Tahu hobi saya membaca, salah seorang Manager yang biasa berurusan dengan server maintenance, di kantor memberikan hadiah buku Ahmad Thomson ini, setelah menamatkan Inferno nya Dan Brown serta buku mengenai Illuminati di Garut nya Ahmad Samantho, barulah saya bisa memiliki waktu untuk eksplorasi buku ini. Berbeda dengan buku2 sejenis yang copy-cut-paste literatur sana-sini, atau googling kian kemari, Ahmad Thomson lebih fokus ke apa yang dia rasakan, atau apa yang dia hadapi sebagai bagian dari masyarakat modern. Karena sosok-nya hidup di negara maju, Thomson sebagai saksi mata sepertinya bisa menulis dengan lebih obyektif.
Thomson melihat bahwa masyarakat maju tak lebih sebagai bagian dari suatu mekanisme kapitalis dalam rantai produsen-konsumen yang cenderung menilai segala sesuatu-nya dari materi. Perasaan kasih terhadap sesama menjadi luntur dan berganti menjadi yang kuat menghisap yang lemah. Siapa yang kuat akan bertahan, dan siapa yang lemah siap2 dihisap dan diinjak oleh yang kuat. Dunia menjadi terlihat sebagai dua pilihan yakni untuk memanfaatkan atau sebaliknya dimanfaatkan.
Salah satu kejelekan dari rantai produsen konsumen menurut Thomson, adalah menggaji karyawan sedemikian rupa sehingga seseorang terpaksa berhutang. Lalu bunga hutang-nya diset sedemikian rupa sehingga hutang tersebut tak pernah terbayar. Saat kondisi ini tercapai, maka seseorang akan terus bekerja meski apa yang dia inginkan tak pernah tercapai. Rasa cemas dan panik akan kepastian dalam kehidupan menyebabkan setiap orang terus menerus bekerja dan membeli apa yang sebenarnya tidak dia perlukan, dan bagi Thomson ini adalah pencarian tanpa akhir. Analoginya adalah seperti air laut, semakin kita minum makan semakin hauslah yang kita rasakan. Namun saya kira sepertinya ini bukan cuma masalah orang per orang tetapi juga negara. Indonesia yang begitu kaya saja akhirnya harus terus menerus berhutang dan hanya sanggup membayar bunga-nya saja. Bahkan bukan cuma Indonesia, Inggris dan Amerika pun adalah Negara yang pemerintah-nya penuh dengan hutang, jadi sebenar-nya kita bias menjawab siapa yang menjadi "pemerintah" sesungguhnya, yakni konspirasi di sektor finansil yang berlindung dibalik "kesaktian" uang kertas.
Contoh sederhana, kenapa pendidikan kedokteran modern misalnya dikendalikan oleh suatu badan yang tak mengizinkan seorang ahli kesehatan menggunakan ilmu turun temurun dan sudah terbukti berhasil. Padahal sebelum berdiri-nya universitas kedokteran, telah banyak sosok yang memiliki kemampuan untuk mengobati sesama dengan berbagai cara. Dunia kedokteran juga kini telah terintegrasi dengan produsen obat2an, produsen peralatan kedokteran, dan berhasil memaksakan pada banyak pemerintahan di dunia versi tunggal ilmu kedokteran, sekaligus melarang versi lain ikut mewujudkan masyarakat yang lebih sehat. Padahal kita tahu misalnya bagaimana unggul-nya ilmu kesehatan negara2 seperti China khususnya dalam menggunakan berbagai tanaman obat.
Ada banyak contoh lain selain dunia kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan ekonomi, politik, hukum termasuk globalisasi yang memaksakan standar yang sama di seluruh dunia. Buku ini memberi informasi pada kita, dunia seperti apa yang sebenarnya kita diami dan sistem apa yang selama ini kita yakini. Begitu juga dengan hal lain seperti manipulasi media, dijelaskan oleh Thomson dengan tiga contoh kasus yakni Lord Northcliffe, Ezra Pound dan peradilan Nuremberg (saat WWII). Khusus untuk masalah hokum, Thomson juga membahasnya secara detail, bagaimana hukum modern justru semakin dilengkapi semakin rumit dan semakin membutuhkan pihak ketiga untuk menginterpretasikan-nya.
Thomson menjelaskan bahwa sejak hampir satu abad yang lalu dunia makin hari makin membentuk dirinya menjadi sebuah sistem yang lebih cocok disebut sebagai Anti Christ atau Dajjal. Baginya sebagai gejala sosial sistem ini sudah membudaya, dan saat ini hanya tinggal menunggu Sang Sutradara alias Dajjal nya saja yang belum muncul.
Gaya Thomson pengarang kulit putih sekaligus pengacara berkebangsaan Inggris namun lahir di Zambia ini menulis harus diakui agak membosankan, ada kesan bertele tele di sepanjang buku. Begitu juga terjemahan dalam buku ini sebenar-nya cukup baik, namun penggunaan istilah Taman untuk Surga dan Api untuk Neraka rasa-nya agak ganjil di hati. Tak jelas benar kenapa istilah itu yang digunakan. Ada buku yang membuat kita penasaran membaca halaman berikutnya, namun tidak demikian dengan buku ini. Thomson juga memilih menggunakan kata2 sepenuhnya, dan tidak banyak memvisualisasikan pemikiran-nya dengan gambar. Namun demikian buku ini tetap penting, paling tidak karena dia mewakili pandangan seorang kulit putih mengenai apa yang sebenar-nya terjadi di negara2 maju.
4 comments:
Terjemahan langsung dan Jannah, biasa disebut "surga", sengaja diganti dengan Taman karena selain lebih sesuai dengan penggambaran yang ada di al-Qur'an dan as-Sunnah. juga Karena surga sering direka-reka penggambarannya - misalnya di kamus-kamus, ensiklopedi ataupun pada pembicaraan umum, bahkan banyak Muslim yang punya interpetasi sendiri mengenainya, maka tentu lebih baik memperoleh keterangan-keterangan mengenainya dari al-Qur'an dan al-Hadits. Penulis buku ini pun sengaja menggunakan the Garden (b. Inggris).
Hemm bisa dimengerti, walau "api" vs "taman" rasanya jadi tidak pas, lebih cocok "surga" vs "neraka" :) sementara kalau menggunakan "api" kesan lawan kata yang cocok adalah "air".
Salut pak, sama tulisan-tulisannya...
Sampai ketemu di pertemuan penghuni ya pak ;)
Laaah sesama penghuni ternyata :)
Post a Comment