Thursday, August 30, 2018

Mengenang Kak Eli - Melahirkan Viko dan Perginya Mas Parno ke Dusseldorf.



Senin dinihari, 1 Juni 1992, setelah hamil 9 bulan (setelah menikah tahun 1991), Kak Eli mengalami kontraksi dan lalu ketuban pecah saat tengah malam, saat itu juga aku langsung menyiapkan VW Variant 1968 kesayangan, dan bersama Mas Parno, dan Ibu, kami berempat langsung menuju kediaman dr. Pories Setyadi di bilangan jalan W.R. Supratman 76. Namun pintu pagarnya terkunci, setelah di ketok2 sambil menjerit-jerit panik, istri dr. Pories yang masih pakai piyama lalu keluar dan bertanya ada apa ? Setelah kami jelaskan, istri dr. Pories langsung minta kami ke Rumah Sakit Bersalin Limijati segera, dan minta disampaikan ke perawat untuk berkoordinasi dengan beliau.  

Belakangan, baru aku tahu, di kota-kota besar, Spesialis Kebidanan memang tidak menerima persalinan di rumah, melainkan di rumah sakit dimana mereka terdaftar  sebagai ahli. Seandainya saja tahu dari awal, tentu kami akan membawa Kak Eli langsung ke RS Bersalin Limijati.
Sehari sebelumnya, aku menemani Kak Eli mencari berbagai perlengkapan bayi, dan tak lupa kami mampir di Restoran Mie Baso Linggarjati di depan Bioskop Dian, di kawasan Alun-Alun Bandung langganan alamarhum ayah, yang tentu saja lebih nikmat jika dinikmati bersama Es Duren Tape Ketan Hitam yang dijual persis depan restoran.

Kami menunggu di depan kamar bersalin dengan berdebar-debar, sepertinya proses tidak berjalan mulus. Kak Eli cerita kemudian dia sudah kehabisan tenaga untuk mengedan, sampai muncul bintik -bintik pembuluh dara yang pecah diwajahnya, karena salah teknik saat mengedan. Sialnya pula, proses pembersihan lambung tidak sempat dilakukan sebelumnya, sehingga saat mengedan, bukan hanya bayi yang keluar tapi juga menyemprotkan seluruh sisa hasil produksi di lambung Kak Eli, sampai2 diwajah dr. Pories menempel butiran tape ketan yang sudah mengalami fermentasi dua kali (termasuk di perut Kak Eli), tak ketinggalan bau durian yang menyengat.  Mendengar suara Viko menangis, Mas Parno langsung memeluk Ibu dan aku, lalu sujud syukur sambil meneriakkan takbir.

Bagi Mas Parno, kelahiran Viko ini sangat melegakan, karena setelahnya langsung berangkat ke Dusseldorf, Jerman untuk bekerja di sebuah restoran bernama Neue Liebe milik Zbigniew Bleszynski (ayah kandung Tamara Bleszynski). Akhirnya sesuai harapan Mas Parno, yang sempat kuatir Viko baru akan lahir saat dia sudah berangkat ke Dusseldorf.  Sekitar 15 hari setelah Viko lahir, aku sempat mengantar Mas Parno ke Jakarta dan bertemu langsung dengan Zbigniew Bleszynski.

Selama Mas Parno bertugas di Jerman, Viko dan Kak Eli tinggal bersama sama kami di rumah Ibu,  dan kehadiran mereka berdua tentu sangat membahagiakan Ayah dan Ibu, khususnya kehadiran Viko sebagai cucu pertama mereka. Beberapa masa setelah Viko lahir, kami selalu mengenang peristiwa itu sambil tertawa keras, dan kerap menjuluki Viko memiliki saudara kembar dalam bentuk tape ketan.

No comments: