagi-lagi
“fade out” ala Pink Floyd.
The “Ways of Fool” dimainkan dengan
jenaka, lanjut ke “So Far Gone” dan “Breath of Angels”. Kemudian “Slave to Your
Mind” dimainkan dengan cepat, dan dilanjutkan dengan permainan saxophone dalam “Shortcut
to Salvation” yang agak bernuansa pop. “The Man in The Iron Cage” sepertinya
akan terasa akrab bagi penggemar Led Zeppelin, ya tidak salah pembukanya sangat
bernuansa “Black Dog”.
“The Road Called Home” menjadi ajang
pembuktian Hubauer dengan permainan cepat dan cantik. “Sloth More” kembali
membuat kita tenang dengan ritme lambat dan sound gitar bening, lanjut dengan “Freedom
Song” yang menggunakan petikan ala steel guitar musik country dan nuansa banjo.
“I’m Running” menjadi track berikutnya dan lanjut ke intro piano Hubauer yang
indah dalam “The Mask”. Lalu Portnoy dengan gaya drum progressive metalnya
memulai “Confrontation”, dan masuk ke “The Battle” yang tidak kalah cepat, hingga
akhirnya diakhiri Broken Sky track terpanjang dan saya kira juga track terbaik dalam
album ini yakni hampir 10 menit dan memberikan suasana relaksasi layaknya
suasana pelabuhan setelah badai reda ala “Peaceful Harbor” dalam album Second
Nature karya Flying Colors.
Akhir kata, meski bagi saya belum sekelas
The Wall dan sejujurnya saya belum merasa nyaman dengan vokal bernuansa pop ala
Neal Morse, namun album konsep ini layak masuk 100 album terbaik progressive
sepanjang masa, bersanding dengan album konsep dahsyat lainnya seperti "Lamb
Lies Down on Broadway" – Genesis , "Close To The Edge" - Yes, "Misplaced Childhood
- Marillion, "Scene Form a Memory" – Dream Theater, "Thick as a Brick" – Jethro Tull, "Fear of Blank Planet" – Porcupine Tree, "De-Loused in the Comatorium" - The Mars
Volta, "2112" – Rush dan lain-lain. Hal lain adalah kurang seriusnya penggarapan cover album, kalau saja tampilan artistiknya sekelas "Leftoverture" - Kansas atau "10.000 days" - Tool wuih pasti akan memberikan nuansa lain.
Silahkan cek link https://youtu.be/Fbzl46CuPiM?t=216 untuk dua track awal.
Silahkan cek link https://youtu.be/Fbzl46CuPiM?t=216 untuk dua track awal.
No comments:
Post a Comment