Aku ingin tetap hidup
setelah kematianku!
Anne Frank
Saat aku masih
SD, Ayah memiliki sebuah buku berbahasa Inggris dengan judul The Diary of Anne
Frank, lalu ayah memberikan pengantar singkat padaku, mengenai buku tersebut.
Salah satu yang membuat aku terkesan adalah cover nya yang menggambarkan sesosok
gadis berwajah pucat. Lalu di dalam buku ini ada beberapa foto ruangan-ruangan hitam
putih yang terlihat suram dengan pintu rahasia tersamar yang lebih mirip rak
buku berukuran besar. Sayang, karena tidak mengerti Bahasa Inggris, aku hanya bisa
mengira-ngira isinya, meski sangat penasaran.
Bertahun tahun
kemudian aku membaca Elie Wiesel degan judul Night, aku teringat kembali dengan
buku Anne Frank si gadis kecil kelahiran Frankfurt. Dan beberapa bulan lalu aku
menemukan edisi terlengkap, karena sesungguhnya ada beberapa versi dari catatan
tersebut, seperti Versi A, Versi B, Versi C, dll. Dengan cepat langsung aku
sambar untuk dibaca kemudian. Lantas tibalah kesempatan tersebut, saat tugas
keluar kota Anne Frank ku bawa serta untuk
dieksplorasi dalam perjalanan.
Sejujurnya buku
ini ditulis dengan gaya yang sangat feminin, berputar-putar tentang perasaan,
banyak memuat detail penting yang mungkin tidak begitu cocok dengan pembaca
pria. Sepintas mirip seperti gaya NH Dini seperti pada roman Pada Sebuah Kapal.
Intinya adalah
mengenai tahun-tahun dimana Partai Nazi semakin agresif, dan Otto Frank ayah
Anne memutuskan untuk migrasi ke Amsterdam, Belanda. Saat di Jerman, Yahudi diperlakukan
sebagai warga kelas dua, dilarang menonton, dibatasi untuk pergi hanya pada
tempat-tempat tertentu saja dan mengalami banyak diskriminasi. Ironisnya seakan
tidak belajar dari masa lalu yang pahit, apa yang dilakukan Nazi pada Yahudi, persis
seperti apa yang dilakukan Israel saat ini terhadap Palestina dari tertindas
menjadi penindas.
Namun meski sudah
ke Amsterdam, Nazi justru bertambah kuat dan akhirnya menyasar Belanda, disusul
berbagai penculikan, kerja paksa dan pembunuhan Bangsa Yahudi. Otto yang kuatir
dengan keselamatan keluarganya di Amsterdam, lantas menyiapkan tempat
persembunyian di Kantor, dengan pintu dan ruangan khusus dengan keluarga Yahudi
lainnya
Selama 25 bulan ke delapan orang Yahudi tersebut termasuk
Ayah, dan Ibu Anne serta kakak perempuannya Margot, harus bertahan dengan air,
makanan seadanya dan mengharapkan bantuan para tetangga yang bersedia membantu
mengirim bahan makanan. Selama itu pula mereka berdelapan harus menolerir berbagai konflik diantara mereka dan tetap
menjaga agar persembunyian mereka tetap aman.
Mereka harus
berhadapan dengan dingin, lapar, ketakutan akan patroli, polisi atau penjahat
yang kadang datang, bahkan sempai merusak bangunan. Tergambarkan juga kisah “cinta monyet” antara
Anna dan Peter, yang digambarkan dengan halus dan penuh kepolosan.
Satu-satunya yang
secara konsisten menulis catatan harian pada sebuah buku bernama “Kitty” adalah
Anne Frank, sementara yang lain ada yang belajar Bahasa Prancis dan berbagai
kegiatan lainnya dalam membunuh kebosanan. Anne Frank juga cerita tentang betapa
bahagianya jika saja ia bisa membuka jendela, merasakan angin segar bertiup dan
mendengar cicitan burung yang tidak mungkin dia rasakan selama 25 bulan.
Sejujurnya buku
ini agak membosankan, untung saya tetap berusaha meneruskan membacanya sampai
halaman terakhir. Mirip dengan One Flew Over The Cuckoo’s Nest karya Ken Kesey
yang sangat memesona di halaman-halaman akhir, kehidupan dengan akhir tragis dari
kedelapan orang inilah yang akhirnya membuat buku ini layak diapresiasi.
No comments:
Post a Comment