"Tapi ia benar-benar cantik. Memandang-nya seperti minum susu : putih, sehat bergizi. Menatap rambut-nya seperti makan bubur ketan hitam : gelap, padat dan wangi". Demikian cara Dee menggambarkan sosok Star, wanita yang hadir dalam kehidupan Bodhi.
Kali lain Dee menulis bagaimana konser punk berlangsung "Belasan band naik turun panggung. Semua penyanyi tidak seperti bernyanyi, tapi menyalak. Suara gitar listrik meraung bising seperti jeritan atap seng diamuk angin". Hemm sangat inspiratif kan ? Benar-benar penulis sejati dan mengingatkan saya akan gaya Andre Hirata.
Saat menulis mengenai ladang mariyuana dan ganja di perbatasan Laos dan Thailand, Dee menulis begitu luasnya ladang tersebut, dengan pekerja berbaju oranye yang bekerja bagai Sisifus dalam legenda Yunani. Saat mencapai ujung, yang dipetik pertama kali sudah berbunga lagi. Dee menggunakan perumpamaan sekumpulan serbuk nutrisari terserak di meja bilyar, hemm lagi2 pameran kecerdasan berbahasa. Saya jadi ingat salah satu tulisan abang menggambarkan deras-nya hujan bagai pipis raksasa yang tumpah dari langit.
Cara penggambaran lokasi2 dalam buku ini juga begitu detail, misalnya saat Gio ke Bolivia atau saat Bodhi ke Thailand dan Laos. Memberi kesan kuat kalau Dee banyak tahu soal2 seperti itu. Bukan cuma secara geografis, budaya, transportasi, atau kuliner, Dee juga berusaha menggunakan bahasa setempat. Latar keyakinan Budha yang banyak disinggung, juga menunjukkan minat Dee pada keyakinan ini.
Tema utama-nya adalah mengenai sosok Bodhi, manusia tanpa asal usul jelas, yang layak-nya orang suci memulai hidup-nya saat dibuang ketika bayi dan dibesarkan seorang bhiksu. Memilih untuk terjun langsung dalam kehidupan nyata membuat Bodhi meninggalkan kuil dan menemukan dunia yang benar-benar berbeda.
Kalau di buku pertama Dee menunjukkan pemahaman-nya terhadap astronomi, dalam buku ini Dee menunjukkan wawasan-nya soal beladiri, ilmu per-tatto-an, ritual Buddha, punk scene dan seperti biasa soal musik seperti track Alan Parsons Project yang berbau Illuminati alias Eye In The Sky.
Istri saya yang cukup kaget membaca buku ini setelah membandingkan dengan karya Dee lain-nya malah menduga ada masalah psikis dalam sosok Dee, yang tingkat keeksentrikan penulisan-nya sudah berada di perbatasan normal dan tak normal. Terlihat memang dengan benang merah dibuku ini yang sepertinya cukup sulit ditemukan, dan lebih mirip pergolakan psikologis sosok Dee dibanding perjalanan sosok Bodhi. Namun saya kira Dee tidak sendirian, Danarto adalah contoh lain-nya dan berasal dari generasi yang lebih awal.
Lepas dari keajaiban buku ini dan buku sebelum-nya lah yang membuat saya merasa pencapaian di Perahu Kertas justru ibarat terjun bebas secara kualitas. Namun mungkin tidaklah elok membanding-bandingkan karya Dee, apalagi meski secara publikasi Perahu Kertas bisa dibilang terbaru, namun karya ini bisa dianggap sebagai karya2 awal Dee.
Budaya lokal yang memenuhi buku ini juga sepertinya akan membuat publikasi secara internasional menjadi sulit, jika tak pandai memilih kata, keunikan pemilihan kata dalam karya Dee ini bisa hilang. Akhir kata buku yang layak dibaca, dan menjadi kontemplasi gurih di antara rutinitas.
Kali lain Dee menulis bagaimana konser punk berlangsung "Belasan band naik turun panggung. Semua penyanyi tidak seperti bernyanyi, tapi menyalak. Suara gitar listrik meraung bising seperti jeritan atap seng diamuk angin". Hemm sangat inspiratif kan ? Benar-benar penulis sejati dan mengingatkan saya akan gaya Andre Hirata.
Saat menulis mengenai ladang mariyuana dan ganja di perbatasan Laos dan Thailand, Dee menulis begitu luasnya ladang tersebut, dengan pekerja berbaju oranye yang bekerja bagai Sisifus dalam legenda Yunani. Saat mencapai ujung, yang dipetik pertama kali sudah berbunga lagi. Dee menggunakan perumpamaan sekumpulan serbuk nutrisari terserak di meja bilyar, hemm lagi2 pameran kecerdasan berbahasa. Saya jadi ingat salah satu tulisan abang menggambarkan deras-nya hujan bagai pipis raksasa yang tumpah dari langit.
Cara penggambaran lokasi2 dalam buku ini juga begitu detail, misalnya saat Gio ke Bolivia atau saat Bodhi ke Thailand dan Laos. Memberi kesan kuat kalau Dee banyak tahu soal2 seperti itu. Bukan cuma secara geografis, budaya, transportasi, atau kuliner, Dee juga berusaha menggunakan bahasa setempat. Latar keyakinan Budha yang banyak disinggung, juga menunjukkan minat Dee pada keyakinan ini.
Tema utama-nya adalah mengenai sosok Bodhi, manusia tanpa asal usul jelas, yang layak-nya orang suci memulai hidup-nya saat dibuang ketika bayi dan dibesarkan seorang bhiksu. Memilih untuk terjun langsung dalam kehidupan nyata membuat Bodhi meninggalkan kuil dan menemukan dunia yang benar-benar berbeda.
Kalau di buku pertama Dee menunjukkan pemahaman-nya terhadap astronomi, dalam buku ini Dee menunjukkan wawasan-nya soal beladiri, ilmu per-tatto-an, ritual Buddha, punk scene dan seperti biasa soal musik seperti track Alan Parsons Project yang berbau Illuminati alias Eye In The Sky.
Istri saya yang cukup kaget membaca buku ini setelah membandingkan dengan karya Dee lain-nya malah menduga ada masalah psikis dalam sosok Dee, yang tingkat keeksentrikan penulisan-nya sudah berada di perbatasan normal dan tak normal. Terlihat memang dengan benang merah dibuku ini yang sepertinya cukup sulit ditemukan, dan lebih mirip pergolakan psikologis sosok Dee dibanding perjalanan sosok Bodhi. Namun saya kira Dee tidak sendirian, Danarto adalah contoh lain-nya dan berasal dari generasi yang lebih awal.
Lepas dari keajaiban buku ini dan buku sebelum-nya lah yang membuat saya merasa pencapaian di Perahu Kertas justru ibarat terjun bebas secara kualitas. Namun mungkin tidaklah elok membanding-bandingkan karya Dee, apalagi meski secara publikasi Perahu Kertas bisa dibilang terbaru, namun karya ini bisa dianggap sebagai karya2 awal Dee.
Budaya lokal yang memenuhi buku ini juga sepertinya akan membuat publikasi secara internasional menjadi sulit, jika tak pandai memilih kata, keunikan pemilihan kata dalam karya Dee ini bisa hilang. Akhir kata buku yang layak dibaca, dan menjadi kontemplasi gurih di antara rutinitas.
No comments:
Post a Comment