Sebagaimana kebiasaan manusia zaman
dahulu, memang sangat umum memiliki banyak anak. Sehingga Nursiti Siregar setelah pengalaman melahirkan beberapa kali dengan bantuan dukun beranak, akhirnya memiliki kepercayaan
diri yang cukup tinggi untuk melakukan persalinan seorang diri. Salah satunya adalah anak bungsu beliau yakni Nurlena Pohan,
proses persalinannya dilakukan
tanpa bantuan siapapun, termasuk memotong tali pusar dan membersihkan
bayinya sendiri.
Karena Nursiti Siregar tidak pernah mengenal dengan jelas ibunya. Satu-satunya kenangan yang diingatnya adalah saat ibunya dibaringkan di tengah ruangan dan banyak sekali orang di rumah (yakni peristiwa dimana ibunya meninggal). Dengan demikian, saat beliau melahirkan anaknya yang pertama (Djaunar Pohan), dan beliau memanggilnya dengan inang (inang adalah panggilan yang sama digunakan , baik untuk ibu maupun anak perempuan. Demikian pula panggilan amang (untuk ayah) diberlakukan sama pula untuk panggilan amang (untuk anak lelaki). Itulah sebabnya dalam tradisi Batak seorang kakek atau nenek terkadang memanggil adik atau anggi kepada cucunya.
Demikian terharunya Nursiti Siregar dan dia berkata;
"Dompak menek na jungada au sompat mamio inang.
Ohh Tuhan .. ya Allah marsyukur au sannari I lehenKo au kesempatan mamio inang".
yang artinya
"Sewaktu aku kecil, tak pernah aku berkesempatan memanggil Inang .. ya Allah,, aku bersyukur padaMu ,.. Kau beri aku kesempatan untuk memanggil Inang".
Demikian pula saat beliau melahirkan anaknya yang pertama laki-laki. Sebagai yatim piatu, rasa syukur beliau semakin dalam. Betapa akhirnya dalam hidupnya beliau akhirnya berkesempatan memanggil amang kepada anak lelakinya (seperti diuraikan di atas, amang dapat pula berarti panggilan untuk ayah).
Banyak kisah-kisah Nursiti Siregar yang terekam oleh Ibuku. Sebabnya adalah karena pada waktu tahun 1970, saat kami pindah ke Sibolga, Ayah terlebih dahulu berangkat ke Sibolga. Sementara kami tinggal di Padang Sidempuan (di rumah Ompung). Selama kurang lebih satu bulan, untuk kemudian Ayahpun menjemput kami. Namun karena belum mendapatkan rumah dinas, kami untuk sementara mengontrak rumah di Jalan Katamso, Sibolga, dekat tempat yang dinamakan dengan Tangga 100.
Nah, saat di Padang Sidempuan itulah, Ibuku tidur satu tempat tidur dengan Nursiti Siregar. Disitulah kemudian beliau dan Ibuku banyak bercerita ngalor ngidul. Di depan rumah beliau terdapat sebuah warung nasi (atau Lopo, kadang disebut dengan Lepau atau Lapo). Nah, di warung makan itu, ayahku sering menunaikan hobinya yang terutama yakni bermain catur. Begitu bermain, ayah sudah lupa segala-galanya, kecuali posisi kuda, gajah, benteng dan pion.
Suatu ketika saat sudah jam makan, dan ayah masih belum juga beranjak dari medan pertarungan catur. Nursiti Siregar mengajak Ibu makan bersama Ayah. Namun mendengar dari menantunya bahwa Ayah masih berkutat dengan bidak2nya di lopo seberang. Maka beliau langsung masuk ke lopo tersebut (kalau tidak salah pemiliknya bernama Salim).
Beliau langsung menuju ke meja catur yang tengah khusuk ditekuni oleh sang anak lalu beliau mengembangkan selendangnya (busaen atau basaen bahasa daerahnya). Layaknya jaring ikan, basaen itu beliau tutupkan ke medan pertempuran catur, dan dengan sekali hentakan lembut, seluruh bidak terguling berhamburan meninggalkan posisinya masing2. Dengan wajah dan suara yang tenang tanpa rasa bersalah, beliau lalu berkata ..
"Keta amang .. mangan kita".
Yang artinya
"Ayo amang, makan kita".
Ayahku pun dengan tidak berdaya digiring ibunya dan digandeng beliau ke rumah untuk makan bersama.
Berikut nama-nama putra dan putri Baginda Karapatan dengan pasangan dari yang sulung sampai dengan bungsu.
Karena Nursiti Siregar tidak pernah mengenal dengan jelas ibunya. Satu-satunya kenangan yang diingatnya adalah saat ibunya dibaringkan di tengah ruangan dan banyak sekali orang di rumah (yakni peristiwa dimana ibunya meninggal). Dengan demikian, saat beliau melahirkan anaknya yang pertama (Djaunar Pohan), dan beliau memanggilnya dengan inang (inang adalah panggilan yang sama digunakan , baik untuk ibu maupun anak perempuan. Demikian pula panggilan amang (untuk ayah) diberlakukan sama pula untuk panggilan amang (untuk anak lelaki). Itulah sebabnya dalam tradisi Batak seorang kakek atau nenek terkadang memanggil adik atau anggi kepada cucunya.
Demikian terharunya Nursiti Siregar dan dia berkata;
"Dompak menek na jungada au sompat mamio inang.
Ohh Tuhan .. ya Allah marsyukur au sannari I lehenKo au kesempatan mamio inang".
yang artinya
"Sewaktu aku kecil, tak pernah aku berkesempatan memanggil Inang .. ya Allah,, aku bersyukur padaMu ,.. Kau beri aku kesempatan untuk memanggil Inang".
Demikian pula saat beliau melahirkan anaknya yang pertama laki-laki. Sebagai yatim piatu, rasa syukur beliau semakin dalam. Betapa akhirnya dalam hidupnya beliau akhirnya berkesempatan memanggil amang kepada anak lelakinya (seperti diuraikan di atas, amang dapat pula berarti panggilan untuk ayah).
Banyak kisah-kisah Nursiti Siregar yang terekam oleh Ibuku. Sebabnya adalah karena pada waktu tahun 1970, saat kami pindah ke Sibolga, Ayah terlebih dahulu berangkat ke Sibolga. Sementara kami tinggal di Padang Sidempuan (di rumah Ompung). Selama kurang lebih satu bulan, untuk kemudian Ayahpun menjemput kami. Namun karena belum mendapatkan rumah dinas, kami untuk sementara mengontrak rumah di Jalan Katamso, Sibolga, dekat tempat yang dinamakan dengan Tangga 100.
Nah, saat di Padang Sidempuan itulah, Ibuku tidur satu tempat tidur dengan Nursiti Siregar. Disitulah kemudian beliau dan Ibuku banyak bercerita ngalor ngidul. Di depan rumah beliau terdapat sebuah warung nasi (atau Lopo, kadang disebut dengan Lepau atau Lapo). Nah, di warung makan itu, ayahku sering menunaikan hobinya yang terutama yakni bermain catur. Begitu bermain, ayah sudah lupa segala-galanya, kecuali posisi kuda, gajah, benteng dan pion.
Suatu ketika saat sudah jam makan, dan ayah masih belum juga beranjak dari medan pertarungan catur. Nursiti Siregar mengajak Ibu makan bersama Ayah. Namun mendengar dari menantunya bahwa Ayah masih berkutat dengan bidak2nya di lopo seberang. Maka beliau langsung masuk ke lopo tersebut (kalau tidak salah pemiliknya bernama Salim).
Beliau langsung menuju ke meja catur yang tengah khusuk ditekuni oleh sang anak lalu beliau mengembangkan selendangnya (busaen atau basaen bahasa daerahnya). Layaknya jaring ikan, basaen itu beliau tutupkan ke medan pertempuran catur, dan dengan sekali hentakan lembut, seluruh bidak terguling berhamburan meninggalkan posisinya masing2. Dengan wajah dan suara yang tenang tanpa rasa bersalah, beliau lalu berkata ..
"Keta amang .. mangan kita".
Yang artinya
"Ayo amang, makan kita".
Ayahku pun dengan tidak berdaya digiring ibunya dan digandeng beliau ke rumah untuk makan bersama.
Berikut nama-nama putra dan putri Baginda Karapatan dengan pasangan dari yang sulung sampai dengan bungsu.
Anak #1 : Djaunar Pohan (menikah dengan
Ismail Harahap)
Anak #2 : Salbiah Pohan (menikah dengan
Paramean Siregar)
Anak #3 : Marajo Pohan gelar Sutan Nauli
(menikah dengan Djamilah Pulungan)
Anak #4 : Oloan Pohan gelar Sutan Oloan
(menikah dengan Dahlia Matondang)
Anak #5 : Syaiful Parmuhunan Pohan gelar Sutan
Endar Muda (menikah dengan Siti Hajar Lubis)
Anak #6 : Mayurida Pohan (menikah dengan
Tunggal Siregar)
Anak #7 : Nurdia Pohan (menikah dengan
Tarmizi Partaonan Dalimunthe)
Anak #8 : Nurmina Pohan (menikah dengan
Zulkifli Daulay)
Anak #9 : Nurlena Pohan (menikah dengan
Muchtaruddin)
Konon kabarnya diantara Syaiful Parmuhunan Pohan dan Mayurida Pohan, ada seorang anak lelaki lainnya yakni Zaini Pohan yang meninggal saat berumur sekitar 10 tahun. Nursiti Siregar sempat menceritakan meninggalnya Zaini Pohan pada ibuku.
Putra Putri Beliau Mulai dr Sulung sd Bungsu saat pernikahan Ahmad Amru Pohan |
Konon kabarnya diantara Syaiful Parmuhunan Pohan dan Mayurida Pohan, ada seorang anak lelaki lainnya yakni Zaini Pohan yang meninggal saat berumur sekitar 10 tahun. Nursiti Siregar sempat menceritakan meninggalnya Zaini Pohan pada ibuku.
Karena terobsesi dengan pendidikan, memiliki banyak anak dan jauhnya sekolah terdekat ke Sialaman, maka Baginda Karapatan membangun sekolah. Awalnya hanya sampai dengan kelas 3 SD. Sebagaimana di kampung, murid-murdi juga kebanyakan mengasuh adiknya. Jadi konon, Mayurida Pohan (dan kawan-kawannya yang lain), masuk ke sekolah dengan menggendong adik-adiknya masing2 masuk kelas. Begitu juga Mayurida masuk kelas sambil menggendong adiknya yang bernama Nurlena Pohan.
Pada saat itu, Sialaman terkenal sebagai penghasil gula aren. Ayah bercerita, sewaktu kecil, setiap jalan ke luar rumah, Baginda dan Karapatan selalu membekali diri dengan keranjang berisi bibit pohon aren. Sepanjang perjalanan, mereka melempar-lemparkan bibit aren atersebut ke ladang dan tanah kosong di sekitar. Jadilah setelah beberapa masa, Sialaman diliputi oleh pohon Aren. Dan ternyata Aren inilah yang menjadi salah satu penunjang perekonomian daerah.
Jadi program yang dilakukan beliau adalah program kemandirian daerah. Mirip otonomi daerah zaman sekarang. Bedanya otonomi daerah sebatas pungutan seperti perparkiran dan retribusi lainnya, dan bukan membantu meningkatkan pendapatan asli daerah. Sayangnya generasi berikut lupa atau lalai melakukan regenerasi aren tersebut, sehingga saat ini di Sialaman gula aren malah sempat langka.
Cara memasak aren, adalah dimasak dengan waktu yang cukup lama di atas kuali, dengan menggunakan bahan bakar dari batang-batang kayu. Tentunya setelah beberapa saat kayu pun memendek, maka harus digeser ke bawah kuali agar tetap tepat nyalanya, atau diganti dengan kayu yang baru. Demikianlah saat sekolah selain menjaga adik, adalah hal yang lazim bila umpamanya Mayurida Pohan dan kawan-kawannya pamit ke pak Guru.
"Parmisi angku get mangaligi api ni guloo … ".
yang artinya
"Angkuuu… saya pulang dulu, mau mengontrol api nya gula .."
dan guru pun – dengan memeprtimbangkan kondisi setempat (alias kebijakan lokal) – biasanya akan menjawab.
"Hmm… jadi ma .."
yang artinya
"Hmmm baiklah"
Keinginan yang kuat dari pemuda Sialaman untuk sekolah akhirnya berhasil dituntaskan, dengan lulusan S1 pertama, yang tidak salah diraih Batas Pohan, yang akhirnya lulus dari IPB. Tentu untuk generasi keempat masih ada peluang memecahkan rekor yakni memecahkan lulusan pertama S3.
Pada saat itu, Sialaman terkenal sebagai penghasil gula aren. Ayah bercerita, sewaktu kecil, setiap jalan ke luar rumah, Baginda dan Karapatan selalu membekali diri dengan keranjang berisi bibit pohon aren. Sepanjang perjalanan, mereka melempar-lemparkan bibit aren atersebut ke ladang dan tanah kosong di sekitar. Jadilah setelah beberapa masa, Sialaman diliputi oleh pohon Aren. Dan ternyata Aren inilah yang menjadi salah satu penunjang perekonomian daerah.
Jadi program yang dilakukan beliau adalah program kemandirian daerah. Mirip otonomi daerah zaman sekarang. Bedanya otonomi daerah sebatas pungutan seperti perparkiran dan retribusi lainnya, dan bukan membantu meningkatkan pendapatan asli daerah. Sayangnya generasi berikut lupa atau lalai melakukan regenerasi aren tersebut, sehingga saat ini di Sialaman gula aren malah sempat langka.
Cara memasak aren, adalah dimasak dengan waktu yang cukup lama di atas kuali, dengan menggunakan bahan bakar dari batang-batang kayu. Tentunya setelah beberapa saat kayu pun memendek, maka harus digeser ke bawah kuali agar tetap tepat nyalanya, atau diganti dengan kayu yang baru. Demikianlah saat sekolah selain menjaga adik, adalah hal yang lazim bila umpamanya Mayurida Pohan dan kawan-kawannya pamit ke pak Guru.
"Parmisi angku get mangaligi api ni guloo … ".
yang artinya
"Angkuuu… saya pulang dulu, mau mengontrol api nya gula .."
"Hmm… jadi ma .."
yang artinya
"Hmmm baiklah"
Keinginan yang kuat dari pemuda Sialaman untuk sekolah akhirnya berhasil dituntaskan, dengan lulusan S1 pertama, yang tidak salah diraih Batas Pohan, yang akhirnya lulus dari IPB. Tentu untuk generasi keempat masih ada peluang memecahkan rekor yakni memecahkan lulusan pertama S3.
Nurlena Pohan, Muchtaruddin, Nurdia Pohan, Partaonan Dalimunthe, Mayurida, Tunggal Siregar, Salbiah Poha dan Paramean Siregar |
Kini saat blog ini ditulis semua keturunan
langsung Baginda Karapatan telah dipanggil olehNya, dan hanya tersisi dua
menantu Baginda Karapatan, yakni Muchtaruddin yakni suami Almarhum Nurlena
Pohan, dan Siti Hajar Lubis alias istri Syaiful Parmuhunan Pohan.
Klik http://hipohan.blogspot.my/2016/07/riwayat-baginda-karapatan-4.html untuk bagian keempat
Klik http://hipohan.blogspot.my/2016/07/riwayat-baginda-karapatan-4.html untuk bagian keempat
*Foto-foto sebagian besar menggunakan koleksi Amazon Dalimunthe
No comments:
Post a Comment