Sejujurnya ini
bukan buku yang mudah dibaca meski menggunakan bahasa sehari-hari, kisah-kisah
singkat lalu berbagai analogi. Membacanya membuat saya teringat kesulitan saat memahami
majalah Prisma yang biasa dibaca guru kursus matematika saya saat Sekolah Dasar
di Denpasar Bali. Selama ini saya hanya tahu Sujiwo Tejo adalah alumni ITB,
lalu sempat terkesima melihat beliau membawakan lagu sambil menggumam, dalam
acara ILC diiringi Angelica Liviana pada piano dan Eya Grimonia pada violin.
Namun sejak
terkoneksi di twitter saya jadi ikut mengamati publikasi salah satu karya tulis
beliau berjudul Tuhan Maha Asyik. Buku ini tidak dibuat sendirian, namun
bersama-sama H.M Nur Samad Kamba, seorang doktor dan juga pendidik. Setiap
babnya yang berjumlah 29 bab, saling lepas, dan bercerita mengenai berbagai sudut
pandang yang berbeda mengenai keasyikan Tuhan. Disatu bab kita temukan narasi
wayang, di bab lain menyinggung marhaen, cacing, zat, gincu, nyawa, ketombe,
komat-kamit, tersesat, diri, dan lain lain.
Secara garis
besar, kedua penulis ini mengajak kita melihat tindakan menyekutukan Tuhan itu
tidak melulu karena menyembah yang selainNya, namun juga jika kita tidak yakin
besok akan mendapatkan rezeki, tidak yakin akan apakah esok kita masih sehat, dan
banyak keraguan lain mengenai kebaikan Tuhan. Maka hadapilah kehidupan dengan
doa, kesabaran, setelah sebelumnya berikhtiar.
Selain itu buku
ini juga mengeritik bagaimana sering sekali kita mengklaim Tuhan adalah seperti
yang kita pikirkan sehingga membatasi Tuhan yang justru Maha Tidak Terbatas. Saat
makna Tuhan kita sekat dalam kotak-kota konsep, maka Tuhan akan semakin jauh
dari kita. Jadi temukan lah Tuhan melalui beragam ciptaannya, dan itu lah
keasyikan dalam memaknai Tuhan.
Berikut salah
satu kutipan dalam buku ini “Ketika manusia memandang cermin, bukan kaca yang
dilihat, namun dirinya. Ketika manusia berbuat baik pada orang lain, sejatinya
dia berbuat baik untuk diri sendiri. Demikian juga ketika dia menyakiti sesama,
justru menyakiti diri sendiri. Jadi, wajar saja jika orang menyakiti diri
sendiri dianggap gila. Namun, lebih gila lagi jika agama dan atas nama Tuhan menjadi
alasan untuk membenci dan menyakiti”.
Uniknya Sujiwo
berpesan agar buku ini dibaca untuk dilupakan, dan dibaca hanya untuk sekedar latihan
dalam berpikir. Saya tutup review buku
ini dengan komentar Emha Ainun Nadjib (yang sering dengan meledek dianggap
Sujiwo Tejo sebagai muridnya) terhadap karya ini sbb
"Asyik itu
yang mengasyiki, masyuk itu yang diasyiki. Jadi buku ini menyeret kita untuk
mentawafi pengalaman Tuhan yang mengasyiki hamba-hamba-Nya. Kita menyangka kita
juga mengasyiki-Nya, padahal aslinya yang asyik maupun yang masyuk adalah Ia
sendiri."
No comments:
Post a Comment