Dengan buku ini saya berharap kejadian seperti Bom Bali ini tidak terulang lagi di seluruh dunia.
Cukuplah kami yang merasakannya...
Cukuplah kami yang merasakannya...
Alangkah indahnya hidup dengan penuh kedamaian dan mari kita jaga perdamaian ini.
Jangan lagi ternodai oleh para teroris yang bertabir jihad dan mengatasnamakan Islam.
Islam datang penuh rahmat bagi seluruh umat.
Eka Laksmi (Istri Imawan, korban Bom Bali I)
Setelah lama membeli buku karya Noor Huda Ismail (NHI) ini, dan bahkan sempat dibaca ibu saya duluan lalu istri, barulah saya memiliki kesempatan untuk membacanya, dan mengagetkan kalau ternyata buku ini sangat enak dibaca dan mengalir, sekaligus membuat kita sulit untuk berhenti. Disusun dengan gaya biografi, dan menceritakan bagaimana seorang Fadlullah Hasan "terjebak" melakukan jihad dalam arti sempit, dan membantu kita memahami lebih jelas hal2 di belakang layar.
NHI dan Fadlullah Hasan belajar pada waktu yang kurang lebih bersamaan di Ngruki pada usia dini. Saat itu mereka sempat menjadi teman sekamar, dengan Fadlullah Hasan sebagai senior-nya. Puluhan tahun berlalu sebelum Tuhan mempertemukan mereka kembali. NHI sebagai jurnalis dan lulusan program master dari Skotlandia sekaligus direktur eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian, sedangkan Fadlullah Hasan tersangka atas tuduhan terorisme. Apa sebenarnya yang terjadi ? bukankah mereka menggunakan ilmu agama yang semestinya sama pada jalan hidup masing-masing. Dalam buku ini NHI mengangkat kisah mereka dengan , lalu menyisakan renungan tentang sebuah persahabatan, terorisme, dan jihad.
Selain hal tersebut diatas dengan buku ini kita juga dibantu untuk memahami apa yang terjadi di balik dinding Ngruki, pesantren yang selama ini sudah mendapatkan cap dari institusi kepolisian, khususnya seksi yang berhubungan anti terorisme. Lantas kenapa sebagian ada yang memilih jalan kekerasan dan sebagian yang lain jalan perdamaian ? bagi Uztadz Mualif Rosyidi, perubahan tersebut terjadi bersentuhan dengan aroma luar (pesantren) yang multidimensi.
Kata pengantar Ahmad Syafii Maarif (ASM) yang bernas, juga mengangkat buku ini ke bobot yang lebih tinggi. ASM menyimpulkan bahwa para pemuda yang berjihad dalam buku ini, tak lain adalah korban perang dingin antara Amerika dan Rusia. Seperti-nya analisa ASM ini tidak sama sekali salah, mengingat Afghanistan yang menjadi "sekolah" Fadlullah Hasan memang menjadi korban kepentingan kedua negara. Amerika yang pada awalnya sangat seakan sangat terkesan dengan Mujahiddin dan mengundang mereka ke Amerika saat pemerintahan Reagan, namun Amerika jugalah yang justru kini menjadikan Afghanistan sebagai ladang eksperimen perang mereka setelah Rusia keluar.
Pemuda-pemuda yang kelebihan energi perang ini lah sesuai analisa ASM yang kemudian kembali ke negara asal mereka dan lupa bahwa perang tersebut tidak terjadi di sini, di Indonesia. Namun semangat inilah yang mereka gunakan sebagai bahan bakar kekerasan dengan jubah jihad yang diartikan secara sempit.
Dalam buku ini sebagaimana yang dirasakan ASM, saya juga merasakan batin NHI yang berkecamuk ketika harus menulis kedua jalan yang dipilih NHI dan Fadlullah Hasan. Mungkin itu sebabnya judul buku ini menggunakan tanda tanya besar. Bagi NHI, keluarga Fadlullah Hasan ataupun keluarga Imawan, keduanya yang akhirnya sama-sama menjadi korban.
Secara halus dalam buku ini NHI juga "mengingkari" peran pesantren Ngruki dalam mencetak teroris dengan dirinya sendiri sebagai bukti. Berbeda dengan Fadlulhah Hasan (aka Utomo Pamungkas) yang menjadi tokoh utama dalam buku ini, NHI yang lahir di Yogya pada November 1972 justru melakukan jidah dengan cara yang berbeda, melanjutkan pendidikan dengan kuliah di IAIN Sunan Kalijaga (119-1997), lalu jurusan komunikasi Fisipol UGM (1994-1999), dan melanjutkan kuliah S2 di International Security St. Andrews University, Skotlandia (2005-2006). Pernah setahun di Paris sebagai asisten peneliti untuk The National Center for Scientific Research (2005-2006), juga asisten peneliti di Law School, Melbourne (2006), Australia. Kini NHI menjabat sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian dan juga mengelola konsultan komunikasi dan manajemen resiko di BostonPrice Asia. J
Hemm Jika tidak cukup dengan NHI sebagai contoh bahwa Ngruki tidak identik dengan teroris, kita bisa menggunakan sampel lain, yakni rekan seangkatan Fadlullah Hasan misalnya, DR. Muhammad Walidin yang kini mengajar di UIN Sunan Kalijaga. Muhammad Walidin juga menulis komentarnya terhadap buku karya NHI ini.
No comments:
Post a Comment