Pak Yanto yang
semakin jarang di Bandung akhirnya memohon maaf tidak bisa me-lead proyek yang
kami tawarkan. Namun saat sedang melintas di jalan Ciganitri saya bertemu Pak
Yan Sofyan, seorang teman tenis, yang biasa mengerjakan proyek-proyek irigasi.
Saya dan istri menawarkan beliau me-lead proyek ini, dan bersama sama seorang
arsitek veteran sebagai arsitek keempat alias Pak Zed, kami mulai menggarap
penampakan klinik.
Namun setelah dua
bulan saya masih saja belum puas dengan desainnya, sehingga saya menghentikan
proyek desain tsb, dan lalu mengontak sahabat istri yakni seorang dokter
spesialis penyakit dalam dan suaminya seorang ustadz. Mereka berdua mengenalkan
saya pada keponakan beliau sepasang suami istri arsitek alumni ITB, yang salah
satunya pernah menjadi team Pak Ridwan Kamil. Di tangan arsitek muda bernama Mas Priyatna inilah, akhirnya konsep tersebut terlihat lebih sesuai dengan keinginan
kami.
Untuk nama klinik
kami memilih nama Nadhifa Al Ghiffari, dimana Nadhifa artinya bersih sedangkan
Ghiffari suka memaafkan dan lembut, harapan kami, selain bersih, klinik ini
juga sabar dalam melayani pasien serta semua pegawainya bertutur kata lembut.
Namun kalau ada yang bertanya kenapa nama itu yang dipilih, sejujurnya selain arti yang
disebut di atas, Nadhifa al Giffari adalah nama kedua anak kami. Saya juga meminta desain tersebut memiliki kaligrafi, baik untuk nama klinik maupun motto klinik.
Proses diskusi dengan Mas Priyatna cukup sulit, karena ybs tinggal di Bali, sementara saya tidak punya budget untuk membiayai kedatangannya ke Bandung. Akhirnya Mas Priyatna menyarankan saya untuk instalasi software Sketchup, dan mengirim hasil desain tahap per tahap via Dropbox. Sementara saya setelah mereview design, memberikan umpan balik untuk proses perbaikannya. Untuk pengecekan kaligrafi, kami meminta bantuan Mas Ustadz Rofi' Usmani, suami mbak dr Ummie sekaligus paman Mas Priyatna. Saat Mas Priyatna ada urusan di Bandung, ybs menyempatkan untuk meninjau langsung ke lokasi sekitar 2x. Kadang desain Mas Priyatna memerlukan ekstra effort, contohnya saat memerlukan kerajinan tanah liat bata bolong yang terpaksa saya cari sendirian sampai ke tempat pembakarannya di Plered.
Lalu setelah
meminta izin warga, RT, RW, Lurah dan Camat dan mendapatkan izin bangunan,
kamipun memulai pekerjaan tersebut. Sejumlah warga sempat menyatakan
keberatannya dan mengundang kami beberapa kali, khususnya masalah penggunaan
sumber air, pengelolaan limbah medis, dampak pembangunan klinik terhadap
banjir, namun alhamdulillah melalui diskusi yang cukup hangat dan karena
mayoritas warga mendukung, kami bisa terus melanjutkan pembangunan. Komplain warga salah satunya karena saat masih
berupa sawah, lahan ini digunakan untuk untuk menampung kelebihan air dari blok
sekitarnya.
Selain kasus
diatas sejumlah broker tanah urugan dengan berbaju preman setempat, juga memaksa
kontraktor kami Pak Yan Sofyan, menggunakan jasa mereka dengan jaminan
pengamanan dan broker fee Rp 5000 per m3. Saat musim hujan, pasokan tanah
urugan meleset dari waktu yang disepakati dan mereka terpaksa menanggung biaya
eskavator yang di sewa secara jam-jaman, situasi sempat memanas, karena Pak Yan
Sofyan tidak mau membayar kelebihan nilai. Namun akhirnya kami terpaksa
mengalah meski hal ini menjadi pos pengeluaran tak terduga. Saya juga sempat konflik dengan sebuah organisasi massa berseragam yang sempat mengancam kami.
Dengan lurah lama (sekarang daerah kami sudah dipimpin lurah baru) pun sempat ada masalah, karena tidak jelasnya aturan soal tarif kontribusi. Ternyata salah seorang Ketua RW sahabat kami sempat menyebutkan komplain lurah lama, saat forum pertemuan RW, pada klinik kami mengenai kontribusi ke kelurahan yang menurut beliau terlalu kecil. Satu hal yang beliau lupa, kami sudah mencoba berkontribusi untuk infastruktur RT dan RW yang seharusnya menjadi tanggung jawab kelurahan. Dan bukan maksud kami untuk menghindari pungutan, namun zaman transparansi seperti sekarang ini seharusnya dijelaskan aturannya dan jelas pula penggunaannya. Namun karena tidak bermaksud memperpanjang masalah, kami segera menyelesaikan kekurangan tersebut.
Saya cuma berpikir, bayangkan saja, saya dan istri yang merupakan penduduk di daerah tersebut sejak 20 tahun yang lalu saja, sulit untuk berinvestasi, apalagi kalau pendatang. Bagaimana kalau beda agama atau suku misalnya, bisa jadi izin tidak akan pernah keluar. Saya juga tidak melihat adanya kekhususan perlakuan untuk yang murni bisnis / komersil dengan yang sifatnya mengandung unsur sosial. Untuk layanan kesehatan, mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa tidak semua pasien sanggup membayar sesuai biaya, itu sebabnya tidak bisa disamakan dengan usaha yang murni bisnis / komersil seperti Alfamart atau Indomaret misalnya. Perhitungan kasar saya, untuk bisa break event point saja, kami butuh lima tahun, itupun dengan mengabaikan faktor inflasi.
Dengan lurah lama (sekarang daerah kami sudah dipimpin lurah baru) pun sempat ada masalah, karena tidak jelasnya aturan soal tarif kontribusi. Ternyata salah seorang Ketua RW sahabat kami sempat menyebutkan komplain lurah lama, saat forum pertemuan RW, pada klinik kami mengenai kontribusi ke kelurahan yang menurut beliau terlalu kecil. Satu hal yang beliau lupa, kami sudah mencoba berkontribusi untuk infastruktur RT dan RW yang seharusnya menjadi tanggung jawab kelurahan. Dan bukan maksud kami untuk menghindari pungutan, namun zaman transparansi seperti sekarang ini seharusnya dijelaskan aturannya dan jelas pula penggunaannya. Namun karena tidak bermaksud memperpanjang masalah, kami segera menyelesaikan kekurangan tersebut.
Saya cuma berpikir, bayangkan saja, saya dan istri yang merupakan penduduk di daerah tersebut sejak 20 tahun yang lalu saja, sulit untuk berinvestasi, apalagi kalau pendatang. Bagaimana kalau beda agama atau suku misalnya, bisa jadi izin tidak akan pernah keluar. Saya juga tidak melihat adanya kekhususan perlakuan untuk yang murni bisnis / komersil dengan yang sifatnya mengandung unsur sosial. Untuk layanan kesehatan, mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa tidak semua pasien sanggup membayar sesuai biaya, itu sebabnya tidak bisa disamakan dengan usaha yang murni bisnis / komersil seperti Alfamart atau Indomaret misalnya. Perhitungan kasar saya, untuk bisa break event point saja, kami butuh lima tahun, itupun dengan mengabaikan faktor inflasi.
Lalu berlanjutlah
pemeriksaan dari dinas seperti dinas lalu lintas, dinas tata ruang yang melakukan pengecekan terhadap
koordinat klinik dan kesesuaian peruntukan, dilanjutkan dengan pengurusan izin dari dinas lingkungan dan
amdal. Pada proses ini kami sempat memiliki kendala pengurusan dan dipimpong
kian kemari karena masalah format dan dokumen-dokumen pendukung. Belum lagi
ketidaksesuaian pasal dengan dinas kesehatan yang membuat kami bingung
menggunakan yang mana. Saat proses masih tengah berlangsung mendadak ada
reorganisasi di tubuh dinas lingkungan dan amdal, maka proses pengecekan
kembali dimulai dari awal.
Kami juga mengahadapi problem kelas klinik, karena Klinik Pratama dapat dipimpin dokter umum namun tidak mengizinkan praktek spesialis, sementara Klinik Utama meski mengizinkan praktek spesialis namun tak dapat dipimpin dokter umum. Kami lalu meminta sahabat yang sudah kami anggap sebagai kakak sendiri yakni Mbak dr Ummie Wasitoh SpPD, alias bibi Mas Priyatna, Sang Arsitek menjadi pimpinan di klinik, meski sehari-harinya operasional tetap menjadi tanggung jawab istri. Untuk penanganan limbah kami mengontak PT JasaMedivest, agar dapat memastikan prosedur pembuangan limbah berjalan dengan baik.
Kami juga mengahadapi problem kelas klinik, karena Klinik Pratama dapat dipimpin dokter umum namun tidak mengizinkan praktek spesialis, sementara Klinik Utama meski mengizinkan praktek spesialis namun tak dapat dipimpin dokter umum. Kami lalu meminta sahabat yang sudah kami anggap sebagai kakak sendiri yakni Mbak dr Ummie Wasitoh SpPD, alias bibi Mas Priyatna, Sang Arsitek menjadi pimpinan di klinik, meski sehari-harinya operasional tetap menjadi tanggung jawab istri. Untuk penanganan limbah kami mengontak PT JasaMedivest, agar dapat memastikan prosedur pembuangan limbah berjalan dengan baik.
Perizinan yang
sempat terkatung katung ini juga bisa selesai karena bantuan Asosiasi Klinik
Kabupaten, yang dipimpin dr. H. Kosim Syarief, MKM, disamping kerja keras istri yang semakin lama sudah semakin tabah menghadapi belitan birokrasi. Semangat pantang menyerah
Pak Kosim, meski sudah berusia lanjut, menjadi inspirasi bagi saya dan istri.
Beberapa kali kami ke rumah dan klinik "Wasilah Sehat" milik beliau di Ciparay untuk berdiskusi mengenai soal
perizinan yang memang sama sekali tidak mudah untuk diurus.
Juga kami lakukan
penyesuaian terhadap aplikasi klinik menjadi model server, dilengkapi dengan
router agar memudahkan mobilitas dan akses karyawan. Jika aplikasi klinik sebelumnya menggunakan PostgreSQL dan PHP dengan modul utamanya lebih ke medrec, maka aplikasi baru menggunakan SQL Server dan Delphi, dengan modul absensi/shifting, fisioterapi, kebidanan, apotik, gigi (termasuk sub modul cicilan yang ternyata harus ada), lab, perawat, dan rawat inap serta modul reporting sesuai kebutuhan Puskesmas di area kami. Untuk menghemat saya menggunakan 4 notebook bekas yang sebelumnya saya, istri dan anak-anak gunakan, serta 2 notebook baru. Untuk semua perubahan aplikasi kami meminta bantuan salah satu developer Rumah Sakit Al Ihsan, yakni mas Arief Rokhman.
Moral of The
Story
- Tidak semua arsitek mengerti apa yang anda inginkan, sebagian besar arsitek membuat bangunan yang menurutnya bagus namun belum tentu menurut konsumen. Jadi tugas kitalah sebagai konsumen untuk mengarahkan agar desain akhir sesuai dengan peruntukan, namun tetap indah secara bangunan dan sesuai dengan anggaran.
- Membuat usaha seperti ini sesungguhnya salah satu aspek tersulitnya adalah birokrasi / perizinan dan penerimaan lingkungan.
No comments:
Post a Comment