Setelah membaca kedua novel karya Hanum, tentu saja akan sangat menarik jika dilengkapi dengan menonton film-nya. Maklum sampai saat ini masih belum kesampaian mengunjungi Perancis, Austria dan Spanyol yang memang banyak dibahas dalam film sebagai salah satu saksi bahwa Islam pernah menerangi Eropa. Menonton film ini adalah sekaligus melengkapi puzzle yang tercipta setelah membaca buku-nya. Pengalaman ini mirip seperti halnya membaca petualangan Robert Langdon di The Da Vinci Code lalu melihat semua bangunan, lukisan, patung yang digambarkan dalam buku muncul dalam film.
Ketika libur di akhir minggu, beserta sebagian besar karyawan klinik, kami pergi ke TSM, Turut serta juga si Bungsu dan sepupunya dari Depok yang sudah beberapa hari ini menginap di rumah kami. Saat antri di loket, si Bungsu menolak untuk menonton film ini dan memilih Van Der Wijk, namun saya dan istri membujuk Si Bungsu, bahwa akan banyak sekali manfaat menonton film ini, karena sesuai bukunya yang memang saya dan istri sudah baca. Buku ini juga akan mengingatkan bahwa menjaga aqidah seperti halnya menggunakan jilbab adalah keharusan dalam agama. Seperti juga visualisasi lukisan Bunda Maria dengan renda kaligrafi, dalam lukisan di museum Louvre, Paris.
Sejujurnya sulit bagi saya membayangkan bagaimana tim kreatif film yang dipimpin Guntur Soeharjanto, ini bisa menyusun kumpulan bab dalam buku ini yang lebih mirip catatan atau fragmen terpisah menjadi satu skenario utuh yang saling terikat. Sehingga selayaknya film ini mendapat ancungan jempol. Terinspirasinya Napoleon Bonaparte, adegan makan Croissant setelah mengunjungi Kahlenberg, temuan lukisan di museum Vienna, dan temuan lukisan dan keramik di Louvre semua terjalin kuat. Kalaupun ada yang harus dikritik, mungkin penampilan Fatin yang terlalu dipaksakan (dan juga sosoknya dalam poster), mungkin lebih baik jika tidak ada dialog dengan Fatin, namun cukup penampilan sekilas ala cameo.
Tim kreatif juga berhasil mengikat kunjungan kunjungan ke berbagai tempat untuk melihat fakta sejarah Islam menjadi satu cerita utuh dengan adegan Aisye dan Fatma Pasha menjadi benang merah yang menjerat perhatian penonton sampai dengan akhir cerita. Setia terhadap buku namun juga tetap menghadirkan kejutan-kejutan dalam film, membuat film dan buku ini menjadi sejiwa.
Begitu juga dengan casting yang terasa sangat pas, peran Aisye (Gecchae) dan Fatma Pasha (Raline Shah) sepertinya sangat layak mendapat nilai tertinggi. Namun pemeran pemeran lainnya juga bermain dengan sangat natural seperti Rangga Almahendra (Abimana Aryasatya) yang berperan sebagai mahasiswa Indonesia kurang istirahat dengan dana pas-pasan harus kuliah di negeri orang. Begitu juga Khan (Alex Abbad), Stefan (Nino Fernandez) dan Marion (Dewi Sandra) bermain dengan tak kalah gemilang-nya.
Pada akhirnya saya mengingat kembali buku ini, bahwa Eropa yang kini mulai dipengaruhi paham materialisme dan atheisme kelak akan takluk bukan oleh peperangan demi peperangan yang diikuti oleh penaklukan, namun oleh cahaya dan kebenaran Islam yang dibawa para Agent of Islam yang dengan keindahan budi pekertinya menunjukkan agama seperti apa Islam sebenarnya. Bagi yang ingin melihat review bukunya silahkan ke link ini
http://hipohan.blogspot.com/2012/02/99-cahaya-di-langit-eropa-nya-hanum.html
Ketika libur di akhir minggu, beserta sebagian besar karyawan klinik, kami pergi ke TSM, Turut serta juga si Bungsu dan sepupunya dari Depok yang sudah beberapa hari ini menginap di rumah kami. Saat antri di loket, si Bungsu menolak untuk menonton film ini dan memilih Van Der Wijk, namun saya dan istri membujuk Si Bungsu, bahwa akan banyak sekali manfaat menonton film ini, karena sesuai bukunya yang memang saya dan istri sudah baca. Buku ini juga akan mengingatkan bahwa menjaga aqidah seperti halnya menggunakan jilbab adalah keharusan dalam agama. Seperti juga visualisasi lukisan Bunda Maria dengan renda kaligrafi, dalam lukisan di museum Louvre, Paris.
Sejujurnya sulit bagi saya membayangkan bagaimana tim kreatif film yang dipimpin Guntur Soeharjanto, ini bisa menyusun kumpulan bab dalam buku ini yang lebih mirip catatan atau fragmen terpisah menjadi satu skenario utuh yang saling terikat. Sehingga selayaknya film ini mendapat ancungan jempol. Terinspirasinya Napoleon Bonaparte, adegan makan Croissant setelah mengunjungi Kahlenberg, temuan lukisan di museum Vienna, dan temuan lukisan dan keramik di Louvre semua terjalin kuat. Kalaupun ada yang harus dikritik, mungkin penampilan Fatin yang terlalu dipaksakan (dan juga sosoknya dalam poster), mungkin lebih baik jika tidak ada dialog dengan Fatin, namun cukup penampilan sekilas ala cameo.
Tim kreatif juga berhasil mengikat kunjungan kunjungan ke berbagai tempat untuk melihat fakta sejarah Islam menjadi satu cerita utuh dengan adegan Aisye dan Fatma Pasha menjadi benang merah yang menjerat perhatian penonton sampai dengan akhir cerita. Setia terhadap buku namun juga tetap menghadirkan kejutan-kejutan dalam film, membuat film dan buku ini menjadi sejiwa.
Begitu juga dengan casting yang terasa sangat pas, peran Aisye (Gecchae) dan Fatma Pasha (Raline Shah) sepertinya sangat layak mendapat nilai tertinggi. Namun pemeran pemeran lainnya juga bermain dengan sangat natural seperti Rangga Almahendra (Abimana Aryasatya) yang berperan sebagai mahasiswa Indonesia kurang istirahat dengan dana pas-pasan harus kuliah di negeri orang. Begitu juga Khan (Alex Abbad), Stefan (Nino Fernandez) dan Marion (Dewi Sandra) bermain dengan tak kalah gemilang-nya.
Pada akhirnya saya mengingat kembali buku ini, bahwa Eropa yang kini mulai dipengaruhi paham materialisme dan atheisme kelak akan takluk bukan oleh peperangan demi peperangan yang diikuti oleh penaklukan, namun oleh cahaya dan kebenaran Islam yang dibawa para Agent of Islam yang dengan keindahan budi pekertinya menunjukkan agama seperti apa Islam sebenarnya. Bagi yang ingin melihat review bukunya silahkan ke link ini
http://hipohan.blogspot.com/2012/02/99-cahaya-di-langit-eropa-nya-hanum.html
No comments:
Post a Comment