Ketika Jepang datang, kehidupan menjadi
sulit lalu terjadi pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang akhirnya memaksa Jepang
meninggalkan Indonesia. Namun meski saat perang, Baginda Karapatan tetap berusaha menjalankan armada ekspedisi pedati
dagangannya. Saat dalam salah satu
perjalanan pulang, ternyata kedatangan beliau dihubung-hubungkan dengan kedatangan kembalinya
Belanda. Lalu muncul tuduhan seakan akan beliau terlibat dibalik kedatangan tersebut.
Karena adanya pengaduan sosok Mr. X (yang
juga diduga tidak begitu menyukai kesuksesan bisnis Baginda Karapatan dan
posisi Baginda Karapatan yang juga menjabat semacam camat di lingkungan
Sialaman) maka kelompok gerilyawan menyandera beliau bersama seorang bangsawan
lainnya. Di tempat sepi di pinggiran hutan, mereka berdua diminta menggali
kuburnya sendiri, dengan todongan senjata. Dan lalu terdengar suara tembakan
saat Sang Bangsawan menyelesaikan galiannya dan tibalah giliran Baginda
Karapatan, namun beliau memohon agar dapat mengabulkan permintaan terakhirnya.
Melihat kesungguhan beliau, maka para
gerilyawan menyetujui permintaan tersebut, lalu beliau pun mengajukan agar
dapat bertemu dengan Salbiah Pohan putri kedua beliau, mendengar nama tersebut
para gerilyawan pucat, karena Salbiah Pohan merupakan istri dari ketua kelompok
gerilyawan yakni Paramean Siregar (yang belakangan mendapatkan Bintang Gerilya
dari Pemerintah RI), mendadak sontak mereka minta maaf dan lalu melepas beliau
dari proses eksekusi.
Mengetahui Mr. X berada di balik peristiwa
tsb, maka para tetua adat mengumpulkan keluarga Baginda Karapatan dan keluarga
Mr. X. Lalu dilakukan perjamuan di
kediaman Mr. X agar antara kedua kelompok keluarga dapat dicapai perdamaian
secepatnya. Entah kenapa dalam
perjamuan tersebut, Baginda Karapatan mencium ada ketidak beresan, maka beliau
mengatakan perdamaian hanya bisa dilakukan jika memakan hidangan yang sama dan
dari piring yang sama. Dengan demikian beliau sama sekali tidak menyentuh
hidangan di piring beliau. Maka jamuan makan terus berlangsung. Setelah selesainya acara, Nurdia Pohan, putri ke tujuh beliau, menyaksikan sekumpulan bebek
peliharaan di pinggir sungai di belakang rumah mendadak tewas saat memakan
makanan dari piring yang seharusnya dimakan Baginda Karapatan.
Mendengar informasi dari putrinya, dini
hari jam 02:00 pagi, tanpa berpikir panjang, beliau meninggalkan Sialaman dengan bekal ala kadarnya.
Sesampainya di Padang Sidempuan, beliau pelan-pelan menyusun rencana untuk
memboyong anak dan istrinya setahap demi setahap serta harta yang masih bisa dibawa. Lalu beberapa masa setelah
itu aset yang sifatnya seperti tanah, kolam ikan dan rumah dijual oleh Baginda
Karapatan. Sejak kejadian tersebut, beliau tidak pernah lagi kembali menginjak Sialaman sampai beliau menutup mata.
Kolam ikan yang dibangun Baginda Karapatan, masih ada hingga kini meski sudah dibeli oleh kerluarga lainnya. Begitu luasnya sehingga bisa dipakai untuk berperahu. Sebenarnya kolam ini dibuat dengan membendung sisi-sisinya. Jika sisi bendungan ini rusak, maka kampung sekitar bisa terendam. Konon untuk mengeringkan kolam ini dibutuhkan waktu empat hari, dan dikeringkan secara bertahap. Penduduk kampung sekitar akan berbondong-bondong datang membantu. Baginda Karapatan hanya mengambil ikan masnya saja, sedangkan ikan-ikan lainnya diberikan secara cuma-cuma untuk penduduk sekitar. Konon kolam ini juga berhubungan dengan cerita sedih karena salah satu anak kerabat (Junjung Pohan) yang berusia sekitar 10 tahun, tewas tenggelam .
Konon Salah Satu Makam Ini adalah Makam Ibunda Baginda Karapatan |
Kolam ikan yang dibangun Baginda Karapatan, masih ada hingga kini meski sudah dibeli oleh kerluarga lainnya. Begitu luasnya sehingga bisa dipakai untuk berperahu. Sebenarnya kolam ini dibuat dengan membendung sisi-sisinya. Jika sisi bendungan ini rusak, maka kampung sekitar bisa terendam. Konon untuk mengeringkan kolam ini dibutuhkan waktu empat hari, dan dikeringkan secara bertahap. Penduduk kampung sekitar akan berbondong-bondong datang membantu. Baginda Karapatan hanya mengambil ikan masnya saja, sedangkan ikan-ikan lainnya diberikan secara cuma-cuma untuk penduduk sekitar. Konon kolam ini juga berhubungan dengan cerita sedih karena salah satu anak kerabat (Junjung Pohan) yang berusia sekitar 10 tahun, tewas tenggelam .
Pada tahun 1970 an, saat kami di Sibolga,
almarhum Ayah berkunjung kerumah ibunya Nursiti Siregar di Padang Sidempuan,
karena tidak ada kayu bakar, dengan santainya ibunya berniat menggunakan satu set kursi tua di gudang. Melihat kursi itu, Ayah kaget sekali dan memohon pada
ibunya agar memberikan kursi itu padanya. Ayah teringat kursi ini merupakan
salah satu yang dibawa rombongan saat mengungsi dari Sialaman ke Padang
Sidempuan karena peristiwa percobaan
pembunuhan diatas. Empat buah kursi antik dan meja marmer yang didapat Baginda
Karapatan dari hasil lelang peninggalan barang Belanda pun akhirnya selamat,
bahkan turut bersama kami pindah ke Denpasar dan lalu ke Bandung, sempat menjadi kursi tamu
pertama di rumah ku serta terakhir menjadi bagian dari kursi di rumah abangku di sekitar
Bintaro. Ayahku masing ingat setiap orang membawa satu kursi diatas kepala dengan berjalan kaki.
Seperti inilah kira-kira Kursi Belanda tersebut |
Cerita abangku saat itu dia terheran-heran saat melihat Ayah membawa seperangkat kursi tua dan jelek, ke rumah kami. "Kursi apa Pa ?" tanyanya. "Ohh.. ini kursi ompungmu ini .. waktu papa masih kecil , kursi ini sudah ada .. !" dengan bangganya Ayahku bercerita. Beberapa hari kemudian Ayah pun sibuk berkonsultasi dengan tukang kayu, untuk memelitur, dan mengganti jok anyaman rotan kursi2 tersbut. Kemudian Ayah menempatkannya di ruang baca (perpustakaan mini kami) di rumah dinas Pos dan Giro (sekarang PT Pos INdonesia) di Sibolga.
Ayahku dan abangnya Oloan Pohan saat di
Yogyakarta, sempat bertemu dengan keturunan Mr. X yang juga meneruskan kuliah
di Yogyakarta, dan lalu berusaha bertemu untuk saling memaafkan, bagi mereka urusan orang tua tetap tidak harus dikaitkan dengan urusan keturunan. Demikianlah
sikap sportifitas yang ditunjukkan oleh keturunan kedua belah pihak yang menjadi
pelajaran sangat baik bagi generasi setelahnya.
Beberapa masa kemudian, Mr. X sendiri dan
putra sulungnyanya meninggal karena kecelakaan lalu lintas saat dalam
perjalanan ke kantor pos di kota terdekat untuk mengambil kiriman uang dari
salah satu putranya yang sukses di Jawa.
Dengan demikian semoga berakhirlah perselisihan di masa lalu, dan setiap
keturunan kembali membuka lembaran putih yang baru dalam kemasan persaudaraan.
Klik http://hipohan.blogspot.my/2016/07/riwayat-baginda-karapatan-part-5-dari-8.html untuk bagian ke 5
Klik http://hipohan.blogspot.my/2016/07/riwayat-baginda-karapatan-part-5-dari-8.html untuk bagian ke 5
*Sesuai
cerita Nursiti Siregar kepada Siti Hajar Lubis
*Cerita mengenai kursi, diceritakan sesuai dengan penuturan Anwar Syafri Pohan.
*Cerita mengenai kursi, diceritakan sesuai dengan penuturan Anwar Syafri Pohan.
No comments:
Post a Comment