Kalau saja tidak ada pengantar dari Ridwan Saidi, mungkin saya tidak akan membeli buku ini. Dan terbukti dari judul yang tidak begitu "nyambung" dengan isi. Buku yang nyaris 500 halaman ini ternyata hanya membahas Garut kurang dari 20% halaman.
Justru penulis membahas hal2 yang sebenarnya mudah ditemukan dalam buku2 lain seperti sejarah Uang dan keluarga Rothschild, hubungan perang dunia dengan keluarga Rothschild, atau bahkan Freeport dan Atlantis juga asal usul Hitler.
Hemm rasanya agak menyedihkan kalau kepentingan bisnis (dalam memberi judul) mengalahkan tujuan buku ini memberikan wacana yang "benar" tentang banyak hal lain-nya. Mengacu pada buku Van Der Veur, jelas bahwa loji Freemason sd 1940 an saja sudah menyebar sampai Semarang, Surabaya, Bogor, Magelang, Bandung, Salatiga, Tegal, Malang, Jember, Sukabumi, Purwokerto bahkan sampai Padang, Makassar, Medan dan Palembang. Jadi tidak ada keistimewaan Garut dalam hal Illuminati.
Kutipan yang diambil dari beberapa publikasi di internet juga di ambil terlalu apa adanya termasuk komentar dan diskusi para nara sumber yang kadang menyinggung hal2 diluar konteks seperti Indiana Jones, atau percakapan sehari-hari. Atau bahkan dalam bahasa Sunda tanpa terjemahan.
Pembaca juga tidak mendapat informasi atau kejelasan dipihak mana penulis sepakat, atau mana yang merupakan kesimpulan penulis dari berjejalnya informasi disana sini. Sebagai contoh gunung2 yang disinyalir sebagai piramid di Garut dan sekitar-nya, hanya memunculkan bahan2 yang lebih terlihat sebagai perbedaan pendapat. Namun buku ini berjasa dalam mengingatkan kita kembali metode yang dilakukan Turangga Seta. Dimana metode mereka dalam investigasi piramid yang membenarkan wawancara dengan penghuni alam lain, membuat kita mengerti kenapa publikasi mereka menjadi sulit diterima. Penulis sepertinya harus belajar membuat kesimpulan yang bernas layak-nya kata pengantar Ridwan Saidi.
Namun demikian publikasi tentang dugaan bahasa Minang dengan Inggris yang ternyata mempunyai banyak kemiripan, cukup menarik untuk dibaca dan mendapatkan kesimpulan yang mengagetkan. Yakni adanya dugaan semua ini berasal dari satu sumber.
Megingat begitu banyak-nya misteri dalam sejarah kita, tak aneh kalau Ridwan Saidi mengatakan bahwa paradigma ilmu arkeologi Indonesia amat ketinggalan. Bagi Ridwan Saidi, arkeolog lebih banyak melanjutkan warisan Purbocaroko yang juga mewarisi-nya dari guru2 Belanda-nya di masa sebelum WWII. Sebagai contoh Ridwan mempertanyakan bagaimana mungkin Tarumanagara dan Sriwijaya dianggap sebagai kerajaan Hindu dan Budha sedangkan tidak ada penduduk Sumatera yang beragama Budha serta selama Tarumanagara berkuasa 300 tahun juga tidak ada penduduk Jawa bagian barat yang memeluk Hindu. Bagi Ridwan kedua kerajaan itu tak lebih dari perusahaan asing yang mengeksplorasi kekayaan lokal beserta penduduk-nya.
Contoh lain, Ridwan juga mempertanyakan bagaimana mungkin Borobudur dianggap candi Budha, sementara dalam relief-nya digambarkan Ramayana (yang nota bene kebudayaan Hindu) atau bahkan penggambaran hubungan sejenis *. Bagi Ridwan Borobudur adalah bangunan yang dibangun berbagai kebudayaan dengan bangsa Arya sebagai pemegang saham terbesar. Ridwan juga mempertanyakan asumsi bahwa Borobudur di bangun Syailendra dengan alasan tanah di Sumatera tidak cocok untuk bangunan seberat itu, sementara kita menemukan di Muaro Jambi ada kompleks candi sebelum era Sriwijaya yang berkali lipat berat-nya.
Atau saat Ridwan menganalisa peran Gujarat di Indonesia, sementara kata Gujarat yang tersisa di Indonesia hanya Khanduri (kenduri). Sehingga berdasarkan kekerabatan bahasa, teori ini menjadi tak mungkin. Bagi Ridwan penyebar Islam yang sebenarnya adalah sosok Melayu Vietnam, bernama Syekh Kura (Quro) yang mendirikan pesantren di Pulau Kelapa. Jadi sudah saatnya kita menulis ulang sejarah kita dengan menguji-nya lewat genetika, fisika atau kekerabatan bahasa.
Catatan
* Mengenai penggambaran hubungan sejenis, saya belum mendapatkan informasi lebih jelas dengan apa yang dimaksud Ridwan Saidi.
Justru penulis membahas hal2 yang sebenarnya mudah ditemukan dalam buku2 lain seperti sejarah Uang dan keluarga Rothschild, hubungan perang dunia dengan keluarga Rothschild, atau bahkan Freeport dan Atlantis juga asal usul Hitler.
Hemm rasanya agak menyedihkan kalau kepentingan bisnis (dalam memberi judul) mengalahkan tujuan buku ini memberikan wacana yang "benar" tentang banyak hal lain-nya. Mengacu pada buku Van Der Veur, jelas bahwa loji Freemason sd 1940 an saja sudah menyebar sampai Semarang, Surabaya, Bogor, Magelang, Bandung, Salatiga, Tegal, Malang, Jember, Sukabumi, Purwokerto bahkan sampai Padang, Makassar, Medan dan Palembang. Jadi tidak ada keistimewaan Garut dalam hal Illuminati.
Kutipan yang diambil dari beberapa publikasi di internet juga di ambil terlalu apa adanya termasuk komentar dan diskusi para nara sumber yang kadang menyinggung hal2 diluar konteks seperti Indiana Jones, atau percakapan sehari-hari. Atau bahkan dalam bahasa Sunda tanpa terjemahan.
Pembaca juga tidak mendapat informasi atau kejelasan dipihak mana penulis sepakat, atau mana yang merupakan kesimpulan penulis dari berjejalnya informasi disana sini. Sebagai contoh gunung2 yang disinyalir sebagai piramid di Garut dan sekitar-nya, hanya memunculkan bahan2 yang lebih terlihat sebagai perbedaan pendapat. Namun buku ini berjasa dalam mengingatkan kita kembali metode yang dilakukan Turangga Seta. Dimana metode mereka dalam investigasi piramid yang membenarkan wawancara dengan penghuni alam lain, membuat kita mengerti kenapa publikasi mereka menjadi sulit diterima. Penulis sepertinya harus belajar membuat kesimpulan yang bernas layak-nya kata pengantar Ridwan Saidi.
Namun demikian publikasi tentang dugaan bahasa Minang dengan Inggris yang ternyata mempunyai banyak kemiripan, cukup menarik untuk dibaca dan mendapatkan kesimpulan yang mengagetkan. Yakni adanya dugaan semua ini berasal dari satu sumber.
Megingat begitu banyak-nya misteri dalam sejarah kita, tak aneh kalau Ridwan Saidi mengatakan bahwa paradigma ilmu arkeologi Indonesia amat ketinggalan. Bagi Ridwan Saidi, arkeolog lebih banyak melanjutkan warisan Purbocaroko yang juga mewarisi-nya dari guru2 Belanda-nya di masa sebelum WWII. Sebagai contoh Ridwan mempertanyakan bagaimana mungkin Tarumanagara dan Sriwijaya dianggap sebagai kerajaan Hindu dan Budha sedangkan tidak ada penduduk Sumatera yang beragama Budha serta selama Tarumanagara berkuasa 300 tahun juga tidak ada penduduk Jawa bagian barat yang memeluk Hindu. Bagi Ridwan kedua kerajaan itu tak lebih dari perusahaan asing yang mengeksplorasi kekayaan lokal beserta penduduk-nya.
Contoh lain, Ridwan juga mempertanyakan bagaimana mungkin Borobudur dianggap candi Budha, sementara dalam relief-nya digambarkan Ramayana (yang nota bene kebudayaan Hindu) atau bahkan penggambaran hubungan sejenis *. Bagi Ridwan Borobudur adalah bangunan yang dibangun berbagai kebudayaan dengan bangsa Arya sebagai pemegang saham terbesar. Ridwan juga mempertanyakan asumsi bahwa Borobudur di bangun Syailendra dengan alasan tanah di Sumatera tidak cocok untuk bangunan seberat itu, sementara kita menemukan di Muaro Jambi ada kompleks candi sebelum era Sriwijaya yang berkali lipat berat-nya.
Atau saat Ridwan menganalisa peran Gujarat di Indonesia, sementara kata Gujarat yang tersisa di Indonesia hanya Khanduri (kenduri). Sehingga berdasarkan kekerabatan bahasa, teori ini menjadi tak mungkin. Bagi Ridwan penyebar Islam yang sebenarnya adalah sosok Melayu Vietnam, bernama Syekh Kura (Quro) yang mendirikan pesantren di Pulau Kelapa. Jadi sudah saatnya kita menulis ulang sejarah kita dengan menguji-nya lewat genetika, fisika atau kekerabatan bahasa.
Catatan
* Mengenai penggambaran hubungan sejenis, saya belum mendapatkan informasi lebih jelas dengan apa yang dimaksud Ridwan Saidi.
4 comments:
Tadi siang sy melihat buku dgn judul diatas, niat hati tergerak u membeli krn judulnya sgt menarik. Singkat kata sy gugling ( kbtulan bw ipad) dan ternyata dr bbrp review trmsuk di blog ini, akhirnya sy putuskan u tdk membeli buku ini. Mksh u semua infonya.
Saya juga tadi sempat tertarik untuk membeli... Ternyata googling ke dua buah blog termasuk blog ini... Untung gak jadi beli :))
Kemaren ke Gramedia, ngelihat judul buku ini jadi penasaran pengen beli tapi dirasa2 koq agak mencurigakan. Untuk ngga jadi beli>>>
Saya juga sempat lihat-lihat dan langsung nggak beli karena nggak punya uang
Post a Comment