Didalam pesawat istri berperan layak-nya perawat, setiap kali memeriksa suhu Si Sulung, serta tak lupa memastikan semua obat2an sudah dikonsumsi secara benar. Sayang sebagian jus jambu terpaksa kami tinggal di Bandara karena dilarang dibawa dalam penerbangan ini. Karena menggunakan Garuda, kami mendapatkan seat yang bisa diatur berdekatan. Berbeda dengan saat pulang, penerbangan asing lebih tidak perduli urusan seat, jadi sebaiknya jamaah lah yang saling berkoordinasi untuk dapat tetap duduk berdekatan.
Sibuk mengurus Si Sulung, kami abai pada Si Bungsu, sebenarnya saat di pesawat dia sudah mulai menunjukkan gejala aneh seperti tidak mau makan sama sekali, dan tubuhnya juga mulai hangat. Namun fokus kami saat itu ada pada Si Sulung.
Setelah penerbangan selama 9 jam, kami mendarat di Jeddah tengah malam. Proses imigrasi berlangsung sangat lambat, dan petugas kerajaan terlihat kurang professional dan terkesan arogan. Hemm kadang saya berpikir, bisa jadi keseringan melihat orang Indonesia sebagai "pembantu" mungkin membuat mereka menyamaratakan-nya dengan tamu Allah yang berniat ibadah. Saya menyuruh kedua anak saya yang terlihat letih duduk begitu saja di lantai.
Para mahasiswa Indonesia yang bekerja sama dengan Khalifah alias muthawif, membantu memroses semua barang2 kami. Dan lalu dengan bis kami menuju sebuah rumah yang disewa Khalifah untuk makan malam, mandi serta menggunakan ihram. Tas besar kami tinggal di bis dan tas kecil yang sudah dilengkapi dengan item2 tertentu saja kami bawa turun. Itu sebabnya setiap orang selalu dibekali dengan dua jenis tas, yang kecil untuk keperluan seperti ini dan yang besar lebih untuk kebutuhan lain.
Rumah inilah yang dijadikan sebagai lokasi resmi miqat kami (lokasi yang disepakati sebagai tempat memulai ibadah), sebelum menuju Masjidil Haram. Sebagian jamaah ada yang memilih lokasi miqat di pesawat dan bandara King Abdul Aziz. Namun perbedaan ini dianggap wajar, karena ibadah ini termasuk yang jarang dilakukan oleh Nabi, sehingga disana sini ada perbedaan2 kecil namun diperkenankan dilakukan sesuai keyakinan. Bagi yang belum berpengalaman, melihat orang sudah berihram di pesawat akan membuat kita ragu dengan keyakinan yang kita jalankan, namun Allah Maha Pemaaf dan Maha Mengetahui.
Rumah ini sepertinya milik orang kaya Arab, bertingkat dan luas. Namun uniknya makanan yang dihidangkan semua masakan Indonesia, jadi rasanya seperti di rumah sendiri saja. Begitu juga pelayan2 yang melayani, di dominasi oleh orang2 Indonesia. Ada sangat banyak kamar di lantai dua dan tiga.
Si Sulung yang masih demam tinggi, tidak saya perkenankan mandi. Lalu saya pakaikan semua perlengkapan ihram yang diperlukan untuk segera menuju bis agar dapat langsung ke Mekkah, dan bisa sampai sebelum subuh. Maklum beberapa saat sebelum subuh, biasanya Masjidil Haram disterilisasi dari jamaah yang tawaf agar tidak saling menganggu.
Begitu sampai setelah sempat shock melihat Kabah yang selama ini hanya bisa saya lihat foto-nya begitu saja muncul didepan mata dan langsung membuat kami berkaca-kaca terharu. Namun kami segera disibukkan dengan aktivitas mencari kursi roda sewaan. Hal ini perlu karena Si Sulung sudah tak kuat lagi berjalan. Segera kami dengan berat hati agar tidak menyusahkan, memisahkan diri dari rombongan yang dipimpin Ustadz Budi, dan nasib tak dapat di tolak, kami sekeluarga meski sudah buru-buru ditolak memasuki arena untuk tawaf. Pada saat tanpa pembimbing seperti inilah pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan saat umrah dengan mandiri menjadi penting.
Selanjutya di http://hipohan.blogspot.co.id/2013/12/umrah-4-dilarang-tawaf.html
Sibuk mengurus Si Sulung, kami abai pada Si Bungsu, sebenarnya saat di pesawat dia sudah mulai menunjukkan gejala aneh seperti tidak mau makan sama sekali, dan tubuhnya juga mulai hangat. Namun fokus kami saat itu ada pada Si Sulung.
Setelah penerbangan selama 9 jam, kami mendarat di Jeddah tengah malam. Proses imigrasi berlangsung sangat lambat, dan petugas kerajaan terlihat kurang professional dan terkesan arogan. Hemm kadang saya berpikir, bisa jadi keseringan melihat orang Indonesia sebagai "pembantu" mungkin membuat mereka menyamaratakan-nya dengan tamu Allah yang berniat ibadah. Saya menyuruh kedua anak saya yang terlihat letih duduk begitu saja di lantai.
Para mahasiswa Indonesia yang bekerja sama dengan Khalifah alias muthawif, membantu memroses semua barang2 kami. Dan lalu dengan bis kami menuju sebuah rumah yang disewa Khalifah untuk makan malam, mandi serta menggunakan ihram. Tas besar kami tinggal di bis dan tas kecil yang sudah dilengkapi dengan item2 tertentu saja kami bawa turun. Itu sebabnya setiap orang selalu dibekali dengan dua jenis tas, yang kecil untuk keperluan seperti ini dan yang besar lebih untuk kebutuhan lain.
Rumah inilah yang dijadikan sebagai lokasi resmi miqat kami (lokasi yang disepakati sebagai tempat memulai ibadah), sebelum menuju Masjidil Haram. Sebagian jamaah ada yang memilih lokasi miqat di pesawat dan bandara King Abdul Aziz. Namun perbedaan ini dianggap wajar, karena ibadah ini termasuk yang jarang dilakukan oleh Nabi, sehingga disana sini ada perbedaan2 kecil namun diperkenankan dilakukan sesuai keyakinan. Bagi yang belum berpengalaman, melihat orang sudah berihram di pesawat akan membuat kita ragu dengan keyakinan yang kita jalankan, namun Allah Maha Pemaaf dan Maha Mengetahui.
Rumah ini sepertinya milik orang kaya Arab, bertingkat dan luas. Namun uniknya makanan yang dihidangkan semua masakan Indonesia, jadi rasanya seperti di rumah sendiri saja. Begitu juga pelayan2 yang melayani, di dominasi oleh orang2 Indonesia. Ada sangat banyak kamar di lantai dua dan tiga.
Si Sulung yang masih demam tinggi, tidak saya perkenankan mandi. Lalu saya pakaikan semua perlengkapan ihram yang diperlukan untuk segera menuju bis agar dapat langsung ke Mekkah, dan bisa sampai sebelum subuh. Maklum beberapa saat sebelum subuh, biasanya Masjidil Haram disterilisasi dari jamaah yang tawaf agar tidak saling menganggu.
Begitu sampai setelah sempat shock melihat Kabah yang selama ini hanya bisa saya lihat foto-nya begitu saja muncul didepan mata dan langsung membuat kami berkaca-kaca terharu. Namun kami segera disibukkan dengan aktivitas mencari kursi roda sewaan. Hal ini perlu karena Si Sulung sudah tak kuat lagi berjalan. Segera kami dengan berat hati agar tidak menyusahkan, memisahkan diri dari rombongan yang dipimpin Ustadz Budi, dan nasib tak dapat di tolak, kami sekeluarga meski sudah buru-buru ditolak memasuki arena untuk tawaf. Pada saat tanpa pembimbing seperti inilah pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan saat umrah dengan mandiri menjadi penting.
Selanjutya di http://hipohan.blogspot.co.id/2013/12/umrah-4-dilarang-tawaf.html
No comments:
Post a Comment