Menikah dengan : Siti Hajar Lubis
Putra dan Putri
sbb
- Rossa Yuliati Pohan / Eli (1962)
- Anwar Syafri Pohan / Ucok (1964)
- Husni Iskandar Pohan / Ade / Lukman (1968)
- Hanna Evawati Pohan / Butet (1974)
Ayah, alias Saiful Parmuhunan Pohan
dikenal sebagai sosok paling humoris diantara anak-anak Baginda Karapatan.
Beliau juga termasuk yang ringan tangan dalam membantu berbagai sanak saudara yang
datang ke rumah untuk meminta pertolongan seperti mencari pekerjaan. Misalnya Hasan Siregar, Nunung Daulay,
Maraonom Siregar, Arfan Pohan, Ahmad Syafei Pohan, selain itu juga berbagai
sanak saudara khususnya keponakan yang pernah tinggal bersama kami seperti Tini
Harahap, Ahmad Amru Pohan, Marahalam
Harahap atau bahkan seperti cucu alias Ichwan Siregar dll.
Kembali ke masa
kecil, setelah masa-masa sulit bekerja di sawah, beberapa saat kemudian, ayah
menyusul abangnya Oloan Pohan ke Yogya untuk mengambil ijazah SMP dan
melanjutkan ke SMA. Saat itu Ayah memang sedang galau, seluruh siswa sekelas di
SMP beliau, ternyata tidak ada yang
lulus. Setelah melanjutkan sekolah SMA, beliaupun bekerja di PT POS dan Giro
(sekarang PT Pos Indonesia).
Horja Saiful Parmuhunan Pohan
Jika putra-putra
Baginda Karapatan seperti Marajo Pohan menikah dengan Boru Pulungan di Bandung,
lalu Oloan Pohan dengan Boru Matondang di Yogyakarta, maka giliran Ayah menikah
dengan Boru Lubis pilihan Nursiti Siregar. Sayangnya tidak ada yang akhirnya
menikah dengan Boru Siregar, sebagaimana keinginan Baginda Karapatan.
Tahun 1960, ayahlah
satu-satunya anak laki-laki Baginda Karapatan yang dibuatkan horja (pesta)
besar saat menikah adalah Ayahku. Untuk memeriahkan acara maka disembelihlah
satu ekor kerbau besar. Upa-upa juga
menggunung berisi ikan mas goreng besar, telur rebus, ayam utuh, daun ubi dalam keadaan tersimpul,
udang, dan berbagai pelengkap yang seakan akan saling pandang dengan Ayah
selama acara berlangsung, seakan akan berkata makanlah aku, makanlah aku.
Ditengah
pidato-pidato adat yang saling sambung menyambung tak henti henti, Ayah lebih
tertarik melihat upa-upa itu saja, yang tambah lama tambah menggiurkan dan
membuat Ayah semakin lapar. Belum lagi kepala
Ayah semakin pusing akibat ulah topi adat alias Bulang yang terkenal berat itu. Suasana tambah
menjemukan, karena pidato-pidato tersebut terdengar layaknya
pengulangan-pengulangan saja, sebagaimana kalimat berikut;
“On pe di
jolomunu amang-inang, ma hami baen upa-upa munu.
Ajar-ajari hamu
ma borukon.
Pamatang nia do
na godang, anggo pamikiran na danak-danak dope".
Sialnya selesai
acara, setelah Ayah dan ibu mencubit sedikit telur ayam rebus lalu dicocol ke
garam, lalu memakannya secara saling
bersilang. Maka rangkaian horja pun sekesai tanpa Ayah dan ibu kebagian upa-upa itu sama sekali. Karena begitu pengarah acara menyatakan acara
selesai, maka menu upa-upa yang diyakini bertuah langsung habis diserbu
hadirin.
Horja di masa itu
juga dilengkapi dengan tradisi musik alias margondang yang di gelar di daerah
Sitamiang kota Padang Sidempuan. Semua kahanggi hadir dari semua huta dan
diluar Sialaman yg paling banyak hadir adalah kahanggi dari Sibangkua.
Dalam adat
Tapanuli, apabila yang menyelenggarakan acara adalah pihak lelaki, maka
keluarga dari pihak perempuan tidak diundang dan tidak muncul. (meski saat ini sudah
tidak seperti itu lagi). Sehingga merupakan kejutan bagi Ibu ketika dalam
suasana pesta / acara tersebut tahu2 adik ibu yang bungsu (yang biasa kami
panggil Tulang Nawawi) tahu-tahu menyelusup dan menyapa ibu.
Menuju Pulau Jawa
Ayah dan Ibu
menikah pada hari Rabu di Bulan September 1960, Pesta berlangsung meriah selama tiga hari tiga
malam. Saat hendak berangkat ke Bandung.
Ayah Ibuku alias Sutan Mulia Radja, membekali Ibu dengan sangu untuk berjaga-jaga,
apabila dalam keadaan darurat Ibu perlu kembali pulang ke Padang Sidempuan.
Hari keempat Ayah
dan Ibu bertolak naik bis Sibual- buali , yakni angkutan dengan armada bis
paling top saat itu yang juga merupakan nama salah satu gunung di sekitar
Sipirok dan Padang Sidempuan menuju ke Medan. Menginap sekitar sehari di Medan
(tempat ipar nya amangboru Parramean, yang anaknya bernama abang Riswan sempat
tinggal bersama2 kami di jalan Nilem Bandung, beberapa waktu kemudian).
Perjalanan
dilanjutkan naik kapal ke Tanjung Priok lewat Belawan via Kapal Laut. Dan
kemudian dari dari Tanjung Priok naik Kereta Api ke Bandung. Perjalan kereta
api yang pertama bagi Ibu sempat membuatnya dag dig dug, terutama saart kereta
api melintasi jurang-jurang di
pegunungan mendekati Bandung.
Sesampainya di
Bandung, ayah dan ibu menginap sekitar tiga
atau empat hari di tempat abangnya Maradjo. Pohan, yang saat itu tinggal
di jalan Riau. Kemudian baru ke tempat rumah kontrakan ayah di jalan Kerang.
Kegusaran Pada Baginda Karapatan
Hari-hari pun
berlalu, dimana ayah yang masih mahasiswa akademi PTT ( Pendidikan Tinggi Pos
dan Telegraf) didampingi ibu yang mantan guru (meski Ibu adalah guru, namun Ayah
meminta Ibu konsentrasi ke rumah tangga saja, sehingga ibu berhenti bekerja,
keputusan mana yang banyak mewarnai kehidupan mereka selanjutnya), dan mereka
melalui hari-hari mereka secara sederhana.
Hidup yang sulit
membuat Ayah banyak merenung, dan mencurahkan isi hatinya kepada Baginda
Karapatan melaui surat yang isinya kira2 sbb. ..
Ayah, terimakasih,
Ayah telah memestakan kami tiga hari tiga
malam ..
Berbahagialah ayah karena ayah telah
memuaskan diri ayah sendiri,
(Memamerkan kehebatan ayah dengan anak
ayah sebagai pemerannya ..
Ayah akan terkenal dan dikenang hebat ..
Namun
tega melepas anaknya kembali ke rantau tanpa serupiah pun bekal ..
Apa tanggapan Baginda
Karapatan, mendengar berita itu (mengingat beliau buta huruf, sepertinya ada yang
membacakan isi surat tersebut kepada beliau.. ). Dan Baguinda Karapatann marah besar
dan berseru ..
“Aha nimmu .. ??
Huting .. !!!”
(apa katamu .. ?
Kucing .. !!!)
Kalau marah Baginda
Karapatan selaku mengeluarkan makian Huting !. Entah pernah ada masalah apa
antara Baginda Karapatan dengan kaum minoritas kucing di zaman dahulu..
sehingga kalau marah selalu melontarkan kata itu.
Bekal yang Menipis
Akhirnya bekal
pun menipis, pelan pelan harta ibu berikut jam tangan (berbentuk gelang, merek
Titus, yang ibu titip beli ke abang ipar Ibu yang bertiugas sebagai petugas Bea
Cukai di Medan), berikut simpanan dari
penghasilan sebagai guru plus biaya cadangan dari Ayahnya), telah lama melayang
untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari.
Cerita Lain : Teknik Panggil Tukang Jagung
Suatu malam
saaat ayah menginap di rumah abangnya Oloan Pohan. Seperti biasa, sekitar 2 jam
setelah makan malam yang selalu heboh itu, ayah terlibat percakapan meriah
dengan abangnya. Tak berapa lama kemudian lewat di depan rumah kami tukang
jagung rebus.
"Jagung..!
jagung..! jagung..! jagung..! jagung..! jagung..! jagung..! ",
demikian
teriaknya berkali-kali nyaris tenpa jeda sambil berjalan mendorong gerobaknya.
mendadak ayah pun berteriak pula,
"Bang
jagung..! bang jagung.. ! bang jagung..! bang jagung.. !bang jagung..!"
dengan mulutnya maju mengarah ke luar pintu yang terbuka
"Kok
memanggilnya begitu uda ?"
tanya para keponakannya.
"Iya
lah..terpaksa kita panggil berulang-ulang mencari sela-sela diantara teriakan
tukang jagung itu" jelas ayah. “Masalahnya suara dia lebih keras nyaris
tanpa jeda, bisa-bisa suara panggilan kita tidak didengarnya amang...",
jelas ayah kembali.
Benar saja,
ternyata tidak sia-sia jurus panggilan anti jeda tersebut diluncurkan,. Tukang
jagung rebus akhirnya mendengar teriakan dan lalu berbalik menuju gerbang
rumah. "Jagung pak..?" tanyanya, dan ayah pun mengangguk
senang.
Cerita Lain : Pohan diganti dengan Marporan
Kali berikutnya
ayah dan beberapa saudaranya berangkat dengan Bus Sampagul dari Medan menuju
Padang Sidempuan. Seperti biasa, sepanjang perjalanan ayah selalu membuat
sensasi lucu dimana-mana. Gairahnya "mangarsak" (mengganggu
-menggoda) orang lain semakin menantang karena mayoritas penumpang adalah orang
Tapanuli Selatan yang satu bahasa dengannya.
Ada-ada saja
yang dikomentarinya, kadang dia bercerita hal-hal lucu yang membuat seisi bus
ikut tertawa terbahak-bahak. Suasana gembira dan meriah . Ada satu penumpang
dipojok kursi yang tidak pernah ikut tertawa. Mulutnya selalu ditutupinya
dengan baju kaus sementara tangan yang satunya memegang plastik yang terlihat
penuh. Ternyata orang ini sedang mabuk berat, berulangkali dia muntahkan seisi
perutnya dan ditampung di plastik itu. Mukanya terlihat pucat menahan sakit dan
mual. Melihat orang itu kontan ayah berkomentar;
"A'
naporan ma bayo on.., munta marsitutu dongan...!"
(Ah parah
sekali orang ini, muntah bertubi-tubi kawan...!)
Orang itu
melirik sebentar melihat ayah, lalu kembali konsentrasi dengan urusan menahan
mualnya lagi.
"Saigodang
pamatangmui..Aha dehe margamu lakna..?"
(Begitu besar
badanmu itu. Apa margamu rupanya?)
Tanpa ekspresi
dia menjawab;
"Pohan..!"
Sontak seluruh
penumpang bus tertawa terbahak-bahak, merasa mendapat momentum karena mereka
tahu dari tadi ayah gembar-gembor soal kehebatan marga Pohan. Tanpa berpikir
panjang dan tidak langsung menyerah yang memang jadi ciri khas ayah, dia pun
membalas;
"Anggo
songoni gonti ma margamui.."
(Kalau begitu
ganti saja margamu itu)
"Murporan.."
(Makin parah)
Pungkasnya enteng, yang disambut gemuruh tawa seisi bus,
dan ayah terpingkal-pingkal sampai keluar airmata.
Anwar, Rosa, Husni dan Siti Hajar Lubis saat di Jalan Nilem Bandung |
Link lain soal
Saiful Pohan sbb
Lanjut ke Anak Ke #5 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/riwayat-baginda-karapatan-14-dari-17.html
*Mengenai
jalannya acara pernikahan, sesuai cerita Rudi Ramon Pohan yang mendengar
langsung dari Ayahnya, Oloan Pohan.
*Mengenai
kisah Tukang Jagung dan Marporan, sesuai cerita Rudi Ramon Pohan.
*Soal
margondang, lokasi acara dan tamu undangan seusai cerita Soheh Pohan
*Mengenai
kehidupan pernihakan setelahnya diceritakan oleh Anwar Syafri Pohan sesuai
penuturan istri beliau Siti Hajar Lubis.
2 comments:
Kisah dengan bahasa mengalir,
sangat menarik untuk diterbitkan dalam bentuk buku,
karena banyak berisi sejarah dan seting tahun 1960-1970 an,
hal ini akan memperkaya khasanah karya sastra kita
yang kekeringan,
akibat budaya instan yang.....
Muhammad Alexander @ Wisnu Sasongko
Pengarang Buku
Untuk Tuan Pohan
Bahasanya mengalir laksana embun yang bergulir dari dedaunan,
sangat menarik untuk diterbitkan,
karena banyak berisi sejarah dan setting 60-70-an,
untuk memperkaya khasanah kita punya kesusastraan,
nselamat memandaikan bangsa dengan tulisan
Muhammad Alexander @ Wisnu Sasongko
wisnusasongko72@gmail.com
Pengarang Buku
Post a Comment